Articles by "Pada Suatu Waktu"

Tampilkan postingan dengan label Pada Suatu Waktu. Tampilkan semua postingan

     Menikmati secangkir kopi di puncak gunung, di tengah hutan tropis yang berkabut, sepertinya lebih dari sekadar ritual. Itu adalah meditasi, sebuah perayaan kecil untuk hidup yang sederhana tetapi penuh makna. Dalam setiap seduhan kopi tubruk, ada cerita yang melekat pada butiran bubuknya, pada air panas yang membawanya hidup, dan pada aroma yang menyebar seperti mantra, membawa kehangatan ke dalam jiwa yang mungkin sudah lelah oleh dingin dan lelah perjalanan. Kopi tubruk bukan hanya minuman; ia adalah esensi dari pengalaman mendaki. Sebuah pengingat bahwa hal-hal sederhana, ketika diberi ruang dan waktu, bisa menjadi bagian paling berharga dari sebuah perjalanan.

     Memilih kopi tubruk daripada kopi instan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang prinsip. Setiap bubuk kopi yang larut perlahan dalam air panas mencerminkan perjalanan yang dilalui untuk mencapainya: biji kopi yang dipanen, dipanggang, dan digiling. Setiap langkah dalam proses itu seolah menyampaikan pesan tentang penghargaan kepada alam, kepada waktu, kepada usaha manusia. Ketika dicampur dengan jahe dan sejumput merica, rasa kopi tidak hanya menjadi lebih kompleks, tetapi juga lebih intim. Kehangatannya menyatu dengan tubuh, melawan dinginnya udara pegunungan yang sering kali menyelinap hingga ke tulang. Ini bukan sekadar upaya menyesuaikan diri dengan cuaca; ini adalah cara menyatu dengan elemen, memahami bagaimana alam dan tubuh saling berbicara melalui rasa.

     Dan ada gula aren. Ah, gula aren! Manisnya berbeda. Bukan sekadar rasa manis yang mendominasi, tetapi sebuah manis yang lembut, menyentuh, mengingatkan pada akar tradisi, pada tangan-tangan yang memprosesnya tanpa mesin, tanpa formula kimia. Mungkin itulah mengapa rasa manisnya terasa lebih jujur. Di gunung, di mana segala sesuatu menjadi lebih mentah dan nyata, gula aren membawa sedikit sentuhan rumah, sedikit pengingat bahwa bahkan di tempat yang jauh dari peradaban, ada benang yang menghubungkan.

     Namun, ritual ini juga lebih dalam dari sekadar rasa atau teknik. Tidak membawa alkohol ke dalam pendakian adalah sebuah sikap yang jelas, sebuah prinsip yang menandai penghormatan kepada aktivitas mendaki itu sendiri. Gunung bukanlah tempat untuk kehilangan kesadaran, tetapi tempat untuk menemukannya. Ini adalah ruang di mana batas antara manusia dan alam menjadi kabur, di mana setiap langkah dan setiap tarikan napas mempertegas kesadaran akan kehidupan. Kopi, dalam kerangka itu, adalah teman yang sempurna—hadir tanpa membuat mabuk, memberi energi tanpa mengambil kendali. Ia tidak mengganggu keseimbangan, tetapi mempertegasnya.

     Ada sesuatu yang magis ketika meminum kopi di gunung. Aroma kopi bercampur dengan udara segar, kabut tipis, dan suara alam menciptakan harmoni yang sulit ditemukan di tempat lain. Setiap tegukan bukan hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga menenangkan pikiran. Dan dalam momen itu, seseorang mungkin merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, lebih hadir dalam hidupnya. Kopi di gunung menjadi lebih dari sekadar minuman; ia adalah penghubung antara manusia, alam, dan tradisi.

     Di ketinggian, ketika dunia di bawah terbungkus lapisan awan, rasa yang hadir bukan sekadar dingin menusuk kulit. Ada keheningan yang berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang bersedia mendengar. Pernah suatu waktu, di tempat yang jauh dari peradaban, rasa itu berubah menjadi firasat yang sulit dijelaskan. Getaran halus yang mengalir seperti pesan dari kosmos, memberi tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Pada malam itu, dalam bayang-bayang hutan yang gelap, ada keyakinan yang tumbuh, meski sulit diterima akal, bahwa seorang teman sedang berada di ujung perjalanan hidupnya.

     Pagi harinya, tubuhnya ditemukan, tergantung pada secuil harapan terakhir: sebatang pohon kecil yang menjadi pelindung dari jurang tak berdasar. Saat itu, kesedihan dan geram berpadu menjadi satu. Kehilangan adalah luka yang tak terhindarkan, tapi ketidakberdayaan menambah perihnya. Di antara pepohonan yang diam dan tanah yang basah, muncul pertanyaan yang terus menggema: apakah ini adalah kehendak alam, atau sekadar bukti bahwa manusia selalu kecil di hadapan kosmos?

     Rousseau pernah berkata bahwa manusia modern telah jauh dari alam, kehilangan harmoni dengan sumber kehidupannya. Di sini, di gunung yang tak peduli pada hierarki sosial atau kehebatan teknologi, kenyataan itu terasa begitu gamblang. Alam bukan hanya tempat untuk melarikan diri dari kebisingan kota, tetapi juga cermin yang memaksa untuk melihat keterbatasan dan ketidaksempurnaan diri. Ketika teman itu tergeletak dalam damainya yang terakhir, ada pelajaran yang diberikan oleh alam: hidup adalah keberanian untuk menghadapi risiko, meski tak ada jaminan hasil yang diinginkan.

     Mendaki gunung adalah perjalanan menuju hakikat. Bukan sekadar menaklukkan puncak, melainkan menemukan apa yang tersembunyi di dalam diri. Seperti dalam pengalaman lain, ketika makanan terakhir tercecer dari genggaman, ada keharusan untuk memungutnya kembali dari rerumputan, satu butir demi satu butir. Tindakan kecil ini, sederhana tapi penuh makna, menjadi simbol penghormatan pada kehidupan. Thoreau, dalam keheningan Walden-nya, mengajarkan pentingnya menghargai yang kecil dan sederhana. Di gunung, ajaran itu hidup, mengingatkan bahwa di balik kemewahan kota, terdapat dunia di mana setiap butir nasi adalah berkat yang tak boleh disia-siakan.

     Namun, gunung bukan hanya tentang keheningan dan renungan. Ia juga tentang tantangan yang memaksa untuk berpikir dan bertindak. Malam itu, saat sungai berarus deras menghadang perjalanan, keputusan harus diambil. Melanjutkan dengan risiko besar atau mencari jalan lain yang lebih panjang dan melelahkan. Heidegger mungkin akan menyebut momen ini sebagai ujian keberadaan. Di hadapan alam yang acuh, manusia dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apa artinya menjadi? Ketika kaki terus melangkah melewati bukit-bukit dalam gelap malam, rasa takut dan harapan bercampur menjadi satu, membawa kesadaran bahwa hidup adalah gerakan, pilihan, dan tanggung jawab.

