Latest Post

     Kebahagiaan, baik dalam konteks objektif maupun subjektif, bukanlah sesuatu yang bisa diatur hanya dengan mengingat atau melupakan. Kebahagiaan adalah kondisi yang lebih mendasar dan kompleks, yang berakar pada kesejahteraan mental, emosional, sosial, dan sering kali melibatkan faktor-faktor eksternal seperti kualitas hidup, keamanan, serta relasi yang sehat.

     Ketika seseorang mengatakan "jangan lupa bahagia," ada asumsi implisit bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa muncul hanya dengan mengingatnya. Ini tentu saja mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari sekadar ingatan, melainkan dari pencapaian kondisi tertentu dalam hidup yang memungkinkan perasaan tersebut muncul dengan sendirinya. Misalnya, kebahagiaan bisa muncul dari rasa puas akan pencapaian, rasa terhubung dengan orang lain, atau perasaan damai dalam menjalani hidup.

     Bayangkan bahwa ungkapan ini sebenarnya adalah semacam refleksi dari kegagalan masyarakat modern dalam memahami kebahagiaan secara mendalam. Ada kemungkinan bahwa seringnya orang mengucapkan "jangan lupa bahagia" justru menunjukkan sebuah ironi—bahwa kebahagiaan telah menjadi begitu terasing dan jauh dari jangkauan, sehingga perlu diingatkan secara verbal.

     Dalam pandangan yang lebih skeptis, ungkapan ini mungkin menggambarkan budaya yang terlalu terobsesi dengan "kebahagiaan" sebagai suatu tujuan yang harus dicapai, tetapi tidak benar-benar memahami esensinya. Kebahagiaan, dalam banyak budaya tradisional, tidak selalu menjadi tujuan yang harus dikejar secara aktif; melainkan hasil dari menjalani kehidupan yang bermakna, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai batiniah seseorang.

     Dengan kata lain, mungkin ungkapan "jangan lupa bahagia" justru memperlihatkan sebuah paradoks di mana masyarakat telah menciptakan begitu banyak distraksi, tekanan, dan tuntutan hidup yang membuat kebahagiaan menjadi sesuatu yang harus diprogram ulang ke dalam pikiran kita. Ini seolah-olah kebahagiaan adalah sebuah barang yang bisa dilupakan di suatu sudut, padahal kebahagiaan yang sejati seharusnya mengalir alami dari cara kita menjalani kehidupan sehari-hari.

     Selain itu, dari perspektif filosofis, ada pandangan bahwa dorongan untuk "jangan lupa bahagia" bisa menjadi bentuk penghindaran dari kenyataan hidup yang sebenarnya kompleks, penuh dengan penderitaan, tantangan, dan ketidakpastian. Di balik pesan positif ini, ada kemungkinan tersembunyi perasaan putus asa atau kelelahan kolektif, di mana orang-orang merasa harus menutupi atau melarikan diri dari realitas dengan menyemangati diri mereka sendiri atau orang lain untuk "ingat bahagia."

     Lebih lanjut, ini bisa juga dikaitkan dengan fenomena yang disebut toxic positivity, di mana tekanan sosial untuk selalu positif dan bahagia justru bisa mengarah pada pengabaian emosi negatif yang sah dan perlu dirasakan serta diproses. Di dunia yang serba cepat ini, ungkapan "jangan lupa bahagia" bisa menjadi instrumen untuk menekan perasaan lain yang dianggap tidak produktif atau tidak nyaman, sehingga menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya emosi yang layak dihargai.

     Jadi, dari perspektif ini, "jangan lupa bahagia" bukan hanya sekadar tren, tetapi mungkin juga merupakan tanda dari masyarakat yang mulai kehilangan kontak dengan pemahaman kebahagiaan yang lebih otentik, mendalam, dan bermakna.

     Jika kita melihat fakta bahwa dalam negara dengan ranking kebahagiaan rendah, ungkapan ini sering digunakan, ini bisa menjadi indikator bahwa masyarakat tersebut mungkin sedang berusaha keras untuk mencapai sesuatu yang terasa sulit digapai. Mereka mungkin mencoba menemukan kebahagiaan di tengah kondisi yang tidak mendukung, dan ungkapan "jangan lupa bahagia" menjadi semacam mantra atau penghiburan diri yang digunakan tanpa pemahaman mendalam.

     Sebagai catatan, peringkat kebahagian orang Indonesia di tahun 2024 berada di rangking 80 dari 143 negara. Hanya meningkat 3 grade dari 83 di tahun 2012. Di Asean sendiri negara kita berada di urutan ke-6 di bawah Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Sementara sepuluh teratas negara terbahagia adalah Finlandia di posisi pertama diikuti Denmark, Islandia, Swedia, Israel, Belanda, Norwegia, Luxemburg, Swiss dan Australia di urutan 10.

1. Finlandia

2. Denmark

3. Islandia

4. Swedia

5. Israel

6. Belanda

7. Norwegia

8. Luksemburg

9. Swiss

10. Australia

Baca artikel detikedu, "Daftar 10 Negara Paling Bahagia Terbaru 2024, Apakah Finlandia Nomor Satu?" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7257856/daftar-10-negara-paling-bahagia-terbaru-2024-apakah-finlandia-nomor-satu.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
Filipina (6,05), Vietnam (6,04), Thailand (5,98), dan Malaysia (5,98)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Economics of Happiness": Indonesia Tidak Cukup Bahagia?", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2024/03/25/134403026/economics-of-happiness-indonesia-tidak-cukup-bahagia?page=all.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

     Ini juga menunjukkan bahwa ungkapan tersebut bisa jadi lebih banyak digunakan sebagai penutup atau solusi instan untuk masalah yang sebenarnya membutuhkan perhatian lebih besar. Dalam masyarakat dengan tingkat kebahagiaan yang rendah, ada kemungkinan bahwa orang merasa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diingatkan karena terasa begitu jauh atau sulit dicapai dalam kehidupan sehari-hari mereka.

