Tiga Jalan Mencari Keseimbangan

     Ada satu pertanyaan klasik dalam politik ekonomi: bagaimana menyeimbangkan mesin pencetak kekayaan dengan mesin pemerataan? Dunia telah bereksperimen dengan banyak resep, tetapi tiga model menonjol karena mewakili wajah berbeda dari kompromi antara kapitalisme dan sosialisme: Skandinavia, Eropa Barat, dan Cina. Masing-masing punya caranya sendiri dalam menenangkan dua dewa yang terus berseteru: pasar dan negara.

     Skandinavia selalu menjadi poster boy bagi para penggemar welfare state. Negara-negara kecil dengan populasi relatif homogen itu berhasil menaklukkan kapitalisme agar tunduk pada logika kesejahteraan bersama. Di sana, kapitalisme tetap berlari—perusahaan swasta, teknologi, dan inovasi mereka tak kalah dari Silicon Valley—namun hasilnya disedot oleh pajak progresif yang brutal, lalu diputar kembali menjadi layanan publik. Kesehatan gratis, pendidikan tinggi tanpa biaya, jaminan sosial dari lahir hingga mati. Ironisnya, semakin besar negara menyedot pajak, semakin percaya masyarakat pada negara, sehingga mesin distribusi berjalan mulus tanpa perlawanan berarti. Ada sebuah kontrak sosial yang langka: rakyat rela dipajaki setengah penghasilan karena tahu uang itu kembali ke mereka dalam bentuk sekolah, rumah sakit, dan keamanan sosial.

     Bandingkan dengan Eropa Barat—Prancis, Jerman, Belanda—yang meniti jalan tengah. Mereka tidak seutuhnya seperti Skandinavia, tetapi cukup serius membangun jaring pengaman. Pasar tetap berfungsi, tetapi tidak seganas di Amerika Serikat. Di Prancis, mogok buruh bisa melumpuhkan kota besar; di Jerman, sistem Mitbestimmung memberi pekerja suara dalam dewan perusahaan. Eropa Barat menggabungkan kapitalisme produktif dengan regulasi negara yang menjaga agar jurang kaya-miskin tidak melebar terlalu jauh. Mereka tidak memuja efisiensi semata, tapi juga menuntut solidaritas.

     Lalu ada Cina, sebuah eksperimen raksasa yang selalu membingungkan para pengamat. Deng Xiaoping pernah berkata, “Tak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.” Kalimat itu menjadi mantra transisi dari komunisme total ke kapitalisme otoritarian. Cina membuka pasar, mengundang investasi, membiarkan jutaan orang jadi kaya raya—tetapi tetap di bawah kendali tangan besi Partai. Kapitalisme dijalankan, tapi bukan untuk membebaskan individu, melainkan untuk memperkuat negara. Maka muncullah paradoks: Shanghai yang berkilau berdampingan dengan desa-desa yang masih bergulat dengan kemiskinan; miliarder teknologi bisa muncul, tetapi jika terlalu berkuasa, Partai segera menekan tombol reset. Kapitalisme dijalankan seperti kuda pacu, sementara negara tetap memegang kendali penuh atas tali kekangnya.

     Jika Amerika Serikat menjadi simbol kapitalisme liar—kompetisi brutal, jurang sosial yang lebar, negara minim campur tangan—maka tiga model di atas menunjukkan variasi jalan mencari keseimbangan. Skandinavia memilih menundukkan kapitalisme agar tunduk pada sosialisme. Eropa Barat menjaga keseimbangan yang rapuh di tengah riuhnya politik multinasional. Cina membiarkan kapitalisme tumbuh sebagai alat negara, bukan tujuan itu sendiri.

     Dari perbandingan ini, terlihat bahwa kapitalisme murni dan sosialisme murni nyaris tidak pernah berdiri sendirian. Yang ada hanyalah versi hybrid, hasil kompromi sejarah, budaya, dan kepemimpinan politik. Tidak ada resep universal yang bisa diimpor mentah-mentah, sebab kontrak sosial tiap bangsa berbeda. Skandinavia bisa sukses karena ukuran kecil, populasi homogen, dan kultur egaliter. Eropa Barat bisa bertahan karena tradisi serikat pekerja yang kuat dan kesadaran kolektif setelah hancurnya dua perang dunia. Cina bisa melaju karena tradisi sentralisme negara dan mentalitas disiplin kolektif.

     Yang menarik, ketiga jalur itu memperlihatkan dialektika yang tak pernah selesai: kapitalisme mencetak surplus, sosialisme menuntut distribusi. Kadang negara harus menekan pasar agar tidak menjadi monster, kadang pasar harus didorong untuk menyelamatkan negara dari stagnasi. Selalu ada tarik-menarik, selalu ada kompromi baru. Dunia, pada akhirnya, bukan panggung untuk ideologi murni, melainkan laboratorium besar di mana setiap bangsa terus bereksperimen dengan dosis kapitalisme dan sosialisme sesuai kadar yang bisa mereka telan.

     Mungkin inilah pelajaran paling penting: tidak ada yang benar-benar menang. Kapitalisme dan sosialisme hanyalah dua wajah dari kebutuhan manusia yang sama: menghasilkan kekayaan, lalu memastikan kekayaan itu tidak menciptakan jurang yang menelan manusia lain. Skandinavia, Eropa Barat, dan Cina hanyalah tiga cerita tentang bagaimana eksperimen itu dijalankan. (part 2 of 5)


Satu pertanyaan klasik dalam politik ekonomi: bagaimana menyeimbangkan mesin pencetak kekayaan dengan mesin pemerataan?

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.