Articles by "Taman Nasional"

Tampilkan postingan dengan label Taman Nasional. Tampilkan semua postingan

     Perjalanan ini bermula dari air. Dari tetesan kecil yang merembes melalui batu kapur, dari sungai bawah tanah yang memberi makan sawah dan desa, dari mata air yang menjadi denyut kehidupan. Lalu kita menapaki lorong-lorong gelap gua, membaca arsip purba yang ditulis bumi dalam stalaktit dan lukisan berusia puluhan ribu tahun. Kita menyaksikan masyarakat yang hidup di kaki tebing, menjaga karst dengan kesabaran yang sering tak dihargai. Kita juga mendengar dentum mesin tambang, teriakan warga di jalan, tarik-ulur kepentingan negara dan industri. Dan akhirnya, kita bertanya: apakah karst hanya akan terus menjadi beban, atau bisa menjelma sebagai bagian dari imajinasi bangsa?

     Narasi itu membawa kita pada satu titik: perlunya rumah bersama. Sebuah ruang di mana ilmu, masyarakat, dan kebijakan bisa duduk satu meja. Sebuah wadah yang tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga merajut makna; tidak hanya bicara konservasi, tetapi juga kesejahteraan; tidak hanya menatap batu, tetapi juga masa depan. Inilah yang saya bayangkan sebagai Institut Karst Nusa Purusa.

     Mengapa institut? Karena karst terlalu kompleks untuk ditangani secara sektoral. Ia bukan hanya urusan geologi, tetapi juga hidrologi, ekologi, arkeologi, antropologi, bahkan politik dan ekonomi. Selama ini, penelitian karst di Indonesia terfragmentasi: ada yang dikerjakan perguruan tinggi, ada yang diinisiasi LSM, ada yang menjadi proyek sesaat pemerintah. Namun tidak ada simpul yang menyatukan. Institut bisa menjadi simpul itu—rumah bersama yang menjaga kontinuitas pengetahuan dan advokasi.

     Di sinilah speleologi menemukan tempatnya. Disiplin ini, yang lahir dari tradisi panjang eksplorasi gua di Eropa, telah berkembang menjadi ilmu lintas batas yang menjembatani geologi, biologi, ekologi, arkeologi, hingga paleoklimatologi. Di Prancis, speleologi bahkan sudah menjadi bagian kurikulum universitas; di Slovenia, asosiasi speleologi bekerja sama erat dengan taman nasional; sementara di Amerika Serikat, lembaga seperti National Speleological Society menjadikan gua bukan hanya objek rekreasi, tetapi juga laboratorium alam untuk memahami perubahan iklim (Culver & White, 2005; Kranjc, 2001; Martel, 1894). Indonesia, dengan 15 juta hektar kawasan karst, ironisnya belum menempatkan speleologi sebagai disiplin yang berdiri tegak. Inilah celah yang bisa dijembatani oleh Institut Karst Nusa Purusa: bukan sekadar mengumpulkan penelitian, melainkan meletakkan dasar akademik bagi speleologi di tanah air.

     Lihatlah Babul, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, sebagai contoh konkret. Di sana, karst tropis menampilkan wajahnya yang paling lengkap: sungai bawah tanah yang kompleks, gua berlukis prasejarah, keanekaragaman hayati kupu-kupu, dan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sawah dan hutan. Namun, tanpa otoritas pengetahuan yang kuat, Babul kerap dilihat sekadar objek wisata atau lahan potensial tambang. Padahal, ia bisa menjadi pusat riset dunia tentang air tropis, biodiversitas, dan sejarah peradaban. Institut Karst Nusa Purusa bisa menjadikannya laboratorium terbuka, tempat ilmu global belajar dari kearifan lokal.

     Kritik yang harus kita akui adalah: negara sering abai. Karst hanya diperhitungkan jika menyangkut izin tambang atau proyek pariwisata. Padahal, dalam konteks krisis iklim, karst adalah “aset strategis” yang nilainya jauh melampaui hitungan ekonomi jangka pendek. Dengan adanya institut, narasi karst bisa bergeser dari pinggiran ke pusat, dari “beban” ke “kebanggaan nasional.”

     Institut ini bukan hanya untuk para pakar. Warga desa karst bisa menjadi peneliti lapangan, pelajar SMA di Maros bisa menulis laporan air bawah tanah, atau petani Gunung Sewu bisa ikut mendiskusikan hasil riset hidrogeologi. Dengan begitu, pengetahuan tidak terjebak di menara gading, tetapi hidup bersama orang-orang yang sehari-hari menjadi penjaga karst.

