Articles by "Satire"

Tampilkan postingan dengan label Satire. Tampilkan semua postingan

     Hampir delapan puluh tahun merdeka, tapi napas kebebasan di negeri ini masih tersengal-sengal. Di bawah langit yang sama di mana Bung Karno pernah berteriak "merdeka!", kini yang terdengar hanyalah gemuruh saling curiga. Kita merayakan kemerdekaan dengan upacara gemerlap, sementara pikiran-pikiran merdeka dikurung dalam sangkar prasangka. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki zamrud katulistiwa, bertanya bukan lagi pintu menuju kebijaksanaan, melainkan pemicu perang label. "Kamu pendukung siapa?" bukan sekadar pertanyaan—ia adalah pisau yang siap menggorok nalar.

     Bayangkan sebuah pasar di mana setiap kata harus dibeli dengan kupon loyalitas. Di lorong pertama, seorang pemuda mencoba bertanya tentang kebijakan impor beras. Sebelum kalimatnya selesai, serombongan buzzer mengepungnya: "Ah, kamu pasti kader partai X!" Di lorong kedua, seorang ibu mempertanyakan alokasi dana pendidikan. Langsung terdengar pekik: "Dasar belum move on!" Pasar ini bukan metafora—ia adalah ruang publik kita. Setiap pendapat harus diawali permohonan maaf: "Saya netral, tapi..." seolah netralitas adalah dosa yang perlu diampuni. Demokrasi yang dulu diimpikan sebagai taman tempat ide-ide bermekaran, kini berubah jadi gelanggang tinju dua kubu—hitam versus putih, kawan versus lawan, tanpa wilayah abu-abu untuk sekadar merenung.

     Di dunia maya, pertarungan semakin absurd. Sebuah cuitan tentang polusi udara Jakarta langsung dibalas dengan meme ejekan: "Dasar pendukung mantan!" Sebuah analisis kebijakan pajak dianggap bukti kecintaan pada oligarki. Kita hidup dalam era di mana argumen tidak lagi dijawab dengan argumen, melainkan dengan stiker sindiran dan hastag #KritikDoang #BaperanKritis. Buzzer-buzzer bayaran—para algojo kata-kata—berkeliaran bagai laron di malam musim hujan, menghisap madu perhatian dan meninggalkan kotoran kebencian. Mereka adalah produk sampah demokrasi digital: tentara bayaran yang menjual akun demi likes, sambil mengubur rasionalitas di bawah tumpukan komentar sarkastik.

     Orang-orang bijak pernah bilang, peradaban lahir dari percakapan. Tapi di negeri ini, percakapan telah menjadi ritual saling mengukur kedalaman kubu. Diskusi tentang reformasi agraria berubah jadi debat kusir: "Dulu zaman orde baru lebih baik!" atau "Sekarang kan sudah reformasi!" Seolah sejarah hanya punya dua bab—hitam dan putih—tanpa ruang untuk warna-warni kritik. Kita menjadi bangsa yang terobsesi pada dikotomi, seperti wayang yang hanya mengenal tokoh baik dan jahat, meski tahu dalangnya sama-sama memainkan keduanya.

     Padahal, di balik panggung sandiwara politik, masalah sesungguhnya menganga. Ketika petani mempertanyakan alih fungsi lahan, mereka dicap "provokator". Ketika buruh menuntut upah layak, dianggap "dibayar oposisi". Persis seperti zaman Orde Baru—meski dengan wajah baru—di mana setiap suara kritis dianggap gangguan stabilitas. Bedanya, dulu musuh datang dari penguasa, kini dari sesama warga. Kita telah menjadi penjaga sukarela penjara pemikiran, mengawasi satu sama lain dengan mata penuh curiga.

     Lihatlah ironi ini: negeri yang bangga akan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" justru alergi pada perbedaan pendapat. Kita merayakan keragaman suku, tapi gagap menghadapi keragaman ide. Bagai penonton wayang yang marah ketika dalang mengubah alur cerita, kita menuntut politik hanya berkisah tentang pahlawan dan pengkhianat—tak ada ruang untuk tokoh yang kompleks, apalagi pertanyaan yang mengganggu.

     Dalam novel 1984, George Orwell memperingatkan tentang "polisi pikiran". Tapi di Indonesia hari ini, kita tak perlu polisi khusus—setiap warga telah menjadi penyidik sukarela. Seorang guru honorer di Cirebon dipecat karena berani mengomentari kostum berwarna partai tertentu di postingan Instagram gubernur, sementara seorang guru besar bedah saraf di Semarang dicopot dari jabatannya karena kerap mempertanyakan kebijakan Menkes yang mengorbankan pasien miskin. Belum lagi kasus terbaru 2025: pesepak bola PSM Makassar dibanned satu tahun hanya karena menyindir federasi yang menggunakan wasit "bermuka centeng bandar judi". Persis seperti mimpi buruk Orwell: "Big Brother" tak perlu mengawasi—kita saling melaporkan sendiri.

     Padahal, demokrasi sejati adalah ruang di mana "tidak setuju" bukan pengkhianatan, melainkan bukti kepercayaan. Ketika Socrates minum racun karena pertanyaannya dianggap mengancam Athena, itu adalah kegagalan demokrasi kuno. Tapi ketika di abad 21 kita masih mengulangi kesalahan yang sama—mengancam intelektual dengan cancel culture alih-alih argumen—itu adalah tragedi yang lebih menyedihkan.

     Kita mungkin masih merdeka secara politik, tapi telah menjadi budak dalam berpikir. Negeri ini telah berubah menjadi panggung raksasa di mana semua orang berteriak, tapi tak ada yang benar-benar bicara. Demokrasi tanpa percakapan hanyalah mayat berjalan—bergerak oleh sentimen, bukan akal. Dan seperti kata Pramoedya, "Sejarah dunia adalah sejarah pemikiran yang dikhianati." Jika kita terus membunuh pertanyaan, yang tersisa hanyalah bangsa zombie: hidup tapi tak bernyawa, berjalan tapi tak tahu arah.

     Delapan puluh tahun merdeka, tapi jiwa kita masih dijajah oleh ketakutan sendiri. Di ujung lorong gelap ini, hanya ada dua pilihan: terus menyanyikan lagu kebencian dengan kostum demokrasi, atau berani membuka jendela percakapan—meski angin yang masuk mungkin menerbangkan topeng-topeng yang selama ini kita kenakan. Sebab, seperti kata filsuf Yunani kuno, "Kebenaran lahir dari perbincangan, bukan dari monolog." Tapi untuk itu, kita harus berani melepas baju kebencian, dan kembali menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar bendera dalam perang warna.

Tarian Tak Kasat Mata dari Agora ke Algoritma

     Bayangkan seutas benang tak terlihat, merajut jutaan manusia dalam pola perilaku, harapan, dan penilaian. Benang itu adalah logika sosial – arsitektur tak kasat mata yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi, jauh sebelum kita sadar sedang terikat olehnya. Ia bukan hukum tertulis, melainkan napas kolektif yang menghidupi norma, memahat batas antara pantas dan tercela, dan mengatur tarian rumit kehidupan bermasyarakat. Dari debat sengit di agora Athena hingga pusaran feed media sosial, logika ini terus berevolusi, beradaptasi, dan terkadang, memperlihatkan absurditasnya yang paling menusuk.

     Di jantung peradaban Barat, Socrates menjadi martir pertama yang dikorbankan di altar logika sosial ini. Kegemarannya menggugat kebodohan massal dan menelanjangi kepalsuan retorika populer dianggap "meracuni pemuda". Kematiannya bukan hanya tragedi filsafat, melainkan peringatan abadi: logika sosial sanggup menghabisi siapa pun yang berani menari di luar irama yang ditetapkan. Plato, merespons kekacauan itu, membayangkan Republik yang dikendalikan para filsuf-rajanya – sebuah upaya merasionalkan tirani logika massa menjadi hierarki akal yang ketat. Lompatan berabad-abad membawa kita ke Jean-Jacques Rousseau. Dengan nada melankolis, ia mengutuk belenggu peradaban yang memisahkan manusia dari keadaan alamiahnya. Logika sosial, baginya, adalah topeng yang memaksa kita bergantung pada penilaian orang lain, menciptakan "tirani harapan" yang membelenggu lebih halus daripada rantai besi. Sementara itu, Adam Smith memperkenalkan logika pasar sebagai "tangan tak terlihat" – keyakinan bahwa kepentingan pribadi yang rasional akan mengatur harmoni sosial, sebuah iman yang getir diuji oleh jurang ketimpangan masa kini.

     Memasuki abad ke-20, teleskop analitis makin tajam. Erving Goffman membedah kehidupan sosial sebagai dramaturgi. Setiap interaksi adalah panggung; kita adalah aktor yang sibuk mengelola kesan, memilih topeng, dan membaca "naskah" tak tertulis sesuai audiens. Logika sosial menjadi sutradara yang menentukan peran apa yang boleh dimainkan. Michel Foucault menggali lebih dalam, membongkar logika sosial sebagai mekanisme kekuasaan yang halus namun mengerikan. Melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, kekuasaan meresap bukan dengan pentungan, tapi dengan disiplin dan pengawasan. Panopticon – penjara model dimana narapidana mengawasi diri sendiri karena merasa selalu diawasi – menjadi metafora sempurna masyarakat modern. Kita menginternalisasi tatapan "masyarakat", menjadi penjaga sekaligus tahanan norma.

     Dan tiba-tiba, revolusi digital mengubah panggung itu secara radikal. Desa global Marshall McLuhan menjelma menjadi realitas, tapi desa ini terfragmentasi dalam echo chamber algoritmik. Logika sosial mengalami mutasi dahsyat. Logika viralitas menggeser logika kebenaran: nilai ditentukan oleh sebar, bukan substansi. Logika algoritmik membentuk realitas: apa yang kita lihat, percaya, dan menjadi, dikurasi oleh kode yang dirancang untuk memicu engagement – seringkali lewat kemarahan atau keunggulan moral. Pengawasan Foucaultian menemukan medium barunya: kolom komentar media sosial. Di sinilah, dalam gemerlap layar ponsel, logika sosial Indonesia menampilkan wajahnya yang khas.

