Articles by "Taman Nasional"

Tampilkan postingan dengan label Taman Nasional. Tampilkan semua postingan

     Speleologi, ilmu tentang gua dan sistem bawah tanah, lahir dari rasa ingin tahu yang sangat tua, tapi hanya belakangan diakui sebagai disiplin akademik. Akar katanya berasal dari bahasa Yunani, spelaion (gua) dan logos (ilmu), pertama kali dipopulerkan pada akhir abad ke-19 di Eropa. Édouard-Alfred Martel, seorang Prancis, dianggap sebagai bapak speleologi modern karena ekspedisinya di gua-gua Prancis pada 1880-an, yang bukan hanya sekadar penjelajahan romantik, melainkan juga pengukuran ilmiah yang sistematis (Martel, 1894). Dari sinilah speleologi berkembang menjadi ilmu lintas disiplin—meminjam dari geologi, hidrologi, biologi, hingga antropologi.

     Di banyak negara, speleologi bukan sekadar aktivitas eksotik para penggemar gua, melainkan terintegrasi ke dalam riset dan pendidikan tinggi. Di Slovenia, misalnya, speleologi mendapatkan dukungan negara karena hubungan erat dengan karst Dinaric yang luas. University of Ljubljana sejak lama mengembangkan Karst Research Institute yang menempatkan speleologi sebagai basis riset multidisipliner (Kranjc, 2001). Sementara di Amerika Serikat, National Speleological Society (didirikan 1941) mendorong praktik ilmiah dan konservasi gua secara serius, berjejaring dengan universitas-universitas, serta berperan dalam pengelolaan kawasan lindung bawah tanah (Culver & White, 2005).

     Bandingkan dengan Indonesia: gua dan bentang alam karst kita sangat luas—Gunung Sewu, Maros-Pangkep, Sangkulirang-Mangkalihat, hingga Papua—namun penelitian formal masih sporadis dan sering bergantung pada inisiatif individu atau komunitas penelusur gua. Ekspedisi internasional seperti tim Jerman di Maros atau Prancis di Sangkulirang telah lebih dahulu menerbitkan literatur ilmiah (Audy et al., 2013), sementara lembaga nasional masih tertinggal dalam menyusun kerangka akademik. Kekosongan inilah yang membuat speleologi di Indonesia lebih sering dipahami sebagai hobi petualangan, bukan disiplin ilmu.

     Padahal, speleologi bisa berfungsi sebagai simpul pengetahuan. Ia menyatukan keahlian geologi untuk membaca sejarah bumi, hidrologi untuk memetakan aliran air bawah tanah, biologi untuk menyingkap ekosistem gua yang unik, arkeologi untuk menguak jejak manusia purba, hingga ilmu lingkungan untuk menjaga keberlanjutan. Tidak berlebihan bila speleologi dibandingkan dengan ekologi pada awal abad ke-20, ketika ia juga belum memiliki ruang mapan di universitas, tetapi kini berdiri kokoh sebagai salah satu pilar ilmu lingkungan (Odum, 1971).

     Karena itu, gagasan menjadikan speleologi sebagai salah satu fondasi kurikulum di Indonesia tidaklah utopis. Justru, di tengah ancaman eksploitasi karst untuk industri semen dan pariwisata massal, kerangka akademik speleologi bisa menjadi tameng pengetahuan. Universitas yang berani memasukkannya ke dalam kurikulum berarti membuka jalan baru, memperluas horizon mahasiswa lintas jurusan, dan memberi legitimasi akademik pada penelitian gua.

     Institut karst yang kita bayangkan bisa berakar di kawasan seperti Bantimurung-Bulusaraung, Sangkulirang-Mangkalihat, atau bahkan bentang raksasa karst Papua. Ketiganya menyimpan gua-gua yang bukan sekadar ruang geologi, tetapi juga habitat biodiversitas langka dan arsip budaya purba. Dengan menjadikan speleologi sebagai laboratorium hidup, jejaring riset internasional bisa dibangun, pertukaran mahasiswa digerakkan, hingga jurnal akademik berbahasa Indonesia diterbitkan, serupa dengan Acta Carsologica di Slovenia (Kranjc, 2001). Melalui jalan ini, Indonesia tidak lagi sebatas “penyedia gua” bagi penelitian asing, tetapi subjek yang aktif merumuskan epistemologi karst tropisnya sendiri.

     Dengan demikian, speleologi dapat menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan ilmu. Dari Martel di Eropa abad ke-19 hingga laboratorium karst di abad ke-21, ada benang merah yang jelas: speleologi bukan ilmu kecil di lorong gelap, melainkan cahaya yang membuka pemahaman manusia atas bumi.


Daftar Rujukan

  1. Audy, M.C., et al. (2013). Karst and Caves of Maros-Pangkep, Sulawesi. Speleological Papers.
  2. Culver, D.C., & White, W.B. (2005). Encyclopedia of Caves. Elsevier Academic Press.
  3. Kranjc, A. (2001). Dinaric Karst and Speleology in Slovenia. Ljubljana: Karst Research Institute.
  4. Martel, É.-A. (1894). Les Abîmes. Paris: Delagrave.
  5. Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders.

     Batu, dalam banyak kebudayaan, bukan hanya benda beku tanpa suara. Ia adalah penanda umur panjang, keteguhan, dan kadang juga saksi atas manusia yang datang silih berganti. Batu nisan, candi, prasasti—semuanya menyandarkan ingatan kolektif kita pada benda keras itu. Maka tidak aneh bila karst, yang terbentuk dari batu kapur berusia ratusan juta tahun, dapat dibaca sebagai simbol kebangsaan: ia diam, tetapi menyimpan cerita yang lebih tua daripada republik ini sendiri.

