Masyarakat Karst – Penjaga yang Sering Dilupakan

     Di sebuah desa di kaki Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), seorang ibu bangun sebelum matahari terbit. Ia berjalan ke sumur yang dalamnya lebih dari 20 meter, menimba air dengan kerekan tua. Suaminya bersiap ke sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami padi sekali setahun. Anak-anaknya berjalan kaki ke sekolah, melewati bukit kapur yang tampak gersang. Sehari-hari mereka hidup dalam lanskap karst yang keras, tetapi bagi mereka bukit-bukit itu bukan sekadar batu, melainkan ruang hidup yang diwariskan leluhur.

     Masyarakat karst, baik di Babul, Gunung Sewu, maupun wilayah tropis lain, selalu berhadapan dengan paradoks. Dari luar, tanah mereka tampak kering, tetapi sesungguhnya di bawah kaki mereka tersimpan air yang melimpah. Sayangnya, akses ke air itu tidak mudah. Mereka harus tahu di mana gua yang menyimpan mata air, kapan musim hujan bisa ditadah, atau bagaimana menjaga pepohonan di sekitar bukit agar resapan tetap bekerja. Pengetahuan ekologis ini tidak lahir dari buku, melainkan dari pengalaman panjang hidup bersama karst.

     Namun pengetahuan lokal itu sering terpinggirkan. Dalam kebijakan pembangunan, masyarakat karst kerap dianggap “terbelakang”. Alih-alih dilibatkan, mereka disuguhi janji modernisasi: jalan baru, pabrik semen, atau wisata massal. Padahal, tanpa masyarakat lokal, karst tidak akan pernah terjaga. Mereka adalah penjaga pertama yang tahu gua mana yang boleh dimasuki, pohon mana yang tak boleh ditebang, atau mata air mana yang harus dijaga kesuciannya.

     Di Babul, banyak gua yang dianggap keramat. Larangan adat mencegah orang merusak mulut gua atau menebang hutan di sekitarnya. Dari perspektif ekologis, larangan itu melindungi zona resapan air dan menjaga kestabilan akuifer karst. Tetapi dalam logika pembangunan modern, aturan adat semacam itu dianggap hambatan. Ketika tambang batu gamping dibuka, masyarakat sering kali hanya jadi penonton. Mereka kehilangan tanah, sementara air yang dulu bisa diakses bersama perlahan menghilang.

      Contoh serupa terjadi di gunung Sewu, Yogyakarta. Ketika wisata Goa Pindul dibuka besar-besaran, masyarakat lokal diundang untuk bekerja sebagai pemandu. Namun, keputusan soal tata kelola, tiket, dan investasi sering kali diambil pihak luar. Pengetahuan masyarakat tentang gua diwarisi turun-temurun, tetapi nilainya kalah dibanding modal dan otoritas. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat karst tersingkir, bahkan di tanah yang sudah mereka jaga selama ratusan tahun.

     Ironisnya, ketika krisis datang, masyarakat lokal pula yang paling merasakan dampaknya. Di Babul, beberapa desa mengalami penurunan debit mata air setelah pembukaan tambang gamping. Di Gunung Kidul, kekeringan panjang membuat warga harus membeli air dengan harga mahal, sementara gua-gua yang dulunya kaya air menjadi kering. Situasi ini menunjukkan bahwa karst tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang menghuninya: ketika karst rusak, mereka pula yang pertama menanggung derita.

     Padahal, potensi masyarakat karst sangat besar untuk menjadi mitra konservasi. Pengetahuan lokal tentang resapan, larangan adat, dan tata cara memanen air bisa dipadukan dengan teknologi modern. Program konservasi di Taman Nasional Babul, misalnya, akan lebih efektif jika melibatkan petani lokal dalam pemantauan debit mata air dan perlindungan gua. Begitu juga dengan riset karst tropis: tanpa partisipasi masyarakat yang mengenali setiap ceruk dan lorong, para ilmuwan akan kesulitan mengakses data yang valid.

     Penting untuk diingat, karst bukan hanya bentang alam; ia adalah bentang budaya. Gua bukan sekadar ruang geologi, tetapi juga ruang spiritual, ekonomi, dan sosial. Masyarakat karst adalah penjaga yang paling tahu bagaimana hidup di antara kekeringan dan kelimpahan, di antara keterbatasan dan keberlanjutan. Mengabaikan mereka sama saja dengan merobek halaman penting dari arsip kehidupan karst itu sendiri.

     Maka, bila kita ingin bicara tentang konservasi karst, kita harus bicara juga tentang masyarakatnya. Tidak cukup hanya dengan undang-undang, zonasi taman nasional, atau penelitian ilmiah. Karst akan tetap rapuh jika manusia yang tinggal di sekitarnya dipinggirkan. Sebaliknya, karst akan tetap hidup jika pengetahuan lokal diberi ruang, jika masyarakat diberdayakan sebagai aktor utama. Pada akhirnya, tanpa masyarakat, karst hanyalah batu; tetapi dengan masyarakat, ia menjadi peradaban yang berdenyut


Daftar Pustaka

  1. Brunn, S., & Haryono, E. (2017). Sustainable livelihoods in tropical karst environments: Lessons from Gunung Sewu, Indonesia. Environmental Earth Sciences, 76(4), 175.

  2. Haryono, E., & Day, M. (2004). Karst in Indonesia: Review of research, resources and conservation. Cave and Karst Science, 31(3), 131–138.

  3. Sukri, S., & Fitriani, N. (2019). Kearifan lokal masyarakat karst dalam menjaga sumber daya air di Kabupaten Maros. Jurnal Sosial dan Humaniora, 9(2), 45–56.

  4. Wiradi, G. (2015). Masyarakat dan perubahan tata guna lahan di kawasan karst Gunung Sewu. Jurnal Ilmu Sosial Indonesia, 21(1), 55–70.

  5. World Bank. (2020). Living with karst: Socio-ecological resilience in Southeast Asia. Washington, DC.

Karst akan tetap rapuh jika manusia yang tinggal di sekitarnya dipinggirkan. Namun karst akan tetap hidup jika pengetahuan lokal diberi ruang,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.