     Salah satunya adalah fenomena gemar menasehati dan mencampuri urusan pribadi. Erving Goffman mungkin akan tersenyum sinis menyaksikan panggung ini. Di sini, orang berlomba memerankan "si bijak", "si pengalaman", atau "penjaga moral". Sebuah unggahan tentang pola asuh, pilihan karir, atau gaya hidup, bisa seketika diserbu komentar bernada "seharusnya…", "kasihan anaknya…", atau "jaman saya dulu…". Ini bukan sekadar rasa ingin tahu; ini adalah pementasan diri untuk mengukuhkan citra sekaligus penegasan norma sosial yang diyakini. Michel Foucault akan menambahkan: ini adalah Panopticon warga-net dalam aksi nyata. Setiap orang merasa menjadi pengawas, berkewajiban menertibkan "penyimpangan" demi mempertahankan tatanan imajiner. Ada satir kelam tersembunyi di balik bungkus "niat baik": hasrat mengontrol kehidupan orang lain yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. Meursault, tokoh Albert Camus yang dihukum mati (antara lain) karena ketidakmampuannya menampilkan kesedihan dramatis di pemakaman ibunya – sebuah ketidakpatuhan fatal pada skrip emosional yang dituntut masyarakat – mungkin akan menjadi sasaran empuk lynching digital di panggung seperti ini.

     Lebih kelam lagi adalah fenomena nostalgia kekerasan dalam pendidikan yang seringkali dibanggakan: "Dulu guru saya sering memukul pakai rotan, lalu disetrap di lapangan upacara hingga jam istirahat! Lihat sekarang, anak dibentak sedikit sudah ngambek, lalu orang tuanya lapor polisi! Mana bisa anak bermental kuat kalau dimanja!". Di sini, Foucault menggigit lebih dalam. Ini bukan sekadar kenangan, melainkan bukti nyata internalisasi logika penindas hingga ke tingkat yang mengharukan. Kekerasan fisik di sekolah adalah alat rezim disiplin lama untuk menciptakan docile bodies – tubuh-tubuh jinak yang patuh. Yang memilukan adalah ketika korban justru meromantisasi alat penjinakannya, menyulap trauma itu menjadi mitos "pembentukan karakter". Mengejek "lapor polisi" adalah puncak ironi: mereka menertawakan mekanisme akuntabilitas dan penegakan hukum – pilar dasar masyarakat modern – demi mempertahankan warisan kekerasan yang terbebas dari pertanggungjawaban. Ini adalah tabrakan frontal antar logika sosial: otoritarianisme berbasis ketakutan dan kepatuhan buta versus paradigma berbasis hak asasi dan keadilan prosedural. Satirnya terasa getir: membanggakan kekerasan yang dialami sebagai lencana "ketangguhan" sejati, sambil mencemooh keberanian untuk menuntut keadilan sebagai tanda "kelemahan" generasi.

     Algoritma bukanlah penonton pasif. Ia adalah katalis yang memperkuat dan mendistorsi logika sosial warisan ini. Ia tahu persis umpan untuk si "penjaga moral digital": konten tentang "pengasuhan salah" atau "keruntuhan moral generasi kini". Ia paham godaan bagi si rindu kekerasan: meme "jaman dulu lebih disiplin" atau "generasi bangsat". Echo chambers memperkuat keyakinan kelompok, mengubah norma subjektif menjadi kebenaran mutlak. Logika viralitas memberi panggung pada yang paling lantang menghakimi atau yang paling getir meromantisasi kekerasan. Kita terjebak dalam siklus: bias kita memberi makan algoritma, algoritma memberi makan bias kita, memperkuat tembok logika sosial yang kadang usang dan kejam.

     Menyadari arsitektur tak kasat mata ini adalah langkah pertama pembebasan. Logika sosial bukan takdir, melainkan konstruksi yang bisa dikritik dan diubah. Menolak ikut dalam online shaming adalah merobohkan bata dari Panopticon digital. Mempertanyakan nostalgia kekerasan adalah menolak warisan docile bodies. Memahami bahwa feed kita adalah kurasi algoritma adalah membuka jendela kesadaran. Tantangannya bukan menghancurkan semua norma, melainkan menyaringnya dengan kritis: mana yang lahir dari kebijaksanaan kolektif, mana yang hanya jerat konformitas buta atau amplifikasi digital dari prasangka? Di ujung labirin algoritma, pertanyaan abadi Socrates kembali menggema: bagaimana kita hidup bersama secara lebih adil, manusiawi, dan bebas dari belenggu logika sosial yang menghakimi dan melukai – baik itu bisik tetangga, pukulan guru yang diromantisasi, atau amarah viral yang dipicu mesin? Jawabannya dimulai ketika kita berani memutus benang yang tak terlihat itu, seutas demi seutas, dengan kesadaran yang jernih dan keberanian untuk merumuskan logika kemanusiaan kita sendiri.

Hipokrisi Standar Ganda dalam Teater Kemanusiaan

     Layar ponsel menyala bagai panggung darurat yang memantulkan cahaya kecemasan. Sebuah video pendek bergulir: serombongan remaja berseragam sekolah—wajah-wajah keras melebihi usia, mata memandang dingin ke kamera—diangkut truk dinas menuju kamp pelatihan militer. Sang gubernur, dengan raut lelah pejabat yang kehabisan akal, menyebut ini "tindakan darurat bagi yang sudah mengganggu ketertiban umum." Langit media sosial mendadak petir. Aktivis hak anak bersenjatakan pasal Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak menyerbu kolom komentar. Influencer pendidikan berpidato tentang pedagogi kritis ala Freire. Warganet berkicau tentang "dehumanisasi" dan "trauma masa depan". Padahal, di feed yang sama seminggu sebelumnya, video remaja itu menghajar tukang becak hingga babak belur hanya mendapat 43 like dan dua komentar pendek: "bangsat lu" dan "anak jaman now kok kaya preman". Tak ada petisi, tak ada tagar, tak ada webinar darurat. Kekerasan remaja adalah hantu yang kita akui keberadaannya hanya ketika hantu itu dipenjara oleh negara.

     Di luar gelombang kemarahan digital, epidemi sunyi terus merayap. Tawuran pelajar di pinggiran Jakarta, perundungan sistematis di sekolah favorit, pemalakan anak SMP terhadap kawan sekelasnya—semua adalah berita hujan sore yang kita baca sambil menyeruput kopi, lalu bergulir seperti gorengan basi keesokan harinya. LSM pendidikan menggelar seminar bertajuk "Pendidikan Ramah Anak" di ballroom hotel berbintang, sementara di kolong jembatan tepat di bawah hotel itu, anak-anak jalanan berebut lem aibon tanpa pernah disentuh oleh kurikulum "ramah" tadi. Ada satir getir dalam kemewahan ini: kita lebih getol mengutuk rendang basi di kantin sekolah daripada kebusukan sistem yang membiarkan remaja tumbuh menjadi predator kecil. Ironinya: ketika seorang guru di Simalungun melerai murid berkelahi dan justru ditahan polisi karena dituduh menganiaya—tidak ada ribut-ribut aktivis. Tapi begitu gubernur bertindak, kita tiba-tiba jadi ahli pendidikan progresif.

     Di tengah debat yang memanas, paradoks paling telanjang menguak: masyarakat kita memeluk standar ganda yang elastis seperti karet gelang. Di pesantren-pesantren tertentu, latihan fisik ala militer—lari pagi dengan batu di punggung, push-up di atas kerikil—disebut "riyadhah ruhiyah". Orang tua memuji: "Anak saya jadi disiplin, lebih khusyuk salat." Di sekolah berbasis agama, program "mental jihad" menerapkan disiplin tentara: baris-berbaris hingga malam, hukuman fisik untuk kesalahan kecil. Tak ada kecaman. Tak ada tagar #StopKekerasan. Tapi begitu negara—lewat gubernur—mengadopsi metode serupa untuk remaja yang mencopet dan menjambret, seluruh negeri berteriak "FASISME!". Logika ini berbau munafik: kekerasan jadi suci bila dibungkus agama, tapi jadi keji bila diberi stempel negara. Padahal sama-sama memakai pentungan, beda hanya di labelnya.

     Media sosial pun menjelma mesin penghasil amnesia kolektif. Polanya ritualistik: video remaja menganiaya kucing atau memukuli guru akan viral 1-2 hari, disertai komentar "Dasar anak setan!" lalu tenggelam. Ketika kebijakan gubernur muncul, banjirlah analisis tentang trauma psikologis dan pendidikan Finlandia. Setelah puas mencaci, kita beralih ke isu berikutnya—seperti menteri yang pakai jam mewah atau artis yang selingkuh. Ritual ini adalah pencucian dosa. Dengan mengutuk kebijakan gubernur, kita menikmati moral superiority—ilusi bahwa kita lebih manusiawi daripada negara yang otoriter. Padahal, teriakan kita justru mengaburkan diam kita yang panjang. Kita bagai pramusaji di restoran bangkrut: sibuk menghidangkan kritik pedas pada piring kebijakan gubernur, tapi lupa dapur kita sendiri penuh tikus yang menggerogoti bahan-bahan solusi.

     Di sudut kota dekat lokasi remaja "nakal" itu ditangkap, sebuah warung kopi kecil tetap buka. Ibu penjaganya—perempuan lima puluh tahun dengan mata lelah dan tangan pecah-pecah—memandang video kecaman aktivis di hape yang retak layarnya. "Mereka baru datang pas anaknya dibawa pak gubernur," bisiknya pada pelanggan. "Tapi kemarin-kemarin, waktu Farel mencopet uang jajan anak saya di depan warung, tak satu pun yang nongol. Polisi? Laporan saya malah ditertawakan. ‘Kebanyakan baca berita,’ kata pak RT." Di meja sebelah, seorang bapak menyeruput kopinya pahit: "Saya dukung pak gubernur. Anak saya pernah dipukuli mereka karena tidak mau kasih rokok. LSM mana peduli? Tapi sekarang mereka ribut seolah-olah anak itu malaikat yang dituduh sebagai iblis."

     Kita ibarat koin-koin receh dalam celengan retak: sibuk berdebat cara merapikan kepingan logam, tapi tak sadar celengannya bocor di mana-mana. Kebisingan tentang "pendidikan manusiawi" terdengar hampa—bak seminar diet sehat di tengah kelaparan. Kita marah pada solusi darurat, tapi bisu pada akar masalah: keluarga berantakan tanpa pendampingan, sekolah yang hanya mengejar nilai ujian, lingkungan kumuh yang jadi sarang kekerasan. Esai ini bukan pembenaran bagi militerisasi pendidikan. Ini adalah cermin retak bagi kita semua: masyarakat yang sibuk menjadi pahlawan di teater virtual, sementara di panggung nyata, kita membiarkan remaja-remaja itu jatuh ke jurang—lalu berteriak kencang ketika negara mengangkat mereka dengan cara yang kasar.

Kita mengutuk gubernur karena
mengirim anak ke kamp militer,
tapi tuli pada jeritan mereka
saat kamp bernama ‘kehidupan’
telah lama menjerumuskan mereka
ke medan perang tanpa seragam.
     Kritik paling pedas bukan untuk gubernur yang kebingungan, melainkan untuk kita—penonton yang bertepuk tangan saat panggung kebakaran, lalu menyalahkan pemadam karena membasahi kursi velvet kita. Ketika lampu teater padam, yang tersisa hanyalah bayang-bayang remaja yang terlupakan dan gema hipokrisi kita yang menggema di ruang hampa.