     Namun, dalam imajinasi sehari-hari, “gunung kapur” sering hanya berarti lahan tandus, bebatuan tak bernilai, atau lokasi tambang semen. Narasi nasional kita jarang mengangkat karst sebagai sesuatu yang agung. Padahal, dari perspektif geologi, Indonesia adalah salah satu negeri karst tropis terkaya di dunia. Dari Gunung Sewu di selatan Jawa hingga pegunungan Maros-Pangkep yang meliputi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), bentang karst kita bukan sekadar latar belakang, melainkan nadi ekologis yang menopang kehidupan.

     Jika air adalah sumber hidup, maka karst adalah pustaka yang menyimpannya. UNESCO bahkan menempatkan kawasan karst tropis seperti Babul dalam daftar warisan dunia potensial karena nilai ekologis, budaya, dan estetisnya (UNESCO, 2019). Tetapi, dalam ruang nasional, karst belum menjadi bagian dari simbol kebanggaan yang kita rayakan bersama. Kita lebih cepat mengasosiasikan sawah dengan identitas agraris, atau laut dengan “poros maritim”, sementara batu kapur tetap dianggap pinggiran.

     Kisah bangsa, pada dasarnya, selalu lahir dari simbol. Jepang punya Fuji, India punya Himalaya, Mesir punya Nil, dan kita? Kita punya banyak, tapi kadang kita sendiri bingung memilih. Karst sebetulnya menawarkan simbol yang tidak kalah kuat: ia membentang luas di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, bahkan Papua. Ia menjadi rumah bagi lukisan gua tertua di dunia, sekitar 45.000 tahun, yang ditemukan di gua Leang Tedongnge di Maros (Aubert et al., 2021). Itu bukan sekadar cat di dinding batu, melainkan tanda bahwa Indonesia sejak awal sudah menjadi pusat imajinasi manusia.

     Sayangnya, alih-alih merawat karst sebagai warisan simbolis, kita sering memperlakukan batu kapur hanya sebagai bahan baku semen. Dalam debat publik, karst muncul sebagai “masalah izin tambang”, bukan sebagai ruang kultural. Maka, narasi yang seharusnya mengangkat martabat berubah menjadi narasi konflik. Seolah-olah karst hanya ada untuk diperebutkan antara negara, industri, dan warga.

     Padahal, dalam dunia yang dilanda krisis iklim dan kekurangan air, karst bisa menjadi citra kebangsaan baru: bangsa yang mampu merawat gudang air tropis. Narasi semacam itu akan lebih relevan daripada sekadar slogan pembangunan. Sebab karst bukan hanya soal batu, tetapi juga tentang air, pangan, budaya, dan sejarah panjang manusia yang berinteraksi dengannya.

     Jika sawah adalah lambang kedaulatan pangan, laut lambang perdagangan, maka karst dapat menjadi lambang keberlanjutan ekologi. Dari Babul yang penuh gua kupu-kupu hingga Gunung Sewu yang diakui UNESCO sebagai Global Geopark, karst menyimpan potensi untuk menjadi ikon kebangsaan. Tetapi agar itu terjadi, kita perlu mengubah cara pandang: karst bukan beban, bukan pula sekadar tambang, melainkan pusaka.

     Seperti prasasti yang mengukir nama raja agar tidak dilupakan, karst seharusnya menjadi prasasti ekologis bangsa ini. Ia adalah narasi kebangsaan yang tidak dibangun oleh pidato atau slogan, melainkan oleh tetes air yang perlahan melubangi batu, oleh fosil yang terpendam, oleh lukisan purba yang bertahan puluhan ribu tahun. Semua itu adalah “teks” yang menunggu untuk dibaca bersama.

     Maka, menempatkan karst dalam imajinasi kebangsaan berarti menempatkan keberlanjutan di jantung cerita kita sebagai bangsa. Sebab tanpa air dari karst, sawah kering; tanpa gua karst, sejarah peradaban kita hilang; tanpa perlindungan karst, generasi mendatang hanya mewarisi lubang tambang. Sebaliknya, jika karst dijaga, ia dapat menjadi simbol kebijaksanaan: bangsa yang tidak sekadar hidup di atas tanah, tetapi mampu membaca batu sebagai kitab kehidupan.

     Karst, akhirnya, bukan sekadar batu kapur yang rapuh, melainkan cermin bagi bangsa: rapuh jika dikeruk, kuat jika dirawat. Dan mungkin, di situlah pelajaran terbesar: bangsa yang belajar dari karst akan tahu bahwa kekuatan tidak selalu datang dari suara keras, melainkan dari kesabaran yang menetes perlahan.


Daftar Pustaka

  1. Aubert, M., et al. (2021). Earliest known cave art: a hand stencil from Sulawesi, Indonesia. Science Advances, 7(3), eabd4648.
  2. Badan Geologi. (2017). Atlas Karst Indonesia. Bandung: Kementerian ESDM.
  3. Cahyadi, T. A., & Suryatmojo, H. (2020). “Peran Karst dalam Sistem Hidrologi dan Kedaulatan Air di Indonesia.” Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 8(2), 45–59.
  4. LIPI. (2019). Karst dan Kehidupan: Potensi, Ancaman, dan Strategi Pengelolaan. Jakarta: LIPI Press.
  5. UNESCO. (2019). World Heritage Tentative List: Maros-Pangkep Karst. Paris: UNESCO.
  6. Whitten, T., Mustafa, M., & Henderson, G. S. (2002). The Ecology of Sulawesi. Hong Kong: Periplus Editions.

     Di banyak buku teks geologi klasik, karst sering digambarkan sebagai bentang alam berbukit kerucut di Eropa Tengah, dengan gua-gua batu kapur yang kering dan udara dingin yang membeku. Model itulah yang sejak lama mendominasi imajinasi akademik: karst adalah Eropa, gua adalah lorong batu berlapis stalaktit di pegunungan Alpen. Padahal, karst di daerah tropis menyimpan wajah yang sama sekali berbeda. Curah hujan tinggi, vegetasi rimbun, interaksi manusia yang intens, serta dinamika iklim yang lembap membuat karst tropis berkembang dengan logika yang tidak bisa disamakan dengan karst iklim sedang. Seperti kata Ford dan Williams (2007), “karst tropis memiliki kompleksitas yang jauh melampaui kerangka analisis yang dibangun dari pengalaman Eropa.”

