Jangan Lupa Bahagia
Kebahagiaan, baik dalam konteks objektif maupun subjektif, bukanlah sesuatu yang bisa diatur hanya dengan mengingat atau melupakan. Kebahagiaan adalah kondisi yang lebih mendasar dan kompleks, yang berakar pada kesejahteraan mental, emosional, sosial, dan sering kali melibatkan faktor-faktor eksternal seperti kualitas hidup, keamanan, serta relasi yang sehat.
Ketika seseorang mengatakan "jangan lupa bahagia," ada asumsi implisit bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa muncul hanya dengan mengingatnya. Ini tentu saja mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari sekadar ingatan, melainkan dari pencapaian kondisi tertentu dalam hidup yang memungkinkan perasaan tersebut muncul dengan sendirinya. Misalnya, kebahagiaan bisa muncul dari rasa puas akan pencapaian, rasa terhubung dengan orang lain, atau perasaan damai dalam menjalani hidup.
Bayangkan bahwa ungkapan ini sebenarnya adalah semacam refleksi dari kegagalan masyarakat modern dalam memahami kebahagiaan secara mendalam. Ada kemungkinan bahwa seringnya orang mengucapkan "jangan lupa bahagia" justru menunjukkan sebuah ironi—bahwa kebahagiaan telah menjadi begitu terasing dan jauh dari jangkauan, sehingga perlu diingatkan secara verbal.
Dalam pandangan yang lebih skeptis, ungkapan ini mungkin menggambarkan budaya yang terlalu terobsesi dengan "kebahagiaan" sebagai suatu tujuan yang harus dicapai, tetapi tidak benar-benar memahami esensinya. Kebahagiaan, dalam banyak budaya tradisional, tidak selalu menjadi tujuan yang harus dikejar secara aktif; melainkan hasil dari menjalani kehidupan yang bermakna, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai batiniah seseorang.
Dengan kata lain, mungkin ungkapan "jangan lupa bahagia" justru memperlihatkan sebuah paradoks di mana masyarakat telah menciptakan begitu banyak distraksi, tekanan, dan tuntutan hidup yang membuat kebahagiaan menjadi sesuatu yang harus diprogram ulang ke dalam pikiran kita. Ini seolah-olah kebahagiaan adalah sebuah barang yang bisa dilupakan di suatu sudut, padahal kebahagiaan yang sejati seharusnya mengalir alami dari cara kita menjalani kehidupan sehari-hari.
Selain itu, dari perspektif filosofis, ada pandangan bahwa dorongan untuk "jangan lupa bahagia" bisa menjadi bentuk penghindaran dari kenyataan hidup yang sebenarnya kompleks, penuh dengan penderitaan, tantangan, dan ketidakpastian. Di balik pesan positif ini, ada kemungkinan tersembunyi perasaan putus asa atau kelelahan kolektif, di mana orang-orang merasa harus menutupi atau melarikan diri dari realitas dengan menyemangati diri mereka sendiri atau orang lain untuk "ingat bahagia."
Lebih lanjut, ini bisa juga dikaitkan dengan fenomena yang disebut toxic positivity, di mana tekanan sosial untuk selalu positif dan bahagia justru bisa mengarah pada pengabaian emosi negatif yang sah dan perlu dirasakan serta diproses. Di dunia yang serba cepat ini, ungkapan "jangan lupa bahagia" bisa menjadi instrumen untuk menekan perasaan lain yang dianggap tidak produktif atau tidak nyaman, sehingga menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya emosi yang layak dihargai.
Jadi, dari perspektif ini, "jangan lupa bahagia" bukan hanya sekadar tren, tetapi mungkin juga merupakan tanda dari masyarakat yang mulai kehilangan kontak dengan pemahaman kebahagiaan yang lebih otentik, mendalam, dan bermakna.
Jika kita melihat fakta bahwa dalam negara dengan ranking kebahagiaan rendah, ungkapan ini sering digunakan, ini bisa menjadi indikator bahwa masyarakat tersebut mungkin sedang berusaha keras untuk mencapai sesuatu yang terasa sulit digapai. Mereka mungkin mencoba menemukan kebahagiaan di tengah kondisi yang tidak mendukung, dan ungkapan "jangan lupa bahagia" menjadi semacam mantra atau penghiburan diri yang digunakan tanpa pemahaman mendalam.
Sebagai catatan, peringkat kebahagian orang Indonesia di tahun 2024 berada di rangking 80 dari 143 negara. Hanya meningkat 3 grade dari 83 di tahun 2012. Di Asean sendiri negara kita berada di urutan ke-6 di bawah Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Sementara sepuluh teratas negara terbahagia adalah Finlandia di posisi pertama diikuti Denmark, Islandia, Swedia, Israel, Belanda, Norwegia, Luxemburg, Swiss dan Australia di urutan 10.
