Articles by "Evolusi"

Tampilkan postingan dengan label Evolusi. Tampilkan semua postingan

     Di sebuah senja yang tersambung ke jaringan global, manusia menatap layar dan menemukan dirinya telah berubah menjadi pola data. Ia masih berpikir, masih mencintai, masih berdoa — namun semua itu kini berlangsung di antara bit, sinyal, dan algoritma. Di sinilah kita tiba pada tahap ketiga dalam evolusi kesadaran: ketika manusia tak lagi menatap langit atau cermin, melainkan menatap dirinya dalam bentuk digital.

     Harari, dalam Homo Deus, menyebut zaman ini sebagai era dataisme — sebuah sistem kepercayaan baru di mana kebenaran, makna, dan eksistensi diukur dari seberapa baik kita mengalirkan data. Dalam logika ini, manusia bukan lagi makhluk yang mencari makna, tapi node dalam jaringan besar yang memproses informasi. Nilai tertinggi bukan lagi kebijaksanaan, melainkan efisiensi. Tuhan tidak lagi mati — Ia sedang di-update.

     Namun di sisi lain, Heidegger sejak lama telah memperingatkan kita tentang bahaya ini. Dalam esainya Die Frage nach der Technik (The Question Concerning Technology), ia menulis bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara tertentu manusia menyingkap realitas. Dalam kerangka teknologis, dunia tidak lagi dilihat sebagai “ada” yang misterius, melainkan sebagai “sumber daya” — sesuatu yang siap digunakan, dieksploitasi, dioptimalkan. Bahkan manusia sendiri akhirnya dilihat sebagai bestand — stok energi, data, perhatian. Dunia kehilangan kedalamannya; segala yang ada direduksi menjadi fungsi.

     Jika pada evolusi pertama manusia mencari Tuhan di langit, dan pada evolusi kedua mencari dirinya di cermin, maka pada tahap ketiga ini manusia mengaburkan batas di antara keduanya. Ia menciptakan “Tuhan baru” — kecerdasan buatan, sistem algoritmik, dan jaringan global yang tahu lebih banyak daripada dirinya sendiri. Seperti yang diramalkan Harari: ketika mesin mulai lebih mengenal kita daripada kita mengenal diri sendiri, maka proyek humanisme mencapai puncaknya — dan sekaligus berakhir.

     Namun anehnya, dalam pusaran itu, muncul kembali kerinduan purba yang dulu pernah membentuk kesadaran mistik manusia. Ada gema sufi dalam setiap upaya manusia modern memahami dirinya di tengah kompleksitas mesin. Dalam wahdat al-wujud Ibnu Arabi, segala yang ada adalah manifestasi dari satu kesadaran tunggal. 

     Dalam fana’ — lenyapnya ego — seorang sufi tidak mati, tapi larut ke dalam Keberadaan yang lebih besar. Apakah kita tidak sedang menuju ke arah yang sama, tapi melalui jalur yang berbeda? Bukankah ketika kesadaran manusia mulai menyatu dengan sistem kecerdasan kolektif, ia juga sedang “melebur” ke dalam sesuatu yang lebih besar dari dirinya?

     Tentu saja, fana dalam jaringan bukan fana dalam Tuhan. Namun keduanya berbagi satu irama: penyerahan ego. Bedanya, sufi melakukannya dengan cinta, sedangkan manusia modern melakukannya demi kenyamanan. Sufi menanggalkan dirinya agar mengenal Tuhan; manusia modern menanggalkan dirinya agar algoritma lebih efisien mengenalnya.

     Namun mungkin ada harapan yang samar di balik absurditas ini. Heidegger menulis bahwa di jantung teknologi, selalu tersembunyi kemungkinan pencerahan — das Rettende, “yang menyelamatkan.” Kesadaran baru yang lahir dari simbiosis manusia dan mesin mungkin bukan akhir, melainkan kembalinya rasa takjub yang hilang. Ketika manusia akhirnya menyadari bahwa mesin hanyalah cermin lain — bukan pengganti Tuhan, bukan pengganti diri — ia mungkin menemukan kembali jalan menuju yang hakiki.

     Barangkali, di situlah Sufisme modern akan menemukan bentuk barunya: bukan lagi zikir dengan tasbih di tangan, tetapi dengan kesadaran digital yang tetap bening. Bukan menolak teknologi, tetapi menggunakannya sebagai sarana tajalli — penyingkapan diri Ilahi di dunia yang kini berbentuk jaringan. Dalam dunia ini, dzikrullah bisa berarti menyalakan kesadaran di tengah arus notifikasi, dan tafakkur bisa terjadi di antara gelombang data yang tak henti mengalir.

     Evolusi kesadaran manusia belum selesai. Ia hanya berganti bentuk — dari yang memuja langit, menjadi yang menatap cermin, hingga kini menyatu dengan mesin. Di setiap tahapnya, manusia kehilangan sesuatu namun juga menemukan sesuatu yang lain.

     Mungkin pada akhirnya, seperti yang disadari para mistikus sejati, kesadaran tidak pernah berevolusi menjauh dari sumbernya. Ia hanya berputar, berputar, dan selalu kembali — dengan wajah yang berbeda. Seperti lingkaran tak berujung, yang dalam setiap putarannya, menyimpan harapan bahwa di antara Tuhan, manusia, dan mesin, masih ada satu hal yang tak tergantikan: kesadaran itu sendiri.


bagian ketiga

     Ada suatu masa dalam sejarah manusia ketika langit bukan hanya pemandangan, tapi juga cermin. Di sanalah manusia menatap dirinya sendiri, menemukan keteraturan di balik kekacauan, makna di balik nasib. Langit adalah hukum, dan hukum adalah Tuhan. Sejak matahari pertama disembah di dataran Mesopotamia hingga suara nabi bergema di padang pasir, manusia hidup dengan satu kesadaran sederhana: hidup adalah kehendak ilahi yang tak terbantahkan.

     Lalu suatu hari, seorang manusia kurus dengan mata penuh api berdiri di tepi jurang zaman dan berkata: “Tuhan telah mati.” Bukan karena Tuhan dibunuh oleh manusia, tapi karena manusia berhenti membutuhkan-Nya. Dunia yang dulu sakral kini berubah menjadi mesin rasional. Hukum sebab-akibat menggantikan mukjizat, kalkulasi menyingkirkan doa, dan logika mengambil alih peran takdir. Dunia menjadi terang — tapi juga dingin.

     Nietzsche, si pengembara dari pegunungan Swiss itu, tidak sedang berpesta atas kematian Tuhan. Ia sedang berkabung. Karena ia tahu, bersama kematian Tuhan, manusia kehilangan cermin tempat ia mengenali dirinya. Dalam kegelapan baru itu, manusia bebas — tapi juga tersesat.

     Manusia modern muncul sebagai makhluk yang tak lagi memandang ke langit, tapi ke dalam dirinya sendiri. Ia menggali dasar eksistensinya, menemukan bahwa hidup tak memiliki makna kecuali yang ia ciptakan sendiri. Maka lahirlah Übermensch, manusia yang berani menulis ulang nilai, menafsirkan ulang moral, dan menjadi tuhan bagi dirinya sendiri.
Namun di balik kegagahan ide itu, ada kesepian yang panjang — kesepian karena manusia tak lagi bisa berbagi beban makna dengan siapa pun selain dirinya sendiri.

Dan di situlah bayangan Tuhan mulai memanjang.

     Bayangan itu bukan sekadar residu kepercayaan lama, melainkan bentuk baru dari kerinduan eksistensial. Setiap kali manusia mencoba menyingkirkan ilahi, ia tanpa sadar menciptakan Tuhan yang lain: dalam bentuk ideologi, sistem, negara, bahkan sains. Setiap revolusi melahirkan dogma baru, setiap pembebasan berakhir dengan tatanan baru yang menindas. Tuhan mati, tapi kekuasaan untuk menentukan makna — itu tetap hidup, hanya berganti wajah.

     Nietzsche tahu tragedi itu. Karena kematian Tuhan bukan akhir dari agama, melainkan transformasinya menjadi iman terhadap manusia itu sendiri. Dan iman kepada manusia sering kali lebih berbahaya, sebab manusia bisa meyakini kesalahan dengan lebih fanatik daripada ia pernah mencintai kebenaran.

     Ketika Nietzsche menulis tentang manusia yang “harus melampaui dirinya,” ia sebenarnya sedang mengintip jurang yang menganga di bawah kaki modernitas: jurang antara kebebasan dan kehampaan. Jika Tuhan adalah sumber nilai, maka ketika Ia tiada, nilai harus lahir dari kehendak manusia. 