     Sebagian orang mungkin menganggap ide ini terlalu tinggi, utopis. Tetapi bukankah banyak peradaban lahir dari keberanian membayangkan? Jika bangsa lain punya institut laut, institut tani, atau institut energi, mengapa kita tidak punya institut karst? Apalagi Indonesia adalah rumah bagi salah satu kawasan karst tropis terbesar dunia. Justru karena kita sering dianggap “pinggiran” dalam ilmu karst global, maka mendirikan institut adalah jalan untuk menyatakan diri: kita punya otoritas, kita punya suara.

     Speleologi memberi dasar bagi keberanian itu. Ia bukan hanya disiplin teknis, tetapi cara pandang yang menyatukan air, batu, manusia, dan waktu ke dalam satu lanskap pemahaman. Dengan menjadikan speleologi sebagai fondasi akademik, Institut Karst Nusa Purusa akan lebih dari sekadar pusat penelitian—ia akan menjadi pelopor yang mengajarkan generasi baru cara membaca bumi dari dalam perutnya sendiri.

     Saya membayangkan institut ini bukan hanya kantor dengan laboratorium, tetapi juga jaringan pengetahuan: pusat riset, museum publik, ruang diskusi masyarakat, dan basis advokasi kebijakan. Dari sini, lahir buku, peta, rekomendasi, sekaligus narasi populer yang bisa mengubah persepsi bangsa terhadap karst.

     Akhirnya, gagasan ini bukan lagi sekadar wacana. Ia adalah keniscayaan, jika kita ingin masa depan karst tidak hilang ditambang, jika kita ingin masyarakatnya tidak terus dimarjinalkan, jika kita ingin air tetap mengalir di negeri tropis yang kian panas. Institut Karst Nusa Purusa adalah rumah narasi yang kita butuhkan: rumah di mana tetesan air, batu, dan manusia bertemu untuk menulis masa depan.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N., & Haryono, E. (2012). “Karst in Indonesia: Research and Challenges.” International Journal of Speleology, 41(2), 93–101.

  2. Culver, D. C., & White, W. B. (2005). Encyclopedia of Caves. Elsevier Academic Press.

  3. Day, M. J., & Urich, P. (2019). Tropical Karst Ecosystems. Springer.

  4. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.

  5. Kranjc, A. (2001). “Dinaric Karst and Speleology in Slovenia.” Acta Carsologica, 30(2), 15–32.

  6. Kusumayudha, S. B. (2005). Hidrogeologi Karst Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  7. LIPI. (2018). Strategi Konservasi Karst Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

  8. Martel, É.-A. (1894). Les Abîmes. Paris: Delagrave.

  9. National Speleological Society. (2020). About the NSS. Huntsville, AL.

  10. Sumantri, I. (2018). Archaeological concerns for mining around prehistoric caves in Maros-Pangkep. AramcoWorld. (Diskusi eksplorasi gua dan ancaman pertambangan.)

  11. Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. (2020). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang 2020–2030. Balai Taman Nasional Babul.

  12. Widyastuti, M., & Adji, T. N. (2020). “Tropical Karst and Water Resources in Indonesia.” Journal of Hydrology: Regional Studies, 29, 100688.

     Speleologi, ilmu tentang gua dan sistem bawah tanah, lahir dari rasa ingin tahu yang sangat tua, tapi hanya belakangan diakui sebagai disiplin akademik. Akar katanya berasal dari bahasa Yunani, spelaion (gua) dan logos (ilmu), pertama kali dipopulerkan pada akhir abad ke-19 di Eropa. Édouard-Alfred Martel, seorang Prancis, dianggap sebagai bapak speleologi modern karena ekspedisinya di gua-gua Prancis pada 1880-an, yang bukan hanya sekadar penjelajahan romantik, melainkan juga pengukuran ilmiah yang sistematis (Martel, 1894). Dari sinilah speleologi berkembang menjadi ilmu lintas disiplin—meminjam dari geologi, hidrologi, biologi, hingga arkeologi dan antropologi.

     Di banyak negara, speleologi bukan sekadar aktivitas eksotik para penggemar gua, melainkan terintegrasi ke dalam riset dan pendidikan tinggi. Di Slovenia, misalnya, speleologi mendapatkan dukungan negara karena hubungan erat dengan karst Dinaric yang luas. University of Ljubljana sejak lama mengembangkan Karst Research Institute yang menempatkan speleologi sebagai basis riset multidisipliner (Kranjc, 2001). Sementara di Amerika Serikat, National Speleological Society (didirikan 1941) mendorong praktik ilmiah dan konservasi gua secara serius, berjejaring dengan universitas-universitas, serta berperan dalam pengelolaan kawasan lindung bawah tanah (Culver & White, 2005).