     Dengan kata lain, frasa ini mungkin lebih mencerminkan kegagalan kolektif untuk memahami apa itu kebahagiaan secara mendalam dan bagaimana mencapainya secara berkelanjutan, daripada sekadar saran yang tulus atau bermanfaat. Ini adalah ekspresi dari ketidakpahaman tentang kompleksitas kebahagiaan, yang tidak bisa dicapai hanya dengan sekadar mengingatkan diri sendiri atau orang lain.

Telaah ungkapan "jangan lupa bahagia" dari perspektif evolusi otak manusia maupun evolusi budaya.

Evolusi Otak (Neurosains Evolusioner)

     Dari sudut pandang evolusi otak, manusia telah berkembang untuk merespons rangsangan dan pengalaman yang memengaruhi kelangsungan hidup dan reproduksi. Kebahagiaan pada dasarnya adalah kondisi yang berhubungan dengan pelepasan zat kimia tertentu di otak, seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang memainkan peran penting dalam mengatur emosi dan motivasi.

     Secara evolusioner, kebahagiaan bukanlah kondisi yang dimaksudkan untuk bertahan lama tanpa henti. Otak kita dirancang untuk mencari keseimbangan antara pencarian kepuasan dan kesiapan menghadapi tantangan berikutnya. Misalnya, perasaan bahagia setelah mencapai sesuatu biasanya akan mereda, memotivasi kita untuk mencari tujuan atau pengalaman baru. Ini adalah bagian dari mekanisme evolusi yang menjaga manusia tetap produktif dan adaptif.

     Ungkapan "jangan lupa bahagia" mungkin muncul sebagai respons terhadap kecenderungan alami otak kita untuk kembali ke keadaan "normal" setelah puncak kebahagiaan tercapai. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa ungkapan tersebut adalah upaya sederhana untuk menentang atau setidaknya menyadari kecenderungan alami otak kita untuk lebih fokus pada masalah atau tantangan, daripada mempertahankan kebahagiaan.

     Namun, ini juga bisa dilihat sebagai kekeliruan dalam memahami cara kerja otak manusia: kebahagiaan tidak bisa dipertahankan hanya dengan mengingatnya karena itu adalah bagian dari siklus biologis yang lebih besar yang dirancang untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup.

Evolusi Budaya (Meme dan Pengaruh Sosial)

     Dari perspektif evolusi budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" dapat dilihat sebagai "meme" atau unit budaya yang bereplikasi dan menyebar dari satu orang ke orang lain. Dalam teori meme, ide, frasa, atau perilaku yang dianggap menarik atau relevan dalam konteks sosial tertentu akan cenderung menyebar dan bertahan.

     Ungkapan ini mungkin telah menjadi populer karena sesuai dengan nilai-nilai zaman sekarang yang sangat menekankan pada self-care, kesejahteraan emosional, dan optimisme. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan cepat, frasa ini menawarkan solusi yang tampaknya mudah dan dapat diterima oleh banyak orang. Namun, karena penyebarannya yang cepat dan seringkali tanpa pemahaman mendalam, ungkapan ini bisa menjadi dangkal—mencerminkan penurunan kualitas pemikiran kritis dalam budaya yang lebih mengutamakan kesederhanaan dan kemudahan pesan.

     Dalam evolusi budaya, konsep-konsep yang menyebar sering kali mengalami distorsi, terutama ketika dipisahkan dari konteks aslinya. "Jangan lupa bahagia" mungkin awalnya memiliki niat baik sebagai pengingat sederhana, tetapi ketika ia berkembang dalam konteks yang lebih luas dan kehilangan nuansa aslinya, maknanya bisa tereduksi menjadi sesuatu yang lebih klise dan kurang bermakna.

     Sebagai kesimpulan, dari perspektif evolusi baik fisik maupun budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" adalah refleksi dari cara otak kita dan budaya kita menangani kompleksitas kebahagiaan. Dari sisi otak, itu mungkin upaya sadar untuk melawan kecenderungan alami kita yang lebih fokus pada tantangan. Dari sisi budaya, itu adalah produk dari dinamika sosial di mana ide-ide sederhana sering kali diutamakan karena lebih mudah dicerna dan dibagikan, meskipun berpotensi kehilangan kedalaman dan relevansinya.

     Dalam pusaran diskusi masyarakat 5.0 di suatu wilayah bertabur zamrud khatulistiwa, Korpala adalah sorotan dan idaman. Dalam beberapa tahun yang singkat, Korpala telah menjelma menjadi tren setter idola untuk suatu pola hidup yang berkarakter kuat dengan pengembangan kecerdasan yang berimbang di hampir semua sektor penting kehidupan. Setelah anggota-anggota Korpala menjadi idaman idola di setiap organisasi di dunia, orang mulai mengulik apa dan bagaimana proses yang membentuk kualitas seperti itu. Khalayak pun menemukan formulanya. Namun bagaimana mereka dapat menerapkannya di dalam kehidupan mereka?

     Beruntungnya, Korpala terlebih dahulu telah membangun Parasosial Relationship - hubungan parasosial. Suatu hubungan yang terjadi seperti pada para penggemar dan klub sepak bola ataupun antara penggemar dan bintang sepak bolanya. Hubungan parasosial yang sehat tentu saja. Dalam hubungan parasosial yang lazim, hanya terjadi hubungan satu arah. Para penggemar bisa sangat mengenal seorang bintang sepak bola tertentu, tetapi sang bintang sama sekali tidak mengenal sang penggemar.

     Hal berbeda dengan hubungan parasosial yang dibangun Korpala, dimana Korpala berusaha melakukan hubungan timbal balik dengan para penggemarnya. Untuk para penggemar Korpala dimana pun, telah disediakan materi-materi pelatihan digital yang bisa diakses oleh siapa saja. Termasuk tentunya materi-materi untuk pengembangan penguatan karakter Korpala. Siapapun, secara individu maupun secara berkelompok, dapat bergabung ke dalam Korpala. Di sini, Korpala adalah way of life.

