Articles by "Filsafat"

Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

     Ada momen aneh ketika berdiri di puncak gunung: tubuh yang ringkih, paru-paru yang megap-megap, kaki yang gemetar, justru menjadi saat ketika rasa keberadaan terasa paling penuh. Semakin kecil manusia di hadapan alam, semakin besar kesadaran akan eksistensinya. Sebuah ironi yang menohok: keterbatasan justru melahirkan keluasan, kefanaan justru menyentuh keabadian.

     Gunung adalah altar yang menelanjangi ilusi manusia tentang kuasa. Semua teknologi yang dibawa, semua rencana, semua perhitungan bisa runtuh hanya oleh kabut yang turun terlalu cepat atau badai yang tak kunjung reda. Di hadapan langit yang terlalu luas dan tanah yang terlalu tua, manusia hanyalah percikan singkat, setetes debu di arus kosmik. Namun justru di situ, dalam kerendahan mutlak, muncul kebesaran rasa: aku ada. Aku kecil, tapi aku menyaksikan. Aku fana, tapi aku merasakan. Aku terbatas, tapi aku tahu keterbatasan itu. Kesadaran kecil ini, entah mengapa, menyingkap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

     Banyak orang mencari keheningan di gunung. Tetapi ironinya, keheningan justru membuka kebisingan batin. Begitu suara dunia hilang, suara dalam kepala menggema lebih keras. Pikiran yang disangka sudah jinak ternyata liar. Kenangan yang dikira telah usai ternyata berulang. Gunung tidak memberi ketenangan begitu saja, ia malah menyingkapkan betapa bisingnya manusia di dalam. Dan hanya dengan melewati kebisingan itu, barulah keheningan sejati bisa disentuh. Seperti menembus kabut: harus tersesat dulu sebelum langit biru kembali terlihat.

     Ada pula kontradiksi kebebasan. Manusia mendaki dengan perasaan bebas, ingin lepas dari rutinitas, dari jerat kota, dari segala kewajiban. Tetapi di gunung, kebebasan justru berarti tunduk. Tunduk pada cuaca, pada jalur, pada ritme alam. Tidak bisa mendikte kapan hujan berhenti atau kapan matahari terbit. Kebebasan mutlak ternyata hanya mungkin jika manusia rela tunduk mutlak. Dan anehnya, justru di saat menyerah pada hukum alam, manusia merasa paling bebas. Bukankah itu absurd? Bahwa ketaatan justru melahirkan kebebasan?

     Dan mungkin yang paling getir ketika banyak orang mendaki untuk mencari Tuhan di puncak, tetapi sering kali justru menemukannya di lembah. Di puncak, langit memang dekat, cakrawala terbuka, tetapi waktunya sebentar, hanya sesaat. Justru ketika turun, ketika tubuh lelah, ketika kabut menutup jalan, ketika hujan menampar wajah, saat itulah manusia merasakan sesuatu yang melampaui diri. Seolah Yang Maha Tinggi tidak bersemayam di ketinggian, melainkan di jalan berdebu, di langkah yang tertatih, di air yang dibagi, di api kecil yang menyelamatkan malam. Puncak hanyalah simbol, yang sejati justru tersembunyi dalam perjalanan.

     Paradoks spiritual-metafisis ini bukan sekadar permenungan di gunung. Ia adalah gambaran absurd dari hidup itu sendiri. Semakin manusia mengejar abadi, semakin sadar akan fana. Semakin mencari makna, semakin berjumpa dengan absurditas. Semakin ingin bebas, semakin harus tunduk. Gunung hanya mempertegas apa yang selalu ada: bahwa hidup adalah kontradiksi yang tidak bisa diuraikan, hanya bisa dijalani.

     Banyak pendaki pernah berdiri di sebuah puncak, matahari muncul sekejap di sela awan, lalu kabut kembali menutup segalanya. Momen itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi terasa seperti keabadian. Dan sekaligus, terasa begitu fana. Detik itu berlalu, hilang, tak bisa diulang. Namun entah mengapa, ingatan akan momen singkat itu tetap hidup, seperti sesuatu yang tak bisa mati. Di situlah manusia mengerti: abadi bukan berarti selamanya, abadi adalah fana yang meninggalkan jejak dalam batin.

     Gunung sering berbisik: semakin manusia merasa kecil, semakin besar ia sesungguhnya. Semakin ikhlas kehilangan, semakin abadi dalam jejak yang tertinggal. Semakin pasrah, semakin bebas berjalan. Dan di situlah paradoks spiritual bersemayam, bukan sebagai teka-teki untuk dipecahkan, tapi sebagai kebijaksanaan yang harus dijalani. Luka dan absurditas itu bukan musuh, melainkan pintu menuju pemahaman yang tak terucapkan.

     Kesuksesan sering kita dengar sebagai mantra modern, sejenis komoditas rohani yang dijual dengan harga mahal dalam seminar motivasi, iklan investasi, atau postingan Instagram yang penuh dengan kata “hustle”. Namun, kalau dipikir dengan kepala dingin dan sedikit sinis, bukankah kesuksesan dalam definisi semacam itu hanyalah permainan ilusi? Orang bekerja mati-matian, lalu membeli jam tangan mahal supaya terlihat sukses, meski yang benar-benar sukses hanyalah perusahaan pembuat jam tangan itu. 

     Kita terjebak dalam lingkaran simbol, bukan makna. Nietzsche sudah mengingatkan bahwa manusia modern suka mengganti Tuhan dengan berhala baru, dan salah satunya adalah berhala kesuksesan dalam bentuk uang, popularitas, dan pengakuan. Kita berdoa pada altar algoritma, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan identitas, hanya demi mendapat sedikit validasi dalam bentuk “like”.

     Namun, apa yang terjadi jika kesuksesan didefinisikan ulang bukan sebagai “memiliki” melainkan “melepaskan”? Di sini, logika pasar berhenti bekerja, dan kita masuk ke wilayah batin. Sukses bukan soal menumpuk angka di rekening, melainkan saat kita tidak lagi diperbudak oleh keinginan untuk menumpuk. Sukses bukan soal nama kita terpampang di billboard, melainkan saat kita sudah tidak peduli lagi apakah nama itu dikenal atau tidak. Buddha akan tersenyum, karena definisi semacam ini sejalan dengan gagasan Nirvana—sebuah keadaan bebas dari kelekatan, di mana hasrat eksternal tak lagi menggiring kita ke jurang penderitaan.

     Karya yang jujur pun lahir dari tempat ini: ruang batin yang bebas. Begitu kita berkarya demi pujian, demi penjualan, demi viralitas, maka karya itu bukan lagi seni, melainkan strategi pemasaran. Mungkin tetap bisa indah, tapi tidak jujur. Kierkegaard pernah bilang, keputusasaan terbesar manusia adalah hidup dalam kepura-puraan, menjadi sesuatu yang bukan dirinya. 

     Maka, seorang seniman yang memoles karyanya hanya demi “disukai banyak orang” sebenarnya sedang menulis epitaf keputusasannya sendiri. Sebaliknya, ketika seseorang mencipta karena ada sesuatu yang penting dan mendesak di dalam dirinya yang harus dikeluarkan, maka karya itu hidup. Bahkan bila tak ada satu pun orang yang bertepuk tangan, karya itu tetap bernyawa, dan si pencipta tetap merdeka.

     Tetapi bagaimana mungkin kita merdeka bila dunia hari ini penuh dengan budaya performatif? Media sosial membentuk panggung di mana semua orang jadi aktor, dan semua aktor bersaing untuk tampil paling bahagia, paling kaya, paling sukses. Ironisnya, semakin keras orang berusaha tampak sukses, semakin jelas kegelisahan yang mereka sembunyikan. 

     Simone de Beauvoir menyinggung tentang “ambiguitas eksistensi manusia”—kita ingin bebas, tapi sekaligus ingin diakui. Itulah mengapa banyak orang tidak benar-benar bahagia, melainkan hanya sibuk mengedit potret kebahagiaan. Kita butuh jeda, sekadar beberapa tarikan napas, untuk bertanya: apakah tujuan hidup kita benar-benar "hanya untuk dilihat” atau "untuk dihidupi”?

     Kebebasan sejati datang ketika kita berani melawan ilusi ego. Ego adalah penipu ulung, selalu lapar akan uang, pujian, dan publisitas. Ia seperti monster kecil yang setiap kali diberi makan justru makin rakus. Stoikisme menawarkan obatnya: indifferensia, kemampuan untuk bersikap netral terhadap hal-hal di luar kendali kita. Epictetus pernah bilang, bukan dunia yang mengganggu kita, tapi opini kita sendiri tentang dunia. 

     Begitu pula dengan kesuksesan; ia bukan realitas objektif, melainkan opini yang kita pilih untuk percayai. Jika kita berhenti tertarik pada uang atau pengakuan, kita mulai hidup dari pusat kesadaran yang lebih dalam, bukan dari bayangan ekspektasi sosial.

     Pada titik ini, kita bisa berkata dengan tenang: kita bisa berkarya, hidup, bahkan berpikir tanpa harus dikendalikan oleh algoritma, uang, pujian, atau publisitas. Dan justru saat itu kita sudah sampai di tempat yang tak banyak orang ketahui. Ironisnya, banyak yang mencari surga palsu di puncak karier, sementara surga itu sendiri hadir di momen sederhana ketika kita berhenti mencari. Heidegger menyebut pengalaman semacam ini sebagai “authentic being”—keberadaan yang otentik, yang lahir saat kita berdamai dengan kefanaan dan berhenti mengejar topeng-topeng sosial.

     Puncak, pada akhirnya, bukanlah panggung. Banyak orang mengira sukses adalah ketika kita disorot lampu sorotan, dikerumuni massa, atau diabadikan dalam sejarah. Padahal puncak itu justru hadir ketika kita sudah tidak peduli apakah orang tahu atau tidak. Ketika karya selesai, ketika kata-kata tertulis, ketika lagu mengalun, dan kita sendiri bisa tersenyum puas—itulah puncak. 