     Di ketinggian gunung, Nietzsche menemukan metafora untuk kehidupan. Gunung, dengan puncaknya yang menjulang, adalah simbol dari tujuan tertinggi, yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani menanggung kesulitan. Pendakian adalah perlawanan terhadap gravitasi, baik fisik maupun mental. Ketika tubuh lelah dan napas terasa berat, semangat untuk terus maju menjadi bukti bahwa manusia, meski rapuh, memiliki kekuatan untuk melampaui dirinya sendiri. Dalam setiap langkah, ada pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah ketenangan di dasar lembah, melainkan perjuangan menuju puncak.

     Ada yang mengatakan bahwa gunung adalah tempat di mana manusia mendekat kepada yang ilahi. Bagi sebagian orang, firasat yang datang malam itu mungkin adalah bentuk kepekaan terhadap kosmos, sebuah bahasa yang tak bisa dipahami semua orang. Alam, dengan segala keheningannya, berbicara dalam frekuensi yang hanya dapat didengar oleh mereka yang mau menyelaraskan diri. Kesadaran kosmik ini adalah pengingat bahwa manusia bukanlah penguasa, melainkan bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.

     Setiap pendakian adalah cerita tentang keberanian, kerendahan hati, dan refleksi. Di gunung, waktu bergerak lebih lambat, memberikan ruang untuk merenung. Apakah kehilangan itu mengajarkan arti kehadiran? Apakah kesederhanaan memberi pemahaman tentang kelimpahan? Apakah setiap langkah menuju puncak adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia?

     Barangkali di sinilah letak keindahan sejati dari mendaki gunung—bahwa ia tidak pernah memberikan jawaban pasti, hanya menawarkan ruang untuk pertanyaan, refleksi, dan mungkin, jika kita beruntung, sedikit kebijaksanaan. Dalam diamnya, gunung mengajarkan tentang hidup yang menerima ketidakpastian dengan keberanian dan rasa syukur.

     Mendaki gunung adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar berakhir, karena puncak yang sebenarnya bukanlah tempat fisik, melainkan sesuatu yang terus kita cari di dalam diri kita sendiri. Di sana, di tempat di mana langit dan bumi bertemu, manusia belajar bahwa hidup adalah perpaduan antara kehilangan dan harapan, kesederhanaan dan perjuangan, kesedihan dan kebahagiaan. Gunung adalah guru, sahabat, dan cermin yang tak pernah bosan mengingatkan bahwa di balik segala kerumitan, hidup ini adalah anugerah yang harus dijalani sepenuh hati.

     Di negeri yang membangun peradabannya di atas sketsa kontradiksi, rambut panjang bukan sekadar urusan estetika, melainkan simbol yang menandakan afiliasi, resistensi, bahkan—dalam kadar tertentu—sebuah bentuk perlawanan laten terhadap hegemoni yang terlalu rajin menata ketertiban. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar helaian rambut yang memanjang dari tengkuk, sesuatu yang sering kali gagal dibaca oleh mereka yang terlalu sibuk merapikan belahan rambut agar tampak selaras dengan sistem.

     "Semua orang pernah muda, tetapi tidak semua orang pernah gondrong." Kalimat ini lebih dari sekadar pengingat bahwa usia bergerak linier. Ia adalah penghormatan bagi mereka yang, dengan segala risiko sosial, institusional, dan mungkin bahkan biologis (dengan kehadiran aparat yang siap memangkas kebebasan individu dalam arti harfiah dan metaforis), memilih untuk menumbuhkan mahkota kebebasan mereka di zaman ketika keseragaman adalah kebajikan yang dipaksakan.

     Di era Orde Baru, rambut gondrong bukan sekadar mode, tetapi pernyataan. Rambut panjang adalah bendera yang berkibar, menandakan afiliasi dengan pemikiran bebas, penolakan terhadap dogma, serta keengganan untuk menjadi bagian dari mesin yang bergerak dalam barisan rapi. Pemerintah, dengan paranoia khas rezim totaliter, melihat rambut panjang sebagai ancaman yang harus dijinakkan. Potongan rambut rapi bukan hanya aturan tak tertulis, tetapi menjadi ukuran kepatuhan. Kala itu, selembar surat teguran atau gunting aparat lebih tajam daripada argumen akademik.

     Namun, keberanian untuk gondrong tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh di tengah atmosfer intelektual yang bergolak. Kampus menjadi arena di mana pemuda belajar membangun kesadaran kritis, meski sering kali sadar bahwa di luar pagar akademia, dunia menuntut mereka untuk menundukkan kepala dan mencukur pendek mimpi-mimpi liar mereka. Rambut gondrong menjadi perpanjangan dari sikap politik dan idealisme. Seorang mahasiswa dengan rambut panjang bukan hanya sekadar mengikuti tren ala Jim Morrison atau Che Guevara, tetapi menyatakan diri sebagai oposisi diam-diam terhadap sistem yang mendewakan keteraturan.

     Hanya saja, seiring waktu, simbol-simbol berubah bentuk dan makna. Jika dulu rambut gondrong adalah identitas intelektual yang menolak tunduk pada arus utama, hari ini ia mungkin hanya sekadar fashion statement yang kehilangan daya gigitnya. Kampus yang dulu menjadi ruang perlawanan kini lebih sering menjadi pusat produksi tenaga kerja yang siap diserap pasar. Idealnya, mahasiswa adalah lokomotif perubahan, tetapi realitasnya, banyak yang tak lebih dari penumpang kereta yang bersiap turun di halte pertama yang menawarkan kenyamanan finansial.

     Yang lebih tragis adalah ketika mereka yang dulu menjunjung rambut gondrong sebagai lambang perlawanan, kini dengan bangga memamerkan kisah negosiasi nilai akademik yang suram. Mereka yang dulu berorasi tentang keadilan sosial kini mengenang masa-masa mengemis kelulusan kepada dosen sebagai anekdot humor, seakan perjuangan mereka dulu tak lebih dari permainan retorika belaka. Label "mantan aktivis" pun lahir sebagai stempel yang ironis—sebuah pengingat bahwa idealisme yang dulu diagung-agungkan bisa layu dan bertransformasi menjadi kompromi dengan kenyataan.

     Indonesia memang piawai menciptakan absurditas. Di satu sisi, kita mengagumi kisah pemberontakan, tetapi di sisi lain, kita juga menertawakannya begitu idealisme mulai layu oleh pragmatisme. Mereka yang pernah menggondrongkan rambutnya sebagai bentuk perlawanan kini dengan fasih berbicara tentang pentingnya "menyesuaikan diri" dengan sistem. Narasi kemenangan akhirnya ditentukan bukan oleh siapa yang tetap teguh pada prinsipnya, tetapi oleh siapa yang bisa beradaptasi paling cepat dalam ekosistem yang selalu berubah.

