Articles by "jalan-jalan"

Tampilkan postingan dengan label jalan-jalan. Tampilkan semua postingan

     Yang paling menarik untukku dalam aktifitas street photography, adalah rasa was-was kalau saja objek yang menjadi fokus saya sampai bereaksi menolak apalagi kalau minta hapus hasil jepretan saya. Begitu juga di Jumat pagi itu, melangkah perlahan di keramaian pasar dusun Kalimporo' saya berkeliling mengamati spot yang sekiranya sesuai dengan ruang imaji di kapala, sambil terus mencoba menguatkan rasa percaya diri untuk mulai mengambil gambar.
      Setelah berasa cukup familiar dengan suasana sekitar, dan orang-orang sudah mulai terbiasa melihat saya lalu lalang, maka saya mulai membidik. Satu demi satu objek saya abadikan, sambil menebar senyum seramah mungkin bisa ada yang tiba-tiba menatap tajam ke benda di genggaman, lalu beralih menatap ke wajah saya. Hampir tidak ada hambatan sama sekali, mungkin karena jauh sebelum saya, sudah banyak yang silih berganti mengabadikan aktifitas mereka.
      Kalimporo adalah dusun yang terletak di Desa Tambangan Kecamatann Kajang Kabupaten Bulukumba. Wilayah yang beraneka warna oleh campur aduk budaya Kajang Dalam dan masyarakat sekitarnya. Wilayah Kajang Dalam sendiri dipimpin oleh seorang Amma Toa, terletak di Dusun Benteng, berjarak sekitar lima kilometer dari Kalimporo. Warga Kajang Dalam pun dengan mudah dikenali, mereka menggunakan pakaian serba hitam.
      Lalu seperti budaya-budaya lain di seluruh dunia, pasar menjadi ajang interaksi melumernya tepi-tepi budaya yang semula tegas menjadi adaptif dan samar. Dan warna kehidupan pun berkembang menjadi sangat bervariasi. Nah, selanjutnya saya tidak berpanjang lebar lagi mengulas tentang Kajang dan sekitarnya, langsung saja kita nikmati beberapa gambar yang terekam di saat jumat pagi Agustus 2016 hari pasar di Kalimporo.
      Berikut beberapa moment yang melintas di sensor kamera saya :
tembakau merupakan komoditi yang banyak diperjual belikan di pasar ini. Duduk berkeliling sambil mencicipinya sebelum bertransaksi menjadi ritual tersendiri.
beberapa perempuan berkeliling berbelanja dengan hanya mengenakan sarung, tanpa baju. Ini adalah simbol kalau mereka sedang dalam suasana berkabung. Salah satu anggota keluarga telah meninggal dunia, dan hingga 40 hari setelahnya mereka tidak memakai baju.
atas: penjual camilan cepat saji. Gorengan, panggangan, fresh langsung dari atas kompor.
bawah: membawa belanjaan untuk pulang
 atas : masih berkeliling atau beristirahat, di tengah hiruk pikuk transaksi
bawah : Penjual panganan kecil, tape singkong, apam, tenteng dan lain-lain.
atas : ikan ukuran besar, diiris tipis lalu diasapi.
bawah :  menyiapkan ikan segar yang dipotong melintang setebal 2-3 cm
perempuan Kajang pembuat sarung, mencelup material ke dalam pewarna tanpa mengenakan sarung tangan, sehingga pewarna tertinggal di tangan.
menunggu transaksi berikutnya

      Magrib sudah berlalu beberapa saat ketika melintasi jalan mendaki berkelok-kelok menuju Sinoa. Dalam bahasa Makassar Sinoa berarti tempat yang sunyi. Kendaraan roda empat itu merayap perlahan mengikuti setiap kelokan yang menanjak kadang teramat curam. Dan seperti biasa, setiap kelokan pastinya menyisakan jerih, di satu sisi adalah punggungan dan sisi lainnya adalah lembah curam.