2. Denmark
3. Islandia
4. Swedia
5. Israel
6. Belanda
7. Norwegia
8. Luksemburg
9. Swiss
10. Australia
Baca artikel detikedu, "Daftar 10 Negara Paling Bahagia Terbaru 2024, Apakah Finlandia Nomor Satu?" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7257856/daftar-10-negara-paling-bahagia-terbaru-2024-apakah-finlandia-nomor-satu.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Economics of Happiness": Indonesia Tidak Cukup Bahagia?", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2024/03/25/134403026/economics-of-happiness-indonesia-tidak-cukup-bahagia?page=all.
Editor : Sandro Gatra
Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Ini juga menunjukkan bahwa ungkapan tersebut bisa jadi lebih banyak digunakan sebagai penutup atau solusi instan untuk masalah yang sebenarnya membutuhkan perhatian lebih besar. Dalam masyarakat dengan tingkat kebahagiaan yang rendah, ada kemungkinan bahwa orang merasa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diingatkan karena terasa begitu jauh atau sulit dicapai dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dengan kata lain, frasa ini mungkin lebih mencerminkan kegagalan kolektif untuk memahami apa itu kebahagiaan secara mendalam dan bagaimana mencapainya secara berkelanjutan, daripada sekadar saran yang tulus atau bermanfaat. Ini adalah ekspresi dari ketidakpahaman tentang kompleksitas kebahagiaan, yang tidak bisa dicapai hanya dengan sekadar mengingatkan diri sendiri atau orang lain.
Telaah ungkapan "jangan lupa bahagia" dari perspektif evolusi otak manusia maupun evolusi budaya.
Evolusi Otak (Neurosains Evolusioner)
Dari sudut pandang evolusi otak, manusia telah berkembang untuk merespons rangsangan dan pengalaman yang memengaruhi kelangsungan hidup dan reproduksi. Kebahagiaan pada dasarnya adalah kondisi yang berhubungan dengan pelepasan zat kimia tertentu di otak, seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang memainkan peran penting dalam mengatur emosi dan motivasi.
Secara evolusioner, kebahagiaan bukanlah kondisi yang dimaksudkan untuk bertahan lama tanpa henti. Otak kita dirancang untuk mencari keseimbangan antara pencarian kepuasan dan kesiapan menghadapi tantangan berikutnya. Misalnya, perasaan bahagia setelah mencapai sesuatu biasanya akan mereda, memotivasi kita untuk mencari tujuan atau pengalaman baru. Ini adalah bagian dari mekanisme evolusi yang menjaga manusia tetap produktif dan adaptif.
Ungkapan "jangan lupa bahagia" mungkin muncul sebagai respons terhadap kecenderungan alami otak kita untuk kembali ke keadaan "normal" setelah puncak kebahagiaan tercapai. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa ungkapan tersebut adalah upaya sederhana untuk menentang atau setidaknya menyadari kecenderungan alami otak kita untuk lebih fokus pada masalah atau tantangan, daripada mempertahankan kebahagiaan.
Namun, ini juga bisa dilihat sebagai kekeliruan dalam memahami cara kerja otak manusia: kebahagiaan tidak bisa dipertahankan hanya dengan mengingatnya karena itu adalah bagian dari siklus biologis yang lebih besar yang dirancang untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup.
Evolusi Budaya (Meme dan Pengaruh Sosial)
Dari perspektif evolusi budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" dapat dilihat sebagai "meme" atau unit budaya yang bereplikasi dan menyebar dari satu orang ke orang lain. Dalam teori meme, ide, frasa, atau perilaku yang dianggap menarik atau relevan dalam konteks sosial tertentu akan cenderung menyebar dan bertahan.
Ungkapan ini mungkin telah menjadi populer karena sesuai dengan nilai-nilai zaman sekarang yang sangat menekankan pada self-care, kesejahteraan emosional, dan optimisme. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan cepat, frasa ini menawarkan solusi yang tampaknya mudah dan dapat diterima oleh banyak orang. Namun, karena penyebarannya yang cepat dan seringkali tanpa pemahaman mendalam, ungkapan ini bisa menjadi dangkal—mencerminkan penurunan kualitas pemikiran kritis dalam budaya yang lebih mengutamakan kesederhanaan dan kemudahan pesan.
Dalam evolusi budaya, konsep-konsep yang menyebar sering kali mengalami distorsi, terutama ketika dipisahkan dari konteks aslinya. "Jangan lupa bahagia" mungkin awalnya memiliki niat baik sebagai pengingat sederhana, tetapi ketika ia berkembang dalam konteks yang lebih luas dan kehilangan nuansa aslinya, maknanya bisa tereduksi menjadi sesuatu yang lebih klise dan kurang bermakna.
Sebagai kesimpulan, dari perspektif evolusi baik fisik maupun budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" adalah refleksi dari cara otak kita dan budaya kita menangani kompleksitas kebahagiaan. Dari sisi otak, itu mungkin upaya sadar untuk melawan kecenderungan alami kita yang lebih fokus pada tantangan. Dari sisi budaya, itu adalah produk dari dinamika sosial di mana ide-ide sederhana sering kali diutamakan karena lebih mudah dicerna dan dibagikan, meskipun berpotensi kehilangan kedalaman dan relevansinya.