     Maka, jika ada yang bertanya apakah semua orang muda pernah gondrong, jawabannya bukan sekadar soal panjang rambut. Ini adalah pertanyaan tentang keberanian untuk berbeda, tentang sejauh mana seseorang berani berdiri di luar garis yang telah ditentukan, tentang pilihan untuk tidak sekadar menjadi bagian dari latar belakang sejarah yang membosankan. Saya bukan mantan aktivis, karena perlawanan bukan sesuatu yang memiliki tanggal kedaluwarsa. Saya tetap menumbuhkan rambut, baik dalam bentuk ide maupun sikap, meski dunia terus berusaha menawarkan gunting dan sisir kepatuhan.

      La Divina Commedia (Komedi Ilahi) adalah sebuah puisi epik karya Dante Alighieri, yang ditulis antara tahun 1308 dan 1321, menjelang akhir hidupnya. Puisi ini dianggap sebagai salah satu karya sastra terbesar dalam sejarah Barat dan sering dipuji karena kompleksitas dan kedalaman alegorinya yang membahas tentang dosa, penyucian, dan keselamatan.

     Tentang Dante Alighieri: Dante Alighieri lahir di Florence, Italia, sekitar tahun 1265, dalam sebuah keluarga yang memiliki hubungan baik dalam politik Florence. Selama hidupnya, Dante aktif dalam urusan politik, tetapi Florence pada saat itu sangat bergejolak dengan konflik antara dua faksi politik: Guelf dan Ghibelline. Dante berpihak pada Guelf Putih, yang mendukung otonomi kota dari pengaruh Paus. Akibat konflik ini, Dante diasingkan dari Florence pada 1302 dan tidak pernah kembali ke kampung halamannya. Pengasingan ini membuatnya tinggal di berbagai kota di Italia, seperti Verona dan Ravenna, dan pengalaman ini sangat memengaruhi pandangan hidupnya.

     Dante adalah seorang penyair, filsuf, dan pemikir yang memiliki ketertarikan pada politik, agama, dan filsafat. Pengasingannya mendorongnya menulis La Divina Commedia, yang menjadi ekspresi pandangan spiritual dan sosialnya, sekaligus kritik tajam terhadap kebobrokan politik dan moral pada masanya. Melalui karya ini, Dante berharap memberikan panduan moral kepada umat manusia, sekaligus merumuskan pengalamannya sendiri sebagai jiwa yang “terbuang” dan mencari jalan menuju pencerahan spiritual.


     Karya La Divina Commedia terbagi menjadi tiga bagian utama atau ("cantos"): Inferno (Neraka), Purgatorio (Api Penyucian), dan Paradiso (Surga). Setiap bagian menceritakan perjalanan Dante melalui tiga alam ini, yang masing-masing menjadi simbol tentang tahap kehidupan manusia.

1. Inferno (Neraka): Dalam bagian ini, Dante, yang menjadi protagonis dalam karyanya, dipandu oleh penyair Romawi, Virgil, untuk melakukan perjalanan melalui sembilan lingkaran neraka. Setiap lingkaran didedikasikan untuk jenis dosa tertentu, dari dosa ringan hingga dosa paling berat, dengan penderitaan yang sesuai dengan dosa masing-masing. Misalnya, di lingkaran pertama terdapat orang-orang yang tidak percaya, sementara di lingkaran kesembilan terdapat pengkhianat yang menderita paling parah. Inferno tidak hanya menggambarkan siksa neraka, tetapi juga kritikan Dante terhadap tokoh-tokoh sejarah dan politisi yang dia anggap penuh dosa. Dengan menggambarkan neraka secara detail, Dante memberikan peringatan moral tentang konsekuensi dari perbuatan manusia.

2. Purgatorio (Api Penyucian): Setelah melewati neraka, Dante dan Virgil sampai di gunung api penyucian. Di sini, jiwa-jiwa yang berdosa menjalani penyucian, yang lebih lembut daripada di neraka tetapi tetap melibatkan penderitaan. Jiwa-jiwa ini berusaha membersihkan diri dari dosa-dosa mereka untuk mempersiapkan diri menuju surga. Api penyucian dibagi menjadi tujuh tingkat, sesuai dengan tujuh dosa utama (kesombongan, iri hati, murka, kemalasan, keserakahan, kerakusan, dan nafsu). Dalam Purgatorio, Dante menekankan tentang pentingnya penebusan dan perubahan batin untuk mencapai kebahagiaan sejati. Bagian ini melambangkan harapan, karena jiwa-jiwa di api penyucian memiliki peluang untuk diselamatkan.

3. Paradiso (Surga): Di bagian akhir ini, Dante dipandu oleh Beatrice, wanita yang ia cintai dan simbol kemurnian spiritual. Beatrice membimbingnya melalui sembilan lingkaran surga, yang semakin dekat dengan Tuhan di lingkaran tertinggi. Setiap lingkaran dihuni oleh jiwa-jiwa yang memiliki kebajikan tertentu, seperti iman, harapan, dan kasih. Dante akhirnya mencapai Empyrean, tempat Tuhan berada, dan memperoleh pencerahan sempurna. Paradiso melambangkan kesatuan dan kebahagiaan tertinggi, di mana jiwa-jiwa hidup dalam harmoni dengan Tuhan. Dalam bagian ini, Dante menggambarkan surga sebagai tempat keindahan dan kebahagiaan yang tidak terlukiskan, yang menjadi puncak dari perjalanan spiritualnya.

     La Divina Commedia tidak hanya merupakan cerita tentang kehidupan setelah mati, tetapi juga sebuah alegori kompleks tentang perjalanan spiritual manusia dari dosa menuju keselamatan. Inferno melambangkan kondisi manusia yang terperangkap dalam dosa; Purgatorio menggambarkan proses penebusan dan harapan; sementara Paradiso menunjukkan kesatuan yang sempurna dengan Tuhan.

     Dante juga menjadikan La Divina Commedia sebagai kritik sosial. Melalui berbagai tokoh yang ia temui dalam perjalanan ini, ia menyindir para tokoh terkenal, pemimpin gereja, dan pejabat politik yang dianggapnya penuh dosa. Dante menuliskan karya ini dalam bahasa Italia, bukan Latin, yang menjadikannya sebagai salah satu teks pertama dalam bahasa Italia dan membantu mendirikan bahasa Italia modern.

