Articles by "Semilir Bayu"

Tampilkan postingan dengan label Semilir Bayu. Tampilkan semua postingan

     Kemarin siang, kabar duka meninggalnya Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif  mengguncang begitu banyak orang, termasuk saya. Namun setelah itu, saya malah teringat kepadamu sahabat, tentang pertemuan terakhir kita, tentang diskusi sepanjang perjalanan pulang dari Pangkep waktu itu, sebelum engkau direnggut pandemi covid-19 di September 2021.

     Sebenarnya kita jarang ngobrol. Kamu pendiam, lebih banyak mendengar ketimbang bersuara, apalagi untuk hal-hal bernada gosip tidak bermanfaat. Tetapi hari itu, banyak kata yang yang kita tuturkan. Banyak kalimat, banyak pemikiran dan analisa yang saling berbalas diantara kita. Hingga salah satunya yang sangat menarik perhatianmu ketika saya mengemukakan salah satu orasi ilmiah yang telah diterbitkan dalam bentuk paper. Orasi ilmiah yang diselenggarakan setiap tahun di Universitas Paramadina, salah satunya adalah orasi yang disampaikan oleh Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif itu.

     Diskusi kita tentang Buya dalam papernya yang berjudul "Politik Identitas" membahas tentang ketegangan antara politik identitas dengan politik kebangsaan dalam konteks Indonesia. Buya menyoroti bahwa politik identitas, yang didasarkan pada faktor-faktor seperti agama, etnisitas, dan kebudayaan, dapat mengganggu stabilitas kebangsaan dan mengancam persatuan Indonesia.

     Pokok-pokok pikiran Buya Ahmad Suafi'i Maarif bahwa 'Politik Identitas' dapat memicu konflik antar kelompok di Indonesia. Jika politik identitas telah menggantikan politik kebangsaan sebagai fokus utama, maka hal ini dapat mengarah pada polarisasi masyarakat dan memperkuat perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
     Politik identitas harus diakui sebagai kebutuhan dasar kemanusiaan, namun harus dibatasi agar tidak melanggar hak-hak yang sama bagi semua orang. Kebangsaan harus tetap menjadi tujuan utama dan prinsip-prinsip demokrasi harus dipertahankan dalam setiap konteks politik identitas.
     Masyarakat Indonesia harus membangun semangat solidaritas dalam menanggapi politik identitas. Kita harus memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab bersama untuk memerangi setiap upaya yang dapat membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa.
     Politik identitas dapat diatasi dengan mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, dan mengurangi ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang dapat mendorong munculnya perasaan ketidakadilan di antara masyarakat.

     Dengan kata lain, Ahmad Suafi'i Maarif menunjukkan perlunya menjaga keseimbangan antara politik identitas dan kebangsaan di Indonesia, sehingga kedua hal tersebut dapat berdampingan secara harmonis demi mewujudkan persatuan dan kerukunan di antara seluruh komponen masyarakat Indonesia.

     Setelah pemaparan singkat saya, kita tenggelam dalam pikiran masing-masing. Beberapa saat lamanya, kamu bergumam pelan, bahwa mau membaca paper Buya itu secara lengkap. Setelahnya, baru melanjutkan diskusi tentang paper tersebut denganku. Saya tentu menyambut dengan sangat antusias. Engkau sebagai akademisi, tentu perlu menemukan sumber primer dari bahan diskusi yang akan menolong menghindarkan kita dari kekeliruan persepsi bahkan dari bias pemahaman.

     Karenanya saya menyarankan satu buku lagi berjudul 'Hate Spin', yang merupakan thesis doktoral dari Cherian George, seorang dosen Komunikasi di Singapura yang sekarang pindah ke Universitas Hong Kong. Kamu menoleh, menanyakan "apakah ada hubungannya dengan bukunya Buya?"