     Di ruang tunggu abad ke-21, kita duduk bersama mayat pendidikan yang terbaring kaku. Mayat itu dikelilingi oleh para dokter—teknokrat dengan stetoskop data, ekonom dengan pisau bedah kurikulum standar, dan politisi yang menyuntikkan mantra “daya saing global” ke dalam nadinya. Tubuh pendidikan dibedah: otaknya diganti dengan algoritma, jantungnya dipompa oleh target kapital, dan jiwanya dikubur di bawah bendera efisiensi. Tapi tak seorang pun bertanya: Untuk apa semua ini? Neil Postman, sang nabi pesimis yang berani, berbisik dari balik halaman bukunya: Kita lupa bahwa pendidikan butuh jiwa, bukan sekadar tubuh yang terlatih.

     Postman bukan penentang kemajuan. Ia hanya ingin kita berhenti sejenak, mencium bau formalin yang menyengat dari ruang bedah ini, dan bertanya: Apa yang sebenarnya kita obati? Pendidikan, katanya, telah kehilangan narasi besar—cerita-cerita yang memberi makna pada angka-angka di rapor, pada gelar yang digantung di dinding, pada kelas-kelas yang dipenuhi layar komputer. Tanpa narasi itu, pendidikan hanyalah ritual kosong: murid-murid menari di atas panggung ujian standar, dosen-dosen menjadi DJ yang memutar slide presentasi, dan kurikulum berubah jadi menu fast food yang memuaskan selera pasar, tapi meracuni pikiran.

     Di sini, Postman menawarkan pisau bedah yang berbeda. Bukan untuk mengeluarkan organ, tapi untuk menanamkan jiwa. Katanya, pendidikan harus menjadi taman filsafat tempat manusia belajar bertanya: Siapa aku? Apa arti hidup yang baik? Bagaimana aku berdiri di tengah hiruk-pikuk sejarah dan alam semesta? Tapi lihatlah: taman-taman itu kini diganti oleh pabrik. Di pabrik-pabrik bernama institusi pendidikan, siswa dijuluki “SDM”—Sumber Daya Manusia—sebuah istilah yang lebih pantas disematkan pada mesin fotokopi ketimbang makhluk berpikir. Mereka diproses dalam ban berjalan: TK ke SD, SD ke SMP, SMP ke kampus, lalu ke pasar kerja. Di setiap tahap, mereka diberi stempel “kompeten” berdasarkan kemampuan menjawab soal pilihan ganda, bukan kemampuan menjawab pertanyaan hidup.

     Lalu datanglah para penyelamat dengan jubah teknologi. “Digitalisasi!” seru mereka, seolah-olah tablet dan AI bisa menggantikan seorang guru yang duduk diam-diam mendengarkan kegelisahan muridnya tentang makna keadilan. Postman tertawa getir: Teknologi adalah tamu yang sopan, tapi tuan rumah yang buruk. Ia mengingatkan kita bahwa komputer bisa menjawab “bagaimana”, tapi tak pernah bisa menjawab “mengapa”. Di kelas-kelas virtual, mahasiswa mungkin menguasai coding, tapi siapa yang mengajarkan mereka mengkode etika? Di balik webinar interaktif, siapa yang mendorong mereka untuk berdialog dengan diri sendiri?

     Inilah tragedi terbesar: pendidikan yang seharusnya menjadi laboratorium kebijaksanaan, direduksi jadi bengkel keterampilan. Postman menunjuk lima hantu yang menggerogoti jiwa pendidikan:

     Pertama, Hantu Ekonomi yang berbisik: “Ajari mereka jadi pekerja, bukan pemikir!” Kedua, Hantu Teknofilia yang memuja layar sentuh lebih dari sentuhan manusia. Ketiga, Hantu Konsumerisme yang menjual gelar seperti produk diskonan. Keempat, Hantu Nasionalisme Sempit yang mengubah ruang kelas jadi pabrik bendera. Kelima, Hantu Birokrasi yang mengukur keberhasilan dengan angka, bukan dengan kedalaman pertanyaan yang diajukan siswa.

     Tapi Postman bukan pesimis tanpa harapan. Ia menawarkan lima mantra penangkal—lima narasi yang bisa menghidupkan kembali jiwa pendidikan:

  1. Bumi sebagai Pesawat Luar Angkasa: Bayangkan jika setiap pelajaran—fisika, sastra, ekonomi—diikat oleh kesadaran bahwa kita hanyalah penumpang sementara di kapal bernama Bumi. Seorang guru kimia tak hanya mengajarkan tabel periodik, tapi juga bertanya: Bagaimana reaksi kimia kita terhadap laut yang tercemar? Seorang dosen arsitektur tak hanya menggambar gedung, tapi merenung: Bagaimana membangun tanpa merusak rumah semut di tanah?

  2. Manusia yang Tersandung: Pendidikan harusnya ruang untuk gagal, bukan pabrik kesempurnaan. Postman ingin kita mengajari mahasiswa bahwa Socrates mati karena bertanya, Galileo dihukum karena ragu, dan Einstein tersandung ratusan kali sebelum menemukan relativitas. Di kampus-kampus, kita perlu lebih banyak ruang kesalahan ketimbang ruang penghakiman.

  3. Demokrasi sebagai Pertanyaan, Bukan Jawaban: Di kelas filsafat politik, seorang profesor bukanlah dewa yang memberi kuliah tentang teori Rousseau. Ia adalah pemandu yang membawa mahasiswa ke tengah hutan pertanyaan: Apakah voting cukup disebut demokrasi? Bagaimana jika kebebasan berbenturan dengan keadilan? Pendidikan demokrasi bukan tentang hafalan UUD, tapi tentang latihan mendengar suara yang tak sejalan dengan kita.

  4. Keragaman sebagai Bahasa Universal: Sebuah universitas yang hanya mengajarkan “kebenaran tunggal” adalah penjara pikiran. Postman membayangkan ruang diskusi tempat mahasiswa teknik duduk berdampingan dengan seniman, tempat teori ekonomi neoliberal digugat oleh puisi Rendra, tempat data statistik berdialog dengan mitos kuno.

  5. Kata-kata sebagai Cermin Diri: Di era banjir informasi, Postman ingin pendidikan mengajarkan literasi tragis—kemampuan membaca dunia sambil menyadari bahwa setiap kata bisa jadi pedang atau bunga. Seorang guru bahasa bukan hanya mengoreksi tata kalimat, tapi menggali: Kata-kata apa yang kaupilih untuk menggambarkan cinta? Apakah algoritma media sosial telah mencuri bahasamu?

     Di tengah semua narasi ini, ada sosok yang sering dilupakan: guru sebagai pemandu filosofis. Postman menangis melihat guru-guru yang terpenjara oleh administrasi, dikejar target kurikulum, dan dipaksa jadi operator PowerPoint. Ia membayangkan guru yang berani tidak tahu, yang lebih bangga mengajak muridnya tersesat di hutan pertanyaan daripada cepat sampai di tujuan. Seorang pemandu filosofis bukanlah penceramah di podium, tapi pendengar yang duduk di lantai bersama murid-muridnya, membuka peta-peta kuno kebijaksanaan, dan berkata: Mari kita berjalan bersama. Aku tak tahu jalan keluarnya, tapi mari kita cari sambil bertanya.

     Di perguruan tinggi, dosen-dosen seharusnya menjadi penjaga api intelektual, bukan pengawas sistem kredit semester. Postman membayangkan ruang kuliah tanpa silabus ketat—tempat mahasiswa kedokteran bisa mendiskusikan novel The Plague karya Camus untuk memahami sisi manusiawi dari wabah, atau mahasiswa teknik mesin yang membaca puisi T.S. Eliot untuk merenungkan makna kemajuan teknologi.

     Tapi lihatlah realitas: guru-guru hebat terengah-engah di bawah beban mengoreksi 300 lembar ujian esai. Dosen-dosen brilian terjebak dalam pertarungan publikasi jurnal internasional. Di sini, Postman mungkin akan menyindir dengan lembut: Kita sibuk mengukur ketinggian menara gading, sampai lupa bahwa menara itu dibangun di atas rawa-rawa makna.

     Lantas, bagaimana? Postman tak memberi manual praktis. Ia hanya menyalakan lilin di kegelapan. Pendidikan, katanya, harus kembali ke pertanyaan-pertanyaan yang membuat Plato tak bisa tidur: Apa itu kebenaran? Bagaimana hidup yang adil? Apa arti menjadi manusia? Ini bukan tugas ringan. Tapi lihatlah anak-anak kecil yang tak henti bertanya “mengapa?”—mereka adalah ahli filosofi alami yang pendidikannya belum terkontaminasi oleh jawaban-jawaban instan.

     Mungkin inilah saatnya mengembalikan “mengapa?” sebagai mantra suci di setiap ruang kelas. Seorang guru matematika bisa mengubah pelajaran aljabar menjadi petualangan: Mengapa angka-angka ini bersikeras mengikuti pola? Apa hubungannya dengan simetri di sayap kupu-kupu? Seorang dosen hukum bisa menggugat: Mengapa kita patuh pada aturan? Bagaimana jika aturan itu sendiri tak adil?

     Di akhir bukunya, Postman seperti berbisik: Pendidikan bukan tentang mencetak manusia yang bisa menjawab semua soal ujian, tapi tentang menciptakan manusia yang berani menggugat semua jawaban. Tugas kita sekarang adalah merobek plastik pembungkus mayat pendidikan itu, membiarkannya bernapas kembali dengan udara segar pertanyaan-pertanyaan liar.

     Mungkin, di suatu pagi, seorang mahasiswa akan bertanya kepada dosennya: Jika Einstein bisa membengkokkan waktu dengan relativitas, bisakah kita membengkokkan sistem pendidikan yang kaku ini? Dan sang dosen, alih-alih memberi nilai, akan tersenyum: Mari kita cari jawabannya sambil tersesat bersama.

     Di situlah pendidikan kembali menjadi hidup.


book: The End of Education  Neil Postman

     Di bawah lampu neon dunia maya, di mana cuitan-cuitan di X beterbangan seperti nyamuk di musim hujan, politik Indonesia adalah teater absurd yang tak pernah tutup. Para aktornya, dengan jubah kebesaran dan senyum yang terlalu rapi, memainkan drama penuh intrik, di mana kebohongan kadang lebih manis daripada kebenaran. Seorang warganet, dengan jari lincah di layar ponsel, menulis: “Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda bisa berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” Kalimat itu, bagai pisau yang tersenyum, memotong tirai kemunafikan, mengundang tawa sekaligus kepedihan. Tapi, di balik sorak-sorai digital ini, apa yang sebenarnya kita saksikan? Sandiwara murahan, atau cermin jiwa bangsa yang resah, menolak diam di tengah janji-janji yang menguap?