      Jarak sekitar sepuluh kilometer dari arah pantai sebelum Pantai Marina, elevasi 700 meter Sinoa menjemput rombongan kecil kami. Udara sejuk segera menenangkan saraf setelah melintasi begitu banyak kelokan yang terasa wah, apalagi untuk yang baru pertama kali melaluinya. Beberapa ratus meter sebelum benar-benar sampai di Dusun Sinoa, kita disambut deretan tiga gasebo di sisi kiri jalan. Gasebo yang menghadap persis ke arah kota Bantaeng di bawah sana yang sedang menggeliat dengan pembangunan yang intensif.
     Tepat di hadapan jajaran gasebo-gasebo tersebut, ada cafe yang tentu saja menyajikan pelepas dahaga. Sajiannya sederhana, kental dengan bahan baku alami seperti ubi dan pisang, dan juga minuman berupa sarabba. Pas sekali menemani udara sejuk Sinoa sambil menikmati Kota Bantaeng dari ketinggian. Di malam hari, kelap-kelip lampu kota terlihat begitu indah. Ah, sayang sekali di trip ini saya melakukan kekhilafan yang sangat fatal, karena tripod untuk kamera tidak ikut terbawa. Keindahan malam di Sinoa tidak mampu untuk saya abadikan di kamera yang ada.
     Sinoa yang indah, sejuk dan sangat asri. Sebuah mesjid, terletak persis di sisi lapangan. Ada sekolah menengah, dan kantor desa, lapangan dikelilingi rumah-rumah penduduk yang terhubung oleh jalanan mulus berlapis butas. Di sisi lain hamparan persawahan, perkebunan dan aneka hasil bumi lainnya. Di wilayah sebelah Sinoa adalah Desa Ulu Ere, yang berarti mata air. Dan Sinoa menikmati kucuran air yang melimpah, melalui instalasi pipa-pipa hingga kesetiap dapur rumah tangga.
     Menyempatkan melihat sentra perkebunan strawberry dan apel yang terletak di desa sebelah, dijangkau dari Sinoa sekitar setengah jam. Area perkebunan yang terletak diketinggian sekitar 1500 meter itu menyajikan pemandangan yang begitu indah di pagi yang cerah. Langit yang membiru dihiasi awan yang kadang berbaris indah, menjadi konsumsi tak terelakkan untuk kamera yang saya genggam. Landscape yang begitu indah benar-benar sangat memanjakan mata.
     Akhirnya, terimakasih yang tak terhingga untuk Bapak Nurdin, host kami selama di Sinoa, yang telah mengantar mengitari wilayah-wilayah perkebunan dan sekitar Sinoa. Dan tentu saja tidak lupa hormat dan salut untuk semua keramahan khas Makassar yang begitu membanggakan. Berharap suatu hari nanti, ada kesempatan yang lebih longgar sehingga bisa menelisik Sinoa dengan lebih detail dan mengabadikan semua keindahan yang tidak sempat terekan di kesempatan kemarin itu. Sekali lagi, terimakasih Pak Nurdin.

     Desa Pinabetengan namanya. Sungguh menakjubkan ketika melihat salah satu spot di wilayah itu. Tidak disangka, desa yang rasanya begitu 'jauh' untuk terjangkau, ternyata menyimpan sejumlah rekor yang tercatat di Guinness Book. Bila destinasi Bukit Kasih sudah menggema kemana-mana, maka menuju ke Desa Pinabetengan bukanlah sesuatu yang sulit. Bisa dikatakan Desa ini berada dalam satu kawasan dengan Desa Kanonang dimana Bukit Kasih berada.