     La Divina Commedia memiliki dampak besar dalam sastra dan filsafat Barat, menginspirasi banyak karya seni, literatur, dan pemikiran dari masa Renaissance hingga hari ini. Karya ini mengajarkan tentang konsekuensi dosa, nilai dari penebusan, dan kebahagiaan yang dijanjikan dalam kehidupan yang penuh kebajikan. Dante sendiri dikenang sebagai "Bapak Bahasa Italia" karena kontribusinya dalam mengembangkan bahasa Italia tertulis dan dalam membawa nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan sosial melalui karya agung ini.

     Kepunahan massal adalah peristiwa dramatis dalam sejarah Bumi yang menyebabkan hilangnya banyak spesies secara bersamaan. Dalam skala waktu geologi yang sangat luas, kita melihat lima peristiwa utama yang menciptakan titik balik dalam evolusi kehidupan. Mari kita telusuri setiap kepunahan, diberi penanda penting dalam istilah geologi.
 

1. Kepunahan Ordovisium-Silur, yang terjadi sekitar 443 juta tahun yang lalu, menandai akhir dari periode Ordovisium dan merupakan salah satu peristiwa kepunahan terbesar dalam sejarah Bumi. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya sekitar 85% spesies laut yang ada pada waktu itu, menjadikannya salah satu kepunahan paling signifikan dalam sejarah kehidupan di planet kita.

     Pada masa ini, kehidupan sebagian besar terkonsentrasi di lautan, dengan banyak spesies invertebrata seperti trilobit, brachiopoda, dan graptolit yang mendominasi ekosistem laut. Namun, menjelang akhir Ordovisium, planet ini mengalami perubahan lingkungan yang dramatis yang menyebabkan kepunahan massal tersebut.

     Salah satu penyebab utama kepunahan Ordovisium-Silur kemungkinan besar adalah penurunan drastis permukaan laut yang diakibatkan oleh pembekuan es besar-besaran. Saat benua-benua masa kini berada di dekat kutub selatan, kondisi iklim menyebabkan pembentukan lapisan es yang luas. Proses ini mengurung sejumlah besar air dalam bentuk es, mengakibatkan penurunan signifikan permukaan laut.

     Penurunan permukaan laut ini memiliki dampak yang dahsyat pada habitat laut, mengakibatkan hilangnya wilayah-wilayah dangkal tempat banyak organisme hidup. Ketika wilayah-wilayah ini mengering, banyak spesies kehilangan habitat mereka dan tidak mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat. Perubahan drastis dalam kimia air laut dan suhu juga menambah tekanan pada organisme-organisme tersebut.

     Dalam istilah geologi, kepunahan Ordovisium-Silur ditandai dengan batas Ordovisium-Silur. Batas ini menunjukkan perubahan besar dalam endapan laut yang dapat diamati di berbagai lokasi di seluruh dunia. Lapisan-lapisan batuan dari periode ini menunjukkan tanda-tanda perubahan lingkungan yang drastis, seperti variasi dalam komposisi fosil dan struktur sedimen. Kehadiran isotop oksigen dalam endapan ini juga memberikan petunjuk tentang perubahan suhu dan iklim yang menyertai peristiwa tersebut.

2. Kepunahan Devon Akhir, yang terjadi sekitar 359 juta tahun yang lalu, mengakibatkan hilangnya sekitar 75% spesies yang ada pada waktu itu, mencakup berbagai organisme laut dan darat. Devon adalah periode yang terkenal dengan "Zaman Ikan", di mana ikan berrahang pertama kali mendominasi lautan, sementara tanaman darat dan serangga juga mulai berkembang pesat.

     Penyebab utama kepunahan Devon Akhir kemungkinan besar adalah kombinasi dari beberapa faktor lingkungan yang ekstrem. Salah satunya adalah perubahan iklim yang mendadak, yang bisa disebabkan oleh perubahan besar dalam siklus karbon dioksida. Fluktuasi dalam kadar CO₂ atmosfer bisa memicu perubahan iklim global, yang berdampak pada habitat laut dan darat.

     Selain itu, letusan vulkanik besar-besaran mungkin telah melepaskan sejumlah besar debu dan gas ke atmosfer, menyebabkan penurunan suhu global dan perubahan kimia air laut. Letusan ini juga dapat menyebabkan hujan asam yang merusak lingkungan darat dan laut. Efek gabungan dari pendinginan global dan perubahan kimia air laut kemungkinan besar menekan banyak organisme, menyebabkan stres lingkungan yang parah.

     Penurunan kadar oksigen di laut, atau anoksia laut, juga diyakini berperan penting dalam kepunahan ini. Ketika laut mengalami stagnasi, yaitu ketika sirkulasi air melambat atau terhenti, kadar oksigen di dalam air bisa menurun drastis. Organisme yang hidup di laut dangkal, seperti terumbu karang dan ikan, sangat rentan terhadap kondisi anoksik ini. Penurunan kadar oksigen akan menghambat metabolisme organisme laut dan akhirnya menyebabkan kematian massal.

     Dalam rekaman geologi, kepunahan Devon Akhir ditandai oleh lapisan endapan yang menunjukkan tanda-tanda stagnasi air laut. Lapisan sedimen ini sering menunjukkan perubahan dalam komposisi mineral dan inklusi dari fosil-fosil yang mengalami stres lingkungan. Fosil-fosil ini memberikan bukti bahwa organisme pada masa itu harus bertahan dalam kondisi lingkungan yang keras sebelum akhirnya banyak dari mereka punah.
 

3. Kepunahan Perm-Trias, yang terjadi sekitar 252 juta tahun yang lalu di akhir periode Perm,  sekitar 96% spesies laut dan 70% spesies darat punah, menjadikannya kepunahan yang sangat signifikan dan merusak ekosistem global.

     Faktor penyebab utama kepunahan Perm-Trias mencakup beberapa perubahan lingkungan yang ekstrem dan peristiwa geologis besar. Salah satu penyebab utama yang sering disebut adalah aktivitas vulkanik besar-besaran di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Siberia. Letusan vulkanik ini, yang dikenal sebagai Siberian Traps, melepaskan sejumlah besar lava dan gas ke atmosfer, termasuk karbon dioksida (CO₂) dan belerang dioksida (SO₂). Gas-gas ini menyebabkan pemanasan global yang ekstrem dan hujan asam, yang merusak ekosistem darat dan laut.

     Perubahan iklim ekstrem yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik ini juga memainkan peran penting dalam kepunahan. Peningkatan kadar CO₂ di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca yang memperburuk suhu global, sementara SO₂ di atmosfer menyebabkan hujan asam yang merusak tumbuhan dan ekosistem. Dampak gabungan dari pemanasan global dan hujan asam ini menciptakan kondisi lingkungan yang sangat keras, yang tidak dapat diadaptasi oleh banyak spesies.