     Sisanya hanyalah gema di luar diri. Camus barangkali akan setuju: hidup absurd ini hanya bisa dijawab dengan satu sikap, yakni mencintainya apa adanya. Sukses, dalam absurditas Camus, bukan soal mengatasi dunia, melainkan soal menari bersama ketidakpastian tanpa kehilangan irama.

     Dan betapa ironisnya, justru saat kita melepaskan ambisi untuk tampak sukses, kita sering kali dianggap sukses oleh orang lain. Sebuah paradoks yang agak menggelikan. Mereka akan bertanya, bagaimana mungkin engkau tampak tenang tanpa harta melimpah, tanpa pengikut jutaan, tanpa piagam penghargaan? Dan kita bisa menjawab dengan santai: karena kesuksesan yang kau cari hanyalah bayangan, sementara yang aku miliki adalah kebebasan.

     Pada akhirnya, kesuksesan bukanlah garis finish yang ditempuh dengan berlari paling cepat. Ia lebih menyerupai kebiasaan duduk diam dalam diri sendiri, mendengarkan suara yang jujur, dan berani melepaskan apa yang tak lagi perlu digenggam. Dunia boleh berisik dengan pencapaian, tetapi di ruang batin yang sunyi kita menemukan puncak yang sesungguhnya—puncak yang tidak membutuhkan sorotan, tidak membutuhkan pengakuan, dan tidak membutuhkan penonton.

     Ada malam-malam di gunung ketika angin meraung liar, tenda gemetar seperti daun tipis, dan api unggun padam jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Di luar hanya ada kegelapan yang menelan segalanya, di dalam hanya ada suara nafas sendiri yang membesar, menggema oleh sepi. Pada saat itu, gunung berhenti menjadi sekadar medan fisik dan menjelma menjadi cermin. Setiap pendaki dipaksa menatap ke dalam, berhadapan dengan sosok yang selama ini disembunyikan. Di sanalah ironi personal bersemayam: kekuatan justru lahir dari pengakuan akan kelemahan, keberanian tumbuh dari tanah ketakutan.

     Banyak pendaki masih menyimpan kenangan jauh, ketika tubuh begitu lelah hingga setiap langkah terasa seperti perang kecil yang nyaris mustahil dimenangkan. Saat itu sering muncul kemarahan pada diri sendiri, perasaan rapuh yang tak tertanggungkan, bahkan penyesalan mengapa kaki ini sudi ikut dalam perjalanan yang keras. Namun justru di titik itulah banyak yang menyadari: mereka mampu melangkah bukan karena kokoh, melainkan karena berani menerima rapuhnya diri. Ada kontradiksi getir di sana—kekuatan sejati bukan penyangkalan, melainkan pengakuan. Semakin seseorang menyangkal ketakutan, semakin ia melumpuhkan dirinya. Semakin ia merangkulnya, semakin ketakutan itu berubah menjadi bara penggerak.

     Gunung pun memperlihatkan ketidaksesuaian lain: kesunyian luar senantiasa membuka keramaian dalam. Begitu suara mesin, lalu lintas, dan notifikasi dunia lenyap, muncullah kerumunan suara batin yang lama tertimbun. Pikiran berlarian tanpa kendali, kenangan berjatuhan satu per satu, ketakutan kecil menggembung jadi raksasa. Seakan hutan dan tebing sengaja menelanjangi pendaki, bukan dengan badai, melainkan dengan diam. Dan dalam diam itu, justru mereka menemukan betapa riuhnya diri sendiri. Kesunyian ternyata bukan kekosongan, melainkan sebuah keramaian lain yang mustahil dielakkan.

     Ada pula ironi puncak—selalu menyisakan rasa absurd yang menusuk. Seseorang mendaki berhari-hari, menahan lapar, dingin, dan nyeri, hanya untuk berdiri sebentar di ketinggian, lalu segera turun lagi. Dan anehnya, begitu sampai di sana, rasa itu campur aduk: kemenangan yang justru terasa seperti kehilangan. Bukan lega sepenuhnya, melainkan kehampaan baru—lalu apa setelah ini? Puncak yang dicari ternyata hanya fatamorgana. Yang nyata justru perjalanan, luka, serta tarikan nafas yang berat sepanjang jalan. Puncak, pada akhirnya, hanyalah dalih agar seseorang bertemu dengan dirinya sendiri.

    Paradoks personal ini bukan sekadar permainan batin, melainkan luka yang tetap berdarah dalam hidup sehari-hari. Manusia ingin berani, tapi justru gentar. Ingin kuat, tapi justru rapuh. Ingin tenang, tapi justru gaduh. Dunia outdoor hanyalah panggung yang memperbesar kontras itu, seolah alam berkata: “lihatlah dirimu sebagaimana adanya.” Dan sering kali, manusia tidak siap dengan pemandangan itu. Tetapi gunung tak pernah peduli kesiapan. Ia menyingkap, entah mau atau tidak.

     Banyak pendaki merasa pernah dikhianati oleh puncak. Setelah berhari-hari berjalan, begitu sampai, justru ingin segera meninggalkannya. Ada rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Namun pelan-pelan, mereka mengerti: puncak memang bukan tujuan, melainkan pengingat bahwa semua kemenangan selalu menyimpan kehampaan. Bahwa semua pencapaian pribadi hanyalah percikan singkat sebelum kembali tenggelam di lembah kehidupan. Kehampaan itu bukan kegagalan, melainkan bagian dari kebijaksanaan—penanda bahwa hidup tak pernah selesai di satu titik.

     Ironi personal ini menyingkap absurditas yang getir, namun justru dari situlah makna lahir. Ia mengajarkan bahwa diri bukanlah batu karang yang kokoh, melainkan tarikan abadi antara takut dan berani, lemah dan kuat, sunyi dan riuh, menang dan hampa. Di tengah tarikan itu, setiap pendaki perlahan belajar menerima, bukan menuntaskan. Sama seperti pendakian itu sendiri—tak ada jalan yang benar-benar selesai, hanya langkah demi langkah yang akhirnya membawa mereka pulang pada dirinya sendiri.

     Gunung tak pernah berhenti berbisik: keberanian ada dalam ketakutan, kekuatan ada dalam kelemahan, puncak ada dalam kehilangan. Dan di situlah paradoks personal berdiam, sebagai luka yang sekaligus obat.

     Ada pemandangan yang sering diingat banyak pendaki: sebuah regu berhenti di jalur sempit, menunggu satu orang yang tertinggal jauh di belakang. Langkahnya pincang, nafasnya terputus-putus, tapi tim tidak melanjutkan perjalanan. Gunung seakan berpesan, bahwa kekuatan tim tidak pernah ditentukan oleh yang paling cepat, paling kuat, atau paling berpengalaman, melainkan oleh yang paling lemah. Sebuah ironi yang pahit, tetapi sekaligus indah.

     Dalam teori, kepemimpinan berarti berada di depan. Tetapi dalam kenyataan gunung, kepemimpinan justru berarti menyesuaikan diri dengan ritme yang paling lambat. Seorang pemimpin harus sabar menahan ego, bahkan kadang berjalan paling belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal. Kepemimpinan adalah kepatuhan—kepatuhan pada kebutuhan orang lain, pada keterbatasan kelompok, pada hukum diam-diam bahwa “aku” harus rela dikecilkan demi “kita.” Inilah kontradiksi kolektif yang setiap ekspedisi ajarkan: kekuasaan tumbuh dari kerendahan hati, bukan dari dominasi.

     Solidaritas pun kerap lahir dari egoisme kecil. Ada anggota yang awalnya ingin mendahului, mencari kebanggaan pribadi, tapi ketika tersesat sejenak atau tergelincir di batu licin, justru dialah yang pertama-tama memahami betapa pentingnya kebersamaan. Ego yang terluka melahirkan solidaritas baru. Seolah-olah alam menggunakan ketidaksabaran manusia sebagai cambuk, memaksa mereka mengakui bahwa kebebasan mutlak adalah ilusi di jalur sempit.

     Dan ada momen-momen ekstrim, di mana paradoks kolektif menunjukkan wajah tragisnya. Saat evakuasi, misalnya. Menyelamatkan satu orang yang jatuh sakit bisa berarti seluruh tim harus kehilangan puncak. Energi, waktu, bahkan keselamatan semua orang harus dipertaruhkan demi satu nyawa. Di sinilah kebersamaan diuji: apakah mereka rela kehilangan segalanya demi seorang anggota? Apakah mereka berani menanggung absurditas itu—bahwa menyelamatkan satu bisa berarti mengorbankan banyak? Di titik ini, kolektivitas bukan lagi tentang harmoni, melainkan tentang luka yang dibagi bersama.

     Banyak yang pernah berada dalam situasi seperti itu. Seorang rekan mengalami kram hebat di jalur menuju puncak. Semua orang terpaksa berhenti. Raut wajah kecewa tak bisa disembunyikan, karena puncak sudah begitu dekat. Tetapi keputusan itu jelas: kembali turun bersama-sama. Saat itu, ada perasaan hampa sekaligus penuh. Hampa karena kehilangan sasaran, penuh karena menyadari makna tim yang sesungguhnya. Gunung seperti sedang mengajari, bahwa kemenangan kadang justru berarti mengalah pada ego sendiri.

     Kolektif adalah medan tarik menarik antara “aku” dan “kita”. Di satu sisi, tanpa “aku” yang kuat, tim akan rapuh. Di sisi lain, tanpa “kita” yang solid, “aku” akan tersesat sendirian. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dan justru di situlah ketegangan itu menjadi sumber kekuatan. Seperti dua kutub magnet yang saling tolak sekaligus saling tarik, menciptakan dinamika yang justru membuat kompas bekerja.