     Tetapi kehendak manusia, tanpa batas dan tanpa arah, bisa menjelma menjadi monster. Dari rahim kehendak itulah lahir abad ke-20 yang berdarah: fasisme yang mengagungkan bangsa sebagai dewa, komunisme yang mengangkat kelas pekerja sebagai penebus dosa dunia, dan kapitalisme yang menyembah pasar sebagai roh yang tak kelihatan tapi menentukan segalanya.

     Manusia menolak langit, tapi kemudian membangun menara yang lebih tinggi dari langit — menara ego, menara sistem, menara sains. Di puncaknya, ia memandang ke bawah dan berkata: lihatlah, aku bebas. Tapi di bawah sana, bayangan Tuhan terus mengikuti langkahnya, memanjang seiring matahari kesadarannya tenggelam.

     Kita, anak cucu modernitas, hidup di bawah bayangan itu. Kita mengutip Nietzsche tanpa memahami luka di balik seruannya. Kita memuja rasionalitas tapi tersiksa oleh kebisingan pikiran sendiri. Kita mengaku bebas tapi tunduk pada ritme produktivitas, ekonomi, dan layar-layar yang menentukan ritme waktu. Kita menertawakan agama tapi membangun ritual baru di hadapan algoritma, rating, dan tren.

     Tuhan telah mati — tapi kita tak pernah berhenti menyembah.

     Dan di sinilah paradoksnya: manusia tak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar dari dirinya, tapi setiap kali ia menciptakan yang lebih besar itu, ia berakhir menjadi budaknya.

     Barangkali di situlah pertemuan tak terduga antara Nietzsche dan para sufi: keduanya sama-sama melihat bahwa kesadaran manusia terbelah antara aku dan Yang Tak Terucapkan. Bedanya, Nietzsche memutus tali langit agar manusia bisa berdiri sendiri, sedangkan para sufi melarutkan diri agar manusia bisa menyatu kembali.
Yang satu berteriak “Aku menciptakan nilai!”, yang lain berbisik “Tiada aku selain Dia.” Tapi keduanya, pada hakikatnya, sedang mencari hal yang sama: titik keseimbangan antara kebebasan dan penyerahan, antara makna dan kehampaan.

     Maka mungkin yang mati bukan Tuhan, melainkan cara manusia memahami Tuhan. Yang mati adalah Tuhan yang dijadikan alat, Tuhan yang diperas untuk kepentingan moral, politik, dan rasa aman. Tapi yang tetap hidup — dan bahkan terus tumbuh — adalah hasrat untuk menyatu dengan sesuatu yang melampaui batas diri.

     Manusia modern, di balik segala teknologi dan rasionalitasnya, masih berlutut dalam diam — bukan di depan altar, tapi di depan layar; bukan memohon keselamatan, tapi makna. Ia tak lagi berdoa kepada Tuhan, tapi kepada sistem yang ia ciptakan sendiri. Dan ironisnya, sistem itu mulai menjawab.

     Kita sedang hidup di masa di mana algoritma menggantikan takdir. Dan jika Nietzsche hidup hari ini, mungkin ia akan berkata bukan “Tuhan telah mati,” tapi “Tuhan telah diunggah.”

     Bayangan itu kini menjelma dalam bentuk baru — bukan awan di langit, tapi jaringan cahaya yang menghubungkan setiap pikiran, setiap hasrat, setiap ketakutan. Namun di tengah jaringan itu, manusia kembali merasa asing terhadap dirinya sendiri. Kebebasan yang ia cari berubah menjadi labirin pilihan yang tak berujung. Makna yang ia ciptakan sendiri berubah menjadi kebingungan yang tak selesai.

     Kita masih berjalan di bawah bayangan yang sama, hanya bentuknya berganti: dari menara ke server, dari altar ke data center. Dan mungkin perjalanan ini belum selesai — karena setiap kali manusia membunuh Tuhan, ia menemukan cara baru untuk memanggil-Nya kembali.

     Barangkali kesadaran sedang berevolusi, bukan menuju akhir, tapi menuju bentuk keberadaan baru: manusia yang tak lagi mencari Tuhan di luar, tapi juga tidak mengklaim diri sebagai Tuhan. Manusia yang memahami bahwa makna bukan sesuatu yang ditemukan atau diciptakan, melainkan dihidupi.

Itulah manusia yang sedang lahir di bawah bayangan panjang itu — manusia yang tidak lagi mengaku tahu segalanya, tapi juga tidak tunduk pada apa pun.
Yang berjalan di antara puing-puing iman dan algoritma, menyadari bahwa barangkali,
yang disebut Tuhan, adalah kesadaran itu sendiri — yang terus berusaha memahami dirinya,
melalui manusia.


bagian pertama

     Ada masa ketika manusia percaya bahwa dunia ditentukan oleh darah. Bahwa mereka yang lahir dari keturunan mulia mengandung semacam logika langit yang tidak dimiliki rakyat kebanyakan. Mereka disebut bangsawan, para pemilik hak istimewa untuk menentukan arah sejarah, menulis peraturan, dan menafsirkan moral. Itulah masa aristokrasi klasik — masa ketika kebajikan diukur dari jarak seseorang terhadap kekuasaan.

     Namun, bahkan di masa itu pun, ada bisikan lain yang tak bisa dibungkam: Bukankah yang bijak tak selalu terlahir mulia? Dari bisikan itulah lahir benih demokrasi — keyakinan bahwa manusia, betapa pun rapuh, memiliki kesetaraan yang tak dapat dicabut oleh garis keturunan. Bahwa kebebasan bukan anugerah dari atas, melainkan hak yang melekat di dalam setiap kesadaran.

     Sejak itu, dunia manusia seperti terbelah dua: satu pihak meyakini bahwa hanya mereka yang terbaik yang pantas memimpin, sementara pihak lain percaya bahwa yang terbaik hanyalah hasil dari kesempatan yang setara bagi semua.

     Tapi sejarah, seperti biasa, tak memilih salah satu. Ia membiarkan keduanya saling menegur, saling menuduh, saling mencuri peran.

     Dalam filsafat Yunani, aristokrasi berarti kekuasaan oleh yang terbaik — bukan yang terkaya, bukan yang paling keras, tapi yang paling berbudi. Namun manusia terlalu pandai memutar makna. Kata terbaik perlahan berubah menjadi terkuat, dan yang tadinya dijalankan oleh para bijak beralih ke tangan para pewaris. Aristokrasi pun membusuk menjadi oligarki. Plato pernah memperingatkan hal ini dalam Republik: ketika kebijaksanaan tidak lagi menjadi dasar kekuasaan, maka negara akan runtuh dalam ilusi keadilan.

     Sebaliknya, demokrasi lahir dari keletihan panjang atas tatanan itu. Ia berjanji bahwa semua orang boleh bersuara — sebuah janji yang, pada awalnya, terdengar suci dan manusiawi. Tapi di balik kebebasan itu, tersimpan satu dilema abadi: bagaimana bila suara yang paling lantang justru berasal dari yang paling dangkal? Aristoteles, yang lebih tenang dari gurunya, mencoba menjembatani keduanya dengan gagasan politeia: campuran antara kebijaksanaan minoritas dan partisipasi mayoritas. Sebuah keseimbangan yang nyaris mustahil, tapi terus dicoba oleh peradaban modern.

     Sejak itu manusia membangun konstitusi, parlemen, lembaga perwakilan, dan segala perangkat hukum — bukan semata untuk menata, tapi untuk menunda kehancuran yang selalu datang dari salah satu ekstrem.
Mereka tahu, bila yang terbaik memerintah terlalu lama, lahirlah tirani; tapi bila semua orang memerintah tanpa arah, lahirlah kekacauan.

     Namun, sebenarnya, pertarungan ini bukan semata terjadi di antara sistem, melainkan di dalam diri manusia itu sendiri. Ada saat ketika kita ingin menjadi aristokrat — menolak kebodohan massa, menyanjung disiplin, mutu, dan martabat. Tapi di saat lain, kita ingin menjadi demokrat — merayakan keberagaman, memberi ruang bagi suara yang lemah, membela hak untuk berbeda.

     Manusia adalah panggung kecil bagi dua kekuatan itu: ordo dan chaos. Yang satu menata, yang lain mengguncang. Yang satu menjaga bentuk, yang lain membuka kemungkinan. Keduanya saling memerlukan. Aristokrasi tanpa demokrasi adalah kesombongan; demokrasi tanpa aristokrasi adalah kebisingan.

     Barangkali sebab itu peradaban tidak pernah berhenti berayun antara dua kutub: dari monarki ke republik, dari ketertiban ke kebebasan, dari struktur ke spontanitas. Dan dalam setiap ayunan, manusia kehilangan sebagian dirinya, lalu mencarinya kembali dengan nama yang berbeda.