     Untuk menemukannya, tentu saja pertama kali harus sampai di kota Tomohon terlebih dahulu. Berkendara sekitar 24 km kita akan tiba di wilayah Kawangkoan. Daerah yang sangat terkenal dengan kacang tanahnya. Karenanya ada patung kacang akan nampak di tepi jalan ketika mamasuki Kawangkoan. Di banyak tempat di Minahasa hampir selalu bisa dijumpai kacang produksi dari Kawangkoan. Dari Kawangkoan ini, Desa Pinabetengan sudah tidak jauh.
     Ada dua spot penting, yaitu prasasti Batu Pinawetengan dan Museum Pinawetengan. Untuk prasasti Batu Pinawetengan akan saya ulas di artikel tersendiri. Sedangkan Museum Pinawetengan dengan assetnya berupa benda-benda dengan rekor dunia akan saya paparkan seperti berikut ini. Dalam bentuk fisik, mulai dari terompet raksasa, kain tenun Minahasa terpanjang di dunia hingga Kolintang terbesar di dunia.
      Kolintang Raksasa terletak di bahagian kiri area kawasan museum. Segera terlihat menonjol label sertifikat World Record lengkap dengan penjelasan teknis dari alat musik Kolintang itu.
      Di tengah-tengah area kawasan museum berdiri menjulang, terompet raksasa. Tentu saja label rekor menggantung megah di bagian bawahnya. Sayang sekali kunjungan saya bukan pada saat ada festival, sehingga terompet hanya berdiri sunyi di terik matahari. Tidak sempat untuk dibunyikan.
      Rekor-rekor dalam bentuk fisik dan masih terpajang adalah terompet, kolintang dan kain tenun yang diletakkan di dalam Galery Kain. Sedangkan rekor nasi jaha pastinya sudah tidak nampak. Tiga rekor lainnya berupa pemain kolintang terbanyak, pemain musik bambu terbanyak dan pemain musik bia terbanyak.
      Beranda Galeri kain Penawetengan sebenarnya terlihat sangat sederhana. Semula saya tidak merasa tertarik untuk masuk ke dalamnya. Namun entah mengapa kemudian saya tetap melangkah ke dalamnya. Ternyata begitu banyak item yang menakjubkan saya. Dan kain dengan label rekor dunia itu memang luar biasa. Ditempatkan di dalam lemari kaca, kain sepanjang 101 meter itu menampakkan corak dengan ekspresi huruf-huruf seperti yang tergurat di atas Batu Pinabetengan. Batu prasejarah yang memuat sebahagian riwayat etnik Minahasa.
      Selain koleksi kain, di dalam galeri ini juga merupakan tempat memproduksi kain dengan beragam corak, namun semuanya tetap dengan pakem dasar huruf-huruf di atas prasasti Pinawetengan. Mesin-mesin tenun berdiri kokoh dengan juntaian benang dan pola untuk corak produksi.
      Beruntung ketika itu, sempat bertemu dengan seorang ibu di dalam galeri yang sementara menyelesaikan desain pola untuk proses penenunan. Di suasana yang lengang di dalam galeri, beliau begitu konsentrasi menyusun mozaik-mozaik kecil di hadapannya.
      Atas dan bawah adalah dua macam corak pola untuk  produksi di mesin tenun galeri.
      Selain pajangan aneka kain di dalam galeri ini, juga di beberapa rak lainnya diletakkan aneka macam produk kerajinan tangan Minahasa. Sebagian besar berupa kayu yang diukir dan dipahat. Bentuk yang paling banyak tentu saja bentuk Burung Manguni. Burung yang menjadi simbol penjaga untuk etnis Minahasa.
      Berminat dengan koleksi yang dipajang, beberapa diantaranya sudah disiapkan untuk bisa dibawa pulang. Begitu juga dengan koleksi kain, sudah disiapkan banyak pilihan untuk bisa menjadi buah tangan bagi orang-orang istimewa. Pengasuh galeri akan dengan senang hati membantu menjelaskan koleksi yang ada sekaligus membantu transaksi bila ada yang menarik hati untuk dibawa pulang.
