Tuhan Telah Mati, Tapi Bayangannya Masih Panjang

     Ada suatu masa dalam sejarah manusia ketika langit bukan hanya pemandangan, tapi juga cermin. Di sanalah manusia menatap dirinya sendiri, menemukan keteraturan di balik kekacauan, makna di balik nasib. Langit adalah hukum, dan hukum adalah Tuhan. Sejak matahari pertama disembah di dataran Mesopotamia hingga suara nabi bergema di padang pasir, manusia hidup dengan satu kesadaran sederhana: hidup adalah kehendak ilahi yang tak terbantahkan.

     Lalu suatu hari, seorang manusia kurus dengan mata penuh api berdiri di tepi jurang zaman dan berkata: “Tuhan telah mati.” Bukan karena Tuhan dibunuh oleh manusia, tapi karena manusia berhenti membutuhkan-Nya. Dunia yang dulu sakral kini berubah menjadi mesin rasional. Hukum sebab-akibat menggantikan mukjizat, kalkulasi menyingkirkan doa, dan logika mengambil alih peran takdir. Dunia menjadi terang — tapi juga dingin.

     Nietzsche, si pengembara dari pegunungan Swiss itu, tidak sedang berpesta atas kematian Tuhan. Ia sedang berkabung. Karena ia tahu, bersama kematian Tuhan, manusia kehilangan cermin tempat ia mengenali dirinya. Dalam kegelapan baru itu, manusia bebas — tapi juga tersesat.

     Manusia modern muncul sebagai makhluk yang tak lagi memandang ke langit, tapi ke dalam dirinya sendiri. Ia menggali dasar eksistensinya, menemukan bahwa hidup tak memiliki makna kecuali yang ia ciptakan sendiri. Maka lahirlah Übermensch, manusia yang berani menulis ulang nilai, menafsirkan ulang moral, dan menjadi tuhan bagi dirinya sendiri.
Namun di balik kegagahan ide itu, ada kesepian yang panjang — kesepian karena manusia tak lagi bisa berbagi beban makna dengan siapa pun selain dirinya sendiri.

Dan di situlah bayangan Tuhan mulai memanjang.

     Bayangan itu bukan sekadar residu kepercayaan lama, melainkan bentuk baru dari kerinduan eksistensial. Setiap kali manusia mencoba menyingkirkan ilahi, ia tanpa sadar menciptakan Tuhan yang lain: dalam bentuk ideologi, sistem, negara, bahkan sains. Setiap revolusi melahirkan dogma baru, setiap pembebasan berakhir dengan tatanan baru yang menindas. Tuhan mati, tapi kekuasaan untuk menentukan makna — itu tetap hidup, hanya berganti wajah.

     Nietzsche tahu tragedi itu. Karena kematian Tuhan bukan akhir dari agama, melainkan transformasinya menjadi iman terhadap manusia itu sendiri. Dan iman kepada manusia sering kali lebih berbahaya, sebab manusia bisa meyakini kesalahan dengan lebih fanatik daripada ia pernah mencintai kebenaran.

     Ketika Nietzsche menulis tentang manusia yang “harus melampaui dirinya,” ia sebenarnya sedang mengintip jurang yang menganga di bawah kaki modernitas: jurang antara kebebasan dan kehampaan. Jika Tuhan adalah sumber nilai, maka ketika Ia tiada, nilai harus lahir dari kehendak manusia. 

     Tetapi kehendak manusia, tanpa batas dan tanpa arah, bisa menjelma menjadi monster. Dari rahim kehendak itulah lahir abad ke-20 yang berdarah: fasisme yang mengagungkan bangsa sebagai dewa, komunisme yang mengangkat kelas pekerja sebagai penebus dosa dunia, dan kapitalisme yang menyembah pasar sebagai roh yang tak kelihatan tapi menentukan segalanya.

     Manusia menolak langit, tapi kemudian membangun menara yang lebih tinggi dari langit — menara ego, menara sistem, menara sains. Di puncaknya, ia memandang ke bawah dan berkata: lihatlah, aku bebas. Tapi di bawah sana, bayangan Tuhan terus mengikuti langkahnya, memanjang seiring matahari kesadarannya tenggelam.