     Bandingkan dengan Indonesia: gua dan bentang alam karst kita sangat luas—Gunung Sewu, Maros-Pangkep, Sangkulirang-Mangkalihat, hingga Papua—namun penelitian formal masih sporadis dan sering bergantung pada inisiatif individu atau komunitas penelusur gua. Ekspedisi internasional seperti tim Australia di Maros atau Prancis di Sangkulirang telah lebih dahulu menerbitkan literatur ilmiah (Audy et al., 2013), sementara lembaga nasional masih tertinggal dalam menyusun kerangka akademik. Kekosongan inilah yang membuat speleologi di Indonesia lebih sering dipahami sebagai hobi petualangan, bukan disiplin ilmu.

     Padahal, speleologi bisa berfungsi sebagai simpul pengetahuan. Ia menyatukan keahlian geologi untuk membaca sejarah bumi, hidrologi untuk memetakan aliran air bawah tanah, biologi untuk menyingkap ekosistem gua yang unik, arkeologi untuk menguak jejak manusia purba, hingga ilmu lingkungan untuk menjaga keberlanjutan. Tidak berlebihan bila speleologi dibandingkan dengan ekologi pada awal abad ke-20, ketika ia juga belum memiliki ruang mapan di universitas, tetapi kini berdiri kokoh sebagai salah satu pilar ilmu lingkungan (Odum, 1971).

     Karena itu, gagasan menjadikan speleologi sebagai salah satu fondasi kurikulum di Indonesia tidaklah utopis. Justru, di tengah ancaman eksploitasi karst untuk industri semen dan pariwisata massal, kerangka akademik speleologi bisa menjadi tameng pengetahuan. Universitas yang berani memasukkannya ke dalam kurikulum berarti membuka jalan baru, memperluas horizon mahasiswa lintas jurusan, dan memberi legitimasi akademik pada penelitian gua.

     Institut karst yang kita bayangkan bisa berakar di kawasan seperti Bantimurung-Bulusaraung, Sangkulirang-Mangkalihat, atau bahkan bentang raksasa karst Papua. Ketiganya menyimpan gua-gua yang bukan sekadar ruang geologi, tetapi juga habitat biodiversitas langka dan arsip budaya purba. Dengan menjadikan speleologi sebagai laboratorium hidup, jejaring riset internasional bisa dibangun, pertukaran mahasiswa digerakkan, hingga jurnal akademik berbahasa Indonesia diterbitkan, serupa dengan Acta Carsologica di Slovenia (Kranjc, 2001). Melalui jalan ini, Indonesia tidak lagi sebatas “penyedia gua” bagi penelitian asing, tetapi subjek yang aktif merumuskan epistemologi karst tropisnya sendiri.

     Dengan demikian, speleologi dapat menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan ilmu. Dari Martel di Eropa abad ke-19 hingga laboratorium karst di abad ke-21, ada benang merah yang jelas: speleologi bukan ilmu kecil di lorong gelap, melainkan cahaya yang membuka pemahaman manusia atas bumi.


Daftar Rujukan

  1. Audy, M.C., et al. (2013). Karst and Caves of Maros-Pangkep, Sulawesi. Speleological Papers.
  2. Culver, D.C., & White, W.B. (2005). Encyclopedia of Caves. Elsevier Academic Press.
  3. Kranjc, A. (2001). Dinaric Karst and Speleology in Slovenia. Ljubljana: Karst Research Institute.
  4. Martel, É.-A. (1894). Les Abîmes. Paris: Delagrave.
  5. Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders.

     Batu, dalam banyak kebudayaan, bukan hanya benda beku tanpa suara. Ia adalah penanda umur panjang, keteguhan, dan kadang juga saksi atas manusia yang datang silih berganti. Batu nisan, candi, prasasti—semuanya menyandarkan ingatan kolektif kita pada benda keras itu. Maka tidak aneh bila karst, yang terbentuk dari batu kapur berusia ratusan juta tahun, dapat dibaca sebagai simbol kebangsaan: ia diam, tetapi menyimpan cerita yang lebih tua daripada republik ini sendiri.

     Namun, dalam imajinasi sehari-hari, “gunung kapur” sering hanya berarti lahan tandus, bebatuan tak bernilai, atau lokasi tambang semen. Narasi nasional kita jarang mengangkat karst sebagai sesuatu yang agung. Padahal, dari perspektif geologi, Indonesia adalah salah satu negeri karst tropis terkaya di dunia. Dari Gunung Sewu di selatan Jawa hingga pegunungan Maros-Pangkep yang meliputi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), bentang karst kita bukan sekadar latar belakang, melainkan nadi ekologis yang menopang kehidupan.