      Selain manguni, ada juga miniatur rumah adat Minahasa. Ada patung-patung mini laskar Minahasa lengkap dengan pakaian perangnya. Ada sepeda dengan keranjang bambu. Tidak ketinggalan tas jinjing dalam paduan kombinasi kain tenun pinawetengan.
Aneka corak tenun ikat kain Pinawetengan
 
      Kawasan museum yang cukup luas. Selain asset tidak bergerak penghuni museum seperti pada umumnya, juga ada spot untuk aktifitas yang produktif. Satu bangunan khusus untuk tempat pengembangan usaha produktif, teknik dan pengembangan usaha tercakup di dalamnya. Mulai dari teknik budidaya tanaman lokal, hingga pengembangan usaha kuliner bisa didapatkan di sini. Lainnya lagi ada pusat penerangan narkoba, lengkap dengan langkah-langkah antisipasi sehingga tidak terjerumus menjadi konsumennya.
     Dan di beranda luar rumah-rumah adat yang disetting sebagai sentra-sentra kegiatan itu, ramai remaja-remaja sedang berlatih. Ada yang berlatih menari, ada juga yang berlatih bela diri. Ah..museum yang hangat, bukan hanya menyimpan asset berdenyut, tetapi juga menjadi tempat mengembangkan asset masa depan bangsa.
     Akhirnya, bila suatu hari berkesempatan menjejakkan kaki di bumi Minahasa, maka museum ini adalah salah satu tempat yang saya rekomendasikan. Bila kita sudah sampai di Bukit Kasih, maka dengan jarak tempuh sekitar 10 menit berkendaraan bermotor, lokasi museum bisa segera didapatkan.

     Terletak di salah satu bagian wilayah Tondano. Tentu saja dihuni oleh orang-orang Minahasa keturunan Jawa, yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan pengikut-pengikutnya. Berada di tengah mayoritas suku Minahasa yang mayoritas Kristen, maka kampung Jawa Tondano tampil konsisten dengan warisan nilai-nilai yang telah diletakkan oleh Kyai Modjo dan para pewarisnya.
      Suara adzan terdengar syahdu dari pengeras suara di puncak menara mesjid Al Falah, mesjid terbesar di Tondano. Mesjid yang terletak di jalan poros kampung Jawa Tondano ini menjadi ikon eksistensi 'etnik baru' yang disebut Jaton. Ya, singkatan dari Jawa-Tondano. Ikon sekaligus penanda yang tertinggal tentang bukti sejarah perjuangan  perlawanan penjajahan Belanda di negeri ini.
Tentang Kyai Modjo, bisa dilihat di artikel berikut : Menyapa Kyai Modjo di Tondano
      Keterampilan bertani yang di  menjadi salah satu warisan Kyai Modjo untuk negeri Minahasa, bisa disaksikan dengan begitu bersahaja. Di kampung Jaton sendiri, halaman-halaman yang luas menjadi tempat menjemur padi seperti yang terlihat di gambar berikut ini.
       Satu ikon baru di gerbang kampung Jaton adalah kehadiran Saung Jaton. Bangunan bambu dengan arsitektur tradisional menjadi konsep resto ini. Hanya saja yang menjadi sedikit aneh terasa ketika menikmati sajian di resto ini adalah iringan musik yang mengiringi hampir sepanjang waktu adalah musik daerah Jawa Barat. Sekilas nyaman bersama semilir bayu yang berhembus lembut, namun bila mengingat bahwa ini adalah Jawa Tondano, maka nuansa Sunda sepertinya tidak begitu nyambung. Tetapi bagaimanapun, resto ini menjadi sangat ramai apalagi di saat festival Jaton sedang berlangsung
       Arsitektur rumah Kampung Jawa, tentu saja bersimbiosis dengan arsitektur lokal. Rumah panggung yang terbuat dari kayu lokal pilihan. Namun ada yang membedakan dengan rumah-rumah model Minahasa di tempat lain, karena rumah di Kampung Jawa Tondano diberi tambahan tiang bambu di sisi samping rumah. Tidak ada ketentuan berapa jumlah bambu yang ditambahkan, untuk bambu yang ditegakkan persisi di sisi tiang rumah. Dasar bambu menghunjam ke dalam tanah. ujung atasnya turut menyanggah kuda-kuda atap.