     Selain itu, kondisi anoksia laut (kekurangan oksigen) juga merupakan faktor kunci dalam kepunahan Perm-Trias. Aktivitas vulkanik dan perubahan iklim menyebabkan stagnasi dalam sirkulasi air laut, yang mengurangi oksigen yang larut dalam air. Anoksia laut ini mengakibatkan kematian massal bagi organisme laut yang bergantung pada oksigen untuk bertahan hidup, termasuk terumbu karang, moluska, dan berbagai spesies ikan. Organisme yang tinggal di laut dangkal, yang paling rentan terhadap perubahan kadar oksigen, mengalami dampak yang paling parah.

     Secara geologi, kepunahan Perm-Trias dikenal sebagai batas Perm-Trias. Batas ini dapat diidentifikasi dalam lapisan-lapisan batuan di seluruh dunia dan ditandai oleh perubahan dramatis dalam komposisi fosil dan endapan sedimen. Lapisan-lapisan ini menunjukkan penurunan tiba-tiba dalam keberagaman fosil dan adanya lapisan abu vulkanik yang tebal, yang menjadi saksi bisu dari aktivitas vulkanik besar-besaran pada masa itu.

     Batas Perm-Trias juga menunjukkan perubahan besar dalam kimia batuan, termasuk peningkatan signifikan dalam isotop karbon yang menunjukkan fluktuasi besar dalam siklus karbon global. Data isotop ini memberikan bukti bahwa perubahan iklim dan kondisi lingkungan selama periode ini sangat ekstrem dan berdampak besar pada kehidupan di Bumi.
 

4. Kepunahan Trias-Jura, yang terjadi sekitar 201 juta tahun yang lalu di akhir periode Trias, mengakibatkan hilangnya sekitar 80% spesies yang ada pada waktu itu, termasuk banyak spesies reptil besar dan organisme laut. Kepunahan ini menciptakan landasan bagi dinosaurus untuk mendominasi ekosistem darat selama periode Jura yang mengikuti.

     Faktor penyebab utama kepunahan Trias-Jura kemungkinan besar melibatkan aktivitas vulkanik yang intens dari Pematang Tengah Atlantik. Pematang Tengah Atlantik adalah zona rift di tengah Samudera Atlantik di mana lempeng tektonik saling menjauh, menciptakan letusan vulkanik yang masif. Letusan ini melepaskan sejumlah besar gas ke atmosfer, termasuk karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄), yang menyebabkan peningkatan signifikan dalam efek rumah kaca dan pemanasan global.

     Perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik ini berkontribusi pada kepunahan massal dengan menciptakan kondisi lingkungan yang sangat tidak stabil. Suhu global yang meningkat menyebabkan perubahan besar dalam habitat yang ada, merusak ekosistem darat dan laut. Selain itu, pelepasan gas vulkanik juga dapat menyebabkan hujan asam, yang lebih lanjut merusak tumbuhan dan organisme laut.

     Dalam rekaman geologi, kepunahan Trias-Jura ditandai dengan batas Trias-Jura. Batas ini dapat dilihat dalam lapisan-lapisan sedimen yang menunjukkan perubahan besar dalam jenis fosil dan endapan. Lapisan ini menunjukkan hilangnya tiba-tiba banyak spesies dan perubahan dalam komposisi fosil yang menandakan adanya stres lingkungan. Perubahan besar dalam endapan sedimen juga menunjukkan adanya gangguan lingkungan yang signifikan, seperti perubahan dalam kimia air laut dan struktur sedimen.

     Batas Trias-Jura juga menunjukkan adanya peningkatan dalam isotop karbon yang mencerminkan perubahan dalam siklus karbon global. Data isotop ini memberikan bukti bahwa perubahan lingkungan yang terjadi selama periode ini sangat ekstrem dan berdampak besar pada kehidupan di Bumi. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana aktivitas geologis yang intens dapat menyebabkan perubahan besar dalam ekosistem global dan memicu kepunahan massal.

5. Kepunahan Kapur-Paleogen, yang terjadi sekitar 66 juta tahun yang lalu, mungkin adalah peristiwa kepunahan massal paling terkenal dalam sejarah Bumi karena mengakhiri era dinosaurus. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya sekitar 75% spesies di Bumi, termasuk banyak spesies yang mendominasi daratan dan lautan. Kepunahan ini menciptakan perubahan besar dalam ekosistem global dan membuka jalan bagi evolusi mamalia dan akhirnya manusia.

     Penyebab utama kepunahan Kapur-Paleogen adalah tumbukan asteroid besar yang menciptakan kawah Chicxulub di Yucatán, Meksiko. Tumbukan ini melepaskan energi yang sangat besar, setara dengan miliaran bom atom, yang menyebabkan kebakaran hutan global, gelombang tsunami, dan pelepasan partikel debu dan gas ke atmosfer. Partikel-partikel ini menghalangi sinar matahari, menyebabkan penurunan suhu global yang drastis, dan memicu efek rumah kaca yang signifikan.

     Akibat dari tumbukan ini adalah gangguan besar dalam rantai makanan. Tanaman tidak dapat melakukan fotosintesis karena kurangnya sinar matahari, yang menyebabkan keruntuhan ekosistem darat dan laut. Banyak spesies dinosaurus, baik karnivora maupun herbivora, tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat ini. Selain itu, hewan-hewan kecil yang bergantung pada tumbuhan dan hewan lainnya juga terdampak parah.

     Selain tumbukan asteroid, aktivitas vulkanik di Deccan Traps, India, juga berperan dalam kepunahan ini. Letusan vulkanik ini melepaskan sejumlah besar gas seperti belerang dioksida (SO₂) dan karbon dioksida (CO₂) ke atmosfer. Gas-gas ini berkontribusi pada hujan asam dan pemanasan global, yang lebih lanjut merusak lingkungan darat dan laut. Kombinasi dari tumbukan asteroid dan aktivitas vulkanik menciptakan kondisi lingkungan yang sangat tidak stabil dan tidak bersahabat bagi banyak spesies.

     Dalam rekaman geologi, batas geologi ini dikenal sebagai batas Kapur-Paleogen (K-Pg), yang sebelumnya disebut batas Kapur-Tersier (K-T). Batas ini ditandai dengan lapisan tipis iridium yang sangat tinggi dibandingkan dengan lapisan batuan di sekitarnya. Iridium adalah unsur yang jarang ditemukan di kerak bumi tetapi umum di meteorit, memberikan bukti kuat tentang tumbukan asteroid. Selain itu, perubahan mendadak dalam fosil plankton juga menjadi indikator penting dari kepunahan ini. Di bawah batas K-Pg, fosil plankton menunjukkan keanekaragaman yang tinggi, tetapi di atas batas ini, keanekaragaman fosil plankton menurun tajam.

     Dengan memahami kepunahan massal ini, kita dapat melihat bagaimana perubahan besar dalam lingkungan Bumi dapat memicu transformasi dramatis dalam evolusi kehidupan. Setiap peristiwa kepunahan membuka jalan bagi munculnya spesies baru dan mengatur panggung bagi evolusi berikutnya, menunjukkan ketahanan dan adaptasi kehidupan di planet kita.