     "Ya, tentu saja" jawabku segera, Ada korelasi antara pandangan Buya dengan isi buku Cherian George itu. Dengan mengambil sampel penelitian di tiga negara: India, Amerika dan Indonesia, buku 'Hate Spin' membahas tentang bagaimana media massa dan politikus menggunakan isu-isu yang sensitif untuk menciptakan polarisasi dan kebencian antar kelompok masyarakat. Korelasi pandangan Buya diatas yang menganggap penting untuk menghargai perbedaan dan menghindari penyebaran kebencian, dapat bersesuaian dengan pesan yang disampaikan dalam bukunya Cherian George itu. Pembaca didorong untuk lebih kritis terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa dan politikus, dan membuka mata akan dampak negatif yang bisa terjadi jika kita mudah terpancing emosi dan terbawa arus polarisasi dan kebencian yang tercipta.

      Dengan demikian, pandangan Buya sejalan dengan pesan utama buku "Hate Spin" yang menekankan pentingnya menghadapi masalah dan perbedaan dengan kepala dingin, dan bukan dengan memberikan respon yang emosional dan terbawa arus. Melalui pendekatan yang lebih kritis dan objektif, kita dapat menghindari jebakan polarisasi dan kebencian, dan membuka ruang untuk dialog untuk mwmperoleh pemahaman yang lebih baik di antara kelompok masyarakat yang berbeda-beda. 

     Sayang sekali sahabat, Engkau pergi begitu cepat, meninggalkan diskusi kita yang belum tuntas.

     Beristirahatlah dengan tenang disana sahabatku,  Dr. Fadliah Nasaruddin, SE.,Msi.,Ak.,CA. Sebelum saya menyusul kesana, kamu bisa diskusi langsung dengan Buya, yang papernya belum tuntas kita diskusikan itu. Dengan tulus saya doakan semoga berkah dan pertolonganNya selalu dilimpahkan untukmu. Al Fatihah.

Dr. Fadliah Nasaruddin, SE.,Msi.,Ak.,CA.

     Ketika suatu saat di antara gulungan dan lipatan waktu, kulintasi jalan sempit di antara lebatnya hutan belantara, sempat kutemui suatu pemberitahuan yang isinya terasa sedikit aneh, "Dilarang Makan Batu". Sejenak aku tertegun, lalu mengikuti jalan setapak di samping pemberitahuan tadi, sambil membawa rasa ingin tahu yang sangat besar. Akhirnya saya tiba di sebuah gua yang pada jalan masuknya duduk seorang tua dalam penampilan yang sangat sederhana.
     Kusampaikan salam hormatku padanya dan iapun membalas seraya berkata, "Engkau datang membawa pertanyaan dan rasa penasaran bahwa sebelumnya Engkau tidak pernah melihat suatu pemberitahuan tentang larangan memakan batu, sebab pernyataan tersebut tidak dibutuhkan orang. Tidak makan batu bisa dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang umum".
     Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. "Hanya saja kalau manusia juga mampu menghindari kebiasaan-kebiasaan lainnya, kebiasaan yang bahkan jauh lebih merusak dan lebih buruk daripada memakan batu, maka akan mampulah ia melampaui keadaannya sekarang yang begitu patut dikasihani".
     Aku memcoba mengartikan maksud ucapan orang tua dihadapanku ini, tapi hanya sedikit yang bisa kusimpulkan.
     "Tolonglah Bapak menjelaskan, seperti apakah keadaan yang patut dikasihani itu.?", aku memberanikan diri bertanya.
     "Baiklah, aku akan memberi contoh tentang suatu keadaan, yang dialami seorang guru bersama seorang muridnya disuatu negeri yang jauh", begitu jawabnya.