     Meletakkan bambu tersebut rupanya dengan beberapa ritual yang diyakini akan memberi manfaat seperti yang dimaksudkan, yaitu untuk memperkuat rumah, tahan terhadap gempa yang begitu sering mengguncang wilayah Sulawesi Utara, serta membantu rumah tetap tegak menahan hembusan angin yang begitu kencang di waktu-waktu tertentu. Saya sempat merasakan hembusan angin (atau mungkin lebih tepatnya hempasan angin) yang seakan hendak menerbangkan saya yang sedang berjalan. Atap-atap seng yang sudah agak longgar pakunya akan terdengar berderit-derit mempertahankan kedudukannya di atas kuda-kuda.
     Ujung bambu yang digunakan adalah bambu (di Selatan saya mengenalnya sebagai 'petung'). Ketika bambu hendak ditanam, di bagian bawah bambu dilapisi plastik, kemudian dilapisi kain putih di bagian luar. Turut serta berbagai macam benda, disertai doa-doa mengiringi tegaknya bambu penguat rumah tersebut.
     Warga Kampung Jawa Tondano, praktis seratus persen adalah Muslim.Memasuki bulan Ramadhan, nuansa religius begitu terasa. Hampir sama dengan di beberapa tempat lainnya di Nusantara, ada ritual di setiap rumah tangga, berkumpul bersama dengan warga lainnya, bersama-sama melantunkan doa-doa. Asap kemenyan menyebar dengan aroma yang sangat khas. Setelah doa-doa yang khidmat selesai, dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disiapkan untuk itu. Beruntung saya sempat mengikuti acara tersebut di rumah Pak Yadi, salah satu warga Kampung Jawa Tondano.
      Sayang sekali, saya tidak sempat menyelesaikan Ramadhan di sana. Dikelilingi masyarakat non Muslim, Kampung Jawa Tondano tetap memancarkan aura religius yang begitu kental selama Ramadhan. Tiga mesjid yang saling bersahutan, saling menyapa menyambut bedug magrib untuk berbuka puasa. Dan ya, ritual buka puasa yang begitu bersahaja. Hanya saja, sedikit berbeda dengan daerah saya di Selatan, bapak-bapak yang menuju mesjid untuk berbuka bersama, menenteng nampan besar terbungkus kain, menuju Mesjid Al Falah (mesjid terbesar di Tondano).
     Ketika pembungkus nampan dihamparkan di atas lantai mesjid, muncullah aneka panganan yang rupanya telah disiapkan dari rumah untuk keperluan buka puasa. Tentu saja panganan menjadi sangat melimpah, melihat hampir setiap orang membawa nampannya (yang lebar dan sarat panganan) masing-masing. Tidak beberapa lama, mereka saling bertukar panganan dari nampan yang dibawa ke nampan bapak-bapak yang lain. Demikian yang terjadi. Tidak ketinggalan teko yang berisi teh maupun kopi dihamparkan, lengkap dengan beberapa gelas yang menyertai.
     Setelah bedug berbuka terdengar, seperti biasa keriuhan dan kebahagian berbuka segera merebak. Panganan yang tentu saja tidak sanggup untuk dihabiskan, dibungkus kembali bersama nampan yang dibawa tadi, dibawa kembali pulang setelah shalat magrib di tunaikan. Ah iya, itulah Jawa Tondano.