 

Rujukan:

George R. McGhee, The Late Devonian mass extinction: the Frasnian/Famennian crisis (1996). Columbia University Press

T.J. Algeo, "Terrestrial-marine teleconnections in the Devonian: links between the evolution of land plants, weathering processes, and marine anoxic events" (1998)

Michael J. Benton, When Life Nearly Died: The Greatest Mass Extinction of All Time (2003). Thames & Hudson.

Douglas H. Erwin, Extinction: How Life on Earth Nearly Ended 250 Million Years Ago (2006). Princeton University Press.

Peter D. Ward dan Joe Kirschvink, A New History of Life: The Radical New Discoveries about the Origins and Evolution of Life on Earth (2015). Bloomsbury Publishing.

Robert M. DeConto dan David Pollard, "The Role of CO2 and Ocean Acidification in the End-Cretaceous Extinction" (2003). Science.

     Menjelang 2016 berakhir, saya tiba-tiba dihubungi oleh Ucup, tentang rencana reuni dengan teman-teman semasa sekolah dasar dulu. Sekolah Dasar Negeri Pembangunan I Bawakaraeng dimana Ucup dan saya bersekolah dulu. Sekolah yang masih berdiri tegak hingga saat ini, terletak di jalan G.Bawakaraeng Makassar tepat di hadapan Jalan Terong.
     Niat untuk ngumpul dengan teman-teman semasa SD itu sebenarnya telah lama disampaikan Ucup. Kira-kira sekitar 2012 lalu. Beberapa nama sering disebut-sebutnya, namun di memori saya yang sudah agak rapuh, tidak banyak nama yang mampu muncul dengan segar. Ucup sendiri tidak terlalu detail mendeskripsikan bila ada satu nama yang disebutkannya. Ditambah lagi, aktifitas Ucup yang berpindah dari satu propinsi ke propinsi lain, membuat frekwensi kami bertemu menjadi tidak intensif.
berdiri: Munandar, Muksin, saya, Ucup, Astuti, Khairil dan Muzakkir
duduk: Rosnawati, Rahmawati, Irma, Nuraeni, Marwani, Salma, Vertrani, Maipa dan Fadliah
 
     Sehingga informasi tentang akan segera ngumpulnya kami, yang saya ketahui seminggu sebelumnya, alumni 1977 dari SD Bawakaraeng, menjadi sesuatu yang begitu menggairahkan. Harap-harap cemas tentu saja, jangan sampai tidak mampu segera mengenali teman yang akan ditemui nanti.
     Syukur sekali, di tengah puncak musim penghujan, 12 Desember 2016 kami 16 orang berkumpul di restoran Pualam Makassar. Seperti yang saya kuatirkan sebelumnya, beberapa nama yang sebeanarnya dulu begitu akrab, ketika kami masih sama-sama bocah, sama sekali hilang tertimbun di kedalaman memori saya. Mau bagaimana lagi, saya tidak seberuntung teman-teman lain, yang masih mampu mengingat hampir setiap teman yang ada.
     Sebagai rasa terimakasih, dan rasa-rasa lain yang saling campur aduk di reuni itu, berikut saya dedikasikan sebuah rangkaian gambar sederhana untuk kalian saudara-saudaraku. Banyak kegiatan, kesibukan dan keterbatasan lain yang mungkin saja menghambat kita untuk sering bertemu dan bertemu lagi di masa-masa akan datang. Dan rangkaian gambar-gambar ini semoga bisa menjembatani rasa rindu diantara kita, yang mungkin saja tiba-tiba menyeruak ketika kita berada jauh di rentang jarak dan waktu..
     Very big thanks to all You Guys and Sista.. untuk semua keramahan, keakraban dan kehangatan silaturahmi di saat itu. Saling sabar dalam membantu merajut keping-keping memori yang berserakan entah kemana, diselingi canda segar sedikit usil dan nakal, sungguh merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya, semoga limpahan kesehatan, berkah dan keselamatan selalu menyertaikan kalian.

Updating Extra Notes, April 2017:
     Setelah pertemuan Desember 2016 tersebut, maka pertemuan-pertemuan berikutnya terjadi lagi, antara lain di bulan Februari 2017 yang lalu di Cafe Gigi Jalan Pengayoman Makassar. Berikut rangkaian gambarnya saya buat menjadi video, bisa dilihat di link berikut.
     Beberapa teman yang tidak hadir di Desember 2016, berjumpa di Cafe Gigi tersebut. Mereka antara lain adalah Martini, Ratna Boti, Erna, Maryam, Rohani, Putra, Abdi Rahmat, Makmur, Halwiyah dan Iswati.
belakang: Astuti, Maipa, Rosnawati, Rahmawati, Iswati, Isma, Vetrani, Maryam.
tengah: Ratna, Salmah, Martini, Erna, Marwani, Rohani, Halwiyah
depan: saya, Makmur, Munandar, Abdi dan Putra

     Selanjut di akhir Februari di Clarion Makassar, bertemu lagi, dengan dua wajah baru yaitu Juanda dan Baharuddin. Video berupa rangkaian gambar-gambar ketika bertemu tersebut bisa dilihat di link berikut.
berdiri: Marwani, Maipa, Salmah, Vetrani, Rahwa, Fadliah
depan: Munandar, Baharuddin, Mukhsin, Abdi Rahmat, Juanda, Hero Fitrianto
Afif, Ratna, Vetrani, Maipa, Salmah Hasan, Salmah Syamsuddin, Munandar.
Berkunjung ke kediaman Salmah Hasan bersana new comer dr.Afif.