     Paradoks ini juga mengandung absurditas yang menyakitkan. Ada saat-saat di mana seseorang merasa terbelenggu oleh tim, merasa langkahnya diperlambat, merasa potensinya terbuang. Namun, di saat lain, ia juga sadar bahwa justru belenggu itulah yang menyelamatkan. Kebebasan penuh hanya ada dalam kesepian, dan kesepian di gunung berarti bahaya. Maka banyak yang memilih untuk terikat, meski dengan keluhan dan kompromi. Sebuah kebebasan yang lahir dari keterbatasan—sebuah ironi yang mungkin tidak pernah bisa dijelaskan sepenuhnya.

     Gunung adalah cermin yang memantulkan kerapuhan manusia dalam hidup sosial. Di kota, banyak yang juga sering terjebak antara “aku” dan “kita”—antara ambisi pribadi dan tuntutan kolektif. Manusia ingin berlari, tapi harus menunggu. Ingin menang, tapi harus berbagi. Di gunung, semua itu menjadi lebih telanjang, tanpa kamuflase. Mereka dipaksa melihat bahwa kebersamaan adalah sebuah kontradiksi yang harus dijalani, bukan dipecahkan.

     Banyak pendaki yang kemudian mendekap petuah lama: “untuk menolong tim, kita harus menolong diri sendiri.” Tetapi realitas kolektif menambahkan lapisan lain: untuk menolong diri sendiri, kadang mereka harus menolong tim terlebih dahulu. Tidak ada urutan pasti. Kadang “aku” harus mengalah, kadang “kita” harus menunggu, kadang keduanya saling merobek. Dan di situlah keindahan tragisnya: tim bukan sekadar harmoni, melainkan sebuah luka bersama yang justru membuat semua bertahan.

     Manusia selalu bermimpi tentang keabadian. Dari mitos kuno hingga laboratorium bioteknologi modern, kerinduan itu tak pernah padam: bagaimana caranya hidup selamanya, menunda kematian, menolak keterbatasan. Kita membayangkan keabadian sebagai puncak kemenangan: tidak ada lagi kehilangan, tidak ada lagi perpisahan, tidak ada lagi ketakutan. Namun, barangkali di sanalah justru ironi paling besar menanti—bahwa jika benar-benar abadi, hidup ini kehilangan maknanya.

     Makna lahir dari kefanaan. Kita menghargai sesuatu karena tahu ia bisa hilang. Kita mencintai seseorang karena sadar bahwa suatu hari akan berpisah. Kita menatap matahari terbenam dengan haru justru karena tahu bahwa ia tidak akan bertahan lama. Jika matahari terbenam itu abadi, ia hanya menjadi cahaya yang monoton.

     Paradoks ini menampar keras: semakin kita ingin melawan kefanaan, semakin kita merusak sumber makna itu sendiri. Keabadian bukanlah berkah murni, melainkan ancaman yang perlahan melarutkan segalanya menjadi hambar. Bayangkan hidup tanpa akhir—apa arti sebuah pelukan jika kita tahu kita punya sejuta tahun untuk memeluk lagi? Apa arti sebuah lagu jika ia berulang tanpa henti hingga semua nada kehilangan rasa?

     Absurdnya, manusia hidup dengan dua kerinduan yang saling meniadakan: kita ingin hidup selamanya, tapi justru karena hidup ini terbatas kita bisa merasakan keindahannya. Kita benci kematian, tapi tanpa kematian, hidup berhenti bernilai.

     Di alam liar, paradoks ini terasa begitu nyata. Seorang pendaki tahu betul: keindahan sebuah perjalanan ada pada kefanaan langkahnya. Malam di hutan hanya sakral karena ia tak abadi—api unggun padam, bintang-bintang bergeser, kabut pagi perlahan menghapus jejak. Jika semua itu berlangsung selamanya, perjalanan kehilangan arti. Kita mendaki bukan untuk menetap di puncak, tapi justru karena tahu kita harus turun kembali.

     Barangkali inilah alasan mengapa para penyair selalu bicara tentang “moment” yang singkat, bukan tentang “selamanya.” Karena yang singkat itu justru yang membakar hati. Dalam sebuah tatapan sekejap, kita bisa merasakan lebih banyak keindahan daripada dalam seribu tahun kebersamaan yang tak pernah berakhir.

     Namun, meski kita tahu paradoks ini, kita tetap merindukan keabadian. Jiwa manusia gelisah: bagaimana mungkin kita bisa mencintai sesuatu yang pasti akan hilang? Bagaimana mungkin kita menerima bahwa semua yang kita junjung tinggi, semua karya, semua ingatan, pada akhirnya akan lenyap ditelan waktu?

     Di sini kita menemukan absurditas yang tragis. Keabadian membunuh makna, tapi kefanaan melahirkan luka. Kita tak bisa hidup selamanya tanpa kehilangan rasa, tapi kita pun tak bisa menerima kehilangan tanpa hancur. Kita terjebak di antara dua ketidakmungkinan, dan dari situlah lahir air mata paling jujur.

     Mungkin itu sebabnya manusia menciptakan mitos, agama, dan seni. Semua itu adalah upaya licik untuk menipu waktu. Kita tahu tubuh akan hancur, tapi kita berharap ada jiwa yang bertahan. Kita tahu kata-kata akan lapuk, tapi kita menulis agar tetap ada yang tersisa. Kita tahu lagu akan berakhir, tapi kita menyanyikannya berulang agar gema terakhirnya menolak mati.

     Tentu, pada akhirnya semua itu pun mungkin akan hilang. Tetapi justru dalam keterbatasan itu, ada semacam kebijaksanaan yang pahit: bahwa makna bukan ditemukan dalam kekekalan, melainkan dalam keberanian untuk merangkul kefanaan.

     Albert Camus pernah berkata, absurditas bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan alasan untuk hidup lebih intens. Jika segalanya akan berakhir, maka setiap detik justru menjadi lebih berharga. Jika cinta suatu hari akan hilang, maka pelukan hari ini adalah mukjizat. Jika hidup suatu hari akan runtuh, maka langkah kecil kita di tanah fana ini adalah perlawanan paling luhur terhadap ketiadaan.

     Keabadian sering kita anggap sebagai puncak keselamatan, tapi barangkali keselamatan justru ada di kefanaan. Sebab hanya yang fana bisa kita cintai sungguh-sungguh. Hanya yang terbatas bisa membuat kita menangis. Dan hanya dalam tangisan itu kita benar-benar hidup.

     Maka, mari kita biarkan keabadian tetap menjadi mimpi yang absurd. Kita tidak membutuhkannya. Kita hanya butuh keberanian untuk menerima bahwa segala sesuatu akan berlalu—dan justru di sanalah keindahannya.

     Seperti bunga yang mekar hanya sehari, ia lebih berharga daripada batu yang abadi. Seperti lagu yang berakhir, ia lebih indah daripada dengung tanpa henti. Seperti hidup yang singkat, ia lebih layak dirayakan daripada keabadian yang membeku.

     Keabadian mungkin hanya milik para dewa, jika memang ada. Tetapi manusia, dengan segala kefanaannya, justru menemukan makna yang tidak pernah bisa disentuh oleh keabadian. Kita tidak abadi, dan karena itu, kita hidup.

     Jika kita menatap langit malam, sulit menolak pahitnya kenyataan: kita hanyalah titik remeh di tengah semesta yang nyaris tak terbatas. Bumi ini tak lebih dari sebutir debu di pinggiran galaksi, dan galaksi kita hanyalah setetes air di samudra kosmik yang tak terbayangkan. Semakin ilmu pengetahuan memperluas pandangan, semakin kecil pula kita rasakan diri sendiri.

     Kesunyian kosmik itu menghantui. Jika semesta begitu luas, mengapa kita merasa penting? Jika bintang-bintang telah menyala miliaran tahun sebelum kita lahir, dan akan terus bersinar miliaran tahun setelah kita mati, apakah arti keberadaan kita?

     Di sinilah paradoks itu bersemayam: di satu sisi, kita begitu kecil hingga nyaris tak berarti. Namun di sisi lain, kita merasakan keintiman yang tak bisa dijelaskan—seolah seluruh semesta bersekongkol agar kita hadir di sini, saat ini, dengan kesadaran yang mampu menatap balik ke langit dan berani bertanya.

     Kesunyian kosmik adalah luka yang dingin. Tak ada jawaban dari bintang-bintang, tak ada bisikan dari galaksi. Hanya hening yang luas, hanya gelap yang tak bertepi. Namun entah mengapa, dalam hening itu kita merasakan sesuatu yang mirip pelukan: meski sunyi, semesta tidak pernah sepenuhnya asing.

     Ada absurditas yang ganjil di dalamnya. Semesta begitu luas, acuh, tak peduli. Namun justru dari ketidakpedulian itu lahir rasa kedekatan. Seperti berjalan seorang diri di hutan lebat: pohon-pohon tak menoleh, angin tak menyapa, tanah tak memperhitungkan langkah kita. Tetapi dalam ketidakpedulian itu, kita merasa dekat—karena diam-diam kita berbagi keheningan yang sama.

     Dari ketegangan inilah spiritualitas sering lahir. Kita gentar pada kesunyian kosmik, namun di dalamnya pula kita menemukan makna. Kita cemas karena tiada yang menatap balik, namun terharu karena di tengah hening itu ada ruang luas untuk menatap ke dalam diri.

     Ada saat-saat di kehidupan outdoor ketika paradoks ini menggigit begitu nyata. Duduk sendirian di puncak setelah perjalanan panjang, tubuh letih, napas berat, pandangan menerobos cakrawala. Tak ada jawaban, tak ada penonton, tak ada hadiah. Namun sesuatu terasa suci—seolah dunia yang bisu itu, tanpa kata, menerima kehadiran kita. Kesunyian yang semula mencekam berubah menjadi keintiman yang tak terjelaskan.