     Gunung Sewu di Jawa atau kawasan Bantimurung-Bulusaraung di Sulawesi adalah contohnya. Bukit-bukit kapur di sana tidak hanya berdiri sebagai kerucut batu yang sunyi, melainkan bagian dari mosaik kehidupan: lembah dolina yang menjadi sawah, gua yang berfungsi sebagai tempat tinggal, hingga mata air yang menghidupi desa. Hujan deras di daerah tropis mempercepat pelarutan batuan, membentuk jaringan sungai bawah tanah yang rumit dengan debit yang sulit diprediksi. Metode hidrogeologi klasik sering kali gagal menangkap kerumitan semacam ini, sehingga peta aliran air tidak jarang keliru, sementara masyarakat tetap bergantung pada naluri dan pengalaman panjang untuk membaca lanskap karst.

     Inilah epistemologi yang terabaikan: cara memahami karst yang tidak berhenti pada batu dan air, tetapi juga merangkul kehidupan manusia. Karst tropis adalah ekosistem sosial sekaligus hidrologis. Ia adalah laboratorium terbuka tempat iklim, geologi, dan budaya saling membentuk. Namun dalam banyak kurikulum geologi dan geografi di Indonesia, kita masih terikat pada narasi Eropa. Nama Slovenia atau Austria lebih akrab di telinga mahasiswa daripada Maros, Pacitan, atau Sangkulirang, padahal di situlah letak pengalaman empiris yang seharusnya menjadi dasar pengetahuan kita.

     Kelemahan epistemologis ini bukan persoalan akademik semata. Dampaknya terasa nyata, terutama dalam pengelolaan air. Di karst tropis, sumber daya air tersimpan di lorong bawah tanah yang tersembunyi. Jika dianalisis dengan kerangka klasik, kapasitas penyimpanan sering salah diperkirakan, ketersediaan air disalahpahami, bahkan strategi konservasi pun salah arah. Akibatnya, desa-desa karst yang sesungguhnya memiliki potensi cadangan air tetap menghadapi krisis setiap musim kemarau, karena teknologi dan kebijakan tidak memahami anatomi karst tropis.

     Eksploitasi batu kapur untuk industri semen pun sering bertumpu pada pandangan bahwa karst hanyalah tumpukan komoditas pasif. Padahal, di daerah tropis, bukit kapur berfungsi ganda: sebagai reservoir air, penopang ekologi, dan ruang budaya. Kesalahan perspektif inilah yang membuat setiap penambangan kerap dipandang hanya dari sisi ekonomi, sementara konsekuensi sosial dan ekologisnya terlupakan.

     Lebih jauh, karst tropis juga menyimpan dimensi kultural. Gua-gua di Indonesia bukan sekadar rongga batu, melainkan arsip kehidupan: lukisan berusia puluhan ribu tahun, fosil fauna purba, hingga jejak awal manusia Nusantara. Namun karena lensa yang digunakan masih Eropa-sentris, penafsiran gua sering berhenti pada catatan geologi, sementara makna budaya hanya disinggung sekilas. Padahal di sanalah kekhasan karst tropis: ia merekam kehidupan alam dan manusia dalam satu ruang.

     Membangun ilmu karst tropis berarti menulis ulang kerangka berpikir. Kita memerlukan metodologi baru: hidrogeologi yang mampu membaca variabilitas tropis, arkeologi yang berpadu dengan geomorfologi, antropologi yang mengindahkan suara masyarakat. Indonesia, dengan kawasan karst lebih dari 15 juta hektar, seharusnya tidak lagi menjadi objek studi belaka, tetapi pusat penghasil pengetahuan. Dari sini, dunia bisa belajar bahwa karst tropis memiliki epistemologi berbeda, sama sahihnya dengan karst Eropa.

     Pada akhirnya, membicarakan karst tropis berarti menegaskan martabat pengetahuan kita. Selama kita masih meminjam lensa Eropa, kita akan terus salah membaca bentang alam sendiri. Tetapi ketika kita berani merumuskan epistemologi karst tropis, Indonesia dapat tampil sebagai pelopor: menulis bab baru geosains dunia dari bukit-bukit yang hijau, basah, dan penuh kehidupan.


Daftar Pustaka

  1. Bogaerts, M., & Waltham, T. (2009). Karst and Caves: A Geological Adventure. London: Springer.
  2. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.
  3. Day, M. J., & Urich, P. B. (2000). An Assessment of Protected Karst Landscapes in Southeast Asia. Cave and Karst Science, 27(2), 61–70.
  4. Gillieson, D. (1996). Caves: Processes, Development, and Management. Oxford: Blackwell.
  5. Kusumayudha, S. B. (2010). Karst Indonesia: Bentang Alam, Air Tanah, dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Palmer, A. N. (2007). Cave Geology. Dayton, OH: Cave Books.
  7. Vermeulen, J. J., & Whitten, A. J. (1999). Biodiversity and Cultural Heritage in Karst. Jakarta: Ford Foundation.
  8. Waltham, T., Bell, F., & Culshaw, M. (2005). Sinkholes and Subsidence: Karst and Cavernous Rocks in Engineering and Construction. Chichester: Springer.

     Di sebuah desa di kaki Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), seorang ibu bangun sebelum matahari terbit. Ia berjalan ke sumur yang dalamnya lebih dari 20 meter, menimba air dengan kerekan tua. Suaminya bersiap ke sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami padi sekali setahun. Anak-anaknya berjalan kaki ke sekolah, melewati bukit kapur yang tampak gersang. Sehari-hari mereka hidup dalam lanskap karst yang keras, tetapi bagi mereka bukit-bukit itu bukan sekadar batu, melainkan ruang hidup yang diwariskan leluhur.