     Jika air adalah sumber hidup, maka karst adalah pustaka yang menyimpannya. UNESCO bahkan menempatkan kawasan karst tropis seperti Babul dalam daftar warisan dunia potensial karena nilai ekologis, budaya, dan estetisnya (UNESCO, 2019). Tetapi, dalam ruang nasional, karst belum menjadi bagian dari simbol kebanggaan yang kita rayakan bersama. Kita lebih cepat mengasosiasikan sawah dengan identitas agraris, atau laut dengan “poros maritim”, sementara batu kapur tetap dianggap pinggiran.

     Kisah bangsa, pada dasarnya, selalu lahir dari simbol. Jepang punya Fuji, India punya Himalaya, Mesir punya Nil, dan kita? Kita punya banyak, tapi kadang kita sendiri bingung memilih. Karst sebetulnya menawarkan simbol yang tidak kalah kuat: ia membentang luas di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, bahkan Papua. Ia menjadi rumah bagi lukisan gua tertua di dunia, sekitar 45.000 tahun, yang ditemukan di gua Leang Tedongnge di Maros (Aubert et al., 2021). Itu bukan sekadar cat di dinding batu, melainkan tanda bahwa Indonesia sejak awal sudah menjadi pusat imajinasi manusia.

     Sayangnya, alih-alih merawat karst sebagai warisan simbolis, kita sering memperlakukan batu kapur hanya sebagai bahan baku semen. Dalam debat publik, karst muncul sebagai “masalah izin tambang”, bukan sebagai ruang kultural. Maka, narasi yang seharusnya mengangkat martabat berubah menjadi narasi konflik. Seolah-olah karst hanya ada untuk diperebutkan antara negara, industri, dan warga.

     Padahal, dalam dunia yang dilanda krisis iklim dan kekurangan air, karst bisa menjadi citra kebangsaan baru: bangsa yang mampu merawat gudang air tropis. Narasi semacam itu akan lebih relevan daripada sekadar slogan pembangunan. Sebab karst bukan hanya soal batu, tetapi juga tentang air, pangan, budaya, dan sejarah panjang manusia yang berinteraksi dengannya.

     Jika sawah adalah lambang kedaulatan pangan, laut lambang perdagangan, maka karst dapat menjadi lambang keberlanjutan ekologi. Dari Babul yang penuh gua kupu-kupu hingga Gunung Sewu yang diakui UNESCO sebagai Global Geopark, karst menyimpan potensi untuk menjadi ikon kebangsaan. Tetapi agar itu terjadi, kita perlu mengubah cara pandang: karst bukan beban, bukan pula sekadar tambang, melainkan pusaka.

     Seperti prasasti yang mengukir nama raja agar tidak dilupakan, karst seharusnya menjadi prasasti ekologis bangsa ini. Ia adalah narasi kebangsaan yang tidak dibangun oleh pidato atau slogan, melainkan oleh tetes air yang perlahan melubangi batu, oleh fosil yang terpendam, oleh lukisan purba yang bertahan puluhan ribu tahun. Semua itu adalah “teks” yang menunggu untuk dibaca bersama.

     Maka, menempatkan karst dalam imajinasi kebangsaan berarti menempatkan keberlanjutan di jantung cerita kita sebagai bangsa. Sebab tanpa air dari karst, sawah kering; tanpa gua karst, sejarah peradaban kita hilang; tanpa perlindungan karst, generasi mendatang hanya mewarisi lubang tambang. Sebaliknya, jika karst dijaga, ia dapat menjadi simbol kebijaksanaan: bangsa yang tidak sekadar hidup di atas tanah, tetapi mampu membaca batu sebagai kitab kehidupan.

     Karst, akhirnya, bukan sekadar batu kapur yang rapuh, melainkan cermin bagi bangsa: rapuh jika dikeruk, kuat jika dirawat. Dan mungkin, di situlah pelajaran terbesar: bangsa yang belajar dari karst akan tahu bahwa kekuatan tidak selalu datang dari suara keras, melainkan dari kesabaran yang menetes perlahan.