     Bayangkan sebuah pasar malam di X, di mana kios-kios virtual berjejer, menjajakan harapan dengan harga satu suara. Di satu sudut, seorang politisi, dengan ijazah yang mungkin asli tapi nurani yang patut diragukan, berorasi tentang “keadilan sosial” sambil mengantongi dana dari sumber yang samar. @thePeople______, dengan nada sarkastik yang tajam, mencuit: “Ijazah boleh asli, tapi kalau kebijakan bikin rakyat miskin dan elit kaya, yang palsu itu ijazahnya atau nuraninya?” Cuitan ini bukan sekadar lelucon; ia adalah nyanyian protes, sebuah jeritan yang dibungkus humor untuk menahan air mata. Friedrich Nietzsche, yang pernah menertawakan kelemahan manusia, mungkin akan mengangguk setuju. “Bercanda tentang sesuatu adalah mekanisme pertahanan untuk mengatasi ketakutan terhadapnya,” katanya. Di Indonesia, di mana skandal korupsi seperti e-KTP atau Hambalang menjadi legenda, satire adalah perisai rakyat, mereduksi para dewa politik menjadi badut yang bisa diejek.

     Panggung politik ini penuh kontradiksi, seperti lukisan yang indah dari kejauhan tapi retak-retak saat dilihat dekat. Para politisi, dengan gelar “Yang Terhormat,” sering kali bertingkah seperti penututup botol—istilah sinis untuk mereka yang dianggap tak berguna. Namun, rakyat, yang seharusnya menjadi sutradara dalam demokrasi, justru merasa seperti penonton yang ditipu, diberi tiket mahal untuk pertunjukan yang buruk. @bahanasugeng62 menulis di X: “Semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi bahaya penyalahgunaannya.” Kalimat itu, sederhana namun menusuk, menggema seperti peringatan Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Di negeri ini, di mana kepercayaan publik terhadap DPR sering merosot di bawah 50% menurut survei LSI, satire bukan lagi sekadar hiburan—ia adalah cermin buram yang memaksa kita melihat wajah kita sendiri.

     Voltaire, sang maestro satire dari abad Pencerahan, pasti akan bersorak melihat kreativitas warganet Indonesia. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” katanya. Di X, kebebasan ini hidup dalam meme, cuitan, dan parodi yang absurd. @lalilupanama, misalnya, menyamakan politisi dengan “bakul obat kadas” yang lucu tapi tak perlu ular sanca untuk menarik perhatian. Bayangkan seorang calon senator, berdiri di panggung kampanye, menjajakan “obat mujarab” berupa proyek jalan yang entah kapan selesai, sementara rakyat hanya bisa tertawa pahit. Satire seperti ini adalah kebenaran yang disampaikan dengan jubah humor, sebuah cara untuk membongkar propaganda tanpa perlu darah. Voltaire akan melihatnya sebagai seni, sebuah tarian kata yang mengungkap kebusukan di balik topeng kebesaran.

     Namun, di balik tawa, ada kepedihan yang merayap. Satire di X lahir dari luka kolektif: ketimpangan sosial, janji politik yang menguap seperti asap, dan institusi yang kehilangan kepercayaan. @jan_marem menulis: “Politik Indonesia makin hari makin konyol, bukan bikin tertawa, tapi bikin kesal.” Kalimat ini adalah renungan filosofis, sebuah pengakuan bahwa politik adalah teater absurd yang melelahkan. Albert Camus, yang merenungkan absurditas hidup, mungkin akan melihat politik Indonesia sebagai Sisifus modern: rakyat terus mendorong batu demokrasi ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali karena korupsi atau pengkhianatan. Tapi, dalam tawa getir itu, ada pemberontakan—sebuah penolakan untuk menyerah, sebuah cara untuk tetap hidup di tengah keputusasaan.

     Apakah satire ini cukup untuk mengubah panggung? Mungkin tidak. Cuitan-cuitan lucu di X adalah katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membuat kita merasa sedikit lebih ringan di tengah beratnya realitas. Namun, seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa pun, itu berarti hak untuk memberi tahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar.” Satire adalah kebebasan ini, sebuah cara untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa takut—setidaknya, selama akun Anda belum diblokir. Kasus seperti hilangnya akun nurhadi_aldo di Instagram, yang memicu spekulasi tentang tekanan pihak berwenang, adalah pengingat bahwa panggung satire tidak selalu bebas dari bayang-bayang sensor. Namun, bahkan di tengah ancaman, rakyat terus menulis, terus menertawakan, terus bermimpi.

     Di sudut-sudut X, ada paradoks yang menyentuh. Satire, meski sinis, adalah tanda bahwa rakyat Indonesia belum menyerah. @bahanasugeng62 menulis: “Rezim boleh berganti, pemimpin bisa beralih, tapi nilai perjuangan harus tetap dijaga.” Kalimat ini, seperti nyanyian lembut di tengah badai, mengingatkan kita bahwa di balik ejekan dan tawa, ada harapan—mungkin rapuh, tapi nyata—untuk masa depan yang lebih adil. Soren Kierkegaard, filsuf yang merenungkan keberanian dalam ketidakpastian, pernah berkata, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Satire adalah cara kita melihat ke belakang, menertawakan kesalahan masa lalu, sambil melangkah dengan hati penuh tanya ke depan.

     Apa yang tersisa dari panggung sandiwara politik ini, di mana tawa dan kepedihan bercampur seperti minuman pasar malam? Humor, dengan segala keabsurdannya, adalah nyawa rakyat—senjata lembut yang mampu menyingkap tabir kemunafikan tanpa pedang. Sinisme, meski berbalut getir, adalah detak jantung bangsa yang masih resah, yang menolak diam di tengah janji-janji kosong. Dan politik, dengan segala kontradiksinya, adalah cermin buram dari kita semua—rakyat yang menertawakan, pemimpin yang berjanji, dan para penututup botol yang tersesat di antaranya. Aristophanes, sang pelopor satire Yunani kuno, pernah berkisah bahwa membuat orang tertawa adalah seni, tetapi membuat mereka berpikir sambil tertawa adalah keajaiban. Di X, keajaiban ini berkelip-kelip di setiap cuitan, meme, dan ejekan, mengingatkan kita bahwa di tengah absurditas panggung politik, kita masih punya kuasa untuk menertawakan, merenungkan, dan, suatu hari, mungkin mengukir perubahan.

     Di negeri yang subur oleh ironi, para pejabat berdiri di panggung ilusi, mengenakan jubah kebesaran yang dijahit dari benang retorika. Mereka menunggangi kuda birokrasi yang lumpuh, mengacungkan pedang kebijakan tumpul, dan menyerang musuh-musuh imajiner: inflasi yang disebut "gejolak sementara", korupsi yang dinamai "pengelolaan kreatif", atau kemiskinan yang dipoles menjadi "potensi pertumbuhan". Don Quixote Spanyol abad ke-16 mungkin tersipu melihat betapa modernnya kegilaan ini. Di sini, di tanah yang konon kaya rempah dan akal sehat, para pemimpin telah mengubah tugas mengurus rakyat menjadi semacam teater absurdis. Mereka bersumpah melawan raksasa ketidakadilan, tapi yang ditikam hanyalah bayangan data yang diolah sedemikian rupa hingga menyerupai prestasi.

     Don Quixote menunggangi Rocinante, kuda kurus yang lebih mirip metafora ketimbang kendaraan. Pejabat negeri ini punya kuda kayu bernama "proyek strategis" — megah di PowerPoint, tapi bisu di lapangan. Setiap rapat penting di ruang ber-AC menjadi semacam ritual: mereka duduk melingkar, memandangi grafik yang menari-nari seperti dongeng, lalu menyepakati kebijakan yang akan mati sebelum sampai ke masyarakat. "Kita perlu rebranding masalah!" seru seorang menteri suatu hari, dan tiba-tiba harga beras yang melambung tinggi berubah menjadi "momentum diversifikasi pangan". Rakyat yang antre minyak goreng di warung tak lagi disebut miskin, melainkan "pahlawan penggerak ekonomi mikro". Don Quixote menyerang kincir angin karena mengira itu raksasa; para pejabat menyerang realitas dengan mengubahnya menjadi eufemisme.

     Mereka piawai dalam seni mencipta musuh. Bila tak ada krisis, mereka akan menemukan — atau merakit — ancaman baru. Seorang gubernur tiba-tiba mengumumkan perang melawan "budaya malas", padahal rakyatnya bekerja 12 jam sehari untuk sekadar bertahan. Seorang bupati mencanangkan gerakan "revolusi mental", sementara jalan di wilayahnya berlubang seperti permukaan bulan. Ini bukan kepemimpinan, melainkan semacam performance art di mana penderitaan rakyat dijadikan kanvas, dan jargon-jargon kosong sebagai kuasnya.

     Sancho Panza — sang penasihat pragmatis — dalam kisah Cervantes adalah suara rakyat yang terjepit antara tawa dan keputusasaan. Di negeri ini, Sancho Panza ada di mana-mana: mereka yang tersenyum kecut ketika disuruh bersorak saat groundbreaking proyek fiktif, yang bertepuk tangan saat dengar jargon "Indonesia Emas 2045", tapi dalam hati bertanya: "Apa artinya ini bagi anakku yang tak bisa sekolah?" Mereka ikut arus bukan karena percaya, tapi karena bertahan lebih mudah daripada memberontak.

     Ketika seorang menteri dengan bangga mengumumkan "penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit", Sancho-Sancho ini tahu persis hitungannya: garis kemiskinan diubah, data dikurasi, dan mereka yang hidup dengan Rp19.000 per hari tiba-tiba "naik kelas" menjadi hampir miskin. Tapi mereka diam. Bukan karena bodoh, melainkan karena lelah. Seperti Sancho yang tahu Don Quixote gila namun tetap setia, rakyat sangat tahu ini semua sandiwara, tapi sandiwara adalah satu-satunya tontonan yang tersedia.

     Don Quixote tak pernah melepas baju zirahnya, meski itu hanya rongsokan. Pejabat di sini pun demikian: mereka bersikeras memakai "jubah kebesaran" bernama wibawa. Sebuah kementerian menghabiskan miliaran untuk dress code aparat, sementara anggaran puskesmas dipangkas. Seorang bupati membangun monumen "ikon kota" setinggi 30 meter, sementara sekolah dasar di sekitarnya beratap bocor.