     Hatta, sang guru sedang menunggang keledai ke pasar diikuti seorang muridnya di belakangnya. Tiba-tiba dari arah depan muncullah seorang lelaki yang langsung berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah sang guru. "Lihatlah, telah tiba di tempat ini orang yang tak beriman". Begitu teriak lelaki itu berulang-ulang. Sang murid yang mengikuti gurunya di belakang, menjadi begitu marah kepada lelaki itu. Merekapun terlibat pertengkaran sengit bahkan hampir berkelahi.
     Melihat keadaan itu, sang guru menenangkan muridnya sambil berkata "Jika Engkau mau menghentikan keributan ini, aku akan menunjukkan kepadamu suatu kebijaksanaan, bagaimana Engkau dapat menghindarkan kesulitan dan pertengkaran yang seperti ini".
     Mereka, guru dan murid kemudian pulang. Sesampai di rumah, guru tadi menyuruh mengambil kotak surat lalu mengeluarkan isinya.
     "Pandanglah ini. Semua surat ini dialamatkan padaku tetapi ditulis dalam istilah-istilah yang berbeda-beda. Di sini orang menyebutku "Syekh Islam"; di situ dikatakan "Guru Yang Luhur"; yang lain mengatakan aku adalah "Yang Arif dari Dua Tempat Suci"; dan masih banyak sebutan lainnya lagi.
     "Amatilah bagaimana masing-masing menyebutku dengan pertimbangannya sendiri mengenai diriku. Tetapi 'aku' bukanlah semuanya itu. Tiap-tiap orang menyebut orang lain menurut apa yang dipikirkan tentang dirinya sendiri. Itulah juga yang telah dilakukan oleh lelaki yang di pasar siang tadi, yang membuatmu bertengkar dengannya".
     "Mengapa Engkau berbuat demikian sementara itu adalah aturan umum di dalam kehidupan?" Sang guru yang penuh kasih itu mennyelesaikan pelajarannya untuk murid di hadapannya.

     Orang tua di hadapanku berhenti bercerita, namun tetap memandang ke arahku. Aku mengangguk-angguk setelah mendengar kisah itu.
     "Memang perlu dikasihani, karena manusia selalu percaya bahwa apa yang dipikirkannya adalah benar, di dalam kerangka wawasan piciknya yang dikendalikan egoisme. Dan sungguh, keadaan itu jauh lebih buruk daripada memakan batu.
diolah dari bahan-bahan dalam kitab 'Jalan Sufi' tulisan Idries Shah
gambar : webshot[dot]com 

     Kapan terakhir kali kita menyadari rasa damai di dalam diri sendiri? Sepertinya kesibukan yang melanda sepanjang waktu, membuat kita tidak sempat untuk berdialog dengan diri sendiri. Kedekatan yang tak berjarak dengan diri, menempatkan rasa sok tahu kita di posisi paling atas, lalu menganggap kita sudah tahu segalanya dengan baik.
     Sejatinya memang seperti itu. Tanpa jarak dengan diri sendiri, juga membuat kita takut untuk menelisiknya secara obyektif. Begitu banyak kepalsuan yang kita lakoni sehari-hari, entah itu untuk menyenangkan klien atau orang-orang lain yang bertemu dengan kita, atau untuk kepentingan oportunis yang menjadi kebiasaan kita, telah melahirkan ketakutan yang begitu luar biasa. Menengok dengan kacamata yang obyektif tentang siapa diri kita sebenarnya akan meneguhkan, sekaligus akan menyayat kepiluan yang telah menyertai setiap detik kemunafikan yang kita lakoni.
     Konflik yang berkepanjangan itulah yang kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan kepada kita. Berbagai macam kekecewaan mendera bertubi-tubi, oleh harapan yang meluap-luap kepada fenomena dunia, namun tidak kesampaian menjadi kenyataan. Memang sih, gangguan kejiwaan pada setiap individu itu bervariasi. Pada tingkat yang tidak mampu ditoleransi oleh kemunafikan yang menjadi bahan dasar topeng yang kita kenakan, maka psikiater akan menjadi penyelesaian yang logis.

     Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Mengamati diri sendiri, tidak seperti kalau kita mengamati orang lain. Sesuatu yang begitu mudah bila kita diminta menakar tentang seseorang, tentang orang lain. Ada spasi antara kita dengan obyek (orang lain) yang kita amati, yang kita isi dengan berbagai hal yang telah kita percayai sebelumnya. Juga beberapa asumsi umum, tentang apa yang kita harapkan dari obyek itu, menjadikan distorsi di dalam pengamatan.
     Itulah mengapa, apa yang kita lihat dengan indera kita, tidak bisa sekonyong-konyong melahirkan kesimpulan yang obyektif. Pengaruh tentang apa yang hendak kita simpulkan, tentang apa yang kita harapkan, tentang apa yang kita percaya dari orang tersebut menjadi pengisi spasi antara kita dengan obyek. Terjadi bias, distorsi di dalam pikiran mengenai kesimpulan tentang orang lain.
     Ambil contoh bila kita melihat seorang perempuan. Dalam sekejap, kita bisa meyimpulkan, ‘ah dia bukan tipeku’. Pengamatan kita terdistorsi oleh harapan-harapan apa yang ada di pikiran kita tentang seorang perempuan. Kesimpulan yang kita buat menjadi bias.
     Hal itu tidak terjadi bila kita mengamati diri sendiri. Tidak adanya jarak antara kita dan diri sendiri, tidak menyisakan tempat untuk adanya bias atau distorsi di dalam pengamatan. Kita bisa tau dengan cermat dan teliti apa dan siapa diri kita, dalam istilah yang lebih sederhana bahwa kita melihat fakta apa adanya tentang kualitas diri sendiri. Kitapun kemudian ‘enggan’ bertemu diri sendiri, karena ternyata dia tidak sempurna.

     Lalu untuk apa semua kenyataan diri sendiri itu? Ya jelas untuk berdamai dengannya. Mengamati diri sendiri tanpa rasa takut, tanpa kegelisahan, maka kita akan bisa menerima keadaan diri sendiri ‘apa adanya’, dengan semua kekurangannya. Di saat itu, kita merasakan damai.
     Misalnya kita tahu bahwa kita pendek, gendut dan botak. Ketika fakta-fakta itu bisa kita terima tanpa ekspektasi apa-apa tentang diri kita, maka kita akan bisa bersikap biasa saja. Tidak risih. Tidak terganggu oleh apapun, oleh siapapun yang mempermasalahkan kualitas pendek, gendut dan botak itu. Kemampuan menerima diri sendiri dengan segala kekuarangan dan kelebihannya, akan berdampak positif ke arah kemampuan kita menerima orang lain. Kita tidak akan rewel oleh hal-hal kecil dan remeh. Batin kita menjadi tenang, tidak mudah marah atau tersinggung.
     Kedamaian yang tercipta itu pun kemudian akan terpancar ke lingkungan kita. Sebagai orang yang damai hatinya, maka aura positif itu akan menyebar ke orang-orang lain yang bergaul dengannya. Kita tidak perlu kecewa kepada diri sendiri karena bisa menerima diri apa adanya. Karenanya, bagaimana pun orang lain memodifikasi untuk mengkiritik atau menjatuhkan kita oleh kekurangan-kekurangan yang kita miliki, tidak akan mengganggu kita lalu menjadikan kita tersinggung bahkan marah membabi buta.
     Kita akan menjadi orang bijak, yang tidak goyah oleh cacian ataupun pujian. Kemampuan kita berdamai dengan diri sendiri akan menjadi tangga untuk meraih salah satu kualitas ‘bijak’ di kehidupan ini.
sumber gambar : terupdateonline[dot]com