Daftar Pustaka

  1. Aubert, M., et al. (2021). Earliest known cave art: a hand stencil from Sulawesi, Indonesia. Science Advances, 7(3), eabd4648.
  2. Badan Geologi. (2017). Atlas Karst Indonesia. Bandung: Kementerian ESDM.
  3. Cahyadi, T. A., & Suryatmojo, H. (2020). “Peran Karst dalam Sistem Hidrologi dan Kedaulatan Air di Indonesia.” Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 8(2), 45–59.
  4. LIPI. (2019). Karst dan Kehidupan: Potensi, Ancaman, dan Strategi Pengelolaan. Jakarta: LIPI Press.
  5. UNESCO. (2019). World Heritage Tentative List: Maros-Pangkep Karst. Paris: UNESCO.
  6. Whitten, T., Mustafa, M., & Henderson, G. S. (2002). The Ecology of Sulawesi. Hong Kong: Periplus Editions.

     Di banyak buku teks geologi klasik, karst sering digambarkan sebagai bentang alam berbukit kerucut di Eropa Tengah, dengan gua-gua batu kapur yang kering dan udara dingin yang membeku. Model itulah yang sejak lama mendominasi imajinasi akademik: karst adalah Eropa, gua adalah lorong batu berlapis stalaktit di pegunungan Alpen. Padahal, karst di daerah tropis menyimpan wajah yang sama sekali berbeda. Curah hujan tinggi, vegetasi rimbun, interaksi manusia yang intens, serta dinamika iklim yang lembap membuat karst tropis berkembang dengan logika yang tidak bisa disamakan dengan karst iklim sedang. Seperti kata Ford dan Williams (2007), “karst tropis memiliki kompleksitas yang jauh melampaui kerangka analisis yang dibangun dari pengalaman Eropa.”

     Gunung Sewu di Jawa atau kawasan Bantimurung-Bulusaraung di Sulawesi adalah contohnya. Bukit-bukit kapur di sana tidak hanya berdiri sebagai kerucut batu yang sunyi, melainkan bagian dari mosaik kehidupan: lembah dolina yang menjadi sawah, gua yang berfungsi sebagai tempat tinggal, hingga mata air yang menghidupi desa. Hujan deras di daerah tropis mempercepat pelarutan batuan, membentuk jaringan sungai bawah tanah yang rumit dengan debit yang sulit diprediksi. Metode hidrogeologi klasik sering kali gagal menangkap kerumitan semacam ini, sehingga peta aliran air tidak jarang keliru, sementara masyarakat tetap bergantung pada naluri dan pengalaman panjang untuk membaca lanskap karst.

     Inilah epistemologi yang terabaikan: cara memahami karst yang tidak berhenti pada batu dan air, tetapi juga merangkul kehidupan manusia. Karst tropis adalah ekosistem sosial sekaligus hidrologis. Ia adalah laboratorium terbuka tempat iklim, geologi, dan budaya saling membentuk. Namun dalam banyak kurikulum geologi dan geografi di Indonesia, kita masih terikat pada narasi Eropa. Nama Slovenia atau Austria lebih akrab di telinga mahasiswa daripada Maros, Pacitan, atau Sangkulirang, padahal di situlah letak pengalaman empiris yang seharusnya menjadi dasar pengetahuan kita.

     Kelemahan epistemologis ini bukan persoalan akademik semata. Dampaknya terasa nyata, terutama dalam pengelolaan air. Di karst tropis, sumber daya air tersimpan di lorong bawah tanah yang tersembunyi. Jika dianalisis dengan kerangka klasik, kapasitas penyimpanan sering salah diperkirakan, ketersediaan air disalahpahami, bahkan strategi konservasi pun salah arah. Akibatnya, desa-desa karst yang sesungguhnya memiliki potensi cadangan air tetap menghadapi krisis setiap musim kemarau, karena teknologi dan kebijakan tidak memahami anatomi karst tropis.

     Eksploitasi batu kapur untuk industri semen pun sering bertumpu pada pandangan bahwa karst hanyalah tumpukan komoditas pasif. Padahal, di daerah tropis, bukit kapur berfungsi ganda: sebagai reservoir air, penopang ekologi, dan ruang budaya. Kesalahan perspektif inilah yang membuat setiap penambangan kerap dipandang hanya dari sisi ekonomi, sementara konsekuensi sosial dan ekologisnya terlupakan.

     Lebih jauh, karst tropis juga menyimpan dimensi kultural. Gua-gua di Indonesia bukan sekadar rongga batu, melainkan arsip kehidupan: lukisan berusia puluhan ribu tahun, fosil fauna purba, hingga jejak awal manusia Nusantara. Namun karena lensa yang digunakan masih Eropa-sentris, penafsiran gua sering berhenti pada catatan geologi, sementara makna budaya hanya disinggung sekilas. Padahal di sanalah kekhasan karst tropis: ia merekam kehidupan alam dan manusia dalam satu ruang.

