Belajar dari Keheningan yang Menggema

     Ada malam-malam di gunung ketika angin meraung liar, tenda gemetar seperti daun tipis, dan api unggun padam jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Di luar hanya ada kegelapan yang menelan segalanya, di dalam hanya ada suara nafas sendiri yang membesar, menggema oleh sepi. Pada saat itu, gunung berhenti menjadi sekadar medan fisik dan menjelma menjadi cermin. Setiap pendaki dipaksa menatap ke dalam, berhadapan dengan sosok yang selama ini disembunyikan. Di sanalah ironi personal bersemayam: kekuatan justru lahir dari pengakuan akan kelemahan, keberanian tumbuh dari tanah ketakutan.

     Banyak pendaki masih menyimpan kenangan jauh, ketika tubuh begitu lelah hingga setiap langkah terasa seperti perang kecil yang nyaris mustahil dimenangkan. Saat itu sering muncul kemarahan pada diri sendiri, perasaan rapuh yang tak tertanggungkan, bahkan penyesalan mengapa kaki ini sudi ikut dalam perjalanan yang keras. Namun justru di titik itulah banyak yang menyadari: mereka mampu melangkah bukan karena kokoh, melainkan karena berani menerima rapuhnya diri. Ada kontradiksi getir di sana—kekuatan sejati bukan penyangkalan, melainkan pengakuan. Semakin seseorang menyangkal ketakutan, semakin ia melumpuhkan dirinya. Semakin ia merangkulnya, semakin ketakutan itu berubah menjadi bara penggerak.

     Gunung pun memperlihatkan ketidaksesuaian lain: kesunyian luar senantiasa membuka keramaian dalam. Begitu suara mesin, lalu lintas, dan notifikasi dunia lenyap, muncullah kerumunan suara batin yang lama tertimbun. Pikiran berlarian tanpa kendali, kenangan berjatuhan satu per satu, ketakutan kecil menggembung jadi raksasa. Seakan hutan dan tebing sengaja menelanjangi pendaki, bukan dengan badai, melainkan dengan diam. Dan dalam diam itu, justru mereka menemukan betapa riuhnya diri sendiri. Kesunyian ternyata bukan kekosongan, melainkan sebuah keramaian lain yang mustahil dielakkan.

     Ada pula ironi puncak—selalu menyisakan rasa absurd yang menusuk. Seseorang mendaki berhari-hari, menahan lapar, dingin, dan nyeri, hanya untuk berdiri sebentar di ketinggian, lalu segera turun lagi. Dan anehnya, begitu sampai di sana, rasa itu campur aduk: kemenangan yang justru terasa seperti kehilangan. Bukan lega sepenuhnya, melainkan kehampaan baru—lalu apa setelah ini? Puncak yang dicari ternyata hanya fatamorgana. Yang nyata justru perjalanan, luka, serta tarikan nafas yang berat sepanjang jalan. Puncak, pada akhirnya, hanyalah dalih agar seseorang bertemu dengan dirinya sendiri.

    Paradoks personal ini bukan sekadar permainan batin, melainkan luka yang tetap berdarah dalam hidup sehari-hari. Manusia ingin berani, tapi justru gentar. Ingin kuat, tapi justru rapuh. Ingin tenang, tapi justru gaduh. Dunia outdoor hanyalah panggung yang memperbesar kontras itu, seolah alam berkata: “lihatlah dirimu sebagaimana adanya.” Dan sering kali, manusia tidak siap dengan pemandangan itu. Tetapi gunung tak pernah peduli kesiapan. Ia menyingkap, entah mau atau tidak.

     Banyak pendaki merasa pernah dikhianati oleh puncak. Setelah berhari-hari berjalan, begitu sampai, justru ingin segera meninggalkannya. Ada rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Namun pelan-pelan, mereka mengerti: puncak memang bukan tujuan, melainkan pengingat bahwa semua kemenangan selalu menyimpan kehampaan. Bahwa semua pencapaian pribadi hanyalah percikan singkat sebelum kembali tenggelam di lembah kehidupan. Kehampaan itu bukan kegagalan, melainkan bagian dari kebijaksanaan—penanda bahwa hidup tak pernah selesai di satu titik.

     Ironi personal ini menyingkap absurditas yang getir, namun justru dari situlah makna lahir. Ia mengajarkan bahwa diri bukanlah batu karang yang kokoh, melainkan tarikan abadi antara takut dan berani, lemah dan kuat, sunyi dan riuh, menang dan hampa. Di tengah tarikan itu, setiap pendaki perlahan belajar menerima, bukan menuntaskan. Sama seperti pendakian itu sendiri—tak ada jalan yang benar-benar selesai, hanya langkah demi langkah yang akhirnya membawa mereka pulang pada dirinya sendiri.

     Gunung tak pernah berhenti berbisik: keberanian ada dalam ketakutan, kekuatan ada dalam kelemahan, puncak ada dalam kehilangan. Dan di situlah paradoks personal berdiam, sebagai luka yang sekaligus obat.

Seperti mendaki itu sendiri - tidak ada jalan yang benar-benar selesai, hanya langkah demi langkah yang membawa mereka pulang pada diri sendiri.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.