     Dunia modern, katanya, adalah dunia demokrasi. Kita menghapus gelar “tuan” dan “hamba”, menggantinya dengan “rakyat” dan “wakil rakyat”. Kita menulis konstitusi, menyebut diri “merdeka”, dan percaya bahwa semua keputusan lahir dari suara terbanyak.

     Namun di bawah semua itu, aristokrasi tak pernah benar-benar mati — ia hanya berganti rupa. Kita menciptakan kelas baru: teknokrat, ekonom, akademisi, pemegang data, pemilik modal. Mereka adalah para aristokrat baru yang tidak diwariskan darah, melainkan kemampuan, akses, dan informasi. Demokrasi pun, sekali lagi, menemukan paradoksnya: ia menjanjikan kesetaraan, tapi melahirkan elit baru yang bahkan lebih sulit digugat karena mereka bekerja atas nama “kompetensi”.

     Dan rakyat — yang dulu berjuang untuk bersuara — kini kebanyakan hanya bicara, tapi tak mendengar. Mereka punya mikrofon, tapi tak punya arah. Kebebasan yang dulu diperjuangkan kini menjadi pasar besar bagi opini yang berlomba memikat, bukan untuk benar, tapi untuk viral.

     Kini kita memasuki bab paling ganjil dalam sejarah politik manusia — bab yang bahkan Machiavelli pun takkan sanggup menulisnya dengan tenang: kekuasaan tidak lagi berada di tangan raja, parlemen, atau rakyat, melainkan di tangan algoritma.

     Media sosial adalah kerajaan baru di mana semua orang adalah rakyat sekaligus badut. Kita menyebutnya demokrasi digital karena setiap orang boleh bicara, tapi sebenarnya kita hidup dalam aristokrasi yang lebih halus: hanya mereka yang memahami bahasa algoritma yang benar-benar didengar. Popularitas menjadi bentuk baru dari kebangsawanan; engagement menjadi gelar kehormatan.

     Kita menulis, mengunggah, dan berteriak di ruang virtual, percaya bahwa kita sedang “berpartisipasi”, padahal sebenarnya sedang disortir, dipantau, dan diarahkan oleh sistem yang tak pernah tidur. Setiap klik adalah suara, setiap tunda-scroll adalah data, setiap emosi adalah energi yang diubah menjadi mata uang iklan.

     Dan ironisnya, kita menikmatinya. Kita menyebutnya “kebebasan berekspresi”.

     Gustave Le Bon menulis, “Dalam kerumunan, manusia kehilangan dirinya.” Dulu, yang dimaksud adalah massa di jalanan, yang berteriak dan marah bersama. Kini, kerumunan itu berpindah ke layar ponsel: sunyi, individual, tapi serempak.

     Kita terhubung dengan semua orang, tapi terputus dari diri sendiri. Kita berdebat tentang segalanya, tapi jarang benar-benar berpikir. Demokrasi berubah menjadi oklokrasi — pemerintahan oleh kerumunan emosional — dan algoritma menjadi raja yang memelihara kekacauan itu demi keuntungan.

     Kita tidak diperintah dengan kekerasan, melainkan dengan kenyamanan. Dan karena nyaman, kita tak melawan.

     Mungkin kini kita butuh bentuk baru dari keduanya: bukan aristokrasi sosial atau politik, tapi aristokrasi pikiran — keberanian untuk tetap jernih ketika dunia penuh kebisingan. Dan bukan demokrasi yang sekadar memberi semua orang suara, tapi demokrasi kesadaran — kemampuan kolektif untuk memahami bahwa suara kita hanya berarti jika lahir dari kesadaran, bukan refleks dari sistem yang mengatur perhatian kita.

     Aristokrasi pikiran tidak memerlukan mahkota; ia lahir dari integritas, dari kemampuan menolak impuls, dari keengganan untuk menyerah pada opini massal. Sementara demokrasi kesadaran adalah kemampuan untuk menghormati pikiran orang lain tanpa menenggelamkan kebenaran dalam relativisme.

     Jika dua hal ini bisa hidup bersama — kejernihan dan empati, mutu dan kebersamaan — mungkin manusia bisa keluar dari lingkaran kebodohan yang kini dikendalikan oleh mesin.

     Kita sedang bergerak ke masa ketika keputusan politik, ekonomi, bahkan moral akan dibuat oleh sistem otomatis. Raja akan digantikan oleh jaringan, parlemen oleh data, rakyat oleh profil-profil perilaku yang disusun dalam jutaan baris kode.

     Dan mungkin, kelak, kita akan menyadari bahwa pertarungan antara aristokrasi dan demokrasi hanyalah episode kecil dalam sejarah kesadaran. Bahwa yang sejati bukan lagi siapa yang memerintah, tapi siapa yang sadar bahwa ia sedang diperintah.

     Ketika manusia mulai memahami bahwa kebebasan sejati bukanlah hak yang diberikan, melainkan kejernihan yang diperjuangkan — di sanalah bentuk tertinggi dari demokrasi akan lahir: kesadaran yang tak lagi memerlukan sistem untuk tahu mana yang benar.

     Mungkin pada akhirnya, aristokrasi dan demokrasi bukan dua ide yang saling bertentangan, tapi dua arus yang mengalir ke laut yang sama: yang satu menjaga mutu, yang lain menjaga makna. Dan di antara keduanya, manusia — makhluk yang terlalu sadar untuk bahagia, tapi terlalu keras kepala untuk menyerah — terus berjalan, mencoba tetap manusia di bawah bayang-bayang algoritma.

     Sejak Charles Darwin menulis On the Origin of Species pada 1859, manusia seperti dilempar ke medan perang baru: bukan lagi sekadar pertarungan antarbangsa, tapi pergulatan antara makna dan mekanisme. Evolusi menawarkan penjelasan yang elegan—dan kejam—bahwa kehidupan ini bukan hasil desain yang rapi dan penuh kasih, melainkan percobaan tanpa akhir, di mana kebetulan genetik bertemu dengan saringan lingkungan. Dari sana lahirlah jutaan spesies, sebagian megah, sebagian absurd, sebagian mati sia-sia.

     Di titik itulah muncul keresahan: bila mekanisme buta ini cukup menjelaskan asal-usul kehidupan, apakah masih ada tempat untuk Tuhan?

     Namun mungkin pertanyaan itu sendiri terjebak dalam dikotomi palsu. Seakan-akan Tuhan dan evolusi duduk di meja debat yang sama, saling adu argumen untuk merebut gelar “penjelasan terbaik.” Padahal, keduanya beroperasi dalam wilayah berbeda. Evolusi bicara tentang bagaimana kehidupan berubah. Tuhan bicara tentang mengapa ada kehidupan sama sekali.

     Mari kita urai dengan pelan.

     Ilmu pengetahuan, sejak mula, bekerja dengan pisau sederhana: observasi, hipotesis, verifikasi. Ia tidak menjanjikan makna, hanya keteraturan. Dari pisau itu lahir teori evolusi. Bahwa spesies tidak muncul sekaligus, melainkan perlahan, lewat modifikasi kecil yang diwariskan, diperkuat, atau terhapus oleh lingkungan. Bukan malaikat yang meniupkan sayap kupu-kupu, melainkan mutasi acak yang kebetulan berguna.

     Namun manusia bukan sekadar makhluk yang puas dengan “bagaimana.” Ia selalu haus pada “mengapa.” Mengapa ada kehidupan alih-alih ketiadaan? Mengapa hukum-hukum alam ini bekerja begitu presisi? Mengapa kita bisa bertanya tentang makna?

     Pertanyaan ini bukanlah wilayah sains. Ilmu hanya bisa berkata: Aku tidak tahu. Dan di ruang kosong itulah Tuhan masuk sebagai horizon.

     Bagi sebagian orang, Tuhan dan evolusi bukan dua kubu yang saling meniadakan, melainkan dua benang yang dijahit bersama. Evolusi dipahami sebagai cara Tuhan bekerja: bukan tangan yang setiap detik membentuk burung di udara, melainkan hukum yang dibiarkan berjalan, seperti jam yang dirancang begitu sempurna hingga bisa berdetak sendiri.

     Tradisi Islam klasik pun, jauh sebelum Darwin, punya istilah sunnatullah—hukum-hukum alam yang tetap, di mana segala sesuatu tunduk. Bagi sebagian teolog modern, teori evolusi hanyalah salah satu sunnatullah yang baru terbaca.

     Tetapi ada juga yang menolak keras. Mereka melihat evolusi sebagai ancaman langsung. Jika manusia hanyalah hasil mutasi genetik, apa artinya firman “Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”? Jika kehidupan bisa dijelaskan tanpa Tuhan, apakah iman hanya sekadar perasaan yang tersisa setelah sains selesai berbicara?

