Indonesia sering dipuji sebagai negeri kaya raya: tanah subur, laut luas, gunung penuh mineral. Tetapi kalau kita menengok lebih dalam, mesin ekonomi negeri ini ibarat kendaraan tua yang masih bisa berjalan hanya karena didorong ramai-ramai. Kapitalisme di sini berjalan pincang, sementara sosialisme hanya hadir dalam bentuk tambal-sulam: bansos menjelang pemilu, program subsidi yang lebih sering jadi alat legitimasi politik ketimbang strategi jangka panjang.
Kapitalisme sejati mestinya melahirkan kompetisi sehat, inovasi, dan produktivitas. Namun kapitalisme Indonesia justru cenderung oligarkis. Akses terhadap sumber daya dikuasai segelintir kelompok, dari batubara hingga sawit, dari jalan tol hingga telekomunikasi. Pasar memang terbuka, tapi bukan untuk semua. Persaingan yang semestinya mendorong efisiensi sering berubah jadi kartel yang diam-diam mengatur harga. Maka wajar kalau banyak usaha kecil menengah kesulitan berkembang: mereka berhadapan bukan dengan pasar bebas, melainkan dengan pasar yang sudah dikunci oleh pemain besar. Kapitalisme Indonesia lebih mirip feodalisme yang mengenakan jas modern.
Di sisi lain, sosialisme yang dijalankan negara juga tak pernah benar-benar menyentuh akar masalah. Program bantuan sosial memang bisa meringankan beban masyarakat miskin, tapi sifatnya sementara, seperti menambal ban bocor yang setiap minggu kembali kempis. Subsidi pupuk, BBM, atau listrik sering kali bocor ke tangan yang salah. Alih-alih menciptakan pemerataan struktural—melalui reformasi agraria, sistem pajak progresif, atau peningkatan kualitas pendidikan—negara lebih nyaman menyalurkan bantuan tunai singkat yang mudah dijadikan bahan kampanye. Sosialisme di sini berhenti pada kosmetik, bukan pada transformasi.
Maka jadilah kontradiksi khas Indonesia: kapitalisme yang seharusnya mencetak kekayaan nasional justru melahirkan jurang kesenjangan, sementara sosialisme yang diharapkan meratakan hasil kekayaan hanya menjadi alat politik. Pertumbuhan ekonomi memang ada, bahkan relatif stabil di kisaran 5%. Tetapi pertumbuhan itu tidak otomatis berarti pemerataan. Kaya makin kaya, miskin tetap sibuk dengan janji yang selalu diulang lima tahun sekali.
Kalau kita menengok model negara lain, Indonesia terlihat seperti ragu mengambil keputusan. Skandinavia memilih welfare state dengan pajak tinggi dan jaminan sosial luas. Amerika memilih kapitalisme liberal, meski menanggung kesenjangan besar. Cina memilih kapitalisme otoritarian dengan kontrol ketat. Indonesia? Campuran yang membingungkan: ingin tumbuh seperti kapitalis, tapi tak berani menindak oligarki; ingin meratakan seperti sosialis, tapi berhenti pada bansos. Kita seperti orang yang terjebak di tengah jalan, terlalu takut maju, tapi juga malu mundur.
Masalah utama ada pada kualitas kelembagaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif sering terlihat sibuk dengan kepentingan masing-masing, bukan visi jangka panjang. Reformasi ekonomi memang dibicarakan, tapi pelaksanaannya sering terganjal kompromi politik. Di titik ini, kapitalisme oligarkis bertemu sosialisme tambal-sulam, menghasilkan sistem yang stabil tapi rapuh. Stabil, karena selalu ada pertumbuhan cukup untuk mencegah kerusuhan besar. Rapuh, karena tidak ada fondasi pemerataan yang kokoh.
Konsekuensinya, Indonesia berisiko terjebak dalam “jebakan kelas menengah” (middle income trap): tumbuh cukup untuk keluar dari kemiskinan ekstrem, tapi gagal melompat menjadi negara maju. Kue ekonomi terus membesar, tapi potongan untuk mayoritas rakyat tetap tipis. Selama mesin kapitalisme dikuasai segelintir elit, dan mesin sosialisme hanya dipakai sebagai alat elektoral, sulit membayangkan negeri ini bisa melompat ke level berikutnya.
Namun tentu saja, ini bukan akhir cerita. Masih ada ruang untuk koreksi arah. Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang berhasil menyeimbangkan dua mesin itu. Reformasi pajak yang benar-benar progresif, pendidikan berkualitas yang merata, serta keberanian menantang dominasi oligarki bisa menjadi langkah awal. Tetapi jalan itu panjang, penuh perlawanan, dan jelas tidak bisa dijalankan dengan mentalitas “asal stabil”.
Indonesia pada akhirnya adalah laboratorium politik-ekonomi yang unik. Ia punya potensi untuk menjadi besar, tetapi juga punya kebiasaan buruk untuk mengandalkan narasi indah ketimbang kerja keras struktural. Lagu “Tanah Surga” mungkin benar dalam imajinasi Koes Plus, tetapi tanpa keberanian melampaui kapitalisme setengah sehat dan sosialisme tambal-sulam, surga itu bisa tetap hanya sebatas bait lagu nostalgia. (part 3 of 5)
Posting Komentar
...