     Membangun ilmu karst tropis berarti menulis ulang kerangka berpikir. Kita memerlukan metodologi baru: hidrogeologi yang mampu membaca variabilitas tropis, arkeologi yang berpadu dengan geomorfologi, antropologi yang mengindahkan suara masyarakat. Indonesia, dengan kawasan karst lebih dari 15 juta hektar, seharusnya tidak lagi menjadi objek studi belaka, tetapi pusat penghasil pengetahuan. Dari sini, dunia bisa belajar bahwa karst tropis memiliki epistemologi berbeda, sama sahihnya dengan karst Eropa.

     Pada akhirnya, membicarakan karst tropis berarti menegaskan martabat pengetahuan kita. Selama kita masih meminjam lensa Eropa, kita akan terus salah membaca bentang alam sendiri. Tetapi ketika kita berani merumuskan epistemologi karst tropis, Indonesia dapat tampil sebagai pelopor: menulis bab baru geosains dunia dari bukit-bukit yang hijau, basah, dan penuh kehidupan.


Daftar Pustaka

  1. Bogaerts, M., & Waltham, T. (2009). Karst and Caves: A Geological Adventure. London: Springer.
  2. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.
  3. Day, M. J., & Urich, P. B. (2000). An Assessment of Protected Karst Landscapes in Southeast Asia. Cave and Karst Science, 27(2), 61–70.
  4. Gillieson, D. (1996). Caves: Processes, Development, and Management. Oxford: Blackwell.
  5. Kusumayudha, S. B. (2010). Karst Indonesia: Bentang Alam, Air Tanah, dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Palmer, A. N. (2007). Cave Geology. Dayton, OH: Cave Books.
  7. Vermeulen, J. J., & Whitten, A. J. (1999). Biodiversity and Cultural Heritage in Karst. Jakarta: Ford Foundation.
  8. Waltham, T., Bell, F., & Culshaw, M. (2005). Sinkholes and Subsidence: Karst and Cavernous Rocks in Engineering and Construction. Chichester: Springer.

     Ketegangan itu berulang di banyak tempat: warga yang menggelar demonstrasi dengan poster sederhana, suara ibu-ibu yang lantang menolak tambang, berhadapan dengan aparat yang menjaga pintu masuk perusahaan. Di balik spanduk “tolak tambang” atau “selamatkan air kami”, ada cerita panjang tentang izin yang dikeluarkan negara, investasi industri yang menggiurkan, dan rakyat yang merasa tak pernah benar-benar didengar. Karst, dalam pusaran ini, bukan lagi sekadar bentang alam, melainkan arena politik yang keras, penuh tarik-menarik kepentingan.

     Negara kerap tampil sebagai wasit sekaligus pemain. Di satu sisi, ia berkewajiban melindungi kawasan karst sebagai bagian dari kekayaan alam yang rapuh. Regulasi sudah ada—mulai dari Keputusan Menteri ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000 tentang kawasan karst, hingga pengakuan UNESCO terhadap Gunung Sewu sebagai Global Geopark. Namun di sisi lain, negara juga berperan sebagai pemberi izin, membuka pintu lebar bagi industri semen atau tambang batu kapur dengan alasan pembangunan. Dilema ini menciptakan ambiguitas: negara tampak melindungi, tetapi juga melegitimasi perusakan.

     Industri semen, dengan modal besar dan jaringan global, memosisikan karst sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi. Retorika pembangunan selalu diulang: lapangan kerja, peningkatan PAD, kontribusi bagi ekonomi nasional. Tetapi masyarakat lokal tahu, keuntungan terbesar jarang jatuh ke tangan mereka. Bagi petani karst, kehilangan mata air lebih berbahaya daripada kehilangan janji kerja. Air adalah syarat hidup yang tak bisa diganti, sementara pabrik bisa direlokasi, bahkan ditutup.

     Konflik di Rembang, Pati, hingga karst Maros-Pangkep menunjukkan pola yang hampir sama: warga menolak tambang, negara memberikan izin, industri menyiapkan mesin, lalu lahirlah ketegangan. Di Rembang, aksi “Kartini Kendeng” menanam kaki dalam adukan semen menjadi simbol global perlawanan ekologis. Di Babul, Sulawesi Selatan, tekanan terhadap kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung memicu protes senyap dari masyarakat yang khawatir mata air hilang. Gema ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi rakyat ketika berhadapan dengan koalisi negara dan industri.

     Namun politik karst bukan hanya tentang konflik. Ia juga tentang ruang tawar dan ruang harapan. Di Yogyakarta, pengakuan Gunung Sewu sebagai geopark dunia menghadirkan wajah lain politik: negara, masyarakat, dan ilmuwan bekerja sama menjaga dan mempromosikan karst sebagai kebanggaan nasional. Di sini, politik karst tampil sebagai upaya kolektif membangun narasi positif: karst bukan tambang, melainkan warisan budaya dan alam yang tak ternilai.