     Bagi sebagian orang, itu tanda Tuhan. Bagi yang lain, hanya proyeksi psikologis manusia yang kesepian. Namun apa pun namanya, pengalaman itu nyata: semesta yang tampak kosong justru memberi kita rasa terhubung.

     Paradoks ini tragis sekaligus indah. Tragis, karena kita tak pernah tahu apakah benar ada makna di luar sana, atau semuanya sekadar cermin dari kerinduan kita sendiri. Indah, karena bahkan jika hanya cermin, pantulannya cukup untuk membuat mata basah oleh keharuan.

     Barangkali semesta memang tak peduli. Justru karena itu, setiap perhatian kecil yang kita berikan menjadi tak ternilai. Sebuah pelukan, sebuah lagu, sebuah doa—semua adalah perlawanan kecil terhadap sunyi yang tak bertepi. Kita seperti anak kecil yang menggambar rumah di pasir pantai, tahu ombak akan segera menghapusnya, namun tetap menggambar juga. Karena dalam menggambar itu, ia merasa ada.

     Mungkin inilah kebijaksanaan dari paradoks kosmik: kita tak perlu semesta memberi jawaban, cukup dengan berani bertanya. Kita tak perlu bintang menatap balik, cukup dengan menatap mereka dengan mata basah. Kita tak perlu keintiman dijamin, cukup dengan merasakannya, meski mungkin hanya ilusi.

     Dan justru di situlah absurditas ini berubah menjadi kekuatan. Kesunyian kosmik tidak menghancurkan, melainkan menempa kita menjadi makhluk yang mampu merayakan hidup di tengah ketidakpedulian. Kita belajar menciptakan makna sendiri, menyalakan api kecil di tengah malam tanpa berharap malam berubah menjadi siang.

     Pada akhirnya, mungkin semesta memang sunyi. Namun dalam sunyi itu, ada ruang luas bagi nyanyian, doa, dan tawa kita. Dan meski semesta tak menjawab, barangkali justru dalam ketidakjawaban itu kita menemukan kebebasan untuk merasakan bahwa kita sungguh ada.

     Kesunyian kosmik dan keintiman misterius—dua sisi dari satu paradoks. Kita hanyalah debu, namun debu yang bisa bermimpi. Kita hanyalah setitik dalam gelap, namun setitik yang bisa menyalakan api. Semesta tak peduli, namun justru karena itu, kita belajar peduli satu sama lain. Dan mungkin, itu lebih dari cukup.

     Apa gunanya sebuah sistem jika ia lupa pada manusia? Apa gunanya sebuah revolusi jika hanya mengganti wajah penindas, sementara luka batin tetap dibiarkan membusuk? Pertanyaan itu, kalau ditaruh di tengah keramaian zaman modern, terasa seperti bisikan yang kalah oleh bising iklan, target kerja, dan notifikasi. Namun justru di situlah suara Marx terdengar—sunyi, dalam, dan keras kepala.

     Kita hidup di dunia yang sibuk tapi hampa. Kita bekerja, berpikir, bergerak, seolah-olah tahu arah, padahal sering kali hanya mengikuti arus yang digerakkan mesin raksasa bernama sistem. Kapitalisme modern adalah mesin canggih yang menjanjikan kebebasan, tetapi ironisnya membuat kita semakin jauh dari diri sendiri. Marx menyebut keadaan ini sebagai keterasingan: saat manusia tidak lagi mengenali dirinya di dalam hidup yang ia bangun sendiri. Kita mengerahkan tenaga, waktu, bahkan jiwa untuk menghasilkan sesuatu, namun hasil itu tidak pernah menjadi milik kita. Seperti buruh yang membuat kursi indah, tapi tidak pernah duduk di atasnya.

     Bagi Marx, kerja seharusnya bukan sekadar alat bertahan hidup, melainkan medium untuk mengekspresikan jati diri. Melalui kerja, manusia bisa menanamkan dirinya ke dunia, mewujudkan potensi yang tersembunyi menjadi nyata. Tetapi dalam kapitalisme, kerja berubah menjadi beban, bahkan kutukan. Kita bangun pagi bukan karena cinta, melainkan karena ketakutan—takut tidak bisa membayar sewa, takut kehilangan pekerjaan, takut dianggap tidak berguna. Bukankah ini ironi paling tragis dari zaman kita? Kita bekerja bukan untuk hidup, melainkan agar tidak hancur.

     Alienasi inilah inti penderitaan modern. Ia bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan pengalaman eksistensial. Manusia menjadi asing terhadap dirinya, terhadap sesama, bahkan terhadap hasil ciptaannya sendiri. Kita mungkin produktif secara statistik, tetapi batin kita kosong. Kita mungkin sibuk mengisi kalender kerja, tetapi lupa mengisi jiwa. Kapitalisme bukan hanya merampas tenaga, tapi juga mencederai rasa cinta, solidaritas, dan kebermaknaan. Pertanyaannya pun bergeser: bukan lagi “siapa aku?”, melainkan “apa gunanya aku bagi pasar?” Dan ketika nilai manusia diukur dari kegunaannya bagi pasar, tragedi psikis itu dimulai: merasa tak berguna, bahkan di tengah produktivitas yang melimpah.

     Marx menolak untuk melihat manusia sebagai benda mati, sesuatu yang tetap dan selesai. Bagi dia, manusia adalah proses yang berdenyut, terus berubah, membentuk dan dibentuk oleh relasi sosial. Maka kalau dunia ini penuh keterasingan, yang perlu dirombak bukan hanya struktur ekonomi atau sistem politik, melainkan juga cara kita memandang diri sendiri. Kita bukan mesin, bukan sekadar fungsi. Kita adalah kemungkinan yang belum selesai.

     Di titik ini, Marx bukan sekadar ekonom revolusioner yang berteriak soal kelas pekerja, melainkan seorang pemikir tentang luka batin manusia modern. Revolusi baginya bukan sekadar pergantian rezim, tapi semacam terapi kolektif. Ia tidak bermimpi membakar dunia demi ideologi, melainkan mengingatkan bahwa dunia tidak akan sembuh jika manusia di dalamnya tetap tercerabut dari makna. Emansipasi, bagi Marx, adalah upaya menyambung kembali koneksi manusia dengan dirinya sendiri, dengan pekerjaannya, dengan sesamanya.

     Erich Fromm, salah satu pembaca Marx yang paling simpatik, menolak reduksi terhadap Marx sebagai semata ideolog ekonomi. Dalam karyanya Konsep Manusia Menurut Marx, Fromm menampilkan wajah Marx yang lain—seorang humanis radikal yang percaya bahwa cinta, solidaritas, dan martabat adalah bagian dari perjuangan. Marx, menurut Fromm, bukan sekadar pengkritik kapitalisme, melainkan penafsir jiwa yang terluka. Ia menentang agama yang mematikan harapan, tetapi ia juga tahu: tanpa harapan, manusia tak punya kekuatan untuk bertahan.

     Kapitalisme menjanjikan kebebasan, namun justru merampas ruang batin. Ia mencetak manusia yang cerdas tapi cemas, produktif tapi rapuh. Kita didorong untuk berlari cepat, mengejar karier, pencapaian, dan status, tetapi jarang diberi ruang untuk bertanya: sudahkah aku hidup sebagai manusia? Atau aku hanya bertahan sebagai fungsi? Kita punya ponsel pintar, kendaraan cepat, dan mesin produksi mutakhir, tapi entah kenapa kita tetap kesepian. Kita punya pilihan makanan dari berbagai aplikasi, tapi kehilangan rasa lapar akan makna.

     Di sinilah Marx kembali relevan, bukan sebagai dogma politik, tetapi sebagai pengingat bahwa manusia tidak bisa direduksi menjadi mesin produksi. Emansipasi sejati bukan hanya kebebasan politik, melainkan pembebasan dari penindasan batin—dari kecemasan, keserakahan, dan rasa tidak cukup. Marx ingin agar manusia kembali menjadi subjek, bukan objek. Agar manusia mencintai karena bebas, bukan karena harus. Agar kerja bukan hanya alat bertahan hidup, melainkan cara untuk menghidupkan diri.

     Menjadi manusia seutuhnya, kata Marx, adalah tugas yang belum selesai. Dan tugas itu menuntut dunia yang memungkinkan kita tumbuh otentik, bukan dunia yang memaksa kita jadi roda dalam mesin raksasa. Sosialisme, dalam kacamata ini, bukan sistem tertutup, melainkan ruang terbuka untuk “menjadi manusia.” Ia bukan utopia kaku, melainkan kemungkinan bersama untuk hidup tanpa keterasingan.

     Mungkin, di zaman serba cepat dan serba instan ini, kita perlu mengulang pertanyaan sederhana: apakah aku hidup sebagai manusia, atau hanya bertahan sebagai fungsi? Jika kita berhenti sejenak, menarik napas, dan berani menatap diri sendiri, mungkin kita menemukan bahwa revolusi paling radikal bukanlah menggulingkan rezim, melainkan menyembuhkan jiwa.


book: Gagasan Tentang Manusia - Erich Fromm

     Menarik benang merah dari Zarathustra sampai ke Zuckerberg, dari Dostoevsky ke digital dopamine, dari makna ke metabolisme, seperti merentangkan tali dari hutan purba ke pusat data berpendingin nitrogen. Di satu ujung, manusia dengan tombak di tangan, lapar di perut, dan langit yang tak ia mengerti. Di ujung lain, manusia dengan ponsel di tangan, cemas di kepala, dan algoritma yang ia kira ia pahami. Di antaranya, jutaan tahun pergantian cara berburu: dari memburu mamut menjadi memburu makna, lalu memburu angka di dashboard analitik. Perjalanan ini indah dan brutal, puitis sekaligus mekanis, dan kita semua hanyut di dalamnya, entah sebagai penonton yang terpukau atau pelaku yang tak sadar sedang menulis bab berikutnya.