     Di rumah yang sederhana itu seorang lelaki tua terbaring sakit di atas dipan. Sepertinya ia sudah mendapat firasat bahwa inilah saat-saat akhir dari perjalanan hidupnya di dunia. Tidak ada sama sekali kecemasannya untuk menghadapi kematian itu. Kecuali satu hal yang belum rampung. Siapa yang akan menggantikan dirinya sebagai Khalifah yang akan melanjutkkan kepemimpinan atas umat muslim itu?
     Abu Bakar 'sang penerima kebenaran' itu sedang berfikir keras didampingi tubuhnya yang sakit. Setelah banyak kesimpulan yang tersimpan di benaknya, maka dimintanyalah orang yang selama ini menjadi 'tangan kanan'nya di dalam pemerintahan, untuk menemuinya.1)
    Tidak lama kemudian, orang yang dimaksud sudah berada di depan pintu, menyampaikan salam dengan takzim. Dia Umar ibn Khattab2)  segera menghampiri sisi dipan tempat Abu Bakar sang Kalifah pertama terbaring. Tanpa menunggu Umar duduk bersimpuh dengan rapi, Abu Bakar langsung mengutarakan kesimpulan dari perenungan atas pertimbangan-pertimbangan yang dilakukannya. Salah satunya adalah tentang konsistensi dan ketegasan di dalam bersikap. Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi Khalifah menggantikan dirinya setelah ia meninggal nanti.

     "Jangan, Abu Bakar!" tukas Umas spontan setengah berteriak. "Aku tidak memerlukan jabatan Khalifah itu", sambungnya.
     "Tetapi kekhalifahan memerlukanmu, Umar" sahut Abu Bakar sang Khalifah. "Aku kuatir maut tiba-tiba menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa khalifah pengganti.." lanjutnya lagi.
     "Tunjuklah penggantimu selain aku!" sergah Umar segera.
     "Siapa?" Abu Bakar berpaling menatap wajah Umar.
     "Abu 'Ubaidah misalnya. Dia Aminul Ummah, kepercayaan Ummat." Umar menyebutkan satu nama kepada Khalifah.
     "Memang itu sudah kupikirkan juga, Umar. Namun aku tidak melihat pada diri 'Ubaidah itu, kekuatan seperti yang ada pada dirimu. Dia memang dapat dipercaya, tetapi aku ingin orang yang kuat yang dapat dipercaya. Al-Qawwiyyul Amiin. Kaum Muslimin saat ini sedang menghadapi dua Singa, yaitu Parsi dan Rum. Karenanya pula umat inipun diperhadapkan hanya pada dua pilihan. Apakah Umat ini nanti mampu menyinari dunia dengan Cahaya Islam, atau justru dunia yang akan memadamkan Cahaya Islam." tutur Abu Bakar panjang lebar.
     "Allah akan menyempurnakan Cahaya Islam, betapapun orang-orang kafir tidak merasa senang." ucap Umar dengan mantap.
     "Allah menyempurnakan Cahaya Islam melalui hamba-hambaNya yang pantas, yang berjuang dengan ikhlas!" timpal Abu Bakar tidak kalah mantap.
     "Bagaimana Anda memilihku, Khalifah, sedangkan aku sering berbeda pendapat dan pandangan dengan Anda?" selidik Umar lebih jauh.
     "Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seorang yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh hati. Bila ia mengatakan iya, iapun mengatakannya sepenuh hati." Mereka berdua terus berdebat saling bertukar argumentasi. Yang satu ngotot meminta, yang satu berkeras menolak.