     Masyarakat karst, baik di Babul, Gunung Sewu, maupun wilayah tropis lain, selalu berhadapan dengan paradoks. Dari luar, tanah mereka tampak kering, tetapi sesungguhnya di bawah kaki mereka tersimpan air yang melimpah. Sayangnya, akses ke air itu tidak mudah. Mereka harus tahu di mana gua yang menyimpan mata air, kapan musim hujan bisa ditadah, atau bagaimana menjaga pepohonan di sekitar bukit agar resapan tetap bekerja. Pengetahuan ekologis ini tidak lahir dari buku, melainkan dari pengalaman panjang hidup bersama karst.

     Namun pengetahuan lokal itu sering terpinggirkan. Dalam kebijakan pembangunan, masyarakat karst kerap dianggap “terbelakang”. Alih-alih dilibatkan, mereka disuguhi janji modernisasi: jalan baru, pabrik semen, atau wisata massal. Padahal, tanpa masyarakat lokal, karst tidak akan pernah terjaga. Mereka adalah penjaga pertama yang tahu gua mana yang boleh dimasuki, pohon mana yang tak boleh ditebang, atau mata air mana yang harus dijaga kesuciannya.

     Di Babul, banyak gua yang dianggap keramat. Larangan adat mencegah orang merusak mulut gua atau menebang hutan di sekitarnya. Dari perspektif ekologis, larangan itu melindungi zona resapan air dan menjaga kestabilan akuifer karst. Tetapi dalam logika pembangunan modern, aturan adat semacam itu dianggap hambatan. Ketika tambang batu gamping dibuka, masyarakat sering kali hanya jadi penonton. Mereka kehilangan tanah, sementara air yang dulu bisa diakses bersama perlahan menghilang.

      Contoh serupa terjadi di gunung Sewu, Yogyakarta. Ketika wisata Goa Pindul dibuka besar-besaran, masyarakat lokal diundang untuk bekerja sebagai pemandu. Namun, keputusan soal tata kelola, tiket, dan investasi sering kali diambil pihak luar. Pengetahuan masyarakat tentang gua diwarisi turun-temurun, tetapi nilainya kalah dibanding modal dan otoritas. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat karst tersingkir, bahkan di tanah yang sudah mereka jaga selama ratusan tahun.

     Ironisnya, ketika krisis datang, masyarakat lokal pula yang paling merasakan dampaknya. Di Babul, beberapa desa mengalami penurunan debit mata air setelah pembukaan tambang gamping. Di Gunung Kidul, kekeringan panjang membuat warga harus membeli air dengan harga mahal, sementara gua-gua yang dulunya kaya air menjadi kering. Situasi ini menunjukkan bahwa karst tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang menghuninya: ketika karst rusak, mereka pula yang pertama menanggung derita.

     Padahal, potensi masyarakat karst sangat besar untuk menjadi mitra konservasi. Pengetahuan lokal tentang resapan, larangan adat, dan tata cara memanen air bisa dipadukan dengan teknologi modern. Program konservasi di Taman Nasional Babul, misalnya, akan lebih efektif jika melibatkan petani lokal dalam pemantauan debit mata air dan perlindungan gua. Begitu juga dengan riset karst tropis: tanpa partisipasi masyarakat yang mengenali setiap ceruk dan lorong, para ilmuwan akan kesulitan mengakses data yang valid.

     Penting untuk diingat, karst bukan hanya bentang alam; ia adalah bentang budaya. Gua bukan sekadar ruang geologi, tetapi juga ruang spiritual, ekonomi, dan sosial. Masyarakat karst adalah penjaga yang paling tahu bagaimana hidup di antara kekeringan dan kelimpahan, di antara keterbatasan dan keberlanjutan. Mengabaikan mereka sama saja dengan merobek halaman penting dari arsip kehidupan karst itu sendiri.

     Maka, bila kita ingin bicara tentang konservasi karst, kita harus bicara juga tentang masyarakatnya. Tidak cukup hanya dengan undang-undang, zonasi taman nasional, atau penelitian ilmiah. Karst akan tetap rapuh jika manusia yang tinggal di sekitarnya dipinggirkan. Sebaliknya, karst akan tetap hidup jika pengetahuan lokal diberi ruang, jika masyarakat diberdayakan sebagai aktor utama. Pada akhirnya, tanpa masyarakat, karst hanyalah batu; tetapi dengan masyarakat, ia menjadi peradaban yang berdenyut


Daftar Pustaka

  1. Brunn, S., & Haryono, E. (2017). Sustainable livelihoods in tropical karst environments: Lessons from Gunung Sewu, Indonesia. Environmental Earth Sciences, 76(4), 175.

  2. Haryono, E., & Day, M. (2004). Karst in Indonesia: Review of research, resources and conservation. Cave and Karst Science, 31(3), 131–138.

  3. Sukri, S., & Fitriani, N. (2019). Kearifan lokal masyarakat karst dalam menjaga sumber daya air di Kabupaten Maros. Jurnal Sosial dan Humaniora, 9(2), 45–56.

  4. Wiradi, G. (2015). Masyarakat dan perubahan tata guna lahan di kawasan karst Gunung Sewu. Jurnal Ilmu Sosial Indonesia, 21(1), 55–70.

  5. World Bank. (2020). Living with karst: Socio-ecological resilience in Southeast Asia. Washington, DC.

     Bayangkan sebuah gua sunyi di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Pada dinding batunya, seekor babirusa diguratkan dengan pigmen merah, usianya lebih dari 45.000 tahun. Tak jauh dari sana, di Leang Tedongnge, lukisan figuratif serupa diperkirakan berumur 45.500 tahun—lukisan hewan tertua yang pernah ditemukan di dunia. Sebelum piramida Mesir menjulang, sebelum Stonehenge berdiri, tangan manusia purba sudah meninggalkan jejaknya di karst Bantimurung-Bulusaraung. Seolah gua-gua itu adalah halaman pertama dari buku sejarah manusia, ditulis bukan dengan huruf, melainkan dengan pigmen sederhana yang masih menyala hingga kini.