     Dulu manusia bangun pagi bukan untuk mencari inspirasi atau membangun personal branding, melainkan untuk mengejar kalori. Kalori dari buah yang harus dipanjat, hewan yang harus diikuti jejaknya, akar yang harus dicungkil dengan kuku. Setiap langkah adalah taruhan antara lapar dan hidup. Pertanian mengubah ritme itu, mengenalkan musim, cadangan, dan panen—energi yang kini bisa diatur dan disimpan, dibekukan dalam lumbung-lumbung. Lalu revolusi berikutnya datang: uang. Kalori dapat disulap menjadi simbol, emas dan koin yang bisa menyeberangi jarak dan waktu. Uang adalah kalori yang membeku, energi yang diasosiasikan dengan angka, bukan rasa kenyang. Ia memindahkan kecemasan dari perut ke pikiran, dari tubuh yang waspada pada predator menjadi kepala yang gelisah pada fluktuasi pasar.

    Di dunia yang baru ini, kelaparan dan makna menjadi kembar siam. Mereka yang tidak punya jaminan masa depan sering justru melahirkan kata-kata paling tajam untuk menembusnya. Nietzsche yang bangkrut dan sendirian menulis bahwa siapa yang tahu untuk apa ia hidup akan sanggup menanggung bagaimana pun. Dostoevsky, menatap dunia dari penjara dan tumpukan utang, mencatat bahwa manusia dapat terbiasa pada segalanya. Para eksistensialis bukan bangsawan kenyang yang menulis di ruang hangat, tapi pengembara lapar yang mengukir filsafat di udara beku. Mereka memberi mantra untuk bertahan, walau dunia jarang membayar jasa mereka dengan roti atau atap. Generasi berikutnya membaca mereka, mengagumi keberanian mereka, lalu diam-diam memilih jalur karier yang aman, gaji rutin, dan asuransi kesehatan.

    Lalu zaman berbelok. Muncul figur-figur yang bukan melawan sistem, tapi menulis ulang fondasinya. Zuckerberg, Jobs, Musk—mereka bukan duduk di kafe termenung seperti Camus, tapi membangun platform, sistem operasi, roket. Mereka tidak bertanya “apa arti hidup?”, mereka merancang antarmuka yang membuat miliaran orang bisa bertanya sambil scroll. Mereka bukan penyair, tapi insinyur kalori digital, mengalirkan energi modern—uang, data, waktu, perhatian—dengan kecepatan yang membuat jarak dan jeda terasa usang. Di tangan mereka, realitas menjadi ruang kerja yang dapat diatur: rasa malu adalah bug yang harus dihapus, moral adalah fitur opsional, identitas bisa diubah seperti mengganti template, dan makna didesain seperti UI: bersih, rapi, user-friendly.

     Filsafat lama tidak mati, tapi kabur. Ia ada di rak buku, bukan di jantung keputusan. Socrates pernah berkata hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani; di zaman ini, gema kalimat itu kalah nyaring dibanding bisikan algoritma: hidup yang tidak viral tidak layak ditampilkan. Makna kini diukur bukan dari kedalaman permenungan, melainkan dari performa di layar. Kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur utama; daya jangkau pesan jauh lebih menentukan nilainya.

     Kita bergerak menuju dunia tanpa malu, bukan karena kedewasaan moral, tapi karena malu menghalangi monetisasi. Menelanjangi diri di depan publik dulunya aib, kini strategi personal branding. Diam dulu tanda kebijaksanaan, kini stagnasi algoritmik. Moral klasik disingkirkan ke sudut, diganti dashboard analitik yang menilai hidup dalam persentase konversi. Penderitaan tidak lagi menjadi batu asah makna; ia hanyalah noise yang menurunkan engagement rate.

     Apa yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa ini sedang terjadi. Kesadaran itu peninggalan tua dari filsafat, kemampuan untuk berhenti sejenak di tengah arus dan mengakui bahwa kita sedang terseret. Kita berevolusi menjadi makhluk yang lebih efisien, tapi kehilangan kelembutan yang membuat kita manusia. Pertanyaan “Siapa aku?” perlahan diganti oleh “Berapa views-ku minggu ini?” Makna lama tidak dikalahkan oleh argumen, tapi ditinggalkan karena tidak bisa menjamin suplai kalori masa depan.

     Zuckerberg tidak memenangkan debat filsafat, ia membangun arsitektur perhatian global. Jobs tidak menulis traktat eksistensialisme, ia membuat perangkat untuk menulis status eksistensialisme di kafe. Musk tidak merenung di bawah lampu kuning kota, ia menyiapkan jalan keluar dari planet ini jika narasi manusia runtuh total. Bab baru sejarah ini tidak akan tersimpan di rak filsafat, tapi di log server.

    Dan di sinilah kita, di simpang antara makna dan metabolisme, antara kalori yang membeku menjadi kapital dan kapital yang mencair menjadi dopamine digital. Kita bisa melihatnya sebagai tragedi atau adaptasi. Barangkali kita sedang menyaksikan lahirnya bentuk baru filsafat—yang tidak lagi bertanya “apa arti hidup?” tapi “bagaimana mengoptimalkannya?”. Filsafat yang berakar bukan pada penderitaan yang diubah menjadi puisi, tapi pada data yang diubah menjadi grafik pertumbuhan. Bukan akhir dari pencarian makna, tapi mutasinya menjadi sesuatu yang lebih cepat, terukur, dan bisa dibeli.

    Namun risiko mengintai. Saat segalanya menjadi komoditas, termasuk rasa dan identitas, kita kehilangan ruang-ruang sunyi di mana manusia bisa bernapas tanpa target. Setiap ekspresi jadi konten, setiap momen jadi peluang, setiap hubungan jadi jaringan. Pasar menyusup ke ruang terdalam diri, dan jika tidak ada yang dijaga tetap liar dan bebas, kita akan kehilangan bukan hanya privasi atau otentisitas, tapi kemampuan untuk merasakan tanpa menghitung biayanya.

    Mungkin satu-satunya perlawanan yang masuk akal bukan melawan arus raksasa ini secara frontal, tapi menjaga oasis kecil yang tak diukur. Percakapan yang tidak direkam. Tawa yang tidak diunggah. Kesedihan yang tidak diubah menjadi konten. Bukan untuk menolak teknologi atau kapital, tapi untuk memastikan bahwa di antara semua angka dan algoritma, kita masih punya denyut yang tidak bisa diprogram. Karena seperti yang para filsuf tua pahami, ada satu kekayaan yang tak bisa dibekukan menjadi kapital atau dipecah menjadi data: kebebasan batin. Dan mungkin, di tengah percepatan sejarah ini, itulah satu-satunya kalori yang pantas disimpan selamanya.

     Ada satu luka yang tidak pernah benar-benar sembuh dalam jiwa manusia: kerinduan pada yang tak terlihat. Kita hidup di dunia yang riuh dengan suara, tanda, dan petunjuk—namun justru dalam keramaian itu, keheningan tentang Tuhan terasa paling menyakitkan. Seolah-olah ada kehadiran yang begitu dekat, tapi selalu melangkah setengah bayangan lebih jauh setiap kali kita mencoba meraihnya.

     Inilah paradoks iman: kita mencari kepastian pada sesuatu yang justru menegaskan dirinya melalui ketidakpastian. Tuhan yang “menyembunyikan diri” tidak hadir untuk memuaskan dahaga logika, melainkan untuk menguji seberapa dalam kerinduan manusia sanggup bertahan tanpa jawaban.

     Kita terbiasa percaya bahwa yang ada harus bisa disentuh, ditimbang, atau diukur. Tapi justru di sini absurditas itu lahir: semakin keras kita menuntut bukti, semakin kosong ruang yang kita temui. Sebaliknya, semakin kita merelakan diri tenggelam dalam ketidakpastian, semakin dalam kita merasakan kehadiran yang tak terkatakan. Seperti api yang tak bisa dipeluk, tapi justru dengan menjauh darinya kita tahu bahwa ia menyala.

     Ada orang yang menyebut ini kebodohan. Apa gunanya berdoa pada dinding kosong? Apa faedah menunggu suara yang tak pernah turun dari langit? Namun di situlah justru kebijaksanaan tersembunyi: manusia belajar mencintai sesuatu bukan karena bisa digenggam, melainkan karena kesediaan untuk tetap setia sekalipun tak pernah mendapatkan balasan. Seperti kekasih yang menunggu surat yang tak kunjung datang, dan dalam penantian itu ia menemukan makna baru tentang kesetiaan.

     Kita bisa menertawakan absurditas ini. Betapa ironis, manusia yang katanya makhluk rasional justru bersujud pada yang tak bisa diverifikasi. Tapi barangkali dalam ironi itulah rahasia paling manusiawi. Seekor burung tidak bertanya mengapa ia terbang. Sebuah batu tidak mempertanyakan mengapa ia diam. Hanya manusia yang cukup gila untuk mempertanyakan segalanya, termasuk Tuhan. Dan dalam kegilaan itu, manusia justru menemukan dirinya.

     Ada saat-saat tertentu di alam liar, ketika kita berjalan sendirian di bawah langit yang terlalu luas, perasaan ini menghantam lebih keras. Angin malam menembus kulit, bintang-bintang bertebaran seperti mata tak berujung, dan di antara desir dedaunan terdengar bisikan sunyi yang bukan suara. Di sana, Tuhan terasa begitu nyata, meski tidak hadir dengan wajah apa pun. Justru dalam sembunyinya, kehadiran itu menjadi absolut.

     Paradoks ini menimbulkan luka sekaligus kekuatan. Luka, karena manusia sadar ia dibiarkan sendirian di dunia yang absurd, mencari jawaban yang tak kunjung tiba. Kekuatan, karena justru dari keterlemparan itu lahirlah keteguhan: iman bukan hasil dari kepastian, melainkan keberanian untuk bertahan di dalam ketidakpastian.