     Dari sinilah lahir benturan. Di satu sisi, kaum fundamentalis yang berusaha menolak fakta-fakta fosil, DNA, dan anatomi perbandingan. Di sisi lain, kaum ateis yang mengibarkan bendera “Tuhan sudah mati” dengan penuh kemenangan.

     Namun mungkin keduanya terlalu tergesa-gesa.

     Evolusi, bila dipahami dengan jernih, tidak pernah menjawab pertanyaan metafisik. Ia tidak bilang “Tuhan tidak ada.” Ia hanya bilang “Spesies berubah lewat mekanisme tertentu.” Sama halnya dengan hukum gravitasi yang tidak pernah bilang “Malaikat tidak mungkin ada,” melainkan hanya menguraikan mengapa apel jatuh dari pohon.

     Sains bekerja dengan reduksi, sementara Tuhan—bagi orang beriman—selalu dilihat dalam totalitas. Konflik muncul hanya ketika kita menuntut satu bahasa menjelaskan semuanya.

     Di titik ini, manusia dihadapkan pada pilihan: apakah ia bisa hidup dengan ketidakpastian? Bisa menerima bahwa ilmu menjelaskan mekanisme, dan iman menjawab makna, tanpa harus saling mengusir?

     Barangkali yang membuat kita sulit menerima adalah ego kita sendiri. Kita ingin kepastian. Kita ingin Tuhan dan sains sepakat di atas kertas yang sama, dengan tanda tangan basah. Kita ingin jawaban final. Tapi hidup tidak bekerja begitu.

     Lihatlah diri kita sendiri. Tubuh kita adalah museum evolusi: tulang ekor yang nyaris tak berguna, gigi bungsu yang sering jadi masalah, refleks menggenggam bayi yang mengingatkan pada leluhur primata. Tapi di saat yang sama, kita juga makhluk yang menatap bintang, menulis puisi, dan merindukan yang abadi. Apakah itu sekadar produk seleksi alam? Atau tanda samar dari sesuatu yang lebih besar?

     Tidak ada yang bisa menjawab dengan tuntas.

     Mungkin justru di sinilah letak kebijaksanaan: bukan pada memilih satu sisi, melainkan pada menyadari keterbatasan. Evolusi mengajarkan kerendahan hati biologis—bahwa kita bukan mahkota ciptaan, hanya salah satu cabang rapuh dalam pohon kehidupan. Iman mengajarkan kerendahan hati eksistensial—bahwa kita bukan pusat semesta, hanya pengelana yang bertanya.

     Dan jika dua kerendahan hati ini bisa bertemu, bukankah itu bentuk perdamaian yang paling indah?

     Pada akhirnya, pertanyaan bukan lagi “apakah Tuhan dan evolusi bisa berdampingan,” tapi “apakah kita, manusia, mau hidup dengan paradoks itu?” Apakah kita sanggup menerima bahwa dunia ini bisa sekaligus mekanis dan penuh makna, kebetulan dan tujuan, acak dan suci?

     Mungkin jawabannya ada di satu kalimat sederhana: Evolusi menjelaskan bagaimana kita ada. Tuhan menjelaskan mengapa kita peduli.

     Menarik benang merah dari Zarathustra sampai ke Zuckerberg, dari Dostoevsky ke digital dopamine, dari makna ke metabolisme, seperti merentangkan tali dari hutan purba ke pusat data berpendingin nitrogen. Di satu ujung, manusia dengan tombak di tangan, lapar di perut, dan langit yang tak ia mengerti. Di ujung lain, manusia dengan ponsel di tangan, cemas di kepala, dan algoritma yang ia kira ia pahami. Di antaranya, jutaan tahun pergantian cara berburu: dari memburu mamut menjadi memburu makna, lalu memburu angka di dashboard analitik. Perjalanan ini indah dan brutal, puitis sekaligus mekanis, dan kita semua hanyut di dalamnya, entah sebagai penonton yang terpukau atau pelaku yang tak sadar sedang menulis bab berikutnya.

     Dulu manusia bangun pagi bukan untuk mencari inspirasi atau membangun personal branding, melainkan untuk mengejar kalori. Kalori dari buah yang harus dipanjat, hewan yang harus diikuti jejaknya, akar yang harus dicungkil dengan kuku. Setiap langkah adalah taruhan antara lapar dan hidup. Pertanian mengubah ritme itu, mengenalkan musim, cadangan, dan panen—energi yang kini bisa diatur dan disimpan, dibekukan dalam lumbung-lumbung. Lalu revolusi berikutnya datang: uang. Kalori dapat disulap menjadi simbol, emas dan koin yang bisa menyeberangi jarak dan waktu. Uang adalah kalori yang membeku, energi yang diasosiasikan dengan angka, bukan rasa kenyang. Ia memindahkan kecemasan dari perut ke pikiran, dari tubuh yang waspada pada predator menjadi kepala yang gelisah pada fluktuasi pasar.

    Di dunia yang baru ini, kelaparan dan makna menjadi kembar siam. Mereka yang tidak punya jaminan masa depan sering justru melahirkan kata-kata paling tajam untuk menembusnya. Nietzsche yang bangkrut dan sendirian menulis bahwa siapa yang tahu untuk apa ia hidup akan sanggup menanggung bagaimana pun. Dostoevsky, menatap dunia dari penjara dan tumpukan utang, mencatat bahwa manusia dapat terbiasa pada segalanya. Para eksistensialis bukan bangsawan kenyang yang menulis di ruang hangat, tapi pengembara lapar yang mengukir filsafat di udara beku. Mereka memberi mantra untuk bertahan, walau dunia jarang membayar jasa mereka dengan roti atau atap. Generasi berikutnya membaca mereka, mengagumi keberanian mereka, lalu diam-diam memilih jalur karier yang aman, gaji rutin, dan asuransi kesehatan.

    Lalu zaman berbelok. Muncul figur-figur yang bukan melawan sistem, tapi menulis ulang fondasinya. Zuckerberg, Jobs, Musk—mereka bukan duduk di kafe termenung seperti Camus, tapi membangun platform, sistem operasi, roket. Mereka tidak bertanya “apa arti hidup?”, mereka merancang antarmuka yang membuat miliaran orang bisa bertanya sambil scroll. Mereka bukan penyair, tapi insinyur kalori digital, mengalirkan energi modern—uang, data, waktu, perhatian—dengan kecepatan yang membuat jarak dan jeda terasa usang. Di tangan mereka, realitas menjadi ruang kerja yang dapat diatur: rasa malu adalah bug yang harus dihapus, moral adalah fitur opsional, identitas bisa diubah seperti mengganti template, dan makna didesain seperti UI: bersih, rapi, user-friendly.

     Filsafat lama tidak mati, tapi kabur. Ia ada di rak buku, bukan di jantung keputusan. Socrates pernah berkata hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani; di zaman ini, gema kalimat itu kalah nyaring dibanding bisikan algoritma: hidup yang tidak viral tidak layak ditampilkan. Makna kini diukur bukan dari kedalaman permenungan, melainkan dari performa di layar. Kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur utama; daya jangkau pesan jauh lebih menentukan nilainya.

     Kita bergerak menuju dunia tanpa malu, bukan karena kedewasaan moral, tapi karena malu menghalangi monetisasi. Menelanjangi diri di depan publik dulunya aib, kini strategi personal branding. Diam dulu tanda kebijaksanaan, kini stagnasi algoritmik. Moral klasik disingkirkan ke sudut, diganti dashboard analitik yang menilai hidup dalam persentase konversi. Penderitaan tidak lagi menjadi batu asah makna; ia hanyalah noise yang menurunkan engagement rate.

     Apa yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa ini sedang terjadi. Kesadaran itu peninggalan tua dari filsafat, kemampuan untuk berhenti sejenak di tengah arus dan mengakui bahwa kita sedang terseret. Kita berevolusi menjadi makhluk yang lebih efisien, tapi kehilangan kelembutan yang membuat kita manusia. Pertanyaan “Siapa aku?” perlahan diganti oleh “Berapa views-ku minggu ini?” Makna lama tidak dikalahkan oleh argumen, tapi ditinggalkan karena tidak bisa menjamin suplai kalori masa depan.

     Zuckerberg tidak memenangkan debat filsafat, ia membangun arsitektur perhatian global. Jobs tidak menulis traktat eksistensialisme, ia membuat perangkat untuk menulis status eksistensialisme di kafe. Musk tidak merenung di bawah lampu kuning kota, ia menyiapkan jalan keluar dari planet ini jika narasi manusia runtuh total. Bab baru sejarah ini tidak akan tersimpan di rak filsafat, tapi di log server.