     Karst tropis bukan sekadar lanskap batu. Ia adalah ruang ingatan. Di perut Babul, stalaktit dan stalagmit tumbuh pelan, seperti jarum jam yang sabar, merekam tetes air dalam hitungan ribuan tahun. Batuan kapur yang tampak beku sebenarnya bekerja sebagai seismograf raksasa, menyimpan catatan perubahan iklim purba, kadar CO₂, bahkan jejak banjir besar. Para ilmuwan menyebut endapan gua (speleothem) sebagai arsip paleoklimatologi yang akurat, setara dengan inti es di kutub—bedanya, di sini tersimpan di jantung tropis. Dari lapisan tipis kalsit yang mengeras, kita bisa membaca kapan bumi dilimpahi hujan dan kapan ia dilanda kemarau panjang.

     Tapi karst tidak hanya menyimpan iklim. Ia juga menyimpan manusia. Fosil Homo floresiensis di Liang Bua, Flores, dan temuan manusia modern awal di Leang Bulu Bettue, Maros, adalah penanda bahwa karst Indonesia pernah menjadi panggung evolusi. Gua-gua di Babul dan Gunung Sewu bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga rumah, makam, bahkan galeri seni purba. Mereka yang hidup di masa itu menyalakan api di dalam kegelapan gua, lalu meninggalkan tanda sederhana yang tetap bergema: kami pernah ada, kami pernah hidup di sini.

     Lebih jauh lagi, karst menyimpan arsip kehidupan purba dalam bentuk fosil hewan dan cangkang laut yang kini terjebak di puncak bukit kapur. Bagi mata yang peka, itu adalah pengingat bahwa tanah yang kita pijak pernah menjadi dasar samudra jutaan tahun lalu. Bukit karst yang kini menjulang dulunya adalah karang hidup di laut dangkal Miosen. Setiap lapisan batu kapur adalah halaman geologi yang mencatat perjalanan bumi dari samudra ke daratan.

     Bagi masyarakat lokal, gua bukan sekadar fosil atau arsip ilmiah. Ia adalah ruang hidup dengan makna spiritual. Di Maros dan Pangkep, banyak gua dihormati sebagai tempat leluhur, penyimpan lontara, atau lokasi ritual. Ingatan geologi dan ingatan budaya berdiam dalam batu kapur yang sama, saling melengkapi dalam keheningan.

     Namun perpustakaan ini terus diganggu. Industri semen melihat batu kapur hanya sebagai bahan baku, tanpa peduli bahwa setiap bongkah yang diambil sama saja dengan merobek halaman dari buku bumi. Yang hilang bukan hanya fosil, melainkan konteks sejarah yang tak bisa ditulis ulang. Sekali lenyap, ia hilang selamanya.

     Karst adalah perpustakaan bumi. Ia menyimpan catatan yang lebih tua dari peradaban, lebih sabar dari naskah mana pun. Tetapi, sebagaimana perpustakaan yang sering dianggap remeh, ia baru dipahami nilainya ketika terbakar atau hilang. Pertanyaan yang tersisa sederhana: apakah kita mau dikenang sebagai generasi yang meninggalkan rak kosong bagi anak cucu, atau sebagai generasi yang menjaga perpustakaan ini tetap utuh, agar kisahnya bisa terus dibaca?


Daftar Pustaka

  1. Aubert, M., et al. (2014). Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia. Nature, 514, 223–227.
  2. Aubert, M., et al. (2021). Earliest known cave art from Sulawesi, Indonesia. Science Advances, 7(3), eabd4648.
  3. Bogaerts, M., & Waltham, T. (2009). Karst and Caves: A Geological Adventure. London: Springer.
  4. Brumm, A., et al. (2017). Early human symbolic behavior in the Late Pleistocene of Wallacea. Proceedings of the National Academy of Sciences, 114(16), 4105–4110.
  5. Haryono, E., & Day, M. (2004). Karst in Indonesia: Review of research, resources and conservation. Cave and Karst Science, 31(3), 131–138.
  6. Kiernan, K. (2013). "The Nature Conservation, Cave Tourism and Karst Protection." Journal of Environmental Management, 128, 1–13.
  7. Suryatman, et al. (2019). Late Pleistocene human occupation and symbolic behavior in Leang Bulu Bettue, Sulawesi, Indonesia. Nature, 569, 234–237.
  8. Wulandari, D., et al. (2021). Speleothem records of Holocene rainfall variability in southern Indonesia. Quaternary Science Reviews, 268, 107124.
  9. Williams, P. (2008). "The Role of the International Union of Speleology in Cave Science and Protection." International Journal of Speleology, 37(1), 1–6.

     Ada satu pemandangan yang kerap kita jumpai di kawasan karst: di satu sisi, lahan sawah yang hijau terbentang, tempat masyarakat menggantungkan hidup mereka dari tetes keringat dan irigasi sederhana; di sisi lain, pabrik semen berdiri megah dengan asap mengepul, menawarkan pekerjaan instan sekaligus merenggut kehidupan jangka panjang. Kontradiksi ini bukan sekadar benturan ruang, melainkan benturan visi tentang masa depan: apakah kita ingin hidup dari tanah yang berkelanjutan, atau dari batu yang habis sekali gali?

     Bagi masyarakat desa karst, tanah tipis yang mereka kelola dengan tekun adalah warisan turun-temurun. Setiap petak sawah, ladang jagung, atau kebun singkong bukan hanya soal pangan, tetapi juga soal identitas. Hidup mereka melekat pada siklus alam yang ditentukan oleh air karst—air yang merembes perlahan, jernih, dan tak tergantikan. Namun bagi industri semen, karst hanyalah deposit batu kapur bernilai ekonomi, siap ditambang untuk menghidupi mesin pembangunan. Dua kepentingan yang sama-sama nyata, tetapi sering tak setara dalam meja perundingan.