     Langit baru inklusivisme telah direntangkan oleh Korpala. Bila di masa lalu, untuk menjadi anggota Korpala, orang terlebih dahulu harus menjadi mahasiswa Unhas. Korpala yang sangat eksklusif, mungkin telah menghasilkan elit-elit yang sangat spesial. Namun bila way of life Korpala dapat membantu dan menginspirasi semua orang, mengapa kita tidak berbagi kualitas kepada semua orang? Kita dapat menjadi pionir, mendorong percepatan budaya kolaborasi ke dalam masyarakat kita. Dan hal tersebut hanya dapat dicapai dengan kerendahan hati dalam inklusivisme.

     Memori genetik tentang menjadi yang terkuat, paling elit, paling spesial dalam karakter eksklusif yang terwariskan bersama mitos-mitos dari zaman society 2.0 dan 3.0, sudah tidak relevan dengan kebutuhan society 5.0 sekarang ini. Society 2.0 adalah masyarakat agraris yang mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan utama, society 3.0 adalah masyarakat industri yang fokus pada produksi massal dan pabrik, society 4.0 adalah masyarakat informasi dengan teknologi digital sebagai fondasi utamanya, sedangkan society 5.0 adalah masyarakat yang mengintegrasikan dunia fisik dan digital, menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara holistik.

     Karenanya, Korpala membuka kesempatan kepada siapa saja untuk berkolaborasi mengembangkan dan menganut way of life Korpala. Suatu hari, di seluruh Indonesia, kemanapun kita melangkah, maka kita akan bertemu dengan Korpala. Komunitas-komunitas tumbuh subur dengan melandaskan diri kepada way of life Korpala. Komunitas-komunitas tersebut juga melakukan pelatihan-pelatihan untuk anggotanya menggunakan materi pelatihan yang persis sama dengan yang dilakukan di Korpala. 

     Korpala bukan lagi ‘hanya’ tentang satu ‘unit kegiatan mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan’ di lingkup Universitas Hasanuddin. Korpala telah berubah menjadi patron tren setter membangun komunitas. Korpala adalah narasi besar, yang membebaskan organisasi ini dari batasan sangkar geografis dan status quo. Narasi yang sangat menguatkan kekokohan Korpala sebagai suatu realitas intersubyektif. Bila misalnya suatu hari nanti, Unhas tiba-tiba terhapus dari muka bumi, maka Korpala tidak akan ikut menghilang. Korpala tetap eksis, di dalam pikiran dan geliat kehidupan semua orang yang terlibat dalam komunitas yang berbasiskan way of life Korpala.

     Di setiap arah langkah kita sebagai anggota Korpala, dengan mudah kita dapat menjalin kolaborasi dengan semua komunitas berbasis Korpala untuk mensukseskan setiap kegiatan yang diselenggarakan Korpala. Korpala tetap eksis tanpa batas. Esprit d’Corps akan terus berkembang tanpa dapat dibendung oleh siapapun. 

Selamat Ulang Tahun ke-39 Korpala Unhas, esprit d'Corps be the unlimited spirit.

     Survive di Korpala bukan hanya tentang bagaimana bertahan hidup di dalam ‘kondisi tidak biasa’ tetapi juga tentang bertahan hidup dengan kualitas karakter yang dimiliki. Karenanya, untuk saya, survive with Korpala masih merupakan kalimat menggantung. Kita perlu menambahkan beberapa huruf dan kata sehingga menjadi; "Survive with Korpala’s way of life". 

     Sepanjang sejarah Korpala, kita telah belajar dan berlatih tentang berbagai macam basic life skill. Katakan misalnya kita mempelajari jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimakan, tentang bagaimana membuat api, bagaimana bernavigasi dengan peta kompas, bagaimana melakukan pertolongan pada kejadian hipotermia, dan lain-lain. 

     Namun di dalam perkembangan zaman yang begitu cepat, dimana saat ini kita sudah tiba di era revolusi industri 5.0, yang otomatis juga membentuk masyarakat society 5.0. Maka untuk dapat bertahan hidup dalam era ini, kita selayaknya mengantisipasi dengan mengembangkan pelatihan yang membantu kita tetap survive. Dengan berlandaskan way of life Korpala, maka sudah saatnya kita melatih diri untuk meningkatkan beberapa kualitas kecerdasan lainnya misalnya menambahkan menu life skill tentang cara menggunakan dan memanfaatkan teknologi terbaru terkini, yang akan melengkapi semua pelatihan basic life skill yang telah kita miliki selama ini.

     Dan untuk meneguhkan karakter dalam way of life Korpala selaras dengan yang saya gambarkan dalam tulisan 'Jalan Pedang Korpala' yang saya buat 11 tahun lalu untuk ulang tahun Korpala ke-28, maka upgrading soft skill berikut ini menjadi sesuatu yang mutlak bukan hanya untuk mempertahankan kehidupan secara individu tetapi juga akan mempertahankan kehidupan Korpala melintasi perubahan zaman yang semakin cepat sekarang dan di masa mendatang. Untuk saat ini saya melihat empat fokus penting untuk ditingkatkan. 

     Pertama, kita perlu meningkatkan kualitas IQ kita di Korpala hingga berada di rentang batas yang dianggap normal yaitu 90-100. Sekedar informasi rata-rata penduduk Indonesia memiliki IQ = 78,4 data tahun 2022. Meningkatkan IQ penting karena dengan IQ yang memadai, kita dapat berpikir lebih kritis dan analitis, yang sangat berguna dalam kegiatan Korpala yang sering kali membutuhkan keputusan cepat dan tepat. Misalnya, dalam situasi darurat di lapangan, kemampuan untuk menganalisis situasi dan membuat keputusan yang bijak sangatlah penting. Dengan IQ yang baik, anggota Korpala dapat lebih efektif dalam memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam kegiatan sehari-hari.