     Ada semacam rasa rindu yang sebentar lagi hendak terbayarkan, ketika merencanakan untuk kembali menyambangi Gunung Lompobattang. Tidak banyak persiapan yang ruwet, dipilih 1 Juni di tahun 1988 itu menjadi kesepakatan untuk berada di puncak yang pertama kali dikunjungi di tahun 1986 dua tahun sebelumnya. Banyak suka cita, tentu saja selalu menggelorakan setiap rencana perjalanan ke puncak gunung.
     Apalagi di pendakian kali ini, beberapa generasi baru titisan darah-K neranaikan keriuhan yang tercipta. Selain beberapa produk dikdas satu, ada juga beberapa orang simpatisan yang turut meramaikan.
 Afras Pattisahusiwa, Dwi 'Ammy' Rahmiaty, Nevy Tonggiroh, saya sendiri Hero Fitrianto, juga ada Long dan beberapa lainnya simpatisan yang ramanya tidak sempat tertinggal lama di ingatan saya.
 sekitar pos-7 sebelum puncak Lompobattang. Pemandangan yang indah dan sesi foto-foto menjadi alasan untuk sekadar satu dua tarikan  napas yang lebih panjang. 
hehehe.. U know lah What I mean.. :)
 sekitar puncak Gunung Lompobattang.
ada juga As'adi Abdullah, Husnia Asaf, Mappalologau Tantu, Nevy, Long, Hero, Welly Turupadang, Agus Cippe'.
     Ada yang tidak terlupakan di perjalanan ini, bagaimana Agus Cippe' yang dengan susah payah di tarik-tarik dan di paksa-paksa untuk bisa sampai ke puncak. Dan begitu sampai di dekat tugu, langsung duduk berselonjor setengah baring dengan wajah sangat pucat. Saat itu tidak ada yang tahu apa yang dialami oleh Agus. Senda gurau berseliweran ke mana-mana tanpa belas kasihan.
     Setelah perjalanan ini tuntas, beberapa hari setelahnya, Agus menjadi bahan diskusi yang hangat, Dokter yang menangai kasus kesehatan Agus menjadi kaget, Hb Agus melonjak menjadi 11 point, dalam rentang waktu seminggu saja. Rupanya sebelum pendakian itu, Hb Agus hanya 6. Keheranan yang dialami oleh dokter itu menjadi senda gurau, yang mengantarkan tawa sesaat namun menyisakan kegetiran karena tidak mengetahui bagaimana keadaan Agus sebenarnya sebelum ikut mendaki. Nasib baik masih berpihak kepada kita semua.
 gambar atas dengan salah satu peserta yang anggota Menwa Unhas.
Really miss that moment.
bawah dengan Yani Abidin dan Bakhtiar Baso
 tim sweeper di kegiatan ini, Asadi Abdullah, Iwan Amran, Wahyuddin dan saya sendiri Hero Fitrianto. Beruntung tikar daun pandan yang menjadi alas semalam, tidak sempat terekam.
 Pos-9 sebelum puncak Lompobattang. Banyak coretan yang menghiasi ceruk batu itu. Namun, menikmati senja di ceruk yang menghadap ke barat itu sungguh luar biasa. Di cuaca yang indah, lukisan alam seperti gambar di bawah ini menjadi salah satu imbalannya.
      Dan perjalanan itu, tentu saja meninggalkan begitu banyak pelajaran berharga di perjalanan perkembangan Korpala selanjutnya.
Seperti tulisan-tulisan sebelumnya, dengan segala kerendahan hati saya menunggu tambahan kenangan di setiap kita yang sempat bersama di kegiatan itu. Memperkaya kenangan, membantu teman-teman yang lain menikmati dan mensyukuri salah satu momen yang terentang indah di perjalanan hidup ini.

     Semula keberadaan kami berlima di tanah Kajang, hanyalah dalam rangka membantu Wawan untuk merampungkan pengumpulan data lapangan untuk penyelesaian tugas akhirnya. Sebagai mahasiswa geology, maka kewajiban tugas akhir waktu itu adalah melakukan pemetaan di wilayah 81 km persegi. Untuk kepentingan itulah, kami kemudian berkenalan dengan masyarakat Kajang, tempat di mana data-data itu kami kumpulkan. Selama sepuluh hari kami tinggal di rumah Karaeng Liong, salah seorang tokoh Kajang Dalam. Beliau menyandang tugas sebagai Loha Kanang (paha kanan => terjemahan bebas) di dalam struktur kebudayaan masyarakat Kajang Dalam.
     Apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai Loha Kanang, tidak sempat kami kaji lebih jauh. Tidak banyak informasi yang diceritakan oleh Karaeng Liong pada waktu itu. Satu hal yang kami tau pasti, beliau salah satu orang yang mampu melakukan pengobatan dalam tata cara yang unik namun telah mapan di tengah masyarakat Kajang Dalam. Istilah Kajang Dalam sendiri merujuk ke masyarakat Kajang yang masih terisolasi dari pengaruh luar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, waktu itu tahun 1985 tanpa penerangan listrik dan tanpa perlengkapan teknologi sama sekali. Bercocok tanam padi dilakukan sekali dalam setahun, mengikuti ritme musim hujan-kemarau.
Amma Toa di Kajang, Puto Cacong, tahun 1985. Beliau adalah Amma terakhir yang terpilih melalui proses seleksi alam yang rumit penuh nuansa sakral dan mistis. Sepeninggal beliau wafat, sempat terjadi kekosongan posisi Amma Toa (pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang) untuk beberapa waktu. Proses alamiah yang ditunggu masyarakat adat tidak kunjung membuahkan hasil, tidak ada penentuan siapa yang mendapatkan petunjuk wahyu dari langit untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di masyarakat Kajang yang masih original.
 bercengkerama dengan keluarga Karaeng Liong.
     Sementara tempat kami bermalam ini, berada di Kajang Luar. Masyarakat sudah lebih bebas, berpakaian pun sudah tidak terikat harus berwarna hitam. Teknologi dan pendidikan sudah berkembang, terlihat dengan banyaknya anak-anak beraktifikas ke sekolah dan mengerjakan tugar-tugas yang diberikan oleh gurunya. Lalu mengapa Karaeng Liong yang memegang jabatan budaya di Kajang dalam malah tinggal di Kalimporo yang berada di Kajang luar? Menarik fenomena itu, ternyata beliau mau lebih berkembang, bisa menyekolahkan anak-anaknya, yang semuanya itu tidak bisa dilakukan bila tetap tinggal di Kajang dalam.
     Maka di kemudian hari, di saat sekarang ini, anak-anak beliau sudah bisa mengecap buah pendidikan yang mereka semai dahulu. Kualitas kehidupan, pendidikan dan ekonomi yang mapan telah mereka nikmati sekarang ini.
     Untuk menjangkau lokasi Kajang Dalam waktu itu, dari Kalimporo kami biasanya menempuh hutan larangan. Selama satu setengah jamberjalan kaki untuk sampai ke jantung Kajang Dalam. Hutan larangan yang tentu saja menyiratkan aroma mistis, sekaligus mewariskan kearifan yang begitu luhur. Salah satu pesan terpenting ketika hendak melintasi hutan itu adalah, tidak boleh sembarangan memetik atau menebas pepohonan di dalam hutan. Selain itu harus tetap menjaga hati untuk selalu bersahaja, tidak boleh congkak dan angkuh. Suatu perilaku yang dikemudian hari diketahui sebagai kearifan yang luar biasa di dalam melestarikan hutan yang ada di Kajang.
 beliau masih begitu bugar di tahun 1985.
bersama Yustin Kamah, Sulaeman Kamaruddin, Wawan Said dan saya sendiri Hero Fitrianto 
     Kembali ke masalah kemampuan Karaeng Liong dalam ritual penyembuhan yang yang diyakininya, saya sendiri mempunyai kenangan yang tidak terlupakan. Di waktu itu, saya mengalami sedikit gangguan di jantung. Akibat over training sewaktu masih SMA, jantung saya mengalami sedikit ketidak normalan fungsi. Nyeri kadang muncul tiba-tiba tanpa saya ketahui tanda atau penyebabnya. Dan untuk itulah, beliau bermaksud mengobati penyakit saya itu. Saya hanya diminta mempersiapkan mental menjalani prosesnya. Hari itu masih minggu, dan beliau menjanjikan jumat nanti, seperti ritual yang biasa beliau lakukan, akan membakar linggis hingga merah kemudian akan ditempelkan ke dada saya untuk menghilangkan sakit itu.
     Ngeri sekali membayangkannya. Ritual pengobatan itu sendiri sudah sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi Indonesia.. sebagai informasi saja bila hendak lebih tahu lebih detailnya. Dan untunglah bagi saya, karena rombongan kami jadwalnya hanya sampai hari Rabu, sehingga saya tidak sempat untuk menjalani ritual itu. Suatu keberuntungan menurut saya, karena sampai hari ini, saya belum pernah untuk cukup kuat mental menjalani proses itu.
 Agustus 2013, saya dan Wawan berkesempatan bertemu beliau di Kassi - Kajang. 
Dalam usia yang sudah begitu sepuh (lahir 1922), fisik beliau masih nampak begitu bugar. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, misalnya kemampuan pendengaran beliau yang sudah begitu buruk. Kehadiran kami ternyata tidak sanggup mengusik kemampuan menggali rekaman memori beliau pada 28 tahun yang lalu. Namun bagaimanapun, suatu kesyukuran masih bisa bertemu muka.
     Masih begitu banyak hal yang tetap menjadi mesteri untuk saya, mengenai tanah Kajang itu. Suatu harapan, bisa berkesempatan lagi menelisik lebih detail fenomena kekinian masyarakat Kajang itu.