     Kita, anak cucu modernitas, hidup di bawah bayangan itu. Kita mengutip Nietzsche tanpa memahami luka di balik seruannya. Kita memuja rasionalitas tapi tersiksa oleh kebisingan pikiran sendiri. Kita mengaku bebas tapi tunduk pada ritme produktivitas, ekonomi, dan layar-layar yang menentukan ritme waktu. Kita menertawakan agama tapi membangun ritual baru di hadapan algoritma, rating, dan tren.

     Tuhan telah mati — tapi kita tak pernah berhenti menyembah.

     Dan di sinilah paradoksnya: manusia tak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar dari dirinya, tapi setiap kali ia menciptakan yang lebih besar itu, ia berakhir menjadi budaknya.

     Barangkali di situlah pertemuan tak terduga antara Nietzsche dan para sufi: keduanya sama-sama melihat bahwa kesadaran manusia terbelah antara aku dan Yang Tak Terucapkan. Bedanya, Nietzsche memutus tali langit agar manusia bisa berdiri sendiri, sedangkan para sufi melarutkan diri agar manusia bisa menyatu kembali.
Yang satu berteriak “Aku menciptakan nilai!”, yang lain berbisik “Tiada aku selain Dia.” Tapi keduanya, pada hakikatnya, sedang mencari hal yang sama: titik keseimbangan antara kebebasan dan penyerahan, antara makna dan kehampaan.

     Maka mungkin yang mati bukan Tuhan, melainkan cara manusia memahami Tuhan. Yang mati adalah Tuhan yang dijadikan alat, Tuhan yang diperas untuk kepentingan moral, politik, dan rasa aman. Tapi yang tetap hidup — dan bahkan terus tumbuh — adalah hasrat untuk menyatu dengan sesuatu yang melampaui batas diri.

     Manusia modern, di balik segala teknologi dan rasionalitasnya, masih berlutut dalam diam — bukan di depan altar, tapi di depan layar; bukan memohon keselamatan, tapi makna. Ia tak lagi berdoa kepada Tuhan, tapi kepada sistem yang ia ciptakan sendiri. Dan ironisnya, sistem itu mulai menjawab.

     Kita sedang hidup di masa di mana algoritma menggantikan takdir. Dan jika Nietzsche hidup hari ini, mungkin ia akan berkata bukan “Tuhan telah mati,” tapi “Tuhan telah diunggah.”

     Bayangan itu kini menjelma dalam bentuk baru — bukan awan di langit, tapi jaringan cahaya yang menghubungkan setiap pikiran, setiap hasrat, setiap ketakutan. Namun di tengah jaringan itu, manusia kembali merasa asing terhadap dirinya sendiri. Kebebasan yang ia cari berubah menjadi labirin pilihan yang tak berujung. Makna yang ia ciptakan sendiri berubah menjadi kebingungan yang tak selesai.

     Kita masih berjalan di bawah bayangan yang sama, hanya bentuknya berganti: dari menara ke server, dari altar ke data center. Dan mungkin perjalanan ini belum selesai — karena setiap kali manusia membunuh Tuhan, ia menemukan cara baru untuk memanggil-Nya kembali.

     Barangkali kesadaran sedang berevolusi, bukan menuju akhir, tapi menuju bentuk keberadaan baru: manusia yang tak lagi mencari Tuhan di luar, tapi juga tidak mengklaim diri sebagai Tuhan. Manusia yang memahami bahwa makna bukan sesuatu yang ditemukan atau diciptakan, melainkan dihidupi.

Itulah manusia yang sedang lahir di bawah bayangan panjang itu — manusia yang tidak lagi mengaku tahu segalanya, tapi juga tidak tunduk pada apa pun.
Yang berjalan di antara puing-puing iman dan algoritma, menyadari bahwa barangkali,
yang disebut Tuhan, adalah kesadaran itu sendiri — yang terus berusaha memahami dirinya,
melalui manusia.


bagian pertama

Manusia tak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar dari dirinya, tapi setiap kali ia menciptakan yang lebih besar itu, ia berakhir menjadi budaknya

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.