     Kisah konflik ini sudah berulang kali meletus di banyak tempat. Di Rembang, Jawa Tengah, perlawanan petani perempuan yang menanam kaki di kubangan semen menjadi simbol penolakan terhadap dominasi industri. Di Pati, Gunung Kendeng menjadi arena tarik-menarik antara janji lapangan kerja dan keresahan ekologi. Di Sulawesi Selatan, karst Maros-Pangkep yang masuk kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul) pun tak luput dari tekanan eksploitasi. Karst yang mestinya menjadi kawasan lindung justru sering dipandang sebagai “tambang potensial” yang menunggu giliran untuk dieksploitasi.

     Ironisnya, argumen ekonomi sering dipakai sebagai kartu truf untuk membenarkan tambang: “lapangan kerja”, “pembangunan daerah”, “pajak daerah meningkat”. Namun, kalau ditelusuri, keuntungan yang diperoleh masyarakat sekitar sering kali tidak sebanding dengan kerusakan yang ditanggung. Pekerjaan di pabrik memang tersedia, tapi jumlahnya terbatas, sementara dampak lingkungan—air yang hilang, debu yang menyelimuti, lahan yang tergerus—ditanggung bersama oleh ribuan orang yang sebelumnya bisa hidup tanpa perlu menjual tanahnya.

     Di titik ini, kita perlu bertanya ulang: apakah benar tambang adalah satu-satunya pilihan ekonomi di kawasan karst? Fakta menunjukkan, karst justru menyimpan potensi ekonomi alternatif yang kerap diabaikan. Pertama, ekowisata. Taman Nasional Babul di Sulawesi Selatan sudah lama dikenal sebagai “kerajaan kupu-kupu” dan surga speleologi, menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Di Gunung Sewu, Yogyakarta, jejak UNESCO Global Geopark membuktikan bahwa keindahan dan nilai ilmiah karst bisa menjadi magnet global. Wisata gua, panjat tebing, hingga wisata budaya desa karst telah membuka jalan bagi model ekonomi yang tidak merusak alam.

     Kedua, pertanian berbasis kearifan lokal. Meski tanah karst tipis, masyarakat telah lama beradaptasi dengan sistem agroforestri, menanam palawija, buah-buahan, hingga memelihara ternak dengan memanfaatkan gua sebagai kandang alami. Diversifikasi ini terbukti tangguh, terutama ketika akses air dikelola dengan bijak. Ketiga, ekonomi berbasis riset dan pendidikan. Karst adalah laboratorium alam yang tak ada duanya. Universitas, lembaga penelitian, bahkan sekolah-sekolah bisa mengembangkan pusat studi, wisata edukasi, hingga program konservasi yang memberi pemasukan sekaligus menjaga ekosistem.

     Memang, semua alternatif ini tidak menjanjikan keuntungan secepat tambang semen. Tetapi justru di situlah kearifan berpikir diperlukan. Ekonomi bukan hanya tentang angka jangka pendek, melainkan tentang keberlanjutan. Apalah artinya pendapatan daerah yang naik jika air hilang, sawah kering, dan masyarakat terpaksa migrasi karena tidak bisa lagi bercocok tanam?

     Di sini, refleksi moral menjadi penting. Kita sering terjebak pada logika pembangunan yang serba instan, seakan-akan jalan pintas adalah solusi. Padahal, keberlanjutan menuntut kesabaran, pengelolaan kolektif, dan keberanian menolak godaan keuntungan cepat. Pembangunan sejati seharusnya melahirkan kesejahteraan yang merata, bukan mengorbankan banyak demi segelintir.

     Karst adalah ruang yang rapuh, sekaligus ruang yang memberi kehidupan. Menjaganya bukan berarti menutup diri dari pembangunan, melainkan mengarahkan pembangunan ke jalur yang selaras dengan daya dukung alam. Jalan tengahnya jelas: mengembangkan ekowisata, agroforestri, dan riset sebagai sumber ekonomi alternatif, sambil memperketat regulasi agar eksploitasi industri tidak merampas hak hidup masyarakat.

     Jika tambang adalah jalan buntu, maka jalan tengah inilah yang membuka kemungkinan baru: karst tetap lestari, masyarakat tetap hidup, dan pembangunan tetap berjalan. Persoalannya bukan apakah karst bisa ditambang, melainkan apakah kita mau belajar dari sejarah panjang kerusakan yang sudah terjadi.

     Pada akhirnya, pilihan kita terhadap karst mencerminkan pilihan kita terhadap masa depan bangsa. Apakah kita hanya ingin membangun gedung-gedung dari semen, atau kita juga ingin menjaga tanah yang memberi kita makanan, air, dan identitas? Pertanyaan itu menuntut keberanian menjawab dengan jujur, karena tanpa keberanian, kita hanya akan jadi saksi dari kehilangan yang kita ciptakan sendiri.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N., & Haryono, E. (2015). Water balance in the Gunung Sewu karst area and its significance for water resource management. Environmental Earth Sciences, 74(12), 8293–8305. https://doi.org/10.1007/s12665-015-4735-8
  2. Sukamto, R. (2016). Konflik tambang semen dan masyarakat Kendeng. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan, 18(2), 145–162.
  3. Widiyanto, J., & Nasrullah, H. (2020). Potensi ekowisata karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jurnal Pariwisata Berkelanjutan, 5(1), 25–39.
  4. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (2019). Karst sebagai ekosistem penting dan rawan di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
  5. UNESCO. (2015). Phong Nha-Ke Bang National Park (Vietnam). World Heritage Centre. https://whc.unesco.org/en/list/95

     Pangan adalah fondasi kedaulatan sebuah bangsa. Namun, di wilayah karst, pangan tidak pernah hadir dengan cara yang sederhana. Tanahnya tipis, berbatu, cepat kering, sehingga bercocok tanam seperti di dataran subur menjadi sebuah tantangan. Justru di situlah nilai penting kawasan karst: ia menuntut manusia untuk menemukan strategi pangan yang cerdas, yang tidak hanya bergantung pada kesuburan tanah, tetapi juga pada kreativitas, pengetahuan lokal, dan kearifan ekologis (Adji, 2014).