     Menjadi inspirasi Muhammadin, suami ibu yang bernama Kartini itu mendirikan sekolah yang kemudian dinamainya dengan nama Kartini. Sekolah itu seakan menjadi sebuah prasasti yang menuliskan kisah perjuangan pasangan ini melayarkan cinta bahtera rumah tangganya yang mengobarkan cita-cita mulia akan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat sekitarnya.
     Dan nama Kartini itu yang melekat kuat diingatan saya, ketika pertama kali berkenalan dengan keluarga ini 28 tahun yang lalu. Bagaimana bapak Muhammadin yang bertutur dengan lembut, namun menyiratkan kobaran semangat yang begitu berapi-api, tentang cita-cita sekolah yang didirikannya. Lalu di pertengahan Agustus 2013 ini, suatu anugrah bisa bertemu kembali dengan keluarga beliau yang bersahaja di dusun Kalimporo, yang terletak dalam wilayah administratif desa Tambangan kecamatan Kajang Bulukumba.
 baju biru di gambar bawah adalah bapak Muhammadin dulu, dengan ibu Kartini memakai baju merah maron, bersama anak perempuannya yang bergelayut manja. di gambar atas adalah gambar mereka bertiga ketika saya mampir di kediaman mereka agustus 2013.
ada Yustin Kamah, Sulaeman Kamarudin dan saya sendiri.
      Sayang sekali, pertemuan kali ini berlangsung terlalu singkat. Tidak banyak hal yang sempat kami perbincangkan seperti dulu, ketika rombongan saya menginap sepuluh hari di dusun Kalimporo itu. Di dalam hati, saya berdoa semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kesempatan yang lebih longgar bisa mempertemukan kami kembali, lalu bisa bertukar wawasan kearifan masyarakat kajang ke dalam ruang-ruang memori di kepala saya. Suatu harap yang tentu saja tidak muluk-muluk.
 bercengkerama dengan keluarga ini, ibarat menyelam di dalam kesederhanaan yang begitu bersahaja. Ada rindu yang selalu mengusik, untuk kembali dan kembali, mereguk suasana asri dan damai itu.
di sini ada Ahmad Negarawan
      Teriring salam dan doa, semoga bapak Muhammadin, ibu Kartini dan keluarga selalu diberi kesehatan dan umur panjang sehingga kita bisa bertemu lagi dan lagi, di masa yang akan datang.

     Penghujung kemarau tahun 1982, acara penyambutan mahasiswa geology Unhas itu dilakukan. Belum ada format baku tentang apa saja yang akan dilakukan oleh para senior kepada wajah-wajah culun itu. Semua berlangsung spontan, sederhana dengan semangat yang begitu murni, untuk memberi pengenalan lapangan dan gambaran umum mengenai dunia geolgy nantinya.
     Karenanya, tidak ada wajah-wajah tegang. Sama sekali tidak ada kekuatiran anarkisme dalam bayang-bayang kegiatan perpeloncoan. Di beberapa tenda sederhana, senior dan junior berbaur tanpa batasan. Nyanyi bareng, masak-masak bareng dan tentu saja makan bareng dalam tradisi geology. Sungguh, lebih terasa sebagai kegiatan piknik.
Pak Budi menjelaskan panjang lebar segala sesuatu gambaran umum geology, sambil duduk santai di bendung Pa'bunoang juku' yang kering.
     Karenanya, keberadaan dosen di dalam rombongan, bukan menjadi sesuatu yang menimbulkan gatal-gatal alergi di dalam aktifitas kepanitiaan. Justru, kehadiran dosen dimanfaatkan untuk memberi penjelasan sepanjang perjalanan tentang geology secara umum.
     berdiri dari kiri: Amri, Kadoarjuna, Sulaeman, Nurman, Yustin, Amir Jaya dan Samsul Bahri.
duduk dari kiri: lupa, Nunuk, Hero, Muniati, Imran Umar, Selle, Pak Budi, Jalaluddin, Hance, Rafiudin, Stepanus dan Abd. Muis.
 di atas ada Hero, Muniati dan Junahan Satria.
bawah ada Ramlan Nawawi, Muniati, Nunuk dan yang kacamata tanpa topi itu, lupa namanya.
 sekitar puncak Bulu' Paria. Sama sekali tidak ada wajah tegang di dalam acara kemahasiswaan ini.
 setelah bagi-bagi syal geology, santai sambil foto-foto
     Tentu banyak cerita, banyak kenangan yang menyertai langkah para calon geologist itu. Karenanya, dengan segala kerendahan hati, saya menunggu tambahan komentar di bagian bawah, melengkapi serpihan memori yang melekat di kenangan kita masing-masing. Getar rasa kita di kebersamaan waktu itu, dengan mozaik joke-joke konyol sepanjang jalan pasti akan semakin menyegarkan indahnya kenangan yang telah kita ukir bersama.
Jadi jangan ki' ragu-ragu atau keberatan memanjang lebarkan rangkaian mozaik itu. Komentar ta' sangat di tunggu.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.