     Kedua, adalah melatih kecerdasan emosi sehingga manusia Korpala akan segera relevan dengan society 5.0. Secara genetik kita mewarisi sangat banyak memori genetik yang sangat berguna ketika nenek moyang sapiens masih berkeliaran sebagai pemburu pengumpul dalam rentang hidup selama 340 ribu tahun. Namun di saat sekarang sebagian besar sudah tidak relevan dan bahkan merugikan untuk kehidupan kita. Kecerdasan emosi berarti kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri serta memahami dan mempengaruhi emosi orang lain. Dalam konteks Korpala, kecerdasan emosi membantu kita bekerja sama dengan lebih baik, menjaga hubungan yang harmonis, dan menghadapi tekanan dengan lebih tenang. Misalnya, ketika menghadapi konflik dalam tim, kecerdasan emosi memungkinkan kita untuk merespons dengan bijaksana dan mencari solusi yang konstruktif.


     Ketiga, kita juga perlu meningkatkan kualitas kecerdasan berkelompok kita. Di antara hewan-hewan yang berkeliaran di panggung evolusi, sapiens adalah spesies yang sangat rentan rusak kualitas kecerdasan berkelompoknya. Ambil contoh saja kasus ‘antri’, dalam kerusuhan di stadion sepak bola Kanjuruhan. Kecerdasan berkelompok berarti kemampuan untuk bekerja sama secara efektif dalam tim dan berkontribusi pada tujuan bersama. Dalam Korpala, kecerdasan berkelompok sangat penting karena banyak kegiatan yang membutuhkan kerjasama tim. Misalnya, dalam suatu ekspedisi, kemampuan untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik sangatlah penting untuk keberhasilan dan keselamatan seluruh tim. Dengan mengembangkan kecerdasan berkelompok, kita bisa belajar dari contoh-contoh di alam, seperti semut dan lebah, yang menunjukkan kerjasama yang luar biasa dalam komunitas mereka. Semut dan lebah bekerja sama dengan sangat efisien, masing-masing individu melakukan tugasnya untuk kebaikan seluruh koloni. Manusia, khususnya anggota Korpala, perlu mengembangkan kecerdasan berkelompok untuk dapat bertahan hidup lebih lama dan mencapai tujuan bersama dengan lebih efektif.

     Keempat, kita membutuhkan kecerdasan ekologis untuk bersama-sama dengan semua kehidupan di bumi untuk dapat bertahan selama mungkin. Kecerdasan ekologis berarti kemampuan untuk memahami dan menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar kita. Dalam konteks Korpala, ini berarti memahami dampak tindakan kita terhadap lingkungan dan berusaha untuk meminimalkan dampak negatif tersebut. Misalnya, dalam kegiatan di alam, kita perlu memastikan bahwa kita tidak merusak lingkungan dan berkontribusi pada pelestarian alam. 

     Dalam buku Daniel Goleman, kecerdasan ekologis mencakup kemampuan untuk memahami hubungan kita dengan alam dan bertindak dengan cara yang berkelanjutan. Dengan mengembangkan kecerdasan ekologis, kita bisa berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan memastikan bahwa sumber daya alam tetap tersedia untuk generasi mendatang. Misalnya, kita bisa belajar tentang konsep entropi, yang mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan energi dalam ekosistem. Dengan memahami entropi, kita bisa mengambil tindakan yang membantu mengurangi dampak negatif kita terhadap lingkungan. Selain itu, penting untuk mereduksi antroposentrisme, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta. Dengan mengadopsi pandangan yang lebih holistik, kita bisa melihat diri kita sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar dan bertindak dengan cara yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

     Bertahan hidup bukan hanya tentang menghadapi kondisi luar biasa di kondisi alam yang tidak biasa kita hadapi. Bertahan hidup adalah tentang mempertahankan kehidupan yang diamanatkan di dalam situasi apapun. Bertahan hidup dengan way of life Korpala adalah ‘paduan karakter dan keterampilan’ yang merupakan bekal khas anggota Korpala. Dengan mengembangkan keempat fokus ini, kita bisa memastikan bahwa anggota Korpala tidak hanya bertahan hidup tetapi juga berkembang dalam setiap aspek kehidupan. Dengan meningkatkan IQ, kecerdasan emosi, kecerdasan berkelompok, dan kecerdasan ekologis, kita bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh, bijaksana, dan bertanggung jawab. Korpala memberikan kita landasan yang kuat untuk mengembangkan kualitas-kualitas ini, sehingga kita bisa menghadapi tantangan zaman dengan lebih siap dan berkontribusi pada kebaikan bersama. Bertahan hidup dengan way of life Korpala berarti menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh, menghargai alam, bekerja sama dengan baik, dan bertindak dengan bijaksana dalam setiap situasi. Dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa Korpala tetap relevan dan berkontribusi positif pada masyarakat dan lingkungan di era society 5.0.

     Dari berbagai wacana yang telah berkembang, saya ingin memaparkan apa saja yang menjadi inti dari way of life Korpala. Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah dijabarkan sebelumnya, kita dapat menerapkan berbagai kualitas sebagai pedoman untuk membangun karakter setiap anggota Korpala. Kualitas-kualitas ini dibentuk oleh konsistensi dalam melangsungkan setiap kegiatan berlandaskan way of life tersebut. Saya juga menambahkan elemen kearifan lokal kita yang diwariskan dalam budaya siri’.

     Cosmos Consciousness mengajarkan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Korpala menanamkan kesadaran akan makrokosmos dan mikrokosmos yang saling berkaitan. Anggota didorong untuk memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang lebih besar, dan bertindak sesuai dengan prinsip kesadaran universal. Mereka bertindak dengan kesadaran penuh tentang dampak tindakan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat. Ketika kita mengenal dan memahami makrokosmos, kita juga akan lebih mengenal Tuhan yang tercermin dalam diri manusia sang mikrokosmos. Dalam hal ini, setiap anggota Korpala belajar untuk melihat dirinya sebagai bagian dari alam semesta yang luas, mengakui hubungan timbal balik antara manusia dan alam, serta bertindak dengan bijak dan penuh tanggung jawab.