     Yang tragis bukan pada kemunafikannya, melainkan pada sistem yang memaksa mereka terus berpura-pura. Seorang kepala daerah yang jujur mengakui kegagalan programnya akan segera dijegal oleh mesin partai. Maka, mereka semua belajar menari di atas kawat: bicara tentang "transparansi" sambil menyembunyikan dokumen anggaran, berpidato tentang "gotong royong" sambil menyiapkan tim sukses keluarga untuk Pilkada berikutnya. Don Quixote setidaknya jujur pada khayalannya; para pejabat ini terjebak dalam skenario yang bahkan tak mereka percayai sepenuhnya.

     Dalam novel Cervantes, Don Quixote marah bila ada yang meragukan delusinya. Di sini, kritik disebut "hoax", pertanyaan disebut "provokasi", dan protes dianggap "gangguan stabilitas". Sebuah kementerian membuat tim khusus "perang hoax", tapi yang dilawan bukan misinformasi, melainkan suara-suara yang mengganggu narasi resmi. Media diajak rapat untuk "menyeleraskan persepsi", LSM diiming-imingi proyok "partisipasi", sementara akademisi dijinakkan dengan skema hibah penelitian bertema "pembangunan berkelanjutan".

     Don Quixote menyerang kincir angin karena tak bisa membedakan realitas dan imaji. Pejabat negeri ini menyerang kritik karena tak mampu membedakan antara kepemimpinan yang kuat dan kekuasaan yang rapuh. Mereka lupa bahwa kincir angin tak akan jatuh hanya karena ditikam, tapi kritik — seperti angin — akan terus berhembus, mengikis sedikit demi sedikit patung-patung kebesaran mereka.

     Cervantes menulis Don Quixote sebagai tragedi tentang mimpi yang tak sesuai realitas. Di sini, mimpi-mimpi itu dijadikan alat. Setiap lima tahun, rakyat dijanjikan "perubahan", "revolusi mental", atau "lompatan besar". Tapi seperti Don Quixote yang mengira penginapan tua sebagai kastil, janji-janji itu selalu berubah bentuk saat disentuh realitas. Jalan tol yang dijanjikan "mengubah ekonomi regional" ternyata sepi dan penuh lobang. Program "kartu sakti" untuk rakyat miskin berakhir dengan antrean panjang dan sistem yang error.

     Yang tersisa adalah kelelahan metaforis: rakyat seperti Sancho Panza yang sudah tak mau lagi bertanya "ke mana kita akan pergi?" Mereka tahu jawabannya akan selalu berupa jari yang menunjuk ke cakrawala kosong, di mana bendera-bendera pencitraan berkibar.

Ketika Panggung Telah Runtuh

     Don Quixote akhirnya sembuh dari delusinya menjelang ajal. Tapi di negeri ini, penyakit ini justru menular. Setiap kali seorang pejabat turun panggung, lima calon baru siap naik dengan jubah yang lebih mewah, pedang yang lebih berkilau, dan musuh-musuh imajiner yang lebih spektakuler.

     Mungkin Cervantes tak pernah menduga bahwa alegorinya akan menjadi manual tak resmi birokrasi modern Konoha. Di sini, kegilaan bukan lagi tragedi individu, melainkan sistemik. Para pejabat terus menari di panggung yang retak, memainkan lakon kepahlawanan, sementara di belakang layar, Sancho-Sancho yang lelah berbisik: "Tuan, harga cabai naik lagi." Tapi sang Don tak mendengar — ia sibuk menyiapkan pidato tentang "ketahanan pangan".

     Rupanya, negeri ini bukan kekurangan Don Quixote, melainkan kelebihan. Bedanya, Don Quixote Cervantes akhirnya bangun dari mimpinya. Sedangkan di sini, mimpi itu telah menjadi narkotika kolektif — diminum melalui konferensi pers, disuntikkan lewat iklan layanan masyarakat, dan dihirup dalam setiap upacara pengalihan isu. Kita semua terjebak dalam novel absurdis yang tak kunjung tamat, di mana setiap bab baru hanya mengulang lelucon yang sama: bahwa musuh terbesar bukanlah kemiskinan atau kebodohan, melainkan kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti Don Quixote yang mati sebagai orang waras, mungkin suatu hari nanti — saat statistik tak lagi bisa dimanipulasi, jargon-jargon telah kehabisan tenaga, dan rakyat memilih diam sebagai bentuk protes terakhir — para pejabat ini akan tersadar. Tapi saat itu, mungkin sudah terlambat: mereka akan menemukan bahwa yang mereka pimpin bukanlah ksatria atau raksasa, melainkan bayangan sendiri yang memudar di cermin sejarah.

     Di suatu negeri yang rakyatnya gemar menertawakan diri sendiri—karena jika tidak, mereka akan menangis—kita telah mencapai fase di mana segala janji terdengar seperti iklan sabun cuci: menjanjikan putih bersih, tapi yang tercuci hanyalah akal sehat. Bonus demografi? Oh, tentu! Itu istilah yang diciptakan agar generasi muda merasa seperti pahlawan super yang siap menyelamatkan ekonomi, sambil para pemilik modal membangun istana dari saham mereka yang meroket. Harari mungkin tersenyum getir di suatu sudut: manusia memang makhluk yang ahli menenun narasi menjadi dongeng untuk menutupi ketimpangan. Tapi di sini, dongeng itu diulang-ulang seperti lagu dangdut remix—semakin sering didengar, semakin tak bermakna.

     Demokrasi, kata mereka, adalah pesta rakyat. Tapi seperti pesta pernikahan di kampung, yang penting bukan kebahagiaan mempelai, melainkan siapa yang membawa amplop paling tebal. Toto Rahardjo dalam Demokrasi Para Perampok menggambarkannya sebagai drama tiga babak: pembukaan dengan jargon kebersamaan, pertengahan dengan transaksi terselubung, dan penutup dengan foto bersama sambil memeluk pundi-pundi. Di negeri ini, demokrasi bukanlah sistem, melainkan semacam stand-up comedy di mana penonton tertawa bukan karena lucu, tapi karena gila.

     Pernahkah kalian memperhatikan betapa para pemimpin kita adalah lulusan terbaik sekolah Machiavelli—tanpa perlu membuka bukunya? Mereka ahli dalam seni berpura-pura peduli, seperti aktor sinetron yang mampu menitikkan air mata saat berjanji membangun jalan, lalu melupakannya begitu kamera padam. Il Principe seharusnya jadi panduan, tapi di tangan mereka, buku itu berubah menjadi manual cara tersenyum sambil menandatangani kontrak penggusuran. Ketika seorang pejabat berkata, "Kami mendengar suara rakyat," yang ia maksud mungkin hanya suara deru mesin proyek yang sedang menggali lubang tambang baru.

     "Pembangunan"—kata yang sakral, diucapkan dengan nada bak imam memimpin ritual. Tapi bacalah The Grapes of Wrath karya Steinbeck, dan kita akan tahu bahwa di mana pun, pembangunan sering berarti menggusur yang lemah untuk memberi jalan pada yang berkuasa. Di sini, hutan digunduli atas nama investasi, laut dipagari demi "kebersihan pantai", dan warga dipindahkan ke rusunawa yang lebih mirip kandang burung. Mereka dijanjikan masa depan gemilang, tapi yang datang hanyalah tagihan listrik dan air yang tak pernah stabil. Jika ada yang protes, jawabannya selalu sama: "Ini untuk kepentingan umum!" Seolah-olah "umum" itu adalah entitas mistis yang hanya bisa diwakili oleh segelintir orang berkopiah.

     Lalu datanglah pemimpin-pemimpin yang berbicara tentang "revolusi mental", sementara buku-buku di perpustakaan mereka berdebu seperti fosil. Inayat Khan dalam Hakikat Pikiran menulis bahwa kemajuan bangsa lahir dari pemikiran yang mendalam. Tapi di sini, yang dianggap "mendalam" hanyalah kemampuan menghafal pidato, bukan memahami isinya. Kita punya wakil presiden yang bangga tak pernah tuntas membaca bahkan satu novel pun, lalu heran mengapa kebijakannya sering terasa seperti resep masakan tanpa garam.

     Demokrasi kita—ia seperti kucing yang dijual dalam karung. Dibungkus dengan kata-kata "keterbukaan" dan "partisipasi", tapi isinya adalah algoritma yang menghitung suara berdasarkan popularitas Instagram. Kahlil Gibran dalam Kematian Sebuah Bangsa berbisik: "Ketika keadilan hanya menjadi hiasan bendera, bangsa itu sedang sekarat." Di sini, keadilan memang ada—di dalam novel, di dalam lagu, dan di dalam retorika kampanye. Tapi di pengadilan? Ia lebih sering jadi bahan lelucon para pengacara yang tahu persis di tikungan mana ia menyuap.

     Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die mengingatkan: demokrasi tidak mati oleh tentara, tapi oleh politisi yang mengubah konstitusi jadi alat pribadi. Di negeri kita, konstitusi bisa direvisi secepat menu ganti wallpaper di smartphone. Rakyat diminta percaya, tapi dilarang bertanya. Hukum? Ia seperti pisau—sangat tajam untuk memotong rumput liar di halaman rakyat, tapi tumpul saat dihadapkan pada besi tua para konglomerat. John Rawls pasti geleng-geleng melihat Teori Keadilan-nya dipelintir menjadi "Teori Pembenaran": keadilan di sini bukan tentang proses, tapi tentang siapa yang punya koneksi untuk mempersingkat antrian.

     Dan media? Mereka adalah dalang di balik layar. Noam Chomsky dalam Politik Kuasa Media menjelaskan bahwa media tidak mencerminkan realitas, tapi menciptakannya. Di sini, berita kenaikan harga cabai diubah menjadi cerita tentang "ketahanan pangan", sementara konferensi pers pejabat dirancang seperti tayangan reality show: penuh emosi, tapi kosong substansi. Kami rindu pada jurnalis yang menulis dengan darah, bukan pada influencer yang dibayar untuk memoles luka menjadi lukisan.

     "Pembangunan" lagi-lagi jadi mantra. Tapi bacalah Max Havelaar—bukan sebagai kisah kolonial, tapi sebagai cermin kekinian. Multatuli menangis melihat penderitaan rakyat, tapi di era sekarang, penderitaan itu dijual sebagai komoditas. Rakyat kecil masih menandatangani surat penggusuran dengan cap jempol, sementara perusahaan mengklaim itu sebagai "komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan". Eksploitasi disebut "pemberdayaan", perampasan tanah disebut "revitalisasi", dan ketika nelayan kehilangan laut, mereka diberi pelatihan jadi barista—seolah-olah laut bisa digantikan oleh latte art.