     Sayangnya, wajah semacam ini masih jarang. Lebih sering kita melihat rakyat dipaksa menjadi penonton dalam panggung besar yang dikuasai negara dan industri. Padahal, tanpa rakyat, politik karst akan kehilangan basis moral. Rakyat bukan sekadar “penerima dampak”, melainkan subjek utama yang hidup di ruang karst, menjaga sawah, memelihara gua, dan melanjutkan tradisi. Mengabaikan mereka sama saja dengan meruntuhkan legitimasi politik itu sendiri.

     Refleksi penting muncul di sini: politik karst pada akhirnya adalah politik tentang kehidupan. Apa artinya pembangunan jika rakyat kehilangan sumber air? Apa gunanya investasi miliaran rupiah jika ekosistem runtuh dan anak cucu hanya mewarisi debu? Pertanyaan-pertanyaan ini menyingkap kelemahan paradigma pembangunan yang terlalu terpaku pada angka pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat ongkos ekologis dan sosial yang tersembunyi di baliknya.

     Karst seharusnya mendorong kita menata ulang logika politik. Negara tak bisa terus menerus berdiri di sisi industri, hanya karena tergoda investasi. Ia harus mengingat mandat konstitusi: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat itu jelas menempatkan rakyat sebagai tujuan akhir, bukan industri. Dengan kata lain, politik karst semestinya berpihak kepada kehidupan, bukan pada keuntungan sesaat.

     Menjadikan politik karst sebagai agenda nasional adalah kebutuhan mendesak. Bukan hanya untuk mencegah konflik sosial, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekologi. Kita perlu regulasi yang lebih tegas, partisipasi masyarakat yang nyata, dan keberanian politik untuk menolak investasi yang merusak. Lebih dari itu, kita perlu imajinasi baru: karst tidak dilihat sebagai beban pembangunan, melainkan sebagai aset strategis bangsa, setara dengan hutan hujan tropis dan terumbu karang.

     Jika kita gagal menjadikan karst sebagai agenda nasional, kita akan terus mengulang siklus konflik: izin keluar, rakyat protes, industri menambang, dan akhirnya ekosistem hancur. Tetapi jika kita berhasil, politik karst bisa menjadi model politik ekologis yang membanggakan, memperlihatkan bahwa bangsa ini bisa berpikir jauh ke depan.

     Karst adalah ujian. Apakah kita memilih berpihak pada kehidupan rakyat, atau menyerah pada mesin industri? Jawaban atas ujian ini akan menentukan bukan hanya nasib karst, tetapi juga nasib politik bangsa kita.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hydrogeological characteristics of karst in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  2. LIPI. (2019). Karst sebagai ekosistem penting dan rawan di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

  3. Sukamto, R. (2016). Konflik tambang semen dan masyarakat Kendeng. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan, 18(2), 145–162.

  4. UNESCO. (2015). Gunung Sewu UNESCO Global Geopark. Paris: UNESCO Publishing.

  5. Widiyanto, J., & Nasrullah, H. (2020). Potensi ekowisata karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jurnal Pariwisata Berkelanjutan, 5(1), 25–39.

     Di sebuah desa di kaki Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), seorang ibu bangun sebelum matahari terbit. Ia berjalan ke sumur yang dalamnya lebih dari 20 meter, menimba air dengan kerekan tua. Suaminya bersiap ke sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami padi sekali setahun. Anak-anaknya berjalan kaki ke sekolah, melewati bukit kapur yang tampak gersang. Sehari-hari mereka hidup dalam lanskap karst yang keras, tetapi bagi mereka bukit-bukit itu bukan sekadar batu, melainkan ruang hidup yang diwariskan leluhur.

     Masyarakat karst, baik di Babul, Gunung Sewu, maupun wilayah tropis lain, selalu berhadapan dengan paradoks. Dari luar, tanah mereka tampak kering, tetapi sesungguhnya di bawah kaki mereka tersimpan air yang melimpah. Sayangnya, akses ke air itu tidak mudah. Mereka harus tahu di mana gua yang menyimpan mata air, kapan musim hujan bisa ditadah, atau bagaimana menjaga pepohonan di sekitar bukit agar resapan tetap bekerja. Pengetahuan ekologis ini tidak lahir dari buku, melainkan dari pengalaman panjang hidup bersama karst.