     Di kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, bentang karst tidak hanya menyimpan gua purba berpenghuni 55.000 tahun lalu (Simanjuntak, 2019), tetapi juga ruang hidup masyarakat yang bergenerasi menggantungkan diri pada sawah tadah hujan, kebun kecil, dan sistem agroforestri. Tanah tipis di lereng karst memang sulit diolah, tetapi masyarakat setempat telah lama mengembangkan pola tanam campuran—padi ladang, jagung, ubi, dan pohon buah—yang mampu bertahan di musim panjang tanpa hujan. Pengetahuan mereka tentang mata air, pola aliran bawah tanah, dan waktu menanam adalah warisan yang sama berharganya dengan benih itu sendiri (Widyastuti et al., 2020).

     Gunung Sewu di Jawa memberikan gambaran serupa. Dengan tanah dangkal di antara bukit-bukit kapur, masyarakat mengembangkan lumbung padi kolektif, sumur gali dalam, dan kolam tadah hujan untuk memastikan tidak ada musim paceklik yang benar-benar melumpuhkan mereka (Santosa, 2016). Inovasi sederhana itu adalah cermin kedaulatan pangan yang tumbuh dari keterbatasan. Bukan melimpahnya tanah subur yang menjadi modal utama, melainkan kemampuan kolektif untuk menyiasati keterbatasan.

     Jika kita menengok keluar negeri, kawasan karst di Vietnam Utara (Ha Long Bay dan Bac Son) menunjukkan pola serupa: masyarakat memadukan sistem sawah kecil dengan kebun karst, mengandalkan gua-gua sebagai penyimpanan air dan pangan. Di Tiongkok Selatan, masyarakat Dong bahkan menyesuaikan varietas padi dengan kondisi tanah dangkal dan irigasi terbatas, menjadikan pangan sebagai hasil adaptasi ekologis, bukan hanya hasil intensifikasi lahan (Yuan, 1991).

      Namun, ancaman modern membuat kedaulatan pangan karst rapuh. Di Maros dan Pangkep, ekspansi tambang semen sering mengorbankan hutan karst, padahal hutan itulah yang menjaga resapan air dan mendukung sawah tadah hujan. Ketika hutan hilang, mata air mengecil, sawah kekeringan, dan masyarakat justru terdorong menjadi buruh pabrik yang mengolah tanah leluhurnya menjadi semen (Rahmadi, 2018). Ironi ini jelas: pangan sebagai dasar kedaulatan digantikan oleh upah sesaat, yang justru memperlemah kemampuan masyarakat untuk berdiri di atas kaki sendiri.

     Padahal, jika ditimbang secara ekonomi-ekologi, kedaulatan pangan yang lahir dari sistem karst jauh lebih berkelanjutan. Satu mata air di kawasan Maros bisa menghidupi puluhan hektar sawah dan ribuan penduduk, dengan nilai pangan yang terus diperbarui dari musim ke musim. Bandingkan dengan keuntungan tambang yang berumur pendek: setelah cadangan habis, masyarakat kehilangan tanah, air, dan sekaligus kedaulatan pangannya (Widyastuti et al., 2020).

     Karst mengajarkan bahwa kedaulatan pangan bukan hanya soal produksi besar-besaran, melainkan soal keberlanjutan dan keberdayaan masyarakat. Ia menuntut kita menghargai pangan yang lahir dari tanah tipis, air yang disimpan gua, dan kerja kolektif yang memastikan semua orang punya akses. Itulah sebabnya kedaulatan pangan di kawasan karst tidak bisa dipahami hanya dengan logika agribisnis, tetapi harus dilihat sebagai cermin kebudayaan dan politik ekologis.

     Jika bangsa ini ingin mandiri, maka karst harus dilihat sebagai ruang strategis pangan. Bukan pinggiran, bukan lahan marginal, melainkan ruang di mana masyarakat membuktikan bahwa keterbatasan justru bisa melahirkan ketahanan yang tangguh. Kedaulatan pangan di karst adalah bukti bahwa bangsa yang cerdas bukan yang memiliki tanah subur tak terbatas, tetapi yang bisa merawat tanah keras dan tetap hidup dari sana.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hidrologi karst Gunung Sewu: Dinamika dan keberlanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Rahmadi, A. (2018). Konservasi kawasan karst sebagai sumber air dan ekosistem unik. Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 5(2), 45–57.
  3. Santosa, L. W. (2016). Strategi masyarakat karst Gunung Sewu dalam menghadapi keterbatasan lahan. Jurnal Geografi Lingkungan, 18(1), 35–50.
  4. Simanjuntak, T. (2019). Human occupation in Maros-Pangkep karst caves: New findings and interpretations. Arkeologi Indonesia, 40(1), 15–28.
  5. Widyastuti, D., Nugroho, S., & Priyono, A. (2020). Potensi akuifer karst di kawasan Maros-Pangkep sebagai sumber daya air berkelanjutan. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 21(3), 145–158.
  6. Yuan, D. (1991). Karst of China. Beijing: Geological Publishing House.

     Air selalu menjadi cerita pertama bagi manusia. Kita bisa bertahan tanpa api, tanpa logam, tanpa listrik, tetapi tidak mungkin tanpa air. Namun, dalam bentang karst, air bukanlah sesuatu yang mudah ditemukan. Ia menyelinap, menghilang dari permukaan, menembus retakan batu kapur, mengalir di dunia bawah tanah yang gelap, lalu muncul kembali di mata air yang kadang berjarak puluhan kilometer dari titik hujan pertama jatuh. Itulah sebabnya karst sering disebut sebagai peradaban air, bukan sekadar bentang alam. Ia menuntut manusia untuk belajar tentang sabar, cerdik, dan jeli membaca tanda-tanda yang tak tampak (Widyastuti et al., 2020).