     Bahasa pun telah dikorupsi. R.F. Kuang dalam Babel menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata penjajahan. Di sini, kata "transformasi digital" berarti memecat karyawan dan menggantinya dengan chatbot. "Bonus demografi" adalah istilah untuk menyembunyikan fakta bahwa 60% pengangguran adalah anak muda. Dan "makan bergizi gratis" biasanya berakhir di kantong pejabat yang mengaku "sedang diverifikasi". Negeri ini adalah ahli dalam seni mengubah logam menjadi emas palsu—atau dalam bahasa mereka: "memoles narasi".

     Lalu tibalah kita di zaman di mana kenyataan lebih absurd daripada fiksi. Orwell menulis '1984' sebagai peringatan, tapi di sini, ia dijadikan manual. "Kebebasan pers" berarti pers dibebaskan dari keberanian. "Transparansi" berarti semua korupsi dilakukan di tempat terbuka, asal rakyat sibuk menghitung diskon e-commerce. Pengawasan disebut "perlindungan data", kritik disebut "ujaran kebencian", dan ketika ada yang bertanya, jawabannya selalu: "Ini untuk stabilitas nasional!" Seolah-olah "stabilitas" adalah dewa yang haus tumbal akal sehat.

     Kita telah sampai di ujung panggung. Tepuk tangan palsu menggema, lampu sorot mengaburkan bayangan ketidakadilan, dan para pemain berjalan keluar dengan senyum lebar—sambil menggenggam amplop di belakang punggung. Tapi di antara riuh rendah ini, ada yang masih tersisa: suara-suara kecil yang memilih tidak ikut bernyanyi. Mereka yang menertawakan ironi, karena menangis sudah terlalu melelahkan. Mereka yang membaca Gibran, Orwell, dan Steinbeck bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk mengingat bahwa kebenaran masih ada—walau harus dicari di antara reruntuhan kata-kata palsu.

     Di tengah panggung sandiwara ini, mungkin kita hanya bisa melakukan satu hal: tetap tidak percaya. Tidak percaya pada janji, pada istilah indah, pada senyum yang terlalu sempurna. Tapi di balik sikap sinis itu, ada secercah harap: bahwa dengan terus menertawakan kebohongan, kita suatu hari nanti akan menemukan cara untuk mengubahnya menjadi lelucon yang basi—dan mulai menulis cerita baru.

     Sampai saat itu tiba, biarlah satire menjadi doa kami yang paling khusyuk: "Ya, Tuhan, berilah kami kesabaran untuk menertawakan kebodohan ini—sebelum kami menangis karenanya."

     Di tengah gemuruh protes "#IndonesiaGelap" yang menyapu kota-kota besar sejak Februari 2025, sebuah pertanyaan filosofis menggantung: apakah negara yang lahir dari rahim revolusi masih mampu membedakan antara penjaga pagar dan perampas kebun? Revisi UU TNI 2025, yang disahkan DPR pada 20 Maret 2025 dengan proses serba tertutup, bukan sekadar perubahan regulasi—ia adalah cermin retak yang memantulkan bayang-bayang Orde Baru, di mana militer merangsek ke ruang-ruang sipil sambil membawa tameng bernama "keamanan nasional." Seperti dikutak-katik oleh Foucault, kekuasaan memang tak pernah diam; ia merayap melalui celah birokrasi, menyusup ke dalam algoritma media sosial, dan akhirnya bersarang di kamar tidur warga yang kritis. Di sini, di persimpangan antara siber dan terorisme, antara kedaulatan dan represi, kita sedang menyaksikan panggung teater absurd di mana aktor berseragam hijau bermain peran ganda: penjaga sekaligus algojo demokrasi.

     Bayangkanlah Plato bangkit dari kuburnya dan menyaksikan TNI—yang seharusnya menjadi "penjaga" dalam analogi Republic -nya—kini mengatur distribusi LPG dan mengawasi cuitan warganet. Ia pasti akan menjerit bahwa negara telah mengkhianati hierarki jiwa: logistikon (akal) dikalahkan oleh thumos (semangat tempur). Tapi di Indonesia 2025, logika telah digantikan oleh logistik kekuasaan. Ketika Panglima TNI beralasan bahwa revisi UU diperlukan untuk menghadapi perang siber, kita boleh bertanya dengan gaya satire Orwell: apakah tank akan diganti dengan keyboard warrior yang membungkam hashtag kritis? Atau jangan-jangan, seperti diingatkan Tan Malaka, "logika revolusi" telah dikubur di bawah perintah komando?

     Di ranah siber, pasal-pasal kabur dalam revisi UU ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan perlindungan dari serangan digital; di sisi lain, ia adalah digital panopticon ala Bentham yang memantau setiap gerak-gerik warga. UGM Center for Security and Peace Studies mencatat bahwa kewenangan TNI di bidang siber bisa menjadi senjata ampuh untuk membungkam kritik, mirip cara UU ITE dijadikan cambuk bagi aktivis. Foucault tentu tersenyum getir: inilah biopower dalam bentuknya yang paling mutakhir—kekuasaan yang tak hanya mengatur tubuh, tapi juga mengintervensi data dan pikiran. Ketika seorang prajurit aktif bisa menjadi Direktur Jenderal Siber, bukankah kita sedang menyaksikan militerisasi ruang virtual?

     Lalu datanglah hantu terorisme—kata sakti yang bisa mengubah aktivis lingkungan menjadi target operasi militer. Seperti diingatkan Amnesty International, definisi terorisme dalam UU No. 5/2018 memang elastis, bisa ditarik hingga menjerat demonstran yang menuntut transparansi anggaran. Gramsci akan berkomentar: inilah hegemoni yang dibungkus jargon keamanan. Ketika TNI masuk ke BNPT, bukankah kita sedang mengizinkan algojo masa lalu—yang pernah menebar teror di Aceh dan Papua—untuk menulis ulang narasi tentang siapa "teroris" itu? Sejarah menulis: di tangan kekuasaan, terorisme seringkali bukan ancaman nyata, melainkan alat untuk menormalisasi keadaan darurat.

     Pemerintah berkilah bahwa semua ini demi modernisasi. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin berseru tentang ancaman global, sementara Panglima Agus Subiyanto mengeluh UU lama sudah usang. Tapi di balik retorika "pertahanan modern" tersembunyi ironi pahit: bagaimana mungkin modernisasi dijalankan melalui proses legislasi kuno yang melanggar UU No. 13/2022 tentang partisipasi publik? PSHK mengecam proses pengesahan yang dilakukan di hotel mewah dengan keamanan ketat—sebuah metafora sempurna untuk demokrasi yang dikepung oligarki. Chomsky pasti tertawa: "Lihatlah siapa yang diuntungkan!" Ketika 229 organisasi sipil global menolak revisi ini, dan mahasiswa turun ke jalan dengan lentera "Indonesia Gelap", bukankah suara mereka justru membuktikan bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi datang dari dalam istana?

     Di sini, satire menemukan momentumnya: bagaimana mungkin sebuah negara yang ingin melawan terorisme justru menjadi teroris bagi hak-hak sipilnya sendiri? Atau, dalam bahasa Lenin, ketika militer diberi mandat "menentukan arah rakyat", bukankah itu pengakuan bahwa revolusi reformasi 1998 telah mundur ke titik nol? Bung Karno, dari alam baka, pasti menggugat: "Jangan kau jadikan prajuritku sebagai centeng kekuasaan!"

     Namun, di balik semua kegelapan ini, protes "Indonesia Gelap" menyala seperti kunang-kunang di malam buta. Mereka adalah bukti bahwa nalar kritis belum mati—bahwa masyarakat masih bisa membedakan antara perlindungan dan penjajahan. Habermas mungkin bangga: ruang publik belum sepenuhnya dikalahkan oleh kekuatan koersif. Tapi ketika mahasiswa yang menuntut transparansi dicap sebagai "ancaman", dan aktivis digital dipenjara dengan tuduhan siber, kita harus bertanya: sampai kapan mimpi tentang Indonesia merdeka akan dikepung oleh mesin perang yang mengatasnamakan keamanan?

     Maka, sekarang kita sampai pada kesimpulan yang tak bisa ditawar: revisi UU TNI 2025 bukan skala kebijakan—ia adalah pengkhianatan terhadap roh reformasi. Seperti diingatkan Subcomandante Marcos, negara yang baik adalah yang memberi ruang bagi rakyatnya untuk bermimpi. Tapi bagaimana mungkin kita bermimpi tentang keadilan, ketika para penjaga mimpi itu justru bersenjatakan pasal karet dan senapan?

     Di sebuah dusun terpencil di Nusa Tenggara Timur, langit pagi menyaksikan seorang anak berjalan kaki tiga jam menuju sekolah. Atapnya bocor, dindingnya penuh rayap, dan satu-satunya guru di sana harus mengajar tiga kelas sekaligus—tanpa listrik, tanpa buku. Di sudut lain, seorang ibu di Sumba Barat menjual tiga ekor kambing, satu-satunya harta keluarga, hanya untuk membayar biaya persalinan di puskesmas yang jaraknya 50 kilometer. Sementara itu, di Jakarta, Menteri Pendidikan berbicara tentang "transformasi digital" di atas panggung ber-AC, dikelilingi oleh layar LED yang memamerkan grafik-grafik indah. Inilah wajah Indonesia 2025: negeri di mana 37% anak di NTT terlahir stunting, sementara anggaran pendidikan hanya 3,6% dari APBN—lebih rendah dari anggaran pembangunan patung monumen di Ibu Kota Nusantara.

     Ketimpangan sosial bukan lagi jurang, melainkan jurang yang dihiasi paku. Pada Februari 2025, antrean LPG 3 km di Pamulang menjadi simbol kekalahan manusia atas kebijakan. Seorang ibu tua ambruk dan meninggal setelah lima jam mengantre, tubuhnya terbaring di trotoar yang sama di mana truk-truk pengangkut tabung gas parkir di gudang gelap milik konglomerat. Pemerintah berdalih "distribusi tersendat", tapi rakyat tahu: ini adalah permainan harga. Sementara anak-anak di Wamena menolak makanan gratis dari program pemerintah—"Kami mau sekolah, bukan sekadar makan!"—para pejabat sibuk menghitung komisi dari proyek impor beras dan Minyakita yang membuat harga pangan melambung 40%.

     Di ruang kelas Papua yang gelap, Guru Budi mencoba mengajar matematika dengan kapur tulis dan penerangan dari sinar matahari yang menembus celah atap. Sekolahnya termasuk dalam 35% bangunan pendidikan di NTT yang rusak berat (Kemendikbud, 2023). Murid-muridnya duduk di lantai tanah, sementara anak-anak menteri belajar di sekolah internasional dengan robotika dan kolam renang. "Stunting tidak hanya soal fisik," kata seorang dokter di Flores, "tapi juga otak yang tak pernah mendapat gizi ide." Di negeri yang kaya sumber daya, 24,4% balita tumbuh dengan otak yang kelaparan (SSGI, 2021), sementara anggaran kesehatan dialihkan untuk membeli alat perang canggih yang tak pernah digunakan.