     Kualitas selanjutnya adalah disiplin, beradab, teguh, dan bijaksana. Ini mengadopsi prinsip-prinsip dari filosofi Musashi dan ajaran Shaolin, yang menekankan disiplin, ketekunan, dan kebijaksanaan. Seperti Musashi yang menjalani "jalan pedang," kita di Korpala dilatih untuk mengembangkan keterampilan teknis yang mumpuni dan karakter yang tangguh melalui latihan intensif dan disiplin tinggi. Dalam kegiatan sehari-hari, anggota Korpala juga didorong untuk mengembangkan sikap santun dan beradab, menghormati senior dan rekan-rekan, serta menjalani kehidupan dengan integritas. Relasi antara murid dan guru di Shaolin juga menjadi contoh bagaimana kita seharusnya berinteraksi dan belajar dari para pemimpin dan sesama anggota Korpala.

     Kesadaran spiritual mendalam adalah elemen penting lainnya dalam way of life Korpala. Tradisi Sufi memberikan kerangka untuk pengembangan spiritual dan introspeksi mendalam. Anggota Korpala diajarkan untuk mencari makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi, mengembangkan kesadaran spiritual yang mendalam, serta hidup dengan integritas dan kejujuran. Hal ini juga sejalan dengan isi dari Kode Etik Pencinta Alam Indonesia. Dalam proses pembelajaran, anggota Korpala didorong untuk mengeksplorasi dan mengembangkan hubungan pribadi dengan alam dan pencipta, yang membantu mereka menemukan kedamaian dan tujuan dalam setiap kegiatan yang dilakukan.

     Ketenangan dan rasionalitas adalah kualitas yang diambil dari filosofi Zen dan Stoik. Zen dan Stoik menekankan pentingnya ketenangan batin, ketabahan, dan keteguhan hati. Anggota Korpala dapat mencapai keseimbangan batin melalui meditasi dan refleksi, sementara ajaran Stoik mengajarkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan rasionalitas. Narasi yang sudah terpatri sebagai ciri Korpala dalam setiap aspeknya adalah berkegiatan tanpa alkohol, yang sangat sejalan dengan kebutuhan untuk tetap rasional di dalam situasi apapun. Dalam menghadapi tantangan alam atau situasi yang tidak terduga, ketenangan batin dan pemikiran rasional membantu anggota Korpala untuk tetap fokus dan mengambil keputusan yang tepat.

     Menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai lokal Bugis Makassar adalah bagian penting dari way of life Korpala. Nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, tanggung jawab, dan solidaritas dijadikan pedoman dalam setiap aktivitas. Ini menjadikan budaya organisasi terkait erat dengan kearifan lokal secara mendalam, menghubungkan anggota dengan akar budaya mereka. Dalam setiap kegiatan, baik itu ekspedisi, pelatihan, atau diskusi, anggota Korpala selalu diingatkan untuk mengedepankan nilai-nilai tersebut, yang memperkuat rasa kebersamaan dan identitas kolektif sebagai bagian dari masyarakat Bugis Makassar.

     Dengan menarasikan secara detail way of life Korpala seperti di atas, kita dapat dengan mudah menyusun ulang kurikulum pelatihan dan pendidikan. Kita dapat mengintegrasikan kualitas karakter tertentu yang hendak dicapai di setiap modul pelatihan dan pendidikan. Way of life Korpala adalah untuk membangun karakter manusia di Korpala. Tidak peduli apapun bidang keterampilan dan keahlian yang dimiliki, karakter yang dimilikinya telah jelas dan nyata.

     Seperti yang pernah saya tulis di Buletin Lembanna online tahun 2013, Korpala adalah dapur yang mewadahi para koki yang juga adalah bahan baku yang berproses di dalamnya. Dalam dapur ini, setiap anggota diproses untuk menjadi pribadi yang utuh, yang memiliki kesadaran kosmos, disiplin, beradab, teguh, bijaksana, berkesadaran spiritual mendalam, tenang, rasional, dan menghormati kearifan lokal. Proses ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, namun hasilnya adalah individu yang tidak hanya terampil dalam bertahan hidup di alam bebas, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan luhur.

     Suatu hari di tahun 1989, di ruang D4, di sela-sela persiapan ekspedisi putri Ary untuk pemanjatan tebing Bambapuang, saya dan Nevy terlibat dalam percakapan yang serius tentang Korpala dan bagaimana Korpala bisa menjadi sebuah way of life. Diskusi filosofis yang intens di antara kami sering terjadi di mabes, di tengah riuhnya berbagai wacana yang beredar. Salah satu topik yang sering dibahas adalah konsep cosmos consciousness yang dijabarkan oleh Kak Ono. Konsep ini menggambarkan bagaimana kita sebagai manusia adalah bagian dari alam semesta yang lebih besar, dan bagaimana kesadaran ini mempengaruhi pola relasi kita terhadap alam dan Tuhan. Dalam pandangan ini, mikrokosmos dan makrokosmos saling berkaitan, mencerminkan harmoni antara diri manusia dan alam semesta.

     Cosmos consciousness bukanlah konsep yang hanya ada dalam khasanah filsuf Muslim tetapi juga berkembang di kalangan filsuf secara umum. Filsuf seperti Al-Ghazali dan Ibnu Arabi telah membahas hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam karya-karya mereka. Al-Ghazali, dalam bukunya "Ihya Ulumuddin", menjelaskan bagaimana manusia harus menyadari posisinya dalam alam semesta dan bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Sementara itu, Ibnu Arabi menekankan pentingnya hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan, dan bagaimana alam semesta adalah manifestasi dari Tuhan. 

     Pythagoras dan Heraklitus adalah dua filsuf Yunani Kuno yang sering berbicara tentang hubungan antara mikro dan makrokosmos. Mereka menganggap manusia sebagai cerminan dari alam semesta yang lebih besar. Plato, dalam beberapa dialognya, juga membahas ide bahwa manusia dan alam semesta memiliki struktur yang serupa dan saling mencerminkan satu sama lain. Tradisi Hermetisisme, yang berasal dari tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan Hermes Trismegistus, mengajarkan bahwa "apa yang di atas adalah sama dengan yang di bawah" atau "As above, so below." Ini menggambarkan gagasan bahwa manusia adalah cerminan dari alam semesta. Tulisan-tulisan ini menekankan bahwa setiap elemen di alam semesta memiliki padanan dalam diri manusia, dan memahami satu dapat membantu memahami yang lain. Konsep ini sangat relevan untuk Korpala dimana kita belajar dan menyuadari diri sebagai bagian semesta yang luas, saling terhubung timbal balik, memahami alam semesta dan menghargai kehidupan di dalamnya.