     Di desak terus menerus, Umar yang perkasa itu pun menitikkan air mata. "Abu Bakar, aku mengkhawatirkan diriku, agamaku dan akhiratku.."
     "Wahai Umar, dalam urusan kekuasaan ini, ada dua orang yang celaka. Pertama adalah orang yang berambisi menjadi penguasa padahal dia tahu ada orang yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua yaitu orang yang menolak ketika diminta dan dipilih, padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu. Dia menolak semata-mata karena lari dari tanggungjawab dan enggan berkhidmad kepada Umat."
     "Wahai Abu Bakar, demi persahabatan dan kecintaanku kepadamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari kiamat kelak." pinta Umar sambil terisak kecil.
     "Engkau lupa, Umar, Imam yang adil kelak akan dipayungi Allah di hari yang tidak ada payung kecuali payungNya." timpal Abu Bakar penuh kasih.
     Umar terisak semakin kencang. "Imam yang adil, ya.! Tetapi aku?"
     "Kau juga, kau juga, Umar!" timpal Abu Bakar sambil menggenggam tangan Umar.
     "Besok di hari kiamat, kau tidak bisa menolongku apa-apa, Abu Bakar, bila Allah menghendaki menghukumku."
     "Wahai Umar anak Ibu Umar, bukan demikian Allah ditaqwai dengan sebenarnya. Bukankah kau tahu ayat yang longgar turun selalu dibarengi dengan ayat yang keras dan sebaliknya, agar orang mukmin senantiasa dalam harap dan cemas. Tidak mengharap dari Allah sesuatu yang tidak berhak atasnya dan tidak cemas atas sesuatu yang diletakkan Allah di tangannya. Bila setiap orang yang mempunya tanggungjawab tidak melaksanakannya karena takut kepada Allah, niscaya takut kepada Allah akan berubah menjadi buruk sangka kepadaNya. Dan akan rusaklah tatanan dan tersia-siakanlah hak-hak kaum lemah, mustadh'afin."
     "Apakah tidak ada orang lain selain aku yang lebih pantas dan mampu?"
     "Baiklah, mari kita nilai dirimu, Umar! Maukah kau dengan sejujur-jujurnya menilai dirimu sendiri?
     "Baik." jawab Umar singkat.
     "Katakanlah, demi Allah yang mengetahui apa yang ada dalam hatimu, apakah kau melihat ada orang yang lebih pantas memegang jabatan ini melebihimu?" tanya Abu Bakar.
     "Aku tidak meragukan bahwa ada orang yang lebih baik ketimbang aku." kata Umar.
     "Jawab pertanyaanku, Wahai Umar, apakah engkau melihat di antara kaum muslimin setelah aku, ada orang yang lebih kuat ketimbang dirimu dalam mempertahankan kedaulatan mereka?"
     Umar menahan deras air matanya yang mengucur dan menjawab lirih, "Allahumma laa.. memang, sayang tidak ada."
     "Alhamdulillah!" Abu Bakar bertakbir sambil mengucapkan hamdalah silih berganti.
     "Tetapi Anda harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang, wahai Abu Bakar."
     Sambil menatap penuh kasih kepada sahabatnya, Abu Bakar tersenyum, "Tentu, aku akan melakukannya, Umar. Hambatan yang terberat sudah kulalui. Insya Allah yang lain akan lebih mudah."