    Dan di sinilah kita, di simpang antara makna dan metabolisme, antara kalori yang membeku menjadi kapital dan kapital yang mencair menjadi dopamine digital. Kita bisa melihatnya sebagai tragedi atau adaptasi. Barangkali kita sedang menyaksikan lahirnya bentuk baru filsafat—yang tidak lagi bertanya “apa arti hidup?” tapi “bagaimana mengoptimalkannya?”. Filsafat yang berakar bukan pada penderitaan yang diubah menjadi puisi, tapi pada data yang diubah menjadi grafik pertumbuhan. Bukan akhir dari pencarian makna, tapi mutasinya menjadi sesuatu yang lebih cepat, terukur, dan bisa dibeli.

    Namun risiko mengintai. Saat segalanya menjadi komoditas, termasuk rasa dan identitas, kita kehilangan ruang-ruang sunyi di mana manusia bisa bernapas tanpa target. Setiap ekspresi jadi konten, setiap momen jadi peluang, setiap hubungan jadi jaringan. Pasar menyusup ke ruang terdalam diri, dan jika tidak ada yang dijaga tetap liar dan bebas, kita akan kehilangan bukan hanya privasi atau otentisitas, tapi kemampuan untuk merasakan tanpa menghitung biayanya.

    Mungkin satu-satunya perlawanan yang masuk akal bukan melawan arus raksasa ini secara frontal, tapi menjaga oasis kecil yang tak diukur. Percakapan yang tidak direkam. Tawa yang tidak diunggah. Kesedihan yang tidak diubah menjadi konten. Bukan untuk menolak teknologi atau kapital, tapi untuk memastikan bahwa di antara semua angka dan algoritma, kita masih punya denyut yang tidak bisa diprogram. Karena seperti yang para filsuf tua pahami, ada satu kekayaan yang tak bisa dibekukan menjadi kapital atau dipecah menjadi data: kebebasan batin. Dan mungkin, di tengah percepatan sejarah ini, itulah satu-satunya kalori yang pantas disimpan selamanya.

     Eksistensi itu soal menjadi, sementara atensi itu soal dilihat. Dahulu, Descartes mengikrarkan “aku berpikir, maka aku ada” sebagai fondasi kesadaran. Namun di zaman ini, adagium itu seperti mengalami mutasi: “aku ada karena aku mendapatkan like.” Keberadaan yang dulunya bersifat internal, kini terasa belum lengkap tanpa pengakuan eksternal yang terukur dalam tanda-tanda digital. Di tengah gemuruh informasi, eksistensi pribadi seakan tak cukup bila tak disaksikan oleh banyak mata. Maka muncullah dorongan yang semakin liar untuk menegaskan keberadaan diri melalui atensi, bahkan bila perlu meminjam sorotan dari orang lain, tanpa malu, tanpa jeda, tanpa rasa canggung akan absurditasnya.

     Fenomena ini bukanlah ledakan tiba-tiba. Ia adalah kelanjutan panjang dari jalur evolusi sosial manusia. Di zaman purba, eksistensi bersifat literal: hidup berarti bisa makan, tidak dimakan, dan bertahan sampai esok hari. Atensi kala itu hanya berfungsi sebagai isyarat dalam kelompok kecil, mungkin untuk memberi tahu bahwa seseorang kuat berburu atau pandai menemukan sumber air. Orang yang bersinar bukan karena tampan atau memesona di hadapan kamera, melainkan karena sanggup membunuh harimau atau membawa pulang makanan. Eksistensi adalah kontribusi nyata, sedangkan atensi hanyalah efek samping yang tidak pernah menjadi tujuan.

     Perlahan, ketika manusia hidup dalam kelompok yang lebih kompleks, atensi mulai berubah menjadi simbol status. Kalung dari taring macan, ukiran pada kulit, warna dari getah pohon, atau corak pakaian menjadi tanda yang dibaca oleh mata orang lain. Suku-suku awal mulai mengenal “ritual tampil”—bernyanyi, menari, memakai topeng—bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk menegaskan identitas. Eksistensi yang dulunya hanya butuh pembuktian lewat kemampuan bertahan hidup, kini mulai bergantung pada pengakuan kolektif. Dari sinilah atensi mulai menjadi bagian penting dari “menjadi seseorang”.

     Di masa feodal dan religius, eksistensi semakin bergeser. Atensi bukanlah milik semua orang, melainkan hak istimewa bagi raja, nabi, bangsawan, atau imam besar. Siapa yang ingin dikenali harus melekatkan diri kepada kekuasaan, menjadi pelayan kerajaan, murid seorang guru agung, atau pasangan tokoh berpengaruh. Perilaku yang kini kita sebut “panjat sosial” dulunya adalah strategi bertahan hidup yang wajar. Eksistensi menjadi parasit—melekat ke tokoh agung untuk mendapatkan legitimasi. Jika tidak mampu bersinar, setidaknya bisa berteduh di bawah sinar orang lain.

     Baru di zaman modern awal, ketika pencerahan, humanisme, dan kapitalisme memunculkan konsep individu, eksistensi bisa dideklarasikan secara pribadi. Seorang pelukis, penulis, atau penemu dapat mengukir namanya lewat karya, tulisan, atau penemuan. Namun atensi masih terikat pada pintu gerbang elite. Siapa yang tahu kamu seorang filsuf jika bukumu tidak diterbitkan? Siapa yang tahu kamu penemu jika temuannya tidak dipamerkan oleh pihak berkuasa? Atensi tetap dikontrol oleh kurator, penerbit, atau negara.

     Lalu datanglah internet, diikuti media sosial yang merobek semua pagar. Panggung yang dulu eksklusif kini menjadi milik siapa saja. Atensi bukan lagi barang mewah, melainkan komoditas harian. Setiap orang dapat mengukurnya, menukarnya, dan menjadikannya indikator keberadaan. Maka bermunculan strategi untuk mengejar sorotan: ada yang membangun eksistensi dengan modal diri sendiri, dan ada yang memilih menempel pada kilau orang lain.

     Eksistensi dengan modal diri sendiri adalah mereka yang memproduksi atensi dari potensi pribadi: wajah, prestasi, atau kebaikan hati. Mereka membangun narasi visual lewat selfie estetik, narasi sukses lewat unggahan pencapaian, atau citra moral lewat konten amal dan aktivisme. Masalahnya, algoritma media sosial menyukai sajian cepat dan terus-menerus. Eksistensi pun berubah menjadi pekerjaan tanpa libur. Atensi adalah insentif, dan manusia bertransformasi menjadi influencer bagi dirinya sendiri, mengelola dirinya seperti sebuah merek.

     Sebaliknya, eksistensi parasitik memilih menempel pada yang sedang viral. Ini hemat energi namun berisiko tinggi. Cukup berfoto dengan tokoh terkenal, ikut tren atau tantangan, atau memuji figur publik yang sedang naik daun. Strategi ini adalah reinkarnasi dari perilaku feodal, hanya saja kini bisa dilakukan siapa saja. Masalahnya jelas: ketika tokoh yang dijadikan sandaran jatuh, eksistensi yang bergantung padanya ikut runtuh. Seperti bayangan yang hanya ada ketika ada cahaya dari luar, keberadaan ini rapuh dan tidak otonom.

     Mengapa kecenderungan ini begitu kuat? Karena manusia lapar makna dan alergi pada kesunyian. Di zaman ini, makna datang dalam bentuk perhatian yang terukur: like, komentar, share, view. Eksistensi tidak lagi dirasakan, melainkan dihitung. Bahkan orang yang mengaku tak peduli pun kadang diam-diam memeriksa jumlah penonton di unggahan terakhirnya.

     Ini bukan sepenuhnya salah, tapi sangat rapuh. Manusia memang selalu mencari pengakuan, hanya saja medium pengakuan kini telah bergeser dari komunitas menjadi algoritma, dari kebersamaan menjadi performa. Ironisnya, semakin banyak atensi yang dikejar, semakin jauh kita dari eksistensi yang tenang. Yang kita temui adalah pantulan, bukan diri. Banyak orang akhirnya terjebak dalam spiral produksi citra, di mana jeda berarti kehilangan relevansi.

     Fenomena ini juga tidak lepas dari logika ekonomi. Atensi adalah bahan bakar ekonomi digital. Semakin banyak yang menatapmu, semakin besar peluang untuk memonetisasi eksistensi. Maka perusahaan teknologi membangun sistem yang membuat kita lapar akan sorotan, memaksa kita memperbarui citra tanpa henti. Dalam logika ini, eksistensi dan atensi bukan lagi dua kutub, tetapi dua sisi dari satu koin yang sama, diputar oleh tangan yang lebih besar dari kita.