     Soren Kierkegaard pernah menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam kegelapan.” Lompatan itu bukan sekadar tindakan nekat, melainkan satu-satunya cara untuk tetap hidup di dunia yang menolak memberi kepastian. Seperti pendaki yang melangkah di tepi jurang dengan kabut pekat menutup pandangan, ia tidak tahu apakah ada pijakan berikutnya—tapi ia melangkah juga, sebab berhenti berarti mati.

     Absurd? Tentu saja. Tapi barangkali absurditas inilah yang menyelamatkan kita. Sebab kalau Tuhan hadir begitu gamblang, iman tak lagi diperlukan. Yang ada hanyalah kepatuhan mekanis, ketaatan tanpa jiwa, seperti robot yang menuruti program. Justru dengan menyembunyikan diri, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk benar-benar memilih: apakah ia akan tetap mencintai meski tak pernah mendapat jawaban, ataukah ia menyerah pada hampa.

     Dan di titik ini, paradoks iman berubah menjadi semacam kebijaksanaan yang pahit tapi murni. Kita belajar bahwa pencarian itu sendiri adalah jawaban. Bahwa doa yang meluncur dari bibir ke langit kosong tidak sia-sia, sebab dalam setiap doa tersimpan pengakuan: manusia rapuh, tapi kerinduannya abadi. Bahwa ketidakpastian bukan kegagalan iman, melainkan justru wajahnya yang paling jujur.

     Barangkali itulah sebabnya orang beriman sejati sering terlihat sedikit gila. Mereka tertawa dalam keputusasaan, menangis dalam sukacita, dan berjalan terus meski tak tahu ke mana arah sebenarnya. Mereka hidup dalam paradoks, dan bukannya hancur, justru menemukan kekuatan yang tak dimiliki oleh mereka yang hanya percaya pada yang terlihat.

     Tuhan yang menyembunyikan diri bukanlah Tuhan yang kejam. Ia adalah misteri yang justru melindungi manusia dari kerapuhan logikanya sendiri. Sebab jika segalanya dijelaskan, jika semua rahasia dibongkar, maka hidup kehilangan kedalaman. Kita akan menjadi sekadar makhluk yang puas pada data, tapi miskin makna.

     Mungkin manusia memang  tidak diminta untuk menemukan, melainkan untuk terus mencari. Seperti musafir yang berjalan di padang pasir, oase yang ia impikan mungkin tak pernah benar-benar ada. Tapi tanpa oase itu, ia sudah lama berhenti melangkah. Oase itu mungkin hanya ilusi, tapi ilusi yang membuatnya bertahan hidup. Dan barangkali, dalam absurditas semacam itu, justru terkandung kebenaran paling agung.

     Kita mencari Tuhan yang menyembunyikan diri, dan dalam pencarian itu kita menemukan siapa kita sebenarnya: makhluk yang tak pernah puas dengan jawaban, tapi justru menemukan makna dalam pertanyaan yang tak selesai.

     Eksistensi di era ini bukan lagi sekadar “ada”—ia proyek yang harus terus dipertontonkan seperti reality show murah, diukur seperti nilai ujian, dan diperjualbelikan seperti diskon akhir tahun. Algoritma, narsisme, komunitas digital, kesendirian—semua berputar seperti roda raksasa yang digerakkan bukan oleh makna atau cita-cita, melainkan oleh satu tenaga pendorong yang semua orang pura-pura lupa tapi semua orang kejar: uang. Kita menyebutnya likes, followers, viralitas, identitas daring—seolah itu tujuan akhir, padahal itu hanya tali pancing, dan umpan sejatinya adalah uang. Uang tidak perlu muncul di layar, karena ia adalah dalang yang cukup menggerakkan benang dari balik panggung.

     Menyibak fenomena ini dari pinggir—mengutip filsuf, memoles teori sosial, mengulang jargon eksistensial—sering berakhir seperti debat panjang di ruang tamu sambil rumah kebakaran. Lebih jujur mengakui: uang adalah inti gravitasi yang menarik semua planet bernama “konten” agar tetap beredar. Setiap interaksi, dari tawa renyah hingga ancaman bunuh diri di kolom komentar, diproses dan dikonversi menjadi angka, lalu angka menjadi faktur. Di ruang digital, cinta hanyalah variabel, kesedihan hanyalah dataset, dan keduanya hanyalah jalur pintas menuju laba.

     Algoritma tidak mengenal moral atau makna; ia tak peduli apakah tertawamu lahir dari humor segar atau dari video kucing yang jatuh karena dilempari sendal. Ia hanya mencatat durasi tonton. Agar efisien, manusia dibuatkan menu emosi instan: ❤️, 😂, 😮, 😢, 😡, 🥰—seolah seluruh sejarah rasa manusia bisa direduksi menjadi enam pilihan rasa seperti tombol minuman soda. Di balik kemasan emoji yang manis itu, ada pabrik dingin yang menghitung “engagement” seperti pedagang menghitung koin. Engagement adalah mata uang, dan mata uang adalah darah yang menghidupi mesin kapitalisme emosional ini.

     Platform tak peduli konteks emosi kita—yang penting adalah ada klik, ada kunjungan ulang, lalu ada iklan. Rasa menjadi sinyal, sinyal menjadi data, data menjadi target, target menjadi penjualan. Kapitalisme emosional adalah bentuk sihir abad ini: mengubah detak hati menjadi detak kasir.

     Uang sendiri adalah makhluk purba yang lebih abadi daripada sebagian besar dewa. Tuhan bisa dibantah, moral bisa berubah, identitas bisa dinegosiasikan ulang. Tapi uang? Dua orang yang saling benci dan tak mengerti bahasa satu sama lain masih bisa saling bertransaksi—selama harga cocok. Ia adalah agama tanpa kitab suci, tanpa nabi, tapi dengan jamaah terbanyak di dunia.

     Media sosial memberi uang kemampuan merayap ke ruang-ruang yang dulu bebas dari kapitalisasi langsung: cinta, seni, kebersamaan, aktivisme, bahkan spiritualitas. Kini setiap rasa adalah peluang. “Self-love” dijual dalam botol serum; kesedihan dibungkus jadi dokumenter mini; amarah kolektif dikemas jadi tagar yang—dengan sponsor tepat—bisa menghasilkan hoodie edisi terbatas. Solidaritas? Kini bisa diukur dengan CTR (Click-Through Rate).

     Algoritma tidak perlu mengerti 1000 nuansa hati. Cukup enam rasa dasar yang mudah dipasarkan. Uang tidak perlu menampakkan wajahnya—cukup menarik tatapan semua orang ke arah yang menguntungkan. Viralitas, pengorbanan privasi, dan komunitas yang dihitung per “followers” semuanya mengalir menuju satu altar: altar di mana atensi dipersembahkan dan uang turun sebagai wahyu.

     Tidak semua ini buruk, tentu. Bagi sebagian orang, inilah jalan keluar dari kemiskinan, atau panggung untuk pesan positif. Tapi ada sisi lain: bukan hanya tubuh dan waktu yang bekerja untuk uang, melainkan juga hati dan nurani. Marah, sedih, gembira, bahkan khusyuk berdoa—semuanya bisa masuk ke spreadsheet.

     Inilah spiritualitas kapitalis digital: iman bahwa nilai diri bisa diukur, divalidasi, dan dimonetisasi lewat performa daring. Keikhlasan menjadi strategi pemasaran; kesederhanaan menjadi estetika premium; kebersamaan menjadi “engagement rate”; meditasi menjadi kursus berbayar. Uang kini tidak hanya membeli barang—ia membeli makna.

     Paradoksnya, semakin kita mengejar atensi demi membuktikan eksistensi, semakin kita bergantung pada mesin yang sama untuk merasa hidup. Dahulu, hidup berarti makan, tidur, mencinta, bekerja—tanpa penonton. Kini, hidup sering terasa sia-sia tanpa notifikasi. Like dan komentar bukan sekadar pujian; mereka adalah stempel validasi. Validasi itu bisa diubah menjadi sponsor, kontrak, atau e-commerce checkout. Siklusnya mandiri: tampil demi atensi, atensi demi uang, uang demi tampil lagi.

     Memutus siklus ini artinya kehilangan relevansi; kehilangan relevansi berarti mati secara sosial. Di dunia yang mengukur nilai dengan radar, hilang dari radar setara dengan tidak pernah ada. Pertanyaannya: apakah kita masih bisa merasakan sesuatu tanpa memikirkan nilai tukarnya? Mencintai tanpa mempertimbangkan feed estetisnya? Marah tanpa menghitung potensi viral? Berkumpul tanpa mengaktifkan kamera?

     Jawabannya, mungkin ada, tapi kecil. Seperti sisa api di ujung puntung rokok. Ada ruang untuk percakapan tanpa perekaman, emosi tanpa pengunggahan, kebahagiaan tanpa sponsor. Bukan untuk membakar mesin, tapi untuk mengingatkan diri sendiri: jika semua rasa bisa dibeli, maka yang hilang bukan hanya makna—tapi juga kebebasan batin. Dan batin yang disandera harga, akan berakhir menawar dirinya sendiri.

     Hampir delapan puluh tahun merdeka, tapi napas kebebasan di negeri ini masih tersengal-sengal. Di bawah langit yang sama di mana Bung Karno pernah berteriak "merdeka!", kini yang terdengar hanyalah gemuruh saling curiga. Kita merayakan kemerdekaan dengan upacara gemerlap, sementara pikiran-pikiran merdeka dikurung dalam sangkar prasangka. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki zamrud katulistiwa, bertanya bukan lagi pintu menuju kebijaksanaan, melainkan pemicu perang label. "Kamu pendukung siapa?" bukan sekadar pertanyaan—ia adalah pisau yang siap menggorok nalar.

