Realitas merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga menjadi topik yang menarik bagi banyak filsuf. Realitas dapat diartikan sebagai kenyataan yang ada di dunia, yang dapat dirasakan dan diamati oleh manusia. Secara umum, realitas dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu realitas obyektif, subyektif, dan intersubyektif.
Realitas-obektif adalah realitas yang berada di luar diri manusia, independen dari sudut pandang manusia, dan dapat diukur secara empiris. Contoh dari realitas-obyektif adalah hukum fisika, matematika, fakta sejarah, ponsel yang kita miliki, sepatu dan sendal di kaki kita, dan lain sebagainya. Intinya, segala sesuatu yang dapat diukur, dapat diamati dan dapat diverifikasi oleh diri kita maupun orang lain.
Filsuf yang lebih cenderung mengambil pendekatan realitas obyektif adalah Plato dan Aristoteles, di mana mereka berpandangan bahwa realitas itu ada secara mandiri dan dapat ditemukan melalui pengamatan dan pemikiran yang rasional. Descartes juga cenderung mengambil pendekatan realitas obyektif, namun ia mencapai pandangan ini melalui pemikiran yang lebih radikal, yaitu dengan meragukan segala hal yang dapat diragukan dan hanya menerima kebenaran yang pasti dan jelas. Sementara saintis yang juga filsuf seperti Daniel Dennett dan Richard Dawkins mendukung pandangan ini, bahwa realitas adalah obyektif, dan dapat diukur secara objektif.
Namun, ada juga pendapat bahwa realitas-obyektif bersifat terbatas dan tidak mengungkapkan keseluruhan realitas. Sebagai contoh, realitas-obyektif tidak mampu menjelaskan pengalaman-pengalaman manusia yang bersifat subyektif, seperti perasaan, kepercayaan dan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, beberapa filsuf seperti Martin Heidegger mengatakan bahwa realitas-subyektif juga perlu diperhatikan.
Realitas-subyektif adalah realitas yang terkadang digunakan oleh manusia untuk memberikan arti atau interpretasi terhadap realitas yang obyektif. Contoh dari realitas subyektif adalah perasaan cinta, rasa sakit, rasa keadilan dan lain-lain. Realitas-subyektif sangat bergantung pada sudut pandang individu atau kelompok yang mengalami realitas tersebut. Filsuf seperti Immanuel Kant dan Jean Paul Sartre mendukung keberadaan realitas-subyektif dalam kehidupan manusia. Sartre bahkan mengatakan bahwa individu merupakan sumber dari realitas-subyektif. Ia menekankan bahwa realitas itu terbentuk oleh persepsi dan pengalaman
manusia yang dipengaruhi oleh kebebasan dan pilihan individu.
Namun, keterbatasan dari realitas subyektif adalah bahwa tak selalu dapat dicontohkan ke seluruh orang. Perbedaan individu menyebabkan adanya perbedaan persepsi dan penilaian terhadap hal yang sama. Oleh karena itu, ada juga jenis realitas yang disebut sebagai intersubyektif, yaitu realitas yang diakui oleh sebagian atau seluruh individu sebagai realitas yang berlaku. Realitas intersubyektif melibatkan interaksi antar individu, seperti adat istiadat, kesepakatan sosial, permufakatan yang berlaku pada sebuah komunitas atau budaya, dan lain-lain. Filsuf seperti Jürgen Habermas dan Charles Taylor menyatakan bahwa realitas intersubyektif memainkan peran penting dalam menentukan nilai dan makna dalam kehidupan manusia. Heidegger memiliki pendekatan yang lebih kompleks, di mana ia menekankan
bahwa realitas itu dapat ditemukan melalui pengalaman dan pemahaman
manusia yang dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sosialnya. Dalam hal
ini, ia dapat dikatakan memiliki pendekatan realitas intersubyektif.
Sebagai contoh realitas intersubyektif adalah bahasa. Bahasa adalah produk dari
interaksi manusia dan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman bersama.
Oleh karena itu, bahasa juga menjadi bagian dari realitas
intersubyektif. Bahasa tidak hanya memungkinkan kita untuk berkomunikasi
dan memahami satu sama lain, tetapi juga memungkinkan kita untuk
memahami konsep dan realitas bersama. Bahasa juga memungkinkan kita
untuk menyampaikan nilai dan norma sosial yang diterima bersama dalam
masyarakat.
Contoh kasus lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan realitas intersubjektif adalah konsep keadilan dalam masyarakat. Konsep keadilan tidak hanya didasarkan pada pandangan individu, tetapi juga terbentuk melalui interaksi antara individu dan masyarakat. Konsep keadilan akan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dibagi bersama antara individu dan bersifat kolektif.
Sebagai contoh, di suatu masyarakat tertentu, mungkin ada perbedaan pandangan tentang apa yang dianggap adil dalam situasi tertentu. Namun, melalui interaksi antara individu dan diskusi bersama, konsep keadilan dapat terbentuk dan diterima oleh masyarakat sebagai kesepakatan mayoritas masyarakat. Konsep keadilan yang disepakati ini kemudian akan menjadi bagian dari realitas intersubyektif masyarakat.
Misalnya, dalam beberapa masyarakat, hukuman mati dianggap sebagai bentuk keadilan dalam kasus-kasus tertentu, sedangkan di masyarakat lain, hukuman mati dianggap tidak adil. Konsep keadilan ini terbentuk melalui interaksi antara individu-individu dan terbentuk dalam realitas intersubyektif masyarakat. Konsep yang disepakati ini juga dapat berubah seiring waktu, tergantung pada perubahan nilai-nilai dan norma sosial dalam masyarakat.
Secara keseluruhan, pandangan tentang ketiga jenis realitas, yaitu realitas-obyektif, realitas-subyektif, dan realitas intersubyektif, memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, bergantung pada perspektif yang digunakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi manusia untuk memahami keberadaan dari ketiga jenis realitas tersebut dan bagaimana ketiganya saling berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari.
Posting Komentar
...