     Dalam hal pendidikan, secara becanda juga sering membahas konsep-konsep yang diadopsi dari cerita-cerita Kho Ping Ho yang banyak dibaca oleh Hukman dan teman-teman lainnya. Cerita-cerita ini sering mengangkat filosofi pendidikan di kuil-kuil Shaolin. Di Shaolin, pendidikan tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis tetapi juga pada pengembangan karakter dan disiplin. Para biksu Shaolin terkenal dengan latihan fisik yang keras dan disiplin yang tinggi, tetapi mereka juga menekankan pentingnya tata krama dan etika. Kualitas-kualitas ini sangat penting dalam membentuk karakter anggota Korpala, yang diharapkan memiliki disiplin tinggi dengan etika dan integritas yang kuat.

      Selain dari konsep pendidikan di Shaolin, yang juga sering didiskusikan adalah tentang pendidikan dalam tradisi Sufisme. Tulisan-tulisan Al-Ghazali dan filsuf Muslim lainnya sangat mempengaruhi diskusi kami. Dalam tradisi Sufi, pendidikan tidak hanya berfokus pada pengetahuan tetapi juga pada pengembangan spiritual dan moral. Relasi antara guru dan murid sangat penting, dengan guru dianggap sebagai pembimbing spiritual yang membantu murid mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Kualitas-kualitas seperti kejujuran, kerendahan hati, dan ketekunan, adalah watak yang sangat ditekankan. Hal ini bisa menjadi pilar nilai-nilai yang dapat kita tanamkan dalam Korpala, di mana anggota diharapkan memiliki integritas dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan spiritual.

     Yang tidak kalah menarik adalah buku Musashi yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Nilai-nilai, perjuangan, dan proses pelatihan yang dilalui oleh Musashi menjadi contoh yang sangat menginspirasi. Musashi dikenal dengan disiplin dan ketekunannya dalam berlatih, serta filosofinya yang menekankan keseimbangan antara kekuatan fisik dan mental. Karakter Musashi yang tegas dan bijaksana dengan filosofi Zen dapat menjadi model bagi anggota Korpala dalam mengembangkan keterampilan dan karakter mereka. Duo Malawat, Ma’ruf dan Demiati, sering membicarakan fragmen-fragmen pertarungan dan dasar filosofi Musashi dalam proses perkembangan dirinya. Teknik meditasi Zen yang mengarahkan pencapaian ketenangan batin dan kesederhanaan, dapat membantu anggota Korpala menghadapi tantangan dengan tenang dan bijaksana.

     Pada tahun 2011, Iwan Amran dan Bang Haji Indra sempat mampir di mabes. Saya sangat ingin mendiskusikan hal ini lebih lanjut dengan mereka. Namun, banyak hal terjadi dan kami tidak bertemu lagi hingga kini. Iwan hanya menitipkan harap sekiranya saya dapat hadir di garis edar aktif Korpala untuk beraneka gelut pikiran yang telah mengeram sekian lama di Korpala. Lahirlah ide membuat antology di hari-hari berkabung kepergian Iwan. Dan di tahun 2023, saya mengajak secara terbuka kepada teman-teman dan saudara-saudara se-Korpala untuk bersama-sama membuat antologi yang dapat merangkum semua pemikiran dan makna kehidupan selama kita di Korpala. Salah satu draft tulisan saya untuk antologi itu, saya sajikan di halaman ini sekarang. Di dalamnya saya tambahkan pemikiran-pemikiran Stoik yang saya pandang sangat relevan sebagai salah satu sendi penopang way of life Korpala.

     Stoikisme menekankan pentingnya ketenangan pikiran dan pengendalian diri dalam menghadapi tantangan hidup. Filosofi ini sangat praktis dan berfokus pada bagaimana kita dapat menghadapi situasi sulit dengan ketenangan dan rasionalitas. Ajaran Stoik mengajarkan kita untuk menerima apa yang tidak bisa kita ubah dan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Ini sangat relevan dengan kegiatan Korpala yang sering menghadapi tantangan alam dan kondisi ekstrem. Anggota Korpala didorong untuk tetap tenang dan rasional dalam menghadapi situasi sulit, mengembangkan ketangguhan mental dan emosional yang diperlukan untuk bertahan hidup dan berhasil dalam setiap kegiatan.

     Sekarang, tulisan ini akan tetap saya biarkan terbuka untuk tambahan di sana sini sehingga memperkaya wacana Korpala kita. Tentu saja, dengan segala kerendahan hati, tambahan dan masukan sangat dinantikan dari setiap insan Korpala dan juga dari para pendiri d’Corps yang masih ada. Tidak ketinggalan, spesial untuk Bang Haji Indra, masih ditunggu hadir di mabes atau mungkin saat dikdas di Lembanna, melanjutkan diskusi kita yang belum selesai.

     Korpala sebagai way of life bukan hanya tentang bagaimana kita bertahan hidup di alam bebas tetapi juga tentang bagaimana kita mengembangkan karakter dan nilai-nilai yang kuat. Dengan mengadopsi filosofi-filosofi ini, kita dapat membentuk anggota Korpala yang memiliki kesadaran kosmos, disiplin, dan ketenangan batin. Hal ini akan membantu kita dalam menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana dan penuh integritas, menjadikan Korpala bukan hanya sebuah organisasi pencinta alam tetapi juga sebuah komunitas yang menginspirasi dan mendukung anggotanya untuk mencapai potensi terbaik mereka. Dengan demikian, kita dapat terus melanjutkan warisan Korpala dan memastikan bahwa nilai-nilai dan filosofi ini akan terus hidup dan berkembang dalam setiap generasi anggota Korpala.