     Untuh Idul Fitri sendiri, saya hanya mendapat ceritanya saja, sambil berdoa suatu saat berkesempatan bisa berlebaran di Tondano, bahwa keramaiannya nanti terjadi di hari ketujuh bulan Syawal. Ini hampir sama dengan sebahagian besar wilayah di Jawa. Jadi lebaran satu syawal tidak meriah seperti di Selatan, biasa saja, menunggu hari ketujuh untuk perayaannya. Kerabat dari mana pun akan tumpah ke Tondano, open house tentu saja, merayakan lebaran semeriah yang sanggup dilakukan.

     Salah satu kota di Sulawesi Utara yang geliat perkembangannya tidak seagresif wilayah lain di sekitarnya. Menelisik asal usul keberadaan Tondano, sepertinya tidak berlebihan bila menyebut Tondano sebagai 'the heart of Minahasa'. Bagaimana tidak, di saat daerah lain baru lahir, atau sedang menapak mencari jati diri, kota Tondano sudah eksis sebagai pusat pemerintahan wilayah Minahasa.
     Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan Tondono menjadi relatif stagnan. Manado meluncur paling depan menjadi ibukota Sulut. Bitung berkembangan menjadi salah satu kota pelabuhan representatif di tanah air. Tomohon telah berdiri sendiri sebagai kota administratif, mengembangkan sendiri potensi yang ada di wilayahnya. Secara historis, semuanya berada di bawah kendali Tondano, dulunya.
     Tetapi di artikel ini saya tidak menjelaskan lebih jauh lagi tentang hal itu. Fokus ke Tondano, berikut beberapa foto yang bisa menjadi penanda bahwa inilah Tondano. Kota yang selalu sejuk hampir sepanjang hari. Sejuk yang bahkan sangat dingin di bulan-bulan tertentu setiap tahunnya.
     Nama Tondano sendiri, tentu saja merujuk ke sebuah danau yang begitu indah, danau Tondano. Danau yang merupakan kawah besar, berisi air yang menjadi cadangan kebutuhan konsumsi air bersih daerah-daerah yang dilaluinya, terutama kota Manado. Masalah danau sama saja dengan danau-danau lain di wilayah lain Indonesia, bermasalah dengan pendangkalan, sampah dan gulma berupa enceng gondok.
     Namun semua itu tidak bisa menutupi keindahan danau. Maka menjadi jamak bila hampir setengah keliling danau yang terjangkau dari arah Unima, disesaki dengan resto, bungalow, resting house dan sarana lain yang menunjang sebagai destinasi wisata. Icip-icip kuliner khas Minahasa bisa dimulai dari resto di sepanjang danau ini. Hanya saja untuk yang Muslim, harus lebih jeli bertanya menelisik sajian di resto-resto tersebut, mengingat sebahagian terbesar etnis Minahasa di wilayah ini menganut kepercayaan bukan Islam.
senja di danau Tondano
     Aksen lain yang menonjol di Tondano adalah keberadaan Unima, Universitas Negeri Manado. Destinasi yang pasti akan mengantar kita langsung ke Tondano, dari arah manapun di Sulawesi Utara. Angkot maupun angkutan antar provinsi akan membawa kita ke sana dengan mudah, lancar dan pasti.
     Di sekitar Unima, yang menurut saya juga menjadi penciri khas Tondano adalah banyaknya sumber air panas alam. Oleh masyarakat kemudian dibentuk menjadi kolam renang, ataupun kolam berendam untuk menikmati kehangatan air hangat yang keluar dari perut bumi. Berendam di kehangatan air itu dipercaya mampu meredakan ketegangan-ketegangan, merelaksasi stress oleh tekanan kerja sehari-hari.
salah satu kolam renang air panas di tondano
     Asset lain Tondano adalah satu jalan yang disebut sebagai 'Boulevard'. Pertama kali mendengar sebutan itu, bermacam imaji seketika muncul di kapala saya. Dan yah, sepertinya inilah jalan yang paling 'lebar' yang ada di Tondano. Kiri kanan jalan ada trotoar, yang di sisi luarnya dibatasi dengan tanggul beton, pas untuk duduk bersantai menikmati suasana boulevard. Lalu, sawah yang membentang luas menjadi pemandangan kiri kanan Boulevard. Di ujung batas pandang ada Unima di sisi Timur, nampak menghias bentang alam yang menonjol lebih tinggi. Sementara di arah Barat akan nampak Gunung Klabat di kejauhan bila cuaca sedang cerah.