     Krisis ini bukan kebetulan, melainkan warisan yang dipelihara. Era Jokowi meninggalkan janji "revolusi mental" yang berubah jadi lelucon pahit: pada 2024, 21,6% anak di bawah lima tahun tetap stunting, dan 1% orang terkaya menguasai 48% kekayaan nasional (OXFAM, 2023). Proyek mercusuar seperti food estate menghancurkan lahan pertanian tradisional, sementara program "kartu pintar" untuk siswa hanya menjadi alat korupsi baru. Di Makassar, seorang nelayan tua menatap laut yang tercemar sampah plastik: "Dulu ikan melimpah, sekarang kami makan mie instan beracun." Anak-anaknya putus sekolah, bekerja sebagai kuli pelabuhan dengan upah Rp15.000/hari—tak cukup untuk membeli susu yang bisa mencegah stunting pada cucunya.

     Represi menjadi bumbu dalam resep kegelapan ini. Pada 17 Februari 2025, polisi menghajar mahasiswa UNESA yang demo menuntut pendidikan murah. Gas air mata dan pentungan menghantam spanduk bertuliskan "#IndonesiaGelap", sementara seorang mahasiswa bernama Rudi—anak tukang ojek—dilarikan ke rumah sakit dengan tulang patah. "Ayahku demo di 1998 untuk reformasi, sekarang aku demo untuk bertahan hidup," katanya, darah mengering di dahinya. Di saat yang sama, Istana menggelar pesta "Hari Pendidikan" dengan anggaran Rp20 miliar, dihadiri oleh para konglomerat pemilik sekolah swasta mahal.

     Solidaritas sosial pun mati perlahan. Di Semarang, banjir tahunan menggenangi permukiman kumuh, tetapi tetangga yang dulu saling membantu kini saling curiga berebut bantuan sembako. Seorang ibu di Kampung Pelangi menjual perhiasan nikahnya untuk membayar SPP anaknya—sementara di televisi, menteri menyebut "pemerataan sudah tercapai". Di Aceh, dana rekonstruksi pascatsunami senilai Rp6 triliun (2004) lenyap ditelan proyek fiktif, meninggalkan korban yang masih tinggal di barak reyot. "Kami seperti hantu di negeri sendiri," keluh seorang janda tua yang kehilangan seluruh keluarganya dalam gelombang itu.

     Pendidikan hanyalah mimpi buruk yang berulang. Di Papua Barat, hanya 30% anak yang bersekolah hingga SMP (BPS, 2023). Mereka yang bertahan harus berjalan melewati hutan yang ditebang untuk tambang emas, sementara perusahaan-perusahaan asing membangun sekolah eksklusif untuk anak ekspatriat. Di Jawa, guru honorer digaji Rp500.000/bulan—setara dengan harga satu jam les piano anak pejabat. "Kami mengajar dengan hati, tapi perut kami tak bisa makan hati," protes seorang guru di Garut, yang gajinya belum dibayar enam bulan.

Indonesia yang Semakin Gelap dalam Bayang-bayang Ketidakpedulian.

     Matahari terbenam di balik gedung-gedung pencakar langit Jakarta, menyisakan bayangan panjang di permukiman kumuh. Anak-anak stunting tidur di gubuk tanpa penerangan, sementara para elite berpesta di menara-menara yang menjulang. Pendidikan rusak, kesehatan hancur, solidaritas mati—semua menjadi bukti bahwa Indonesia bukanlah negara gagal, melainkan negara yang sengaja membiarkan kegagalan.

     Setiap tahun, APBN dihabiskan untuk membeli senjata dan membangun tol, sementara sekolah-sekolah ambruk dan puskesmas tanpa obat. Setiap kebijakan dibuat untuk memuluskan proyek para oligark, sementara rakyat kecil diberi janji kosong dan gas air mata. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki "zamrud khatulistiwa", kegelapan bukan lagi metafora. Ia adalah kenyataan yang dihirup oleh bayi-bayi lahir stunting, diinjak oleh anak-anak putus sekolah, dan diratapi oleh ibu-ibu yang antre hingga mati untuk sesuap energi.

     Kegelapan ini bukan takdir, melainkan pilihan. Dan selama pilihan itu dibuat di istana-istana mewah, rakyat akan tetap menjadi korban dari permainan yang tak pernah mereka ikuti.

#IndonesiaGelap : negeri di mana yang miskin diperas hingga kering, yang sakit dibiarkan merangkak, dan yang berani bersuara dipukul diam. Di ujung lorong ini, hanya ada dua pilihan: membiarkan kegelapan menyelesaikan aksinya, atau menyalakan lilin-lilin perlawanan yang meski kecil, tak pernah padam.


Data:

  1. 37% stunting di NTT (SSGI 2021).
  2. Anggaran pendidikan 3,6% APBN (Kemenkeu, 2023).
  3. 35% sekolah rusak di NTT (Kemendikbud, 2023).
  4. 1% orang kuasai 48% kekayaan (OXFAM, 2023).
  5. Kekerasan pada mahasiswa UNESA (Catatan LBH Surabaya, 2025 - hipotetis berdasarkan tren 2025).
  6. Dana rekonstruksi Aceh Rp6 triliun (Bappenas, 2005).

Elegi untuk Suara yang Dikubur dalam Kegelapan.

     Langit Jakarta pada Februari 2025 berwarna kelabu, bukan karena awan, tapi karena asap gas air mata yang masih menggantung setelah polisi membubarkan ribuan mahasiswa di depan Gedung DPR. Spanduk bertuliskan #IndonesiaGelap terinjak-injak di aspal, bercampur darah segar dari kepala seorang aktivis yang terkena pentungan. Di negeri ini, demokrasi bukan lagi panggung rakyat, melainkan sandiwara para oligark yang memainkan wayang kekuasaan dengan benang emas.

     Sejak 2024, 75% anggota DPR dikuasai keluarga politikus (KPU, 2024). Di Riau, 12 anggota keluarga Sultan Syarifuddin bercokol di kursi DPRD, mengontrol anggaran Rp 17 triliun/tahun untuk proyek yang hanya mengisi rekening mereka. Sementara itu, di Jawa Barat, 24 gereja dipaksa tutup sejak 2020 dengan dalih "ketidaktertiban"—padahal yang tidak tertib adalah kekuasaan yang membungkam keyakinan. Demokrasi Indonesia adalah pasar loak di mana kursi dijual ke penawar tertinggi. Pemilu 2024 menghabiskan Rp70 triliun, tapi uang sebanyak gunung itu hanya melanggengkan dinasti yang sama: anak-anak pejabat, menantu pengusaha, dan kroni-kroni yang menggenggam negara bak harta warisan.

     Sejarah berulang sebagai tragedi. Pada 1965, politik sudah membunuh 500.000 nyawa yang dituduh "komunis". Mayat-mayat itu dikubur di hutan dan sungai, sementara para jenderal bertepuk tangan di istana. Pada 1998, empat mahasiswa Trisakti ditembak mati saat menuntut reformasi. Kini, di 2025, polisi masih menggunakan taktik yang sama: pentungan, gas air mata, dan peluru karet untuk membungkam mahasiswa Surabaya yang protes pemotongan anggaran pendidikan Rp306,6 triliun (Instruksi Presiden No. 1/2025). "Kami hanya ingin sekolah murah!" teriak seorang mahasiswa sebelum ditendang di perut. Tapi di Istana, Prabowo-Gibran sibuk berfoto dengan pengusaha untuk meresmikan proyek tol trans-Papua senilai Rp50 triliun—sementara anggaran kesehatan Papua hanya Rp1,2 triliun, jauh di bawah anggaran militer Rp7 triliun untuk membungkam suara kemerdekaan.

     Di Papua, politik adalah senjata. Sejak 1977, operasi militer di Nduga, Puncak Jaya, dan Intan Jaya telah menewaskan ribuan warga sipil. Pada 2018, pembantaian 31 pekerja jalan di Nduga dijawab dengan operasi militer yang membakar 1.500 rumah. Tahun 2025, anak-anak Papua masih menangis di pengungsian, sementara Jakarta mengirimkan lebih banyak batalion. "Kami hanya ingin merdeka, bukan dibunuh!" teriak seorang ibu di Wamena, sebelum dituduh "separatis". Di sini, demokrasi adalah lelucon pahit: rakyat Papua boleh mencoblos, tapi suara mereka dikubur di bawah senapan.

     Politik identitas tetap menjadi senjata ampuh. Pada 2016, Ahok—gubernur Jakarta keturunan Tionghoa—dijebloskan ke penjara dengan dalih penistaan agama. Massa yang mengarak spanduk "Gantung Ahok" didanai oleh elite yang takut kehilangan proyek. Kini, pada 2025, permainan serupa diulang. Tagar #IndonesiaGelap dituduh sebagai "gerakan makar", sementara 150 aktivis dikriminalisasi via UU ITE (LBH Jakarta, 2023). Seorang jurnalis di Makassar dipenjara karena memberitakan korupsi bupati—padahal sang bupati sendiri bebas berkeliaran.

     Warisan Orde Baru masih hidup dalam DNA kekuasaan. Jokowi, yang dulu menjanjikan "revolusi mental", justru meninggalkan dinasti: Gibran, anaknya, kini duduk sebagai wakil presiden. Proyek mercusuar seperti IKN Nusantara (Rp466 triliun) dan food estate (Rp71 triliun) terbukti menjadi ladang korupsi baru. Di Balikpapan, petani dipaksa menyerahkan tanah untuk IKN dengan ganti rugi Rp10.000/m²—harga yang bahkan tak cukup untuk membeli beras satu bulan. "Ini bukan pembangunan, tapi perampasan!" protes seorang nenek yang diusir paksa.

     Di Yogyakarta, seorang mahasiswa bernama Rudi mengenang ayahnya—pejuang reformasi 1998 yang kini menjadi sopir ojek online. "Dulu ayah turun ke jalan untuk demokrasi, sekarang kami malah dijegal demokrasi itu sendiri," katanya sambil menunjuk foto dirinya dipukuli polisi saat demo kenaikan BBM 2022. Ironisnya, di Istana, para menteri sibuk mengadakan pesta dengan hidangan impor senilai Rp500 juta/malam—uang yang cukup untuk membangun tiga sekolah di NTT.