     Di persimpangan jalan pengetahuan, manusia terpaku pada pertanyaan kuno: Siapakah Tuhan? Jawabannya bagaikan lautan luas, menyimpan misteri dan keragaman. Bagi sebagian orang, Tuhan menjelma sebagai sosok personal, penuh kasih dan kebijaksanaan, bagaikan dewa dalam mitologi. Pandangan ini, lazim disebut "antropomorfis" (pemberian atribusi karakteristik, perasaan, atau tujuan yang dimiliki manusia kepada entitas bukan manusia). Mengantropomorfiskan Tuhan dengan sifat-sifat manusia, membuatnya mudah dipahami namun rawan kerancuan.

     Teologi dan Ilmu Kalam, bagaikan pelukis ulung, melukiskan wajah Tuhan dengan warna-warna cerah. Konsep ini, dianut banyak orang, mewariskan gambaran Tuhan sebagai pencipta dan pelindung, sumber segala kebaikan dan kebijaksanaan. Namun, bagi sebagian orang, pemahaman ini terasa terbatas, tak mampu menjangkau kedalaman realitas.

     Para filsuf bagaikan penjelajah samudra pemikiran, menyelami lautan makna dan eksistensi. Dengan keberanian dan ketajaman intelektual, mereka menelusuri kedalaman yang sering kali tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Bagi para filsuf ini, Tuhan bukan sekedar sosok personal yang bisa dirasakan dan dibayangkan, tetapi sebuah realitas metafisik yang tak terhingga dan tak terbayangkan oleh akal manusia biasa. Mereka menolak pandangan Tuhan yang dibatasi oleh sifat-sifat manusiawi, memilih untuk melihat Tuhan sebagai entitas yang melampaui semua batasan fisik dan konseptual.

      Konsep "Tuhan tanpa wujud" diusung oleh para filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Dalam pemikiran mereka, Tuhan adalah sebab pertama yang menggerakkan segala sesuatu, namun tetap berada di luar jangkauan pemahaman manusia yang terbatas. Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, keberadaannya transenden dan melampaui batas-batas alam semesta yang bisa kita pahami. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak dapat digambarkan, sebab segala upaya untuk memberikan bentuk atau sifat pada-Nya hanya akan membatasi kebesaran-Nya yang sebenarnya tak terhingga.

     Pandangan ini, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membebaskan Tuhan dari keterbatasan antropomorfisasi, dari kecenderungan manusia untuk memberikan sifat-sifat manusiawi kepada-Nya. Dengan cara ini, Tuhan menjadi lebih agung dan tak terhingga, tidak terikat oleh kelemahan dan keterbatasan manusia. Ini memungkinkan pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang keberadaan-Nya yang absolut dan tidak terbandingkan.

     Namun, di sisi lain, pandangan ini juga memicu keraguan dan pertanyaan yang mendalam. Bagaimana mungkin Tuhan yang tak terhingga, yang melampaui segala sesuatu, bisa peduli dengan ciptaan-Nya yang kecil dan rapuh? Bagaimana Tuhan yang begitu jauh dari pemahaman manusia, yang berada di luar segala sesuatu yang kita ketahui, bisa memiliki hubungan yang intim dan penuh kasih dengan makhluk-makhluk yang fana dan terbatas?

     Para filsuf berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui eksplorasi mendalam tentang sifat keberadaan dan hubungan antara yang absolut dan yang relatif. Mereka berpendapat bahwa Tuhan, meskipun berada di luar jangkauan pemahaman manusia, tetaplah penyebab dari segala sesuatu dan sumber dari semua eksistensi. Melalui intelek aktif dan pemahaman metafisik yang mendalam, mereka berusaha menunjukkan bagaimana Tuhan yang tak terhingga tetap dapat berinteraksi dengan dunia yang terbatas.

     Namun, bagi banyak orang, jawaban-jawaban ini tidak selalu memuaskan. Keterpisahan Tuhan dari dunia yang fana sering kali terasa sebagai jarak yang tak terjembatani. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu tak terhingga bisa benar-benar memahami dan merasakan penderitaan serta kebahagiaan makhluk-makhluk yang begitu kecil? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengundang diskusi dan debat yang tiada habisnya, mencerminkan ketegangan antara pandangan metafisik yang mendalam dan kebutuhan manusia untuk merasa dekat dengan penciptanya.

     Dalam konteks ini, para filsuf berfungsi sebagai penjaga dan pengawas makna-makna yang lebih dalam, mengajak kita untuk selalu mempertanyakan dan merenungkan realitas tertinggi. Mereka menantang kita untuk melampaui pemahaman sederhana dan berusaha mencapai wawasan yang lebih luas dan mendalam tentang keberadaan Tuhan dan hubungan-Nya dengan dunia. Dengan cara ini, mereka terus mendorong batas-batas pengetahuan dan pemahaman kita, membuka pintu bagi pencarian yang tiada henti akan kebenaran dan makna.

     Meskipun para filsuf ini telah menawarkan wawasan yang mendalam, tidak semua orang merasa puas atau terpenuhi dengan konsep "Tuhan tanpa wujud". Banyak yang merindukan hubungan yang lebih personal dan emosional dengan penciptanya. Di sinilah peran para sufi menjadi sangat penting. Para sufi, bagaikan penyair mistis, merajut kata-kata menjadi simfoni cinta dan keesaan, menawarkan pandangan yang berbeda namun tidak kalah mendalam tentang Tuhan.

     Bagi para sufi, Tuhan bukan hanya pencipta yang transenden, tetapi juga hadir dalam setiap aspek kehidupan dan alam semesta. Konsep "kesatuan wujud" (wahdat al-wujud) yang digemakan oleh para sufi agung seperti Ibn Arabi, Rumi, dan Suhrawardi, menegaskan bahwa Tuhan tidak terpisahkan dari ciptaan-Nya. Bagi mereka, setiap atom dan partikel dalam alam semesta adalah manifestasi dari kehadiran ilahi. Pandangan ini membawa nuansa baru dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia, menghadirkan rasa cinta dan kedekatan yang tak terhingga.