     Di ujung jalannya di utara ada patung, yang bila kita dari arah selatan, maka berbelok ke kiri kita akan ke arah pusat kota, alun-alun Sam Ratulangi dan kantor bupati Tondano. Sedangkan kalau berbelok ke kanan akan mengantarkan kita ke arah benteng Morano, Unima dan danau Tondano.
     Hanya ada dua hotel yang jelas nampak di Tondano. Satu terletak persis di depan patung yang saya maksud di atas, satunya lagi juga terletak di jalan yang sama, hampir bersebelahan dengan alun-alun Sam Ratulangi. Hanya itu.!! Namun yang eksotis menurut saya adalah keberadaan andong (bendi.?) atau apalah sebutannya.. kendaraan yang ditarik oleh seekor kuda. Suka melihatnya, kendaraan yang tidak tergusur oleh keberadaan angkot modern. Setiap orang menggunakannya, mulai dari anak-anak sampai oma opa. Dari remaja muda mudi necis atau biasa, hingga om tante perlente menggunakan angkutan ini dengan sukacita.
     Dengan satu pengemudi andong, kereta itu masih bisa menampung hingga lima nona-noni atau bahkan lebih bila mau saling menumpuk. Kadang tubuh andong seakan hendak meledak oleh sesaknya penumpang. Pintu belakang sudah tidak bisa tertutup, sebahagian kaki dan anggota tubuh yang lain sudah menjuntai keluar. Tapi di situlah eksotiknya memandang moda transportasi itu.
     Kota yang menyapa kita dengan ramah. Namun begitu magrib menjelang dan matahari mulai benar-benar tenggelam, denyut aktifitas langsung berkurang drastis. Sebahagian terbesar warga memilih berada di rumah ketimbang melanjutkan aktifitas di luar. Ada kesan memilih diam beristirahat, ketimbang menyeruput aroma malam yang menyembunyikan rasa tidak aman oleh laku kriminal yang tidak terduga. Namun untuk saya, sangat beruntung karena tidak sempat terserempet oleh hal-hal yang dikuatirkan itu, meski mondar-mandir dengan berjalan kaki lewat tengah malam hingga dinihari..
      Dan cerita tentang Tondano tentu saja tidak akan terlepas dengan keberadaan Kampung Jawa, dimana etnis 'Jawa Tondano' disingkat Jaton, berada. Etnis yang terbentuk oleh kehadiran Kyai Modjo dan 62 pengikutnya yang diasingkan oleh Belanda di tahun 1829. Beranak pinak, mengembangkan lahan dan mengajarkan cara bercocok tanam padi kepada penduduk asli Minahasa. Jaton adalah sebahagian dari wajah Tondano, kontras dengan budaya dan keyakinan agama yang relatif berbeda dengan etnis Minahasa umumnya.
      Untuk menemukan Kampung Jawa bukanlah hal yang sulit. Wilayah Tondano yang relatif tidak luas, sangat mudah untuk dieksplorasi untuk setiap ikon di dalamnya. Mulai dari Mesjid Raya Al-Falah hingga makam Kyai Modjo berada di satu jalur yang bisa dicapai dalam sekali jalan. Jejak dan warisan Kyai Modjo sangat mudah untuk diakses. Dan untuk itu semua, sudah saya ulas di artikel berbeda.