     Bayangkan sebuah pasar di mana setiap kata harus dibeli dengan kupon loyalitas. Di lorong pertama, seorang pemuda mencoba bertanya tentang kebijakan impor beras. Sebelum kalimatnya selesai, serombongan buzzer mengepungnya: "Ah, kamu pasti kader partai X!" Di lorong kedua, seorang ibu mempertanyakan alokasi dana pendidikan. Langsung terdengar pekik: "Dasar belum move on!" Pasar ini bukan metafora—ia adalah ruang publik kita. Setiap pendapat harus diawali permohonan maaf: "Saya netral, tapi..." seolah netralitas adalah dosa yang perlu diampuni. Demokrasi yang dulu diimpikan sebagai taman tempat ide-ide bermekaran, kini berubah jadi gelanggang tinju dua kubu—hitam versus putih, kawan versus lawan, tanpa wilayah abu-abu untuk sekadar merenung.

     Di dunia maya, pertarungan semakin absurd. Sebuah cuitan tentang polusi udara Jakarta langsung dibalas dengan meme ejekan: "Dasar pendukung mantan!" Sebuah analisis kebijakan pajak dianggap bukti kecintaan pada oligarki. Kita hidup dalam era di mana argumen tidak lagi dijawab dengan argumen, melainkan dengan stiker sindiran dan hastag #KritikDoang #BaperanKritis. Buzzer-buzzer bayaran—para algojo kata-kata—berkeliaran bagai laron di malam musim hujan, menghisap madu perhatian dan meninggalkan kotoran kebencian. Mereka adalah produk sampah demokrasi digital: tentara bayaran yang menjual akun demi likes, sambil mengubur rasionalitas di bawah tumpukan komentar sarkastik.

     Orang-orang bijak pernah bilang, peradaban lahir dari percakapan. Tapi di negeri ini, percakapan telah menjadi ritual saling mengukur kedalaman kubu. Diskusi tentang reformasi agraria berubah jadi debat kusir: "Dulu zaman orde baru lebih baik!" atau "Sekarang kan sudah reformasi!" Seolah sejarah hanya punya dua bab—hitam dan putih—tanpa ruang untuk warna-warni kritik. Kita menjadi bangsa yang terobsesi pada dikotomi, seperti wayang yang hanya mengenal tokoh baik dan jahat, meski tahu dalangnya sama-sama memainkan keduanya.

     Padahal, di balik panggung sandiwara politik, masalah sesungguhnya menganga. Ketika petani mempertanyakan alih fungsi lahan, mereka dicap "provokator". Ketika buruh menuntut upah layak, dianggap "dibayar oposisi". Persis seperti zaman Orde Baru—meski dengan wajah baru—di mana setiap suara kritis dianggap gangguan stabilitas. Bedanya, dulu musuh datang dari penguasa, kini dari sesama warga. Kita telah menjadi penjaga sukarela penjara pemikiran, mengawasi satu sama lain dengan mata penuh curiga.

     Lihatlah ironi ini: negeri yang bangga akan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" justru alergi pada perbedaan pendapat. Kita merayakan keragaman suku, tapi gagap menghadapi keragaman ide. Bagai penonton wayang yang marah ketika dalang mengubah alur cerita, kita menuntut politik hanya berkisah tentang pahlawan dan pengkhianat—tak ada ruang untuk tokoh yang kompleks, apalagi pertanyaan yang mengganggu.

     Dalam novel 1984, George Orwell memperingatkan tentang "polisi pikiran". Tapi di Indonesia hari ini, kita tak perlu polisi khusus—setiap warga telah menjadi penyidik sukarela. Seorang guru honorer di Cirebon dipecat karena berani mengomentari kostum berwarna partai tertentu di postingan Instagram gubernur, sementara seorang guru besar bedah saraf di Semarang dicopot dari jabatannya karena kerap mempertanyakan kebijakan Menkes yang mengorbankan pasien miskin. Belum lagi kasus terbaru 2025: pesepak bola PSM Makassar dibanned satu tahun hanya karena menyindir federasi yang menggunakan wasit "bermuka centeng bandar judi". Persis seperti mimpi buruk Orwell: "Big Brother" tak perlu mengawasi—kita saling melaporkan sendiri.

     Padahal, demokrasi sejati adalah ruang di mana "tidak setuju" bukan pengkhianatan, melainkan bukti kepercayaan. Ketika Socrates minum racun karena pertanyaannya dianggap mengancam Athena, itu adalah kegagalan demokrasi kuno. Tapi ketika di abad 21 kita masih mengulangi kesalahan yang sama—mengancam intelektual dengan cancel culture alih-alih argumen—itu adalah tragedi yang lebih menyedihkan.

     Kita mungkin masih merdeka secara politik, tapi telah menjadi budak dalam berpikir. Negeri ini telah berubah menjadi panggung raksasa di mana semua orang berteriak, tapi tak ada yang benar-benar bicara. Demokrasi tanpa percakapan hanyalah mayat berjalan—bergerak oleh sentimen, bukan akal. Dan seperti kata Pramoedya, "Sejarah dunia adalah sejarah pemikiran yang dikhianati." Jika kita terus membunuh pertanyaan, yang tersisa hanyalah bangsa zombie: hidup tapi tak bernyawa, berjalan tapi tak tahu arah.

     Delapan puluh tahun merdeka, tapi jiwa kita masih dijajah oleh ketakutan sendiri. Di ujung lorong gelap ini, hanya ada dua pilihan: terus menyanyikan lagu kebencian dengan kostum demokrasi, atau berani membuka jendela percakapan—meski angin yang masuk mungkin menerbangkan topeng-topeng yang selama ini kita kenakan. Sebab, seperti kata filsuf Yunani kuno, "Kebenaran lahir dari perbincangan, bukan dari monolog." Tapi untuk itu, kita harus berani melepas baju kebencian, dan kembali menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar bendera dalam perang warna.

     Ada satu hukum tak tertulis di gunung: siapa yang tergesa-gesa biasanya akan tiba paling lambat. Pemandangan klasik itu sering muncul di jalur pendakian: seorang pemula penuh semangat, melesat di awal, lalu terengah-engah setengah jam kemudian, terpaksa duduk di pinggir jalur, keringat bercucuran, sementara langkah-langkah lamban dari rombongan lain justru melewatinya dengan tenang. Itulah ironi pertama yang ditemui banyak orang dalam hidup di gunung: semakin cepat hasrat untuk sampai, semakin lambat gerak yang terjadi.

     Di permukaan, ini hanyalah soal stamina, ritme, manajemen energi. Tetapi semakin sering seseorang mendaki, semakin tampak bahwa hal itu adalah sebuah pelajaran eksistensial. Hidup manusia pun sering persis begitu: banyak yang berlari mengejar, hanya untuk jatuh kelelahan, sementara yang berjalan lambat dan sabar tiba dengan utuh. Ada absurditas di sini—bahwa keterburu-buruan, yang seharusnya mempercepat, justru menjadi jebakan.

     Ketidaksesuaian lain lahir dari beban di punggung. Setiap pendaki tahu, semakin lengkap peralatan yang dibawa, semakin berat langkah kaki. Tetapi di sisi lain, beban itu pula yang membuat perjalanan lebih ringan dalam arti lain: ada tenda untuk berteduh, jaket hangat untuk melawan dingin, logistik yang cukup untuk bertahan. Maka di sinilah ironi itu hidup: semakin berat seseorang memikul, semakin ringan ia menjalani. Seolah gunung sedang menertawakan perhitungan manusia tentang efisiensi: yang ringan bisa jadi membawa celaka, yang berat justru membuka jalan keselamatan.

     Pernah disaksikan seorang pendaki tersandung logistiknya sendiri. Ranselnya penuh barang, tapi banyak yang tak terpakai. Ia berjuang, pelan-pelan kehilangan ritme, bahkan hampir ingin menyerah. Lalu terdengar keluhannya, “Kalau tahu begini, mending bawa yang penting saja.” Tetapi, pada malam berikutnya, justru barang-barang tak terpakai itulah yang menyelamatkan seluruh rombongan dari hujan deras. Flysheet ekstra didirikan, lampu cadangan dinyalakan, termos yang semula dianggap remeh justru memberikan air hangat ketika suhu menusuk tulang. Saat itulah terasa jelas: beban adalah sebuah kontradiksi yang harus dirawat, bukan sekadar dikurangi.

     Lalu ada juga hukum sederhana yang kerap membuat pendaki baru tertawa getir: semakin canggih alat yang dibawa, semakin sulit kadang cara menggunakannya. Kompor portable yang katanya praktis bisa ngambek di suhu dingin. Sleeping bag supermahal ternyata tak sehangat sarung tua dari kampung. Parang tradisional bisa jadi lebih berguna daripada pisau lipat bermerk luar negeri. Teknologi, dalam dunia outdoor, sering kali bukan jawaban tunggal. Justru kesederhanaan dan keterampilanlah yang mengubah sesuatu yang tampak remeh menjadi alat penyelamat. Bukankah hidup juga begitu? Kecanggihan bisa jadi lumpuh tanpa kebijaksanaan menggunakannya.

     Semua ketidaksesuaian teknis ini bukan sekadar masalah logistik, tapi sebuah ironi yang mengandung kebijaksanaan. Ia menertawakan nafsu manusia akan kecepatan, ringan, dan canggih. Gunung seperti berkata, “Belajarlah menunda agar sampai. Belajarlah memikul agar selamat. Belajarlah sederhana agar tidak rumit.” Semua ini tidak masuk akal dalam rumus matematika, tetapi masuk akal dalam hukum alam.

     Ada luka kecil yang menyertainya—luka otot, luka ego, luka kesombongan. Luka itulah yang perlahan mengajari bahwa kebenaran tidak selalu berdiri di sisi logika lurus. Bahwa terkadang kebenaran justru menyamar dalam kontradiksi yang melelahkan. Dan di tengah absurditas itu, muncul sejenis kebijaksanaan yang tak bisa diajarkan di ruang kelas.