     Nukilan kisah dialog ini saya dedikasikan untuk saudara-saudaraku yang tengah penuh semangat memacu adrenalin menggapai titik-titik kekuasaan di level yang menjadi targetnya masing-masing. Semoga menjadi bahan renungan ditengah kobaran demam kekuasaan seperti sekarang ini. Wallahu a'lam.
1)  lihat Abu Bakar di wikipedia
2)  lihat Umar ibn Khattab di wikipedia

     Ada seorang sahabat saya yang bernama Hasan. Orangnya sangat bersahaja. Ia mempunyai “kebiasaan” yang menurutku sangat langka.
      Apabila ia membeli sesuatu dari “pedagang kecil”, ia tidak mau menawar. Bahkan seringkali jika ada uang kembalian, maka selalu diberikannya kembali kepada pedagangnya.
     Pernah suatu hari saya naik mobilnya, lalu mampir di SPBU untuk menambah isi tangki mobil. Hasan berkata kepada Petugas di SPBU itu, “Tolong diisi 95ribu saja ya..” dengan suara yang lembut namun jelas. Sang Petugas merasa heran. Ia pun balik bertanya: “Kenapa tidak sekalian seratus ribu, Pak?”
     “Gak apa-apa, isi saja Rp 95rb”, balas Hasan sambil tersenyum. Selesai diisi bensin, Hasan memberikan uang seratus ribu, lalu sang petugas pun memberikan uang kembalian lima ribu.
     Hasan berkata: “Gak usah, ambil saja kembaliannya.” Sang petugas SPBU tampak bingung seperti tidak percaya. Ia pun serta merta berucap sambil membungkuk hormat, “Terima kasih, Pak. Seandainya semua orang seperti Bapak, tentu hidup kami tidak susah dengan gaji pas-pasan sebagai pegawai kecil.” Rasa terimakasih, bersyukur dicampur bahagia memancar di sorot mata petugas itu.
     Saya tertegun oleh perilaku Hasan dan juga tentang apa yang dikatakan oleh petugas SPBU tersebut. Di dalam perjalanan, saya bertanya pada sahabat saya tersebut, “Apakah engkau sering atau malah selalu melakukan hal yang seperti tadi itu?”
     Hasan tersenyum kecil lalu berujar, “Temanku, sangat banyak hal-hal kecil dan bermanfaat yang bisa kita lakukan disekeliling kita, secara konsisten, setiap hari. Kita tidak akan jatuh miskin jika setiap mengisi bensin kita bersedekah lima ribu kepada mereka. Dengan uang lima ribu itu pastinya tidak akan membuat dia kaya, namun jelas akan sangat membantu membuat hatinya bahagia.
     Aku tercenung mencerna kata-kata sederhana Hasan. Masih dengan nada datar dan tulus, dia melanjutkan kalimatnya yang tadi terhenti sesaat, seperti memberi kesempatan kepadaku untuk meresapinya.
     "Jalanilah Hidup setiap hari dengan prinsip matematika dasar. Mengalikan sukacita, mengurangi kesedihan, menambahkan semangat, membagi kebahagiaan, dan menguadratkan kasih sayang kepada sesama." Hasan terkekeh renyah di sela senyum tulusnya sambil menepuk hangat bahuku.
inspired dari posting status Om Kelly di facebook.
semoga berkah Tuhan selalu untukmu.

