Eksistensi Terjebak Dalam Jempol Virtual

     Renungan René Descartes, sang filsuf yang meletakkan landasan eksistensi modern melalui deklarasi abadi, "Cogito ergo sum", telah lama menjadi bintang penunjuk arah bagi manusia. Jika aku berpikir, aku ada. Begitu sederhana, begitu kuat. Namun, entah bagaimana, di era media sosial ini, adagium tersebut tampak kuno, bahkan ketinggalan zaman. Sebuah deklarasi baru telah menggantikan filsafat yang tenang dan mendalam itu, lebih ribut, lebih riuh, lebih penuh lampu kilat kamera: "I post, therefore I exist."

     Kini, berpikir saja tak cukup. Keberadaan seseorang harus dibuktikan melalui unggahan foto, video, atau ocehan digital yang berselimutkan ilusi kreativitas. Hidup telah menjadi panggung sandiwara yang tak pernah redup lampunya, di mana setiap individu menjadi aktor dan sutradara, menayangkan eksistensinya untuk ribuan, bahkan jutaan pasang mata virtual. Yang muda, yang tua, bahkan yang telah memasuki masa pensiun dengan seharusnya menikmati keheningan, semua berlomba-lomba dalam parade narsisisme yang disponsori algoritma.

     Ironi besar dari fenomena ini adalah bahwa generasi yang lebih tua, yang dulu memandang media sosial sebagai mainan anak muda yang dangkal, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari keributan digital tersebut. Mereka yang pernah bersandar pada prinsip-prinsip kehormatan, kedalaman, dan kebijaksanaan, kini dengan antusias memamerkan hasil panen sayuran di kebun belakang, perjalanan wisata ke tempat yang "instagenik," atau sekadar foto hidangan makan siang yang diambil dari sudut terbaik. Semua dilakukan dengan satu tujuan: mendapat tanda jempol dan komentar sederhana seperti "Mantap!" atau "Keren, Bu!"

     Tentu, kita bisa memaafkan perilaku ini jika motivasinya adalah rasa kesepian. Generasi yang lebih tua, sering kali terisolasi dalam dunia yang semakin individualistis, menemukan hiburan dan koneksi dalam hiruk-pikuk dunia maya. Namun, mari kita jujur: ini bukan hanya soal keterhubungan. Ini tentang validasi, tentang membuktikan bahwa mereka masih ada, bahwa mereka masih berarti. Dan di sinilah iming-iming dari beberapa platform media sosial memainkan peran utamanya.

     Ketika media sosial mulai menawarkan insentif berupa uang receh untuk setiap like dan komentar, permainan ini menjadi semakin rumit. Validasi bukan lagi hanya kebutuhan emosional, tetapi juga peluang finansial. Mendadak, setiap unggahan memiliki potensi menjadi aset. Dan di tengah godaan ini, muncul banjir konten yang, jika boleh dikatakan secara sopan, tidak selalu memiliki nilai estetis atau intelektual.

     Konten dungu menjadi raja. Video tantangan menari yang tak masuk akal, pendapat kontroversial yang sengaja dibuat untuk memancing emosi, hingga hal-hal sepele seperti bagaimana cara makan pisang dengan "unik," semuanya menemukan tempatnya di dunia ini. Dan publik, yang juga lapar akan hiburan instan, dengan senang hati mengonsumsi sampah digital ini. Sebuah siklus tercipta: semakin receh konten, semakin besar peluangnya untuk menjadi viral, dan semakin besar dorongan untuk menciptakan lebih banyak konten receh.

     Namun, apakah ini benar-benar masalah generasi? Apakah obsesi terhadap validasi digital ini hanya milik kaum muda dengan YOLO (You Only Lives Once)-nya atau generasi tua yang terlambat belajar menggunakan Instagram? Tidak. Ini adalah masalah manusia modern secara keseluruhan. Kita semua, tanpa terkecuali, adalah produk dari sistem yang mendefinisikan keberadaan berdasarkan perhatian yang kita terima. Descartes mungkin berkata, "Aku berpikir, maka aku ada," tetapi generasi sekarang tampaknya berkata, "Aku terlihat, maka aku ada."

     Dan di sinilah tragedi modernitas benar-benar terungkap. Eksistensi, yang seharusnya menjadi sesuatu yang intrinsik, kini direduksi menjadi sesuatu yang hanya berarti jika diakui oleh orang lain. Lebih parah lagi, pengakuan ini tidak lagi didasarkan pada kualitas pikiran, karya, atau kontribusi kita, tetapi pada seberapa menariknya kita dalam format yang bisa dilihat di layar kecil.

     Tentu saja, ada perlawanan terhadap tren ini. Minimalisme, introspeksi, dan gerakan YONO (You Only Need One) mencoba menawarkan alternatif. Namun, seperti yang kita lihat sebelumnya, bahkan YONO pun tidak kebal terhadap komodifikasi. Filosofi sederhana untuk hidup esensial berubah menjadi strategi pemasaran untuk menjual buku, seminar, dan barang-barang "esensial" dengan harga premium. Jika YOLO adalah konsumerisme yang hedonistik, YONO adalah konsumerisme yang berkedok spiritualitas.

     Lalu, apa yang tersisa? Bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran ini? Jawabannya mungkin terletak pada pemahaman bahwa eksistensi sejati tidak memerlukan penonton. Descartes benar dalam satu hal: keberadaan kita harus dimulai dari dalam, dari kemampuan untuk berpikir, merasakan, dan bermakna tanpa perlu persetujuan eksternal. Tetapi untuk mencapainya, kita harus melawan godaan dari dunia digital yang terus-menerus berteriak, "Lihat aku!"

     Mari menjeda nafas sejenak, bahwa baris-baris kalimat di atas bukan tentang menghakimi siapa pun, tetapi tentang mengingatkan kita semua akan sesuatu yang telah hilang di tengah kilauan layar dan riuhnya suara notifikasi. Eksistensi sejati bukanlah tentang berapa banyak jempol yang kita kumpulkan, tetapi tentang seberapa dalam kita mengenal diri sendiri. Dan untuk itu, mungkin kita perlu menghidupkan kembali prinsip lama, yang sederhana namun penuh makna: berpikir, merasa, dan hidup—untuk diri kita sendiri, bukan untuk algoritma.

Berpikir saja tak cukup. Keberadaan seseorang harus dibuktikan melalui unggahan foto, video, atau ocehan digital yang berselimutkan ilusi kreativitas.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.