     Di permukaan karst, hujan tidak menetap lama. Air tidak menggenang seperti di tanah liat atau rawa. Begitu menyentuh bumi kapur yang berpori, ia lenyap ke perut bumi, masuk ke dalam jaringan gua dan sungai bawah tanah. Dari luar, lanskap karst sering tampak kering, berbatu, bahkan gersang. Orang yang tidak mengenalnya mungkin menyangka tanah semacam itu tidak ramah kehidupan. Padahal, di balik wajah kerasnya, karst menyimpan cadangan air raksasa, reservoir alami yang bisa menopang kehidupan ribuan tahun (Rahmadi, 2018).

     Karena itu, bagi masyarakat yang hidup di wilayah karst, air adalah inti dari kebudayaan. Di kawasan Gunung Sewu, misalnya, masyarakat membangun sumur gali yang dalam, membuat kolam tadah hujan, atau menggali lorong-lorong bawah tanah untuk mencapai sungai yang tersembunyi (Adji, 2014). Di Bantimurung-Bulusaraung, gua-gua purba yang berusia lebih dari 50.000 tahun (Simanjuntak, 2019) tidak hanya menyimpan jejak manusia, tetapi juga sistem aliran air yang sampai kini menjadi penopang ekosistem taman nasional. Setiap tetes air yang terkumpul bukan hanya urusan kebutuhan rumah tangga, melainkan juga soal bertahan hidup di musim kering yang panjang. Di Tiongkok selatan, masyarakat Zhuang dan Dong bahkan punya ritual syukur untuk mata air karst yang mereka anggap sebagai anugerah leluhur (Yuan, 1991). Sementara di Eropa Timur, kota-kota tua berdiri di atas sistem akuifer karst yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan karena jaminan suplai air bersih (Ford & Williams, 2007).

     Peradaban air di karst selalu dibangun di atas pengetahuan ekologis yang rumit. Tidak ada masyarakat yang bisa hidup di karst tanpa memahami cara kerja air. Mereka belajar mengenali gua mana yang menyimpan sungai, bukit mana yang menyimpan mata air, dan kapan waktu yang tepat untuk menampung air hujan. Pengetahuan itu diwariskan turun-temurun, seringkali dalam bentuk cerita rakyat, mitos, atau larangan adat. Larangan menebang pohon di sekitar mulut gua, misalnya, bukan semata-mata kepercayaan mistis, melainkan cara untuk melindungi zona resapan air agar mata air tetap mengalir (Suryadi, 2015).

     Namun, zaman modern membawa tantangan baru. Karst semakin sering dilihat hanya sebagai tambang batu gamping, bahan baku semen, atau lahan marginal yang bisa diubah dengan teknologi. Ketika tambang dibuka, hutan digunduli, atau gua-gua rusak, maka peradaban air yang rapuh itu goyah. Air tidak lagi meresap dengan baik, mata air mengering, dan masyarakat di sekitarnya menghadapi krisis yang sulit dipulihkan (Rahmadi, 2018). Kerusakan karst bukan hanya merusak bentang alam, tetapi merusak sejarah panjang pengetahuan manusia tentang cara hidup dengan air yang tersembunyi.

     Ironisnya, banyak kebijakan pembangunan masih memandang karst sebagai ruang kosong. Padahal, jika dihitung secara ekonomis, air yang disimpan di dalam sistem karst nilainya jauh lebih tinggi daripada hasil tambang sesaat. Sebuah mata air karst bisa menopang ribuan hektar sawah, menyediakan air minum bagi puluhan ribu orang, dan tetap mengalir ratusan tahun jika dijaga dengan benar (Widyastuti et al., 2020). Bandingkan dengan keuntungan pabrik semen yang hanya bertahan beberapa dekade, setelah itu meninggalkan lubang besar dan wilayah yang kehilangan daya dukung ekologisnya.

     Maka, gagasan karst sebagai peradaban air bukan sekadar romantisme ekologis. Ia adalah peringatan sekaligus tawaran. Peringatan bahwa hidup di karst berarti belajar kesabaran dan keberlanjutan, karena air tidak tersedia dengan cara mudah. Dan tawaran bahwa jika kita mau mengelola pengetahuan lokal, teknologi modern, dan kebijakan yang tepat, maka karst bisa menjadi model tata kelola air yang lebih cerdas daripada sistem buatan manusia. Bayangkan, jutaan tahun geologi telah membangun “mesin penyaring air” yang bekerja gratis, alami, dan berkesinambungan. Tugas kita hanya satu: jangan merusaknya.

     Air di karst mengajarkan kita sesuatu yang lebih luas tentang peradaban. Bahwa ketersediaan sumber daya bukan sekadar soal volume, melainkan soal distribusi, kesabaran, dan cara kita menaruh hormat pada sesuatu yang tidak kasatmata. Ia juga mengingatkan bahwa kehidupan tidak selalu terletak di permukaan yang tampak subur, tetapi sering tersembunyi di balik lapisan yang keras dan kering. Barangkali, pelajaran dari karst itulah yang paling penting: bahwa hidup selalu menuntut kita untuk membaca yang tak terlihat, dan menjaga apa yang pelan-pelan menyusun denyut peradaban.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hidrologi karst Gunung Sewu: Dinamika dan keberlanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Ford, D., & Williams, P. (2007). Karst hydrogeology and geomorphology. Chichester: John Wiley & Sons.
  3. Rahmadi, A. (2018). Konservasi kawasan karst sebagai sumber air dan ekosistem unik. Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 5(2), 45–57.
  4. Simanjuntak, T. (2019). Human occupation in Maros-Pangkep karst caves: New findings and interpretations. Arkeologi Indonesia, 40(1), 15–28.
  5. Suryadi, B. (2015). Pengetahuan lokal masyarakat karst dalam pengelolaan sumber daya air. Jurnal Antropologi Indonesia, 36(2), 120–135.
  6. Widyastuti, D., Nugroho, S., & Priyono, A. (2020). Potensi akuifer karst di kawasan Maros-Pangkep sebagai sumber daya air berkelanjutan. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 21(3), 145–158.
  7. Yuan, D. (1991). Karst of China. Beijing: Geological Publishing House.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.