     Di salah satu sudut kota yang tidak terlalu ramai itu, seorang anak kecil merengek meminta roti kepada ibunya. Dengan penuh kasih sayang, sang ibu mengajak anaknya pulang ke rumah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat itu. Sesampai di rumah, si ibu berfikir sejenak sebelum memberikan roti untuk anaknya. Sekarang sudah tiba saatnya untuk mengajarkan satu aspek penting di dalam pemahaman bertuhan kepada si anak.
     Dengan penuh kasih, ibu itu memangku anaknya tadi, sambil membujuk untuk mendengarkan nasehatnya sebelum mendapatkan roti. Begini anakku, setiap sore engkau mengulang dengan tulus, bahwa hanya kepada tuhanlah kita mestinya menyembah dan kepada tuhan saja kita memohon pertolongan. Nah anakku, ke belakanglah berwudhu, lalu shalatlah. Setelah itu berdoalah kepada Tuhan, mintalah roti kepadaNya
      Si anak dengan patuh mengikut petunjuk ibunya. Dan begitulah, setelah si anak menyelesaikan ritualnya, ia ke dapur dan menengok ke dalam panci. Benar saja, di dalamnya ada dua buah roti. Roti yang tentu saja diletakkan oleh si ibu ke dalam panci, sementara si anak melakukan ritual ibadahnya tadi. Begitulah, setiap hari kejadian itu berulang. Ketika si anak merasakan membutuhkan roti, ia melakukan ritualnya, dan selanjutnya ada roti di dalam panci di dapur. Si ibu selalu menjaga agar keyakinan si anak kepada Tuhan bisa semakin kokoh.
      Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Suatu hari, ketika tiba-tiba si ibu harus keluar kota karena ada keperluan mendadak. Maka tinggallah si anak sendiri di rumah. Dan seperti biasa, ketika matahari menjelang tinggi, si anak mulai melakukan ritualnya. Sebagi penutup, ia berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan roti. Namun kali ini, ketika si anak membuka panci di dapur, tidak ada roti di sana. Tidak ada ibu yang meletakkan roti ke dalam panci.
      Si anak tercenung. Panci kembali ditutupnya. Kepalanya menengadah, pandangannya tajam sementara otaknya berputar cepat. Pasti ada yang salah di dalam ritual yang dilakukannya. Begitu pikirnya singkat. Tuhan pasti akan memberikan roti bila semua ritual itu dilakukannya dengan baik. Lalu tanpa berfikir lebih lama, ia segera ke belakang, membasuh seluruh anggota tubuh seperti yang telah dipelajarinya. Kali ini dilakukannya dengan hati-hati dan cermat. Lalu ia memulai ritualnya dengan lebih baik, selanjutnya memanjatkan doa dengan lebih menghiba.
      Setelah rampung, ia bergegas ke dapur, membuka panci roti. Ah.. kosong. Tidak ada roti. Segera panci ditutupnya, lalu si anak kembali ke belakang, mulai membasuh anggota tubuhnya lagi. Ia sangat yakin, ada yang kurang sempurna di dalam ritual penyembahan yang dilakukannya sehingga tuhan belum berkenan mengisi pancinya dengan roti. Mungkin ada yang terlupa di dalam baris-baris doanya. Mungkin banyak kekurangan-kekurangan lain di dalam gerak lakunya.
      Begitulah, dua kali, tiga kali hingga beberapa kali ia mengulang semua prosesnya, namun setiap kali panci dibukanya, tetap tidak ada roti di dalamnya. Hingga di kali yang ketujuh ia menyelesaikan semua ritualnya yang sudah begitu khusyuk, si anak mulai merasa berdebar di dalam dadanya ketika mendekati dapur. Bila sejak tadi ia langsung menerjang tutup panci untuk dibuka, kali ini ia tidak terburu-buru lagi. Dengan khidmad, ia memengang bibir tutup panci lalu melafalkan basmalah, sesuatu yang ia lupakan sejak tadi karena selalu begitu terburu-buru.
      Dan alangkah takjubnya ia, ketika di dalam panci ternyata benar-benar ada dua roti seperti biasa. Namun roti ini benar-benar roti yang dikirimkan tuhan dari langit. Si ibu masih ada di luar kota. Lalu dengan sukacita, si anak melahap roti dari tuhan tersebut.
      Keesokan harinya, ketika sianak baru saja mendapatkan lagi rotinya dari tuhan dan belum sempat habis dilahapnya, si ibu sudah kembali ke rumah. Ia begitu kuatir jangan sampai anaknya sudah kelaparan oleh keperluan mendadak dua hari kemarin. Namun baru saja ia memberi salam dan melangkah ke alam rumah, si anak menyambutnya dengan sepotong roti yang belum habis itu bersama kendi air untuk dahaga si ibu. Tentu saja si ibu sangat terkejut, sehingga sambil mengunyah sepotong roti itu, ia bertanya kepada anaknya, dari mana mendapatkan roti.
      Kan ibu yang mengajarkan untuk selalu meminta kepada tuhan. Saya hanya melakukan nasehat ibu saja. Ibu tidak usah kuatir, tuhan selalu baik kepadaku dan memberikan rotinya setiap kali saya meminta.

      Anak kecil itu di kemudian hari dikenal dunia bernama Abdul Qadir yang berasal dari kota Jilan (Khailan?) di dekat Kota Baghdad - Iraq. Ia memiliki keyakinan tauhid yang hampir tiada banding. Namun ketika di dalam doa-doanya tuhan belum berkenan, ia akan selalu mengoreksi diri untuk menyempurnakannya. Tidak ada sedikitpun prasangka buruk kepada Tuhan, karena ia sangat sadar, bahwa hanya diri manusia saja yang sering lalai di dalam kewajiban dan tugasnya. Itulah mengapa ia akan terlebih dahulu melihat ke dalam diri sendiri, menakar seberapa sempurna kualitas dirinya untuk pantas mendapatkan apa yang ada di dalam doanya.

photo : trinitychurchbrentwood.com
diinspirasi dari satu khubah jumat
di kota Malino. Gowa Sulawesi Selatan.

lihat Abdul Qadir Jaelani di Wikipedia

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.