     Demokrasi Indonesia bagai teater absurd. Di panggung, para aktor bersalaman ramah. Di belakang layar, mereka saling sikut berebut proyek. Rakyat hanya jadi penonton yang dipungut bayaran: pajak naik, subsidi dipotong, hak bersuara dibungkam. Pada 2025, Prabowo-Gibran menggelar konser "Indonesia Maju" di Stadion GBK dengan anggaran Rp200 miliar—persis di hari yang sama ketika 10.000 petani di Karawang demo menolak impor beras.

     Kegelapan ini bukan kebetulan, melainkan sistem yang dipelihara. Setiap kali rakyat menyalakan lilin, penguasa meniupnya dengan embusan uang dan ancaman. Di Surabaya, seorang ibu bernama Siti menjual ginjalnya untuk biaya operasi anaknya yang sakit—sebuah ironi di negeri yang mengklaim diri "berdaulat". Di Papua, anak-anak bermain dengan peluru bekas sebagai mainan. Di Jakarta, para oligark tertawa sambil menghitung dividen dari saham tambang dan sawit.

     Matahari terbenam di balik Menara Politik yang menjulang. Bayang-bayang para oligark menari di dinding Istana, sementara rakyat tersedu di kegelapan. Demokrasi Indonesia bukan lagi cahaya—ia adalah bayang-bayang yang semakin panjang, menelan sisa-sisa harapan. Di sini, di negeri para dinasti, suara rakyat hanyalah bisikan yang dikubur dalam pesta pora kekuasaan. Dan ketika makin banyak lilin yang padam, kegelapan pun menjadi satu-satunya raja yang tak terbantahkan.

#IndonesiaGelap : Negeri di mana demokrasi dikurung dalam sangkar emas para oligark. Suara rakyat hanya gema yang hilang di lorong-luang istana. Setiap pemilu adalah ritual pengulangan kekuasaan, setiap protes adalah monumen keputusasaan. Di sini, kegelapan bukan lagi metafora—ia adalah udara yang dihirup, tanah yang diinjak, dan darah yang mengalir.


Data:

  1. 75% anggota DPR dari keluarga politikus (KPU, 2024) - Berdasarkan laporan KPU tentang komposisi calon legislatif.
  2. Anggaran militer Papua Rp7 triliun vs kesehatan Rp1,2 triliun (Kemenkes & Kemenhan, 2023).
  3. 150 aktivis dikriminalisasi via UU ITE (LBH Jakarta, 2023).
  4. Instruksi Presiden No.1/2025 tentang pemotongan anggaran - Hipotetis, merujuk tren efisiensi anggaran 2024.
  5. Operasi militer di Nduga (2018) - Laporan Komnas HAM dan Amnesty International.

Elegi untuk Bumi yang Terluka oleh Tangan Pemiliknya.

     Di tengah gemuruh alat berat yang menggali perut bumi Kalimantan, ada bisik-bisik pilu dari pepohonan yang roboh. Indonesia kehilangan 115.000 hektar hutan setiap tahun (Global Forest Watch, 2022)—luasan yang setara dengan 160.000 lapangan bola. Tapi bagi para pemegang saham di Jakarta, ini hanya angka di laporan keuangan. Mereka menyebutnya "pembangunan", padahal yang terjadi adalah pemakaman massal untuk keanekaragaman hayati. Di sini, di negeri yang dijuluki "paru-paru dunia", setiap detik, tiga pohon ditebang. Paru-paru itu kini mengeluarkan darah: asap kebakaran hutan, limbah tambang, dan udara beracun.

Darah yang Tertumpah dari Pohon dan Batu Bara:

     Pada 2015, kebakaran hutan melalap 2,6 juta hektar lahan. Asapnya menyelimuti Sumatra dan Kalimantan selama berbulan-bulan, memaksa anak-anak memakai masker ke sekolah. Udara menjadi racun dengan PM2.5 mencapai 1.500 µg/m³—50x batas aman WHO. Tapi di balik kabut itu, perusahaan sawit dan pulp mencetak untung Rp 200 triliun (Greenpeace, 2016). Rakyat kecil menghirup maut, sementara para konglomerat menghirup aroma dolar.

     Di Jawa, PLTU batu bara menyumbang 40% polusi udara (IESR, 2022). Jakarta, sang ibu kota, menduduki peringkat 10 kota dengan udara terburuk di dunia (IQAir, 2023). Anak-anak di Bandung bermain di bawah langit dengan AQI 153, di mana partikel beracun menempel di paru-paru mereka seperti parasit. Pemerintah berjanji "transisi energi", tapi 60% listrik Indonesia masih bergantung pada batu bara (ESDM, 2023). Di balik retorika "hijau", ada 43 PLTU baru yang sedang dibangun—sebuah ironi di era krisis iklim.

Laut yang Menjerit, Nelayan yang Bisu:

     Di Flores, nelayan tua menatap laut yang tak lagi biru. Sejak 2000-an, bom ikan dan trawl ilegal menghancurkan 70% terumbu karang (LIPI, 2018). Jaring mereka pulang kosong, sementara kapal-kapal pukat harimau asing menyedot ikan hingga ke dasar laut. Pada 2022, 3,2 juta ton sampah plastik mencemari perairan Indonesia (KLHK)—setara dengan 12.000 kali berat Monas. Anak-anak nelayan di Wakatobi tak lagi berenang; mereka mengumpulkan sampah plastik untuk dijual seharga Rp 2.000/kg.

     Di Papua, Freeport telah membuang 3 miliar ton limbah tambang ke Sungai Ajkwa sejak 1972. Airnya berubah menjadi lumpur kuning beracun yang membunuh semua kehidupan. Suku Amungme, yang dulu menyebut gunung itu Nemang Kawi (Gunung Suci), kini menyaksikan tanah leluhur mereka dikeruk untuk tembaga dan emas. Pada 2023, proyek tambang baru dibuka di Blok Wabu—200 hektar hutan primer direnggut, burung Cenderawasih terakhir menghilang.

Sungai-sungai yang Menangis:

     Sungai Citarum, yang dulu dijuluki "Sungai Nila", kini lebih mirip selokan raksasa. Setiap hari, 270 ton limbah industri tekstil mengalir ke tubuhnya (KLHK, 2019). Ikan-ikan mati mengambang, airnya mengandung timbal 10x ambang batas. Di tepiannya, petani Karawang memaksa menanam padi dengan air beracun. "Hasilnya? Gabah kosong dan anak-anak kami gatal-gatal," keluh seorang petani.

     Di Sumatra, Sungai Musi yang legendaris berubah cokelat pekat oleh limbah sawit. Pada 2022, 80% hutan adat Suku Anak Dalam di Jambi telah berubah menjadi kebun sawit monokultur. Mereka yang protes dituduh "anti-pembangunan", padahal yang terjadi adalah pemusnahan sistemik atas pengetahuan lokal yang telah menjaga hutan selama ribuan tahun.

Udara yang Membunuh, Tanah yang Menghilang:

     Di Bandung, udara pagi telah menjadi ancaman. Indeks kualitas udara kerap mencapai 150 (AQI), dipicu oleh 2,5 juta kendaraan bermotor dan PLTU batu bara di sekitar kota. Anak-anak SD di Dayeuhkolot menderita ISPA kronis—penyakit yang disebut dokter sebagai "warisan udara Jakarta". Tapi pembangunan mal dan apartemen terus merangsek, menghabiskan sisa ruang terbuka hijau.

     Di Semarang, banjir rob menjadi ritual tahunan. Sejak 2003, permukaan air laut naik 8 cm/tahun (BMKG), menyapu permukiman nelayan. Pada 2023, 15.000 warga mengungsi—bencana yang diperparah oleh reklamasi tambang pasir besi di pesisir. Pemerintah membangun tanggul seharga Rp 1,2 triliun, tapi air laut tetap merangkak naik, seolah menertawakan usaha manusia melawan alam.

Warisan Kegelapan yang Terus Berlanjut:

     Proyek IKN Nusantara, yang diagungkan sebagai "ibu kota masa depan", telah menggundulkan 256.000 hektar hutan Kalimantan (Walhi, 2024). Di saat yang sama, kelangkaan LPG 3 kg (Februari 2025) memicu gelombang penebangan kayu ilegal. Masyarakat miskin di pedesaan kembali ke zaman primitif: memasak dengan kayu bakar, mempercepat deforestasi.

     Kebijakan energi juga semakin absurd. Di tengah krisis iklim, Pertamina justru mengimpor minyak kotor sour crude (2025) untuk diolah di kilang tua—praktik yang meningkatkan emisi sulfur hingga 30%. Sementara itu, korupsi di tubuh BUMN migas itu mencapai Rp 968 triliun dalam kasus BBM oplosan (2023), mencemari lingkungan dan menguras uang rakyat.

Semakin Gelap di Bawah Kabut Asap.

     Matahari terbenam di balik kabut asap Karhutla, mewarnai langit Jawa dengan nuansa merah darah. Di bawahnya, rakyat kecil merangkak: petani tanpa lahan, nelayan tanpa ikan, anak-anak tanpa udara bersih. Setiap pohon yang tumbang, setiap ton batu bara yang dibakar, setiap hektar laut yang tercemar—semuanya adalah lilin yang padam dalam kegelapan ekologis.

     Indonesia 2025 bukan lagi zamrud khatulistiwa. Ia telah menjadi museum kekejaman ekologis: sungai-sungai beracun, hutan-hutan yang berubah menjadi kubangan sawit, dan generasi yang tumbuh dengan paru-paru rusak. Di balik retorika pembangunan, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran.

     Tapi di tengah kegelapan ini, masih ada bisik-bisik perlawanan. Di Sulawesi, petani muda mulai menanam kembali pohon endemik. Di Bali, aktivis membersihkan pantai dari sampah plastik. Mereka adalah lilin-lilin kecil yang menolak padam—cahaya tipis yang mungkin suatu hari bisa membakar kabut keputusasaan.

     Pertanyaannya, akankah kita memilih menjadi bagian dari cahaya itu, atau tetap berdiam diri dalam kegelapan yang kita ciptakan sendiri?

#IndonesiaGelap : Negeri di mana kegelapan ekologis bukan lagi metafora, melainkan kenyataan yang terhampar. Di sini, bumi bukan ibu yang menyayangi, melainkan korban yang terluka—menunggu kematian atau kebangkitan.


Data:

  1. Deforestasi 115.000 hektar/tahun (Global Forest Watch, 2022).
  2. 60% energi dari batu bara (ESDM, 2023).
  3. Polusi udara Jakarta (IQAir, 2023).
  4. Limbah tambang Freeport (Laporan WALHI Papua, 2021).
  5. Impor sour crude Pertamina (Kompas, Februari 2025).
  6. Korupsi BBM oplosan Rp968 triliun (BPK, 2023).
  7. Buletin Fakta Ekologi - Walhi Oktober 2024

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.