     Bagaimana menolong diri sendiri menjadi sarana untuk menolong tim, semakin jelas kaitannya dengan semua ironi teknis ini. Kalau seseorang memaksa diri terlalu cepat, ia justru jadi beban. Kalau ia salah mengatur logistik, ia justru mengacaukan tim. Kalau ia sombong pada keterampilan dasar, ia justru menjerumuskan orang lain. Menolong diri sendiri berarti berjalan lambat agar bisa terus melangkah, membawa beban yang tepat agar bisa berbagi, merawat alat agar bisa melindungi orang lain. Dan itu semua terdengar aneh hanya bagi yang belum merasakannya.

     Semua pelajaran ini mungkin tampak sederhana, tapi di situlah gunung mulai meneguhkan petuahnya: dunia ini sering kali tak seturut logika, namun justru di situlah kebenarannya tersembunyi. Dan barang siapa mau berjalan cukup lama dalam ritme lambat, ia akan menemukan bahwa yang absurd itu sebenarnya adalah cara alam menyelamatkan manusia.

     Eksistensi itu soal menjadi, sementara atensi itu soal dilihat. Dahulu, Descartes mengikrarkan “aku berpikir, maka aku ada” sebagai fondasi kesadaran. Namun di zaman ini, adagium itu seperti mengalami mutasi: “aku ada karena aku mendapatkan like.” Keberadaan yang dulunya bersifat internal, kini terasa belum lengkap tanpa pengakuan eksternal yang terukur dalam tanda-tanda digital. Di tengah gemuruh informasi, eksistensi pribadi seakan tak cukup bila tak disaksikan oleh banyak mata. Maka muncullah dorongan yang semakin liar untuk menegaskan keberadaan diri melalui atensi, bahkan bila perlu meminjam sorotan dari orang lain, tanpa malu, tanpa jeda, tanpa rasa canggung akan absurditasnya.

     Fenomena ini bukanlah ledakan tiba-tiba. Ia adalah kelanjutan panjang dari jalur evolusi sosial manusia. Di zaman purba, eksistensi bersifat literal: hidup berarti bisa makan, tidak dimakan, dan bertahan sampai esok hari. Atensi kala itu hanya berfungsi sebagai isyarat dalam kelompok kecil, mungkin untuk memberi tahu bahwa seseorang kuat berburu atau pandai menemukan sumber air. Orang yang bersinar bukan karena tampan atau memesona di hadapan kamera, melainkan karena sanggup membunuh harimau atau membawa pulang makanan. Eksistensi adalah kontribusi nyata, sedangkan atensi hanyalah efek samping yang tidak pernah menjadi tujuan.

     Perlahan, ketika manusia hidup dalam kelompok yang lebih kompleks, atensi mulai berubah menjadi simbol status. Kalung dari taring macan, ukiran pada kulit, warna dari getah pohon, atau corak pakaian menjadi tanda yang dibaca oleh mata orang lain. Suku-suku awal mulai mengenal “ritual tampil”—bernyanyi, menari, memakai topeng—bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk menegaskan identitas. Eksistensi yang dulunya hanya butuh pembuktian lewat kemampuan bertahan hidup, kini mulai bergantung pada pengakuan kolektif. Dari sinilah atensi mulai menjadi bagian penting dari “menjadi seseorang”.

     Di masa feodal dan religius, eksistensi semakin bergeser. Atensi bukanlah milik semua orang, melainkan hak istimewa bagi raja, nabi, bangsawan, atau imam besar. Siapa yang ingin dikenali harus melekatkan diri kepada kekuasaan, menjadi pelayan kerajaan, murid seorang guru agung, atau pasangan tokoh berpengaruh. Perilaku yang kini kita sebut “panjat sosial” dulunya adalah strategi bertahan hidup yang wajar. Eksistensi menjadi parasit—melekat ke tokoh agung untuk mendapatkan legitimasi. Jika tidak mampu bersinar, setidaknya bisa berteduh di bawah sinar orang lain.

     Baru di zaman modern awal, ketika pencerahan, humanisme, dan kapitalisme memunculkan konsep individu, eksistensi bisa dideklarasikan secara pribadi. Seorang pelukis, penulis, atau penemu dapat mengukir namanya lewat karya, tulisan, atau penemuan. Namun atensi masih terikat pada pintu gerbang elite. Siapa yang tahu kamu seorang filsuf jika bukumu tidak diterbitkan? Siapa yang tahu kamu penemu jika temuannya tidak dipamerkan oleh pihak berkuasa? Atensi tetap dikontrol oleh kurator, penerbit, atau negara.

     Lalu datanglah internet, diikuti media sosial yang merobek semua pagar. Panggung yang dulu eksklusif kini menjadi milik siapa saja. Atensi bukan lagi barang mewah, melainkan komoditas harian. Setiap orang dapat mengukurnya, menukarnya, dan menjadikannya indikator keberadaan. Maka bermunculan strategi untuk mengejar sorotan: ada yang membangun eksistensi dengan modal diri sendiri, dan ada yang memilih menempel pada kilau orang lain.

     Eksistensi dengan modal diri sendiri adalah mereka yang memproduksi atensi dari potensi pribadi: wajah, prestasi, atau kebaikan hati. Mereka membangun narasi visual lewat selfie estetik, narasi sukses lewat unggahan pencapaian, atau citra moral lewat konten amal dan aktivisme. Masalahnya, algoritma media sosial menyukai sajian cepat dan terus-menerus. Eksistensi pun berubah menjadi pekerjaan tanpa libur. Atensi adalah insentif, dan manusia bertransformasi menjadi influencer bagi dirinya sendiri, mengelola dirinya seperti sebuah merek.

     Sebaliknya, eksistensi parasitik memilih menempel pada yang sedang viral. Ini hemat energi namun berisiko tinggi. Cukup berfoto dengan tokoh terkenal, ikut tren atau tantangan, atau memuji figur publik yang sedang naik daun. Strategi ini adalah reinkarnasi dari perilaku feodal, hanya saja kini bisa dilakukan siapa saja. Masalahnya jelas: ketika tokoh yang dijadikan sandaran jatuh, eksistensi yang bergantung padanya ikut runtuh. Seperti bayangan yang hanya ada ketika ada cahaya dari luar, keberadaan ini rapuh dan tidak otonom.

     Mengapa kecenderungan ini begitu kuat? Karena manusia lapar makna dan alergi pada kesunyian. Di zaman ini, makna datang dalam bentuk perhatian yang terukur: like, komentar, share, view. Eksistensi tidak lagi dirasakan, melainkan dihitung. Bahkan orang yang mengaku tak peduli pun kadang diam-diam memeriksa jumlah penonton di unggahan terakhirnya.

     Ini bukan sepenuhnya salah, tapi sangat rapuh. Manusia memang selalu mencari pengakuan, hanya saja medium pengakuan kini telah bergeser dari komunitas menjadi algoritma, dari kebersamaan menjadi performa. Ironisnya, semakin banyak atensi yang dikejar, semakin jauh kita dari eksistensi yang tenang. Yang kita temui adalah pantulan, bukan diri. Banyak orang akhirnya terjebak dalam spiral produksi citra, di mana jeda berarti kehilangan relevansi.

     Fenomena ini juga tidak lepas dari logika ekonomi. Atensi adalah bahan bakar ekonomi digital. Semakin banyak yang menatapmu, semakin besar peluang untuk memonetisasi eksistensi. Maka perusahaan teknologi membangun sistem yang membuat kita lapar akan sorotan, memaksa kita memperbarui citra tanpa henti. Dalam logika ini, eksistensi dan atensi bukan lagi dua kutub, tetapi dua sisi dari satu koin yang sama, diputar oleh tangan yang lebih besar dari kita.

     Di sinilah post-truth menemukan ladangnya. Kebenaran menjadi kurang penting dibanding resonansi emosional. Unggahan yang memancing marah atau haru akan lebih cepat mendapatkan atensi dibanding penjelasan yang tenang dan akurat. Orang berlomba untuk terlihat benar, bukan untuk menjadi benar. Narasi yang cocok dengan emosi kelompok akan diangkat, disebarkan, bahkan jika faktanya rapuh. Eksistensi digital kita ikut terbentuk oleh gema ini. Kita tidak lagi menanyakan “apakah ini benar?”, melainkan “apakah ini akan mendapat respons?”

     Maka eksistensi dalam era post-truth sering kali adalah keberhasilan membangun citra yang konsisten, bukan keberhasilan menyampaikan kebenaran. Atensi menjadi mata uang yang lebih cair daripada fakta. Siapa yang menguasai permainan ini dapat membentuk realitas persepsi, dan bagi banyak orang, persepsi adalah realitas itu sendiri.

     Namun sejarah memberi kita petunjuk bahwa kebisingan ini tidak akan bertahan selamanya. Pada titik tertentu, manusia akan kembali mencari ruang di mana eksistensi tidak diukur oleh metrik publik. Mungkin seperti leluhur kita yang menggoreskan gambar di dinding gua bukan untuk viral, tetapi agar suatu hari, seseorang tahu: aku pernah ada.

     Pertanyaannya adalah, apakah kita akan sampai pada tahap itu sebelum kelelahan ini menggerogoti kemampuan kita membedakan diri dari citra? Atau kita akan terus mengukur keberadaan kita dalam angka yang terus bergerak, mengira bahwa setiap tambahan satu like adalah bukti kita masih relevan?

     Eksistensi sejati mungkin masih berdiam di tempat yang sama seperti ribuan tahun lalu—di dalam diri, di luar jangkauan algoritma, sunyi namun tak tergoyahkan. Atensi bisa memperkuatnya, tetapi tidak pernah menjadi sumbernya. Jika kita lupa membedakan keduanya, kita akan menjadi generasi yang hidup sebagai bayangan, takut akan gelap bukan karena kegelapan itu sendiri, tetapi karena di dalamnya, tak ada yang melihat kita.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.