     Namun pengetahuan lokal itu sering terpinggirkan. Dalam kebijakan pembangunan, masyarakat karst kerap dianggap “terbelakang”. Alih-alih dilibatkan, mereka disuguhi janji modernisasi: jalan baru, pabrik semen, atau wisata massal. Padahal, tanpa masyarakat lokal, karst tidak akan pernah terjaga. Mereka adalah penjaga pertama yang tahu gua mana yang boleh dimasuki, pohon mana yang tak boleh ditebang, atau mata air mana yang harus dijaga kesuciannya.

     Di Babul, banyak gua yang dianggap keramat. Larangan adat mencegah orang merusak mulut gua atau menebang hutan di sekitarnya. Dari perspektif ekologis, larangan itu melindungi zona resapan air dan menjaga kestabilan akuifer karst. Tetapi dalam logika pembangunan modern, aturan adat semacam itu dianggap hambatan. Ketika tambang batu gamping dibuka, masyarakat sering kali hanya jadi penonton. Mereka kehilangan tanah, sementara air yang dulu bisa diakses bersama perlahan menghilang.

      Contoh serupa terjadi di gunung Sewu, Yogyakarta. Ketika wisata Goa Pindul dibuka besar-besaran, masyarakat lokal diundang untuk bekerja sebagai pemandu. Namun, keputusan soal tata kelola, tiket, dan investasi sering kali diambil pihak luar. Pengetahuan masyarakat tentang gua diwarisi turun-temurun, tetapi nilainya kalah dibanding modal dan otoritas. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat karst tersingkir, bahkan di tanah yang sudah mereka jaga selama ratusan tahun.

     Ironisnya, ketika krisis datang, masyarakat lokal pula yang paling merasakan dampaknya. Di Babul, beberapa desa mengalami penurunan debit mata air setelah pembukaan tambang gamping. Di Gunung Kidul, kekeringan panjang membuat warga harus membeli air dengan harga mahal, sementara gua-gua yang dulunya kaya air menjadi kering. Situasi ini menunjukkan bahwa karst tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang menghuninya: ketika karst rusak, mereka pula yang pertama menanggung derita.

     Padahal, potensi masyarakat karst sangat besar untuk menjadi mitra konservasi. Pengetahuan lokal tentang resapan, larangan adat, dan tata cara memanen air bisa dipadukan dengan teknologi modern. Program konservasi di Taman Nasional Babul, misalnya, akan lebih efektif jika melibatkan petani lokal dalam pemantauan debit mata air dan perlindungan gua. Begitu juga dengan riset karst tropis: tanpa partisipasi masyarakat yang mengenali setiap ceruk dan lorong, para ilmuwan akan kesulitan mengakses data yang valid.

     Penting untuk diingat, karst bukan hanya bentang alam; ia adalah bentang budaya. Gua bukan sekadar ruang geologi, tetapi juga ruang spiritual, ekonomi, dan sosial. Masyarakat karst adalah penjaga yang paling tahu bagaimana hidup di antara kekeringan dan kelimpahan, di antara keterbatasan dan keberlanjutan. Mengabaikan mereka sama saja dengan merobek halaman penting dari arsip kehidupan karst itu sendiri.

     Maka, bila kita ingin bicara tentang konservasi karst, kita harus bicara juga tentang masyarakatnya. Tidak cukup hanya dengan undang-undang, zonasi taman nasional, atau penelitian ilmiah. Karst akan tetap rapuh jika manusia yang tinggal di sekitarnya dipinggirkan. Sebaliknya, karst akan tetap hidup jika pengetahuan lokal diberi ruang, jika masyarakat diberdayakan sebagai aktor utama. Pada akhirnya, tanpa masyarakat, karst hanyalah batu; tetapi dengan masyarakat, ia menjadi peradaban yang berdenyut


Daftar Pustaka

  1. Brunn, S., & Haryono, E. (2017). Sustainable livelihoods in tropical karst environments: Lessons from Gunung Sewu, Indonesia. Environmental Earth Sciences, 76(4), 175.

  2. Haryono, E., & Day, M. (2004). Karst in Indonesia: Review of research, resources and conservation. Cave and Karst Science, 31(3), 131–138.

  3. Sukri, S., & Fitriani, N. (2019). Kearifan lokal masyarakat karst dalam menjaga sumber daya air di Kabupaten Maros. Jurnal Sosial dan Humaniora, 9(2), 45–56.

  4. Wiradi, G. (2015). Masyarakat dan perubahan tata guna lahan di kawasan karst Gunung Sewu. Jurnal Ilmu Sosial Indonesia, 21(1), 55–70.

  5. World Bank. (2020). Living with karst: Socio-ecological resilience in Southeast Asia. Washington, DC.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.