     Pandangan sufi ini membawa angin segar bagi banyak orang yang merindukan hubungan yang lebih intim dengan Tuhan. Mereka menekankan pentingnya pengalaman spiritual langsung dan cinta ilahi yang mendalam. Melalui praktik-praktik seperti dzikir, meditasi, dan tari sufi, para pencari spiritual berusaha menyatu dengan kehadiran ilahi yang melingkupi seluruh alam semesta. Bagi mereka, Tuhan adalah cinta yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupan, memberikan makna dan tujuan yang lebih dalam.

     Namun, pandangan-pandangan ini sering kali dianggap sebagai bid'ah oleh kaum teolog yang lebih konservatif. Bagi kaum teolog dengan pemahaman antropomorfisnya, konsep-konsep seperti "kesatuan wujud" dan pengalaman mistis sering kali dianggap menyimpang dari ajaran yang telah mapan. Perdebatan sengit pun berkecamuk selama berabad-abad, mewarnai sejarah pemikiran manusia. Bagi kaum teolog, Tuhan adalah sosok raksasa yang berada di luar dan sekaligus di dalam dunia manusia, tetapi dengan cara yang lebih tradisional dan dapat diprediksi.

     Mereka melihat konsep-konsep yang lebih abstrak dan rasional tentang Tuhan sebagai ancaman terhadap ajaran tradisional dan keyakinan yang telah dianut oleh umat beragama selama ini. Dalam pandangan mereka, ide-ide ini merongrong otoritas dan legitimasi ajaran agama yang telah mapan. Oleh karena itu, mereka seringkali menolak dan melawan keras gagasan-gagasan baru ini, mempertahankan pandangan tradisional mereka tentang Tuhan dan agama.

     Ironisnya, justru para ilmuwan awal modern yang menyambut gembira pemikiran para filsuf dan sufi. Galileo, Newton, dan Einstein, para raksasa sains, menemukan landasan filosofis yang kokoh dalam konsep "Tuhan tanpa wujud" dan "kesatuan wujud". Deisme, yang dianut oleh banyak ilmuwan ini, membebaskan sains dari cengkeraman dogma dan membuka jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Mereka melihat alam semesta sebagai karya ilahi yang dapat dipelajari dan dipahami melalui hukum-hukum alam, tanpa harus selalu merujuk pada campur tangan supranatural.

      Galileo Galilei, misalnya, menghadapi perlawanan keras dari Gereja Katolik ketika mendukung teori heliosentris Copernicus yang menyatakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari. Pandangan ini bertentangan dengan ajaran gereja yang berpegang pada model geosentris, di mana Bumi adalah pusat alam semesta. Melalui keyakinannya pada pengetahuan empiris dan logika, Galileo menegaskan bahwa hukum-hukum alam bekerja secara independen dari interpretasi teologis, membuka jalan bagi kebebasan ilmiah.

     Isaac Newton, dengan karya monumental "Principia Mathematica", menggambarkan alam semesta sebagai mesin yang diatur oleh hukum-hukum fisika yang dapat dipahami melalui observasi dan matematika. Pandangan Newton tentang deisme, di mana Tuhan adalah pencipta yang tidak campur tangan dalam urusan sehari-hari, memberikan landasan bagi sains modern untuk berkembang tanpa hambatan dogma religius.

     Albert Einstein, dengan teori relativitasnya, menantang konsep-konsep ruang dan waktu yang sebelumnya dianggap absolut. Einstein menyatakan bahwa Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta, menunjukkan keyakinannya pada keteraturan dan hukum alam yang dapat diungkapkan melalui sains. Meskipun Einstein terkenal dengan pernyataannya bahwa dia percaya pada "Tuhannya Spinoza", yang melihat Tuhan dalam harmoni dan keteraturan alam, pandangan ini juga memisahkan Tuhan dari peran aktif dalam mengatur detail-detail kehidupan manusia.

     Kemudian muncul Charles Darwin dengan teori evolusinya yang revolusioner. Darwinisme membawa konsekuensi yang tidak terduga, menantang keyakinan tradisional tentang penciptaan dan tempat manusia dalam alam semesta. Dengan mengusulkan bahwa semua spesies berkembang melalui seleksi alam dari leluhur bersama, teori evolusi menekankan kesatuan wujud di alam semesta. Hal ini memicu pertanyaan mendalam: Jika semua organisme saling terhubung dan merupakan hasil dari proses alamiah yang panjang, di mana letak Tuhan dalam proses ini? Apakah Tuhan benar-benar ada di luar alam semesta, atau hanya sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang belum dipahami?

     Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan ateisme modern, yang menantang paradigma lama dan membuka babak baru dalam pencarian makna dan eksistensi manusia. Ateisme modern tidak hanya menolak gagasan tentang Tuhan yang antropomorfis, tetapi juga menantang ide-ide tentang moralitas, tujuan, dan makna yang didasarkan pada agama. Ini mendorong manusia untuk mencari penjelasan yang lebih rasional dan berbasis bukti untuk memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya.

     Kisah tiga wajah Tuhan ini bagaikan mozaik yang indah, mencerminkan keragaman pemikiran dan pencarian manusia akan makna. Setiap wajah memiliki pesonanya sendiri, menantang kita untuk terus menelusuri lorong-lorong pengetahuan dan memperkaya pemahaman kita tentang realitas.

     Perjalanan ini takkan pernah usai. Misteri Tuhan akan selalu mengundang rasa ingin tahu dan kekaguman. Bagi para pencari kebenaran, setiap jawaban hanya membuka pintu bagi pertanyaan baru. Di sanalah letak keindahannya, dalam petualangan intelektual yang tak henti-hentinya, menapaki jejak Sang Pencipta yang abadi. Setiap penemuan dan pemahaman baru membawa kita lebih dekat kepada pemahaman yang lebih luas dan dalam, mengingatkan kita bahwa dalam pencarian makna dan eksistensi, perjalanan itu sendiri adalah tujuan yang paling mulia.

 
note:
inspirasi tulisan dari postingan
Prof. Luthfi Assyaukani di wall Fb-nya.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.