      Hal yang tentu saja sangat menarik untuk saya adalah pawai keliling kota. Pawai panjang, berjalan kaki melintasi jalan-jalan protokol menjadi rutinitas untuk hampir setiap hari raya, baik hari raya nasional maupun keagamaan. Misalnya di hari pahlawan, hari pendidikan nasional, hari Paskah ataupun satu Muharram, hingga Festival Jaton. Ah, setidaknya inilah salah satu sarana eksistensi mozaik elemen-elemen yang menyusun keragaman masyarakat Tondano.
      Tentu saja pawai menjadi suguhan hiburan gratis bagi warga di sepanjang jalan yang dilalui. Saya tiba-tiba terkenang masa kecil dahulu, ketika Makassar belum berkembang sepesat sekarang ini. Murid sekolah atau elemen masyarakat mana saja, bisa memanfaatkan jalan-jalan utama kota untuk pawai. Belum ada ketergesaan seperti sekarang ini. Belum ada istilah macet untuk kebenaran dan pembenaran warga kota. Maka jalan yang tersendat sekali-sekali oleh pawai menjadi bumbu tersendiri di keseharian kehidupan kota. Dan pawai-pawai yang berlangsung di Tondano menyegarkan kembali kenangan itu.
      Di Tondano juga ada stadion sepak bola, Stadion Klabat. Sayang sekali saya tidak sempat membuat gambar yang bagus untuk stadion tersebut. Area stadion yang saya kunjungi ketika ada pameran pembangunan yang diselenggarakan oleh pemda. Gelaran pameran yang tentu saja hiruk pikuk. Mulai dari suguhan musik yang begitu menggelegar hingga aneka kuliner dan produk lokal ditemui di sana. Kreatifitas warga Tondano bisa ditemui di event tersebut. Komidi putar, spot-spot adu ketangkasan hingga game catur tiga langkah menjadi penyemarak untuk disuguhkan ke pengunjung.
      Dan di sisi lain, adalah Pasar Tondano. Pasar yang bersebelahan dengan Terminal. Pasar tradisional yang begitu eksotik di mata saya. Sedikit kumuh, tentu saja seperti dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Hanya saja, yang agak lain di mata saya adalah apa yang dijajakan di sepanjang jalan sekitar menuju pasar. Pedagang kaki lima, dengan jualan basah maupun kering, seperti biasa merebut sebahagian akses jalan. Lalu andong, angkot, ojek dan kendaraan lain seperti biasa berebut melintasi spasi jalan yang tersisa.
      Tetapi bukan itu fokusnya. Bila di daerah saya begitu mudah menemukan penjual daging ayam, maka tidak seperti itu di Tondano. Yang sangat mudah ditemukan adalah jualan daging babi. Seketika saya menjadi maklum, mayoritas warga Tondano adalah non muslim, berbeda dengan daerah saya selama ini. Suguhan lain yang juga unik adalah ikan asap. Iya, ikan yang telah diawetkan dengan pengasapan sangat mudah ditemui. Ikan asap yang telah 'kering' dipajang dalam jepitan bambu. Begitu menggiurkan, bersanding dijajakan dengan ikan air tawar dari Danau Tondano.
       Namun yang cukup menarik untuk saya adalah dua menara yang hampir berhadapan, terletak di dekat pasar. Satunya adalah menara gereja, satu lainnya adalah menara mesjid. Letak kedua tempat ibadah itu memang tidak terpisah jarak yang jauh. Hampir saling berhadapan. Dan dua menaranya nampak dari kejauhan, saling berhadapan mesra. Harapan klasik di benak saya segera melangit, semoga harmoni antar umat beragama di wilayah ini juga tetap terjaga, saling mesra seperti menara yang berhadapan itu.
       Rasanya sangat banyak hal unik lain yang hendak saya tuliskan, namun untuk tidak melelahkan membaca artikel yang terlalu panjang, maka penggalan-penggalan artikel tentang Tondano lainnya bisa dilihat di kategori Tondano di sepanjang blog ini.
      Mengakhiri tulisan ini, maka mari kita ke Tondano..

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.