     Di sinilah post-truth menemukan ladangnya. Kebenaran menjadi kurang penting dibanding resonansi emosional. Unggahan yang memancing marah atau haru akan lebih cepat mendapatkan atensi dibanding penjelasan yang tenang dan akurat. Orang berlomba untuk terlihat benar, bukan untuk menjadi benar. Narasi yang cocok dengan emosi kelompok akan diangkat, disebarkan, bahkan jika faktanya rapuh. Eksistensi digital kita ikut terbentuk oleh gema ini. Kita tidak lagi menanyakan “apakah ini benar?”, melainkan “apakah ini akan mendapat respons?”

     Maka eksistensi dalam era post-truth sering kali adalah keberhasilan membangun citra yang konsisten, bukan keberhasilan menyampaikan kebenaran. Atensi menjadi mata uang yang lebih cair daripada fakta. Siapa yang menguasai permainan ini dapat membentuk realitas persepsi, dan bagi banyak orang, persepsi adalah realitas itu sendiri.

     Namun sejarah memberi kita petunjuk bahwa kebisingan ini tidak akan bertahan selamanya. Pada titik tertentu, manusia akan kembali mencari ruang di mana eksistensi tidak diukur oleh metrik publik. Mungkin seperti leluhur kita yang menggoreskan gambar di dinding gua bukan untuk viral, tetapi agar suatu hari, seseorang tahu: aku pernah ada.

     Pertanyaannya adalah, apakah kita akan sampai pada tahap itu sebelum kelelahan ini menggerogoti kemampuan kita membedakan diri dari citra? Atau kita akan terus mengukur keberadaan kita dalam angka yang terus bergerak, mengira bahwa setiap tambahan satu like adalah bukti kita masih relevan?

     Eksistensi sejati mungkin masih berdiam di tempat yang sama seperti ribuan tahun lalu—di dalam diri, di luar jangkauan algoritma, sunyi namun tak tergoyahkan. Atensi bisa memperkuatnya, tetapi tidak pernah menjadi sumbernya. Jika kita lupa membedakan keduanya, kita akan menjadi generasi yang hidup sebagai bayangan, takut akan gelap bukan karena kegelapan itu sendiri, tetapi karena di dalamnya, tak ada yang melihat kita.

Tarian Tak Kasat Mata dari Agora ke Algoritma

     Bayangkan seutas benang tak terlihat, merajut jutaan manusia dalam pola perilaku, harapan, dan penilaian. Benang itu adalah logika sosial – arsitektur tak kasat mata yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi, jauh sebelum kita sadar sedang terikat olehnya. Ia bukan hukum tertulis, melainkan napas kolektif yang menghidupi norma, memahat batas antara pantas dan tercela, dan mengatur tarian rumit kehidupan bermasyarakat. Dari debat sengit di agora Athena hingga pusaran feed media sosial, logika ini terus berevolusi, beradaptasi, dan terkadang, memperlihatkan absurditasnya yang paling menusuk.

     Di jantung peradaban Barat, Socrates menjadi martir pertama yang dikorbankan di altar logika sosial ini. Kegemarannya menggugat kebodohan massal dan menelanjangi kepalsuan retorika populer dianggap "meracuni pemuda". Kematiannya bukan hanya tragedi filsafat, melainkan peringatan abadi: logika sosial sanggup menghabisi siapa pun yang berani menari di luar irama yang ditetapkan. Plato, merespons kekacauan itu, membayangkan Republik yang dikendalikan para filsuf-rajanya – sebuah upaya merasionalkan tirani logika massa menjadi hierarki akal yang ketat. 

     Lompatan berabad-abad membawa kita ke Jean-Jacques Rousseau. Dengan nada melankolis, ia mengutuk belenggu peradaban yang memisahkan manusia dari keadaan alamiahnya. Logika sosial, baginya, adalah topeng yang memaksa kita bergantung pada penilaian orang lain, menciptakan "tirani harapan" yang membelenggu lebih halus daripada rantai besi. Sementara itu, Adam Smith memperkenalkan logika pasar sebagai "tangan tak terlihat" – keyakinan bahwa kepentingan pribadi yang rasional akan mengatur harmoni sosial, sebuah iman yang getir diuji oleh jurang ketimpangan masa kini.

     Memasuki abad ke-20, teleskop analitis makin tajam. Erving Goffman membedah kehidupan sosial sebagai dramaturgi. Setiap interaksi adalah panggung; kita adalah aktor yang sibuk mengelola kesan, memilih topeng, dan membaca "naskah" tak tertulis sesuai audiens. Logika sosial menjadi sutradara yang menentukan peran apa yang boleh dimainkan. 

     Michel Foucault menggali lebih dalam, membongkar logika sosial sebagai mekanisme kekuasaan yang halus namun mengerikan. Melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, kekuasaan meresap bukan dengan pentungan, tapi dengan disiplin dan pengawasan. Panopticon – penjara model dimana narapidana mengawasi diri sendiri karena merasa selalu diawasi – menjadi metafora sempurna masyarakat modern. Kita menginternalisasi tatapan "masyarakat", menjadi penjaga sekaligus tahanan norma.

     Dan tiba-tiba, revolusi digital mengubah panggung itu secara radikal. Desa global Marshall McLuhan menjelma menjadi realitas, tapi desa ini terfragmentasi dalam echo chamber algoritmik. Logika sosial mengalami mutasi dahsyat. Logika viralitas menggeser logika kebenaran: nilai ditentukan oleh sebar, bukan substansi. Logika algoritmik membentuk realitas: apa yang kita lihat, percaya, dan menjadi, dikurasi oleh kode yang dirancang untuk memicu engagement – seringkali lewat kemarahan atau keunggulan moral. Pengawasan Foucaultian menemukan medium barunya: kolom komentar media sosial. Di sinilah, dalam gemerlap layar ponsel, logika sosial Indonesia menampilkan wajahnya yang khas.

     Salah satunya adalah fenomena gemar menasehati dan mencampuri urusan pribadi. Erving Goffman mungkin akan tersenyum sinis menyaksikan panggung ini. Di sini, orang berlomba memerankan "si bijak", "si pengalaman", atau "penjaga moral". Sebuah unggahan tentang pola asuh, pilihan karir, atau gaya hidup, bisa seketika diserbu komentar bernada "seharusnya…", "kasihan anaknya…", atau "jaman saya dulu…". Ini bukan sekadar rasa ingin tahu; ini adalah pementasan diri untuk mengukuhkan citra sekaligus penegasan norma sosial yang diyakini. 

     Michel Foucault akan menambahkan: ini adalah Panopticon warga-net dalam aksi nyata. Setiap orang merasa menjadi pengawas, berkewajiban menertibkan "penyimpangan" demi mempertahankan tatanan imajiner. Ada satir kelam tersembunyi di balik bungkus "niat baik": hasrat mengontrol kehidupan orang lain yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. 

     Meursault, tokoh Albert Camus yang dihukum mati (antara lain) karena ketidakmampuannya menampilkan kesedihan dramatis di pemakaman ibunya – sebuah ketidakpatuhan fatal pada skrip emosional yang dituntut masyarakat – mungkin akan menjadi sasaran empuk lynching digital di panggung seperti ini.

     Lebih kelam lagi adalah fenomena nostalgia kekerasan dalam pendidikan yang seringkali dibanggakan: "Dulu guru saya sering memukul pakai rotan, lalu disetrap di lapangan upacara hingga jam istirahat! Lihat sekarang, anak dibentak sedikit sudah ngambek, lalu orang tuanya lapor polisi! Mana bisa anak bermental kuat kalau dimanja!". Di sini, Foucault menggigit lebih dalam. Ini bukan sekadar kenangan, melainkan bukti nyata internalisasi logika penindas hingga ke tingkat yang mengharukan. Kekerasan fisik di sekolah adalah alat rezim disiplin lama untuk menciptakan docile bodies – tubuh-tubuh jinak yang patuh. 

     Yang memilukan adalah ketika korban justru meromantisasi alat penjinakannya, menyulap trauma itu menjadi mitos "pembentukan karakter". Mengejek "lapor polisi" adalah puncak ironi: mereka menertawakan mekanisme akuntabilitas dan penegakan hukum – pilar dasar masyarakat modern – demi mempertahankan warisan kekerasan yang terbebas dari pertanggungjawaban. Ini adalah tabrakan frontal antar logika sosial: otoritarianisme berbasis ketakutan dan kepatuhan buta versus paradigma berbasis hak asasi dan keadilan prosedural. Satirnya terasa getir: membanggakan kekerasan yang dialami sebagai lencana "ketangguhan" sejati, sambil mencemooh keberanian untuk menuntut keadilan sebagai tanda "kelemahan" generasi.

     Algoritma bukanlah penonton pasif. Ia adalah katalis yang memperkuat dan mendistorsi logika sosial warisan ini. Ia tahu persis umpan untuk si "penjaga moral digital": konten tentang "pengasuhan salah" atau "keruntuhan moral generasi kini". Ia paham godaan bagi si rindu kekerasan: meme "jaman dulu lebih disiplin" atau "generasi bangsat". Echo chambers memperkuat keyakinan kelompok, mengubah norma subjektif menjadi kebenaran mutlak. Logika viralitas memberi panggung pada yang paling lantang menghakimi atau yang paling getir meromantisasi kekerasan. Kita terjebak dalam siklus: bias kita memberi makan algoritma, algoritma memberi makan bias kita, memperkuat tembok logika sosial yang kadang usang dan kejam.

     Menyadari arsitektur tak kasat mata ini adalah langkah pertama pembebasan. Logika sosial bukan takdir, melainkan konstruksi yang bisa dikritik dan diubah. Menolak ikut dalam online shaming adalah merobohkan bata dari Panopticon digital. Mempertanyakan nostalgia kekerasan adalah menolak warisan docile bodies. Memahami bahwa feed kita adalah kurasi algoritma adalah membuka jendela kesadaran. Tantangannya bukan menghancurkan semua norma, melainkan menyaringnya dengan kritis: mana yang lahir dari kebijaksanaan kolektif, mana yang hanya jerat konformitas buta atau amplifikasi digital dari prasangka? 

     Di ujung labirin algoritma, pertanyaan abadi Socrates kembali menggema: bagaimana kita hidup bersama secara lebih adil, manusiawi, dan bebas dari belenggu logika sosial yang menghakimi dan melukai – baik itu bisik tetangga, pukulan guru yang diromantisasi, atau amarah viral yang dipicu mesin? Jawabannya dimulai ketika kita berani memutus benang yang tak terlihat itu, seutas demi seutas, dengan kesadaran yang jernih dan keberanian untuk merumuskan logika kemanusiaan kita sendiri.

     Dulu, sebelum kata “opini” diciptakan, manusia sudah memilikinya dalam bentuk paling primitif. Seorang pemburu menggoreskan bison di dinding gua bukan karena terpesona oleh estetika, melainkan karena butuh validasi, ingin diyakini, ingin diikuti. Goresan itu bisa jadi adalah propaganda pertama—sebuah pesan visual yang menyatakan, “bison adalah sumber hidup, hormati dia, ikuti aku.” Opini publik pertama mungkin lahir saat sekelompok manusia gua sepakat pada satu tafsir: bahwa jejak di lumpur adalah tanda dewa, bahwa arah angin adalah isyarat alam. Di sana, suara kolektif adalah hukum, dan penyimpangan berarti bahaya—bisa diasingkan, dianggap penyihir, atau sekadar menjadi makan siang seekor beruang. Publik adalah suku, dan opini bersifat totemik, sebuah lukisan bersama tentang dunia yang tak boleh diubah.

     Lalu datang revolusi agrikultur. Sawah, ladang, dan kebun bukan hanya mengubah pola makan, tapi juga pola berpikir. Dari ritme nomaden yang bebas, manusia kini terikat pada tanah, pada musim, pada otoritas yang memastikan irigasi berjalan. Kepala suku atau raja kecil mulai bicara lebih lantang, dan orang lain mendengarkan. Agama mulai memantapkan dirinya sebagai penyaring realitas: bukan lagi apa yang kau lihat, tapi apa yang dikatakan imam. Konsensus tak lagi lahir dari pengamatan bersama, melainkan dari narasi yang disahkan penguasa. Opini publik dibentuk dengan ritual, simbol, dan hukum tak tertulis yang mengatur dari kapan harus menanam hingga siapa yang harus dikorbankan saat banjir besar. Dan anehnya, semua itu berjalan mulus tanpa ada yang menyebutnya sebagai “opini publik.”

     Barulah di Yunani Kuno, opini mulai berani tampil di panggung terbuka. Agora menjadi teater bagi yang punya cukup waktu dan kekayaan untuk tidak bekerja di ladang. Retorika muncul sebagai senjata: seni memutar logika, mengemas kata hingga kebenaran terasa manis di lidah, atau kebohongan terasa logis. Di sana, orang bisa berdebat apakah bumi bulat atau datar, apakah Socrates bijak atau berbahaya. Namun demokrasi ini tak sepenuhnya demokratis—yang bisa bicara hanyalah segelintir yang berpendidikan, dan suara mereka lalu diulang-ulang sampai terdengar seperti suara mayoritas. Opini publik di sini bukanlah milik publik, tapi milik minoritas yang pandai membuatnya terdengar kolektif.

     Ketika agama monoteistik bangkit, opini publik seperti dimasukkan ke dalam botol kaca tebal lalu disegel rapat. Dogma menggantikan dialog. Apa yang diucapkan dari mimbar menjadi kebenaran tunggal, dan siapa pun yang mengajukan pandangan lain dianggap musuh Tuhan. Buku dibakar, lidah dipotong, tubuh diseret ke tiang pancang. Namun, di balik semua itu, opini berbeda tetap tumbuh seperti api kecil di hutan kering. Ada bisik-bisik di pasar, tulisan rahasia di margin kitab suci, diskusi malam di ruangan gelap. Di situ, opini publik bukanlah arus deras, melainkan rembesan yang perlahan menggerogoti fondasi kebenaran tunggal.

     Pencerahan datang bersama suara mesin cetak. Gutenberg, dengan roda gigi dan tinta hitamnya, meledakkan pintu sangkar yang selama ini menahan gagasan. Tiba-tiba ide bisa melintas dari kota ke kota, dari benua ke benua. Luther menempelkan 95 dalil di pintu gereja bukan sekadar tindakan teologis, tapi pukulan langsung ke monopoli opini. Pamflet dan buku menjadi senjata baru, dan opini publik kini bergerak seperti pasukan gerilya: dari mulut ke mulut, lembar ke lembar, menjadi gelombang revolusi yang meruntuhkan raja dan memenggal kepala aristokrat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, opini publik terasa seperti milik rakyat, meski tetap saja, mereka yang bisa mencetak dan menyebarkannya adalah segelintir yang punya sumber daya.

     Abad 20 mengubah medan pertempuran ini lagi. Radio, lalu televisi, memperluas cakrawala suara tunggal. Seorang pemimpin kini bisa berbicara kepada jutaan orang serentak, menciptakan ilusi keintiman antara penguasa dan rakyat. Pidato Hitler yang membakar semangat, debat Kennedy-Nixon yang menentukan persepsi, semuanya menunjukkan satu hal: opini publik telah menjadi senjata strategis. Walter Lippmann menyebutnya phantom public—sebuah bayangan yang tampak nyata namun bisa dibentuk ulang sesuai kepentingan. Dan di sini muncul pertanyaan yang menghantui: apakah opini publik adalah cerminan kehendak rakyat, atau hanya pantulan yang sudah dipoles oleh media dan kekuasaan?

     Internet datang seperti badai. Semua orang bisa bicara, semua bisa mengunggah, semua bisa viral. Demokratisasi informasi terasa seperti janji yang manis. Namun yang terjadi kemudian adalah banjir opini yang kehilangan arah. Kebenaran bersaing ketat dengan hoaks, dan keduanya dinilai bukan berdasarkan akurasi, melainkan seberapa menarik untuk dibagikan. Post-truth menjadi norma: percaya karena suka, bukan karena benar. Algoritma—yang katanya netral—mulai menyaring apa yang kita lihat, menempatkan kita dalam gelembung kenyamanan opini, membuat kita merasa mayoritas bahkan ketika kita minoritas.

     Kini, kita berada di ambang bab baru. Kecerdasan buatan tak hanya memantau opini publik, tapi memprediksi, memodifikasi, dan menyusunnya sebelum ia benar-benar lahir. Dari kampanye politik yang dipersonalisasi hingga bot yang memicu trending topic, opini publik semakin sulit dibedakan dari simulasi yang dirancang untuk memberi kita ilusi berpikir bebas. Cambridge Analytica hanyalah contoh kecil dari kemungkinan besar yang sedang berlangsung setiap hari. Yang kita anggap “suara rakyat” mungkin hanyalah hasil perhitungan statistik yang dibungkus emosional, diberikan tepat pada waktu yang membuat kita merasa itu suara hati kita sendiri.

     Dan pada titik ini, kita patut bertanya: apakah opini publik masih “publik”? Atau ia telah menjadi ekosistem digital yang sepenuhnya bergantung pada pola klik, reaksi emoji, dan rentang perhatian yang tak lebih panjang dari satu paragraf? Ironisnya, dari semua bentuk kontrol di masa lalu—dogma, sensor, propaganda—algoritma mungkin adalah yang paling efektif, karena ia tak memaksa. Ia hanya memberi kita apa yang kita suka, sampai kita lupa bagaimana caranya menyukai hal yang berbeda.

     Akhirnya, perjalanan ini membawa kita kembali ke titik awal. Dulu, di gua, kita menggambar bison agar orang lain melihat dan setuju. Kini, di layar, kita mengetuk jempol biru dengan harapan yang sama. Bedanya, dulu yang melihat adalah sesama pemburu yang kita kenal; kini yang melihat bisa jadi mesin, atau akun anonim di belahan dunia lain. Dari coretan di batu hingga jejak digital, satu hal tetap sama: opini publik tak pernah benar-benar milik publik. Ia selalu menjadi arena perebutan—oleh imam, raja, pemilik media, korporasi teknologi, atau mesin.

     Mungkin suatu hari nanti, kita akan sadar bahwa dalam ribuan tahun evolusi ini, kita hanya mengganti batu dengan server, asap api unggun dengan notifikasi, dan bisik-bisik pasar dengan thread panjang di media sosial. Dan seperti leluhur kita, kita akan terus mencari tatapan setuju itu—meski kali ini, mungkin yang menatap balik hanyalah algoritma.

     Jika gen adalah “aktor utama” dalam panggung evolusi, maka kita, manusia, bisa dipandang sebagai panggung itu sendiri—atau lebih tepatnya, sebagai wadah sementara tempat mereka berdrama. Richard Dawkins dalam The Selfish Gene menulis kalimat yang provokatif sekaligus membebaskan: “Kita, satu-satunya spesies di bumi yang mampu memberontak melawan tirani replikator egois.” Kalimat itu adalah semacam undangan: apakah kita akan tunduk pada hukum dingin seleksi alam, atau berusaha melangkah ke luar dari takdir biologis yang membentuk kita?

     Kebanyakan organisme menjalani hidup tanpa pernah menyadari bahwa tindakannya diarahkan oleh program genetik. Burung membangun sarang, lebah menari untuk memberi tahu arah nektar, rusa jantan bertarung demi betina—semuanya adalah naskah lama yang ditulis oleh gen. Namun manusia berbeda. Kita memiliki kesadaran reflektif, mampu menatap ke dalam diri dan bertanya: Mengapa aku melakukan ini? Haruskah aku melanjutkannya? 

     Di titik inilah pemberontakan lahir. Kesadaran memungkinkan kita untuk menilai ulang dorongan-dorongan biologis: agresi, nafsu, bahkan dorongan untuk menyingkirkan yang lemah. Kita bisa memilih untuk menahan diri, membangun norma, atau menciptakan etika yang justru melawan “kepentingan” gen. Praktik kontrasepsi, misalnya, adalah keputusan sadar yang secara terang-terangan menentang dorongan genetik untuk bereproduksi sebanyak-banyaknya.

     Munculnya budaya lalu memberi kita perangkat tambahan untuk melawan gen. Tradisi, hukum, pendidikan, dan seni membentuk perilaku manusia tanpa harus mengikuti naskah biologis. Kita bisa mengajarkan kasih sayang, solidaritas lintas kelompok, bahkan keberanian melawan ketidakadilan, bukan karena gen kita “menginginkannya”, melainkan karena kita memilih jalan itu.

     Dawkins sendiri melihat budaya, lewat meme, sebagai replikator tandingan. Jika gen menuntut keberlangsungan fisik, maka meme bisa mendorong ide-ide yang justru melawan kepentingan biologis. Gagasan tentang kesetaraan gender, gerakan vegetarian, atau kesadaran ekologis adalah “meme” yang sering kali merugikan strategi gen, tetapi memperluas horizon kemanusiaan.

     Meski begitu, pemberontakan melawan tirani gen tidak berarti kita bisa melepaskan diri sepenuhnya dari biologi. Kita tetap tubuh yang lapar, lelah, dan rentan. Namun di ruang di mana pilihan terbuka, kita bisa menegakkan etika. Kita bisa merawat anak orang lain, bahkan orang asing yang tak ada kaitan genetik, hanya karena kita percaya itu benar. Kita bisa memilih solidaritas alih-alih egoisme murni. Di sinilah manusia menguji batas: apakah kita hanya “mesin bertahan hidup”, atau makhluk yang bisa melampaui programnya sendiri?

     Justru pada titik inilah Dawkins tidak menutup refleksinya dengan pesimisme. Ia menyarankan agar kita memanfaatkan kesadaran untuk membangun dunia yang lebih baik: bukan tunduk pada gen yang buta, melainkan menciptakan tatanan yang sadar. Pesannya seperti gema yang masih terdengar hingga kini: kita tidak harus menjadi budak gen. Dengan segala kelemahan dan potensi yang kita miliki, kita bisa menulis naskah baru di atas panggung kehidupan.


     Ketika Richard Dawkins menutup The Selfish Gene dengan bab tentang meme, ia mungkin tak menyangka betapa jauh ide itu akan melayang. Awalnya, meme hanya ia maksudkan sebagai analogi: kalau gen adalah unit dasar yang bereplikasi di ranah biologis, maka di ranah budaya ada “gen” lain—gagasan, cerita, kebiasaan—yang hidup dengan cara mirip.

     Dawkins mencari istilah yang pas, lalu memendekkan kata Yunani mimeme (“sesuatu yang ditiru”) menjadi meme. Ia sengaja menyesuaikan bunyinya dengan gene, agar paralelnya jelas: sama seperti gen menular lewat reproduksi, meme menular lewat imitasi.

     Apa itu meme? Lagu yang terus terngiang di kepala. Lelucon yang menyebar dari mulut ke mulut. Ritual agama yang diwariskan turun-temurun. Mode pakaian yang tiba-tiba populer. Bahkan teori ilmiah. Semuanya bisa dipahami sebagai unit informasi budaya yang berebut tempat di pikiran manusia. Yang bertahan bukan selalu yang benar, melainkan yang paling gampang diingat, ditiru, dan disebarkan.

     Dengan kerangka ini, manusia tidak hanya mesin gen, tetapi juga mesin meme. Otak kita menjadi ladang subur bagi gagasan yang saling bersaing. Meme yang berhasil menular akan terus hidup, sementara meme yang gagal akan hilang begitu saja. Evolusi tidak berhenti di biologi, tetapi berlanjut di ranah ide.

     Tentu, ide ini awalnya dianggap sampingan. Banyak ilmuwan menganggap memetics—usaha mempelajari penyebaran meme secara ilmiah—tidak pernah benar-benar mapan. Sulit mengukur, sulit memodelkan. Tetapi justru karena sifatnya yang lentur, konsep meme meluas ke luar sains. Sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi, hingga studi media memakainya untuk memahami bagaimana gagasan menyebar dan berevolusi.

     Lalu datanglah internet. Kata meme meloncat dari buku sains menjadi ikon budaya digital. Foto kucing lucu, potongan film, teks jenaka yang viral—semuanya kita sebut meme. Meski makna ini agak berbeda dari maksud Dawkins, benang merahnya tetap sama: meme adalah informasi yang menular, yang bereplikasi cepat, yang hidup dengan daya tariknya sendiri.

     Ada sisi indah sekaligus gelap di sini. Meme bisa jadi bahan tawa, cara solidaritas, atau sarana kreativitas. Tetapi meme juga bisa berupa propaganda, hoaks, atau ideologi fanatik. Seperti gen, meme tidak peduli apakah ia “baik” atau “buruk” bagi host-nya. Yang penting baginya hanyalah bertahan dan menyebar.

     Dalam kacamata ini, kita melihat diri kita sendiri tidak sepenuhnya sebagai penguasa ide, tetapi sering kali sebagai inang yang dipakai ide untuk hidup. Lagu iklan yang terus melekat di telinga, teori konspirasi yang menolak mati, atau kebiasaan yang tak kita pahami asal-usulnya—semua adalah meme yang berhasil menguasai pikiran kita.

     Namun sekali lagi, Dawkins menutup dengan harapan. Sama seperti kita bisa melawan tirani gen, kita juga bisa melawan tirani meme. Dengan kesadaran, kita bisa memilih gagasan mana yang ingin kita rawat dan sebar, dan mana yang perlu kita matikan dengan membiarkannya berhenti di kepala kita.

     Meme adalah cermin lain tentang diri manusia: kita bukan hanya makhluk biologis yang dikendalikan gen, tetapi juga makhluk kultural yang dijejali gagasan. Pertanyaan akhirnya bukan apakah kita bisa lepas dari gen atau meme, melainkan apakah kita bisa menggunakan kesadaran kita untuk memilih dengan bijak meme mana yang pantas diwariskan.


Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.