Articles by "Unhas"

Tampilkan postingan dengan label Unhas. Tampilkan semua postingan

     Di negeri yang membangun peradabannya di atas sketsa kontradiksi, rambut panjang bukan sekadar urusan estetika, melainkan simbol yang menandakan afiliasi, resistensi, bahkan—dalam kadar tertentu—sebuah bentuk perlawanan laten terhadap hegemoni yang terlalu rajin menata ketertiban. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar helaian rambut yang memanjang dari tengkuk, sesuatu yang sering kali gagal dibaca oleh mereka yang terlalu sibuk merapikan belahan rambut agar tampak selaras dengan sistem.

     "Semua orang pernah muda, tetapi tidak semua orang pernah gondrong." Kalimat ini lebih dari sekadar pengingat bahwa usia bergerak linier. Ia adalah penghormatan bagi mereka yang, dengan segala risiko sosial, institusional, dan mungkin bahkan biologis (dengan kehadiran aparat yang siap memangkas kebebasan individu dalam arti harfiah dan metaforis), memilih untuk menumbuhkan mahkota kebebasan mereka di zaman ketika keseragaman adalah kebajikan yang dipaksakan.

     Di era Orde Baru, rambut gondrong bukan sekadar mode, tetapi pernyataan. Rambut panjang adalah bendera yang berkibar, menandakan afiliasi dengan pemikiran bebas, penolakan terhadap dogma, serta keengganan untuk menjadi bagian dari mesin yang bergerak dalam barisan rapi. Pemerintah, dengan paranoia khas rezim totaliter, melihat rambut panjang sebagai ancaman yang harus dijinakkan. Potongan rambut rapi bukan hanya aturan tak tertulis, tetapi menjadi ukuran kepatuhan. Kala itu, selembar surat teguran atau gunting aparat lebih tajam daripada argumen akademik.

     Namun, keberanian untuk gondrong tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh di tengah atmosfer intelektual yang bergolak. Kampus menjadi arena di mana pemuda belajar membangun kesadaran kritis, meski sering kali sadar bahwa di luar pagar akademia, dunia menuntut mereka untuk menundukkan kepala dan mencukur pendek mimpi-mimpi liar mereka. Rambut gondrong menjadi perpanjangan dari sikap politik dan idealisme. Seorang mahasiswa dengan rambut panjang bukan hanya sekadar mengikuti tren ala Jim Morrison atau Che Guevara, tetapi menyatakan diri sebagai oposisi diam-diam terhadap sistem yang mendewakan keteraturan.

     Hanya saja, seiring waktu, simbol-simbol berubah bentuk dan makna. Jika dulu rambut gondrong adalah identitas intelektual yang menolak tunduk pada arus utama, hari ini ia mungkin hanya sekadar fashion statement yang kehilangan daya gigitnya. Kampus yang dulu menjadi ruang perlawanan kini lebih sering menjadi pusat produksi tenaga kerja yang siap diserap pasar. Idealnya, mahasiswa adalah lokomotif perubahan, tetapi realitasnya, banyak yang tak lebih dari penumpang kereta yang bersiap turun di halte pertama yang menawarkan kenyamanan finansial.

     Yang lebih tragis adalah ketika mereka yang dulu menjunjung rambut gondrong sebagai lambang perlawanan, kini dengan bangga memamerkan kisah negosiasi nilai akademik yang suram. Mereka yang dulu berorasi tentang keadilan sosial kini mengenang masa-masa mengemis kelulusan kepada dosen sebagai anekdot humor, seakan perjuangan mereka dulu tak lebih dari permainan retorika belaka. Label "mantan aktivis" pun lahir sebagai stempel yang ironis—sebuah pengingat bahwa idealisme yang dulu diagung-agungkan bisa layu dan bertransformasi menjadi kompromi dengan kenyataan.

     Indonesia memang piawai menciptakan absurditas. Di satu sisi, kita mengagumi kisah pemberontakan, tetapi di sisi lain, kita juga menertawakannya begitu idealisme mulai layu oleh pragmatisme. Mereka yang pernah menggondrongkan rambutnya sebagai bentuk perlawanan kini dengan fasih berbicara tentang pentingnya "menyesuaikan diri" dengan sistem. Narasi kemenangan akhirnya ditentukan bukan oleh siapa yang tetap teguh pada prinsipnya, tetapi oleh siapa yang bisa beradaptasi paling cepat dalam ekosistem yang selalu berubah.

     Maka, jika ada yang bertanya apakah semua orang muda pernah gondrong, jawabannya bukan sekadar soal panjang rambut. Ini adalah pertanyaan tentang keberanian untuk berbeda, tentang sejauh mana seseorang berani berdiri di luar garis yang telah ditentukan, tentang pilihan untuk tidak sekadar menjadi bagian dari latar belakang sejarah yang membosankan. Saya bukan mantan aktivis, karena perlawanan bukan sesuatu yang memiliki tanggal kedaluwarsa. Saya tetap menumbuhkan rambut, baik dalam bentuk ide maupun sikap, meski dunia terus berusaha menawarkan gunting dan sisir kepatuhan.

     Saya bukan mantan aktivis. Kalimat itu terdengar sederhana, hampir seperti pernyataan netral yang keluar begitu saja. Namun, di balik tiap kata, tersembunyi perasaan getir, satir, dan penghinaan halus terhadap mereka yang dengan bangga menyematkan label “mantan aktivis” sebagai medali masa lalu. Aktivisme, bagi saya, bukan status atau gelar sementara. Ia adalah napas, semangat yang menyatu dalam jiwa, bukan topeng yang dikenakan saat muda lalu dicampakkan begitu saja saat realitas menampar keras. Tetapi sayangnya, di negeri ini, cerita tentang “mantan aktivis” justru sering kali dirayakan dengan senyum kemenangan yang penuh ironi.

     Ketika masih di kampus, aktivisme sering menjadi panggung besar. Idealisme berkobar seperti api unggun yang tak pernah padam. Diskusi-diskusi di sudut kantin, orasi di tengah lapangan, dan unjuk rasa di depan gedung rektorat adalah ritual suci yang membuat hidup terasa bermakna. Tetapi di sela-sela itu, ada sebagian mahasiswa yang mulai melihat aktivisme sebagai tameng, bukan misi. Mereka mengidentifikasi diri sebagai “aktivis” tanpa memahami apa artinya. Ketika nilai ujian jatuh, tugas menumpuk, dan semester tak kunjung usai, label aktivis dijadikan alasan. “Kami sibuk memperjuangkan perubahan,” kata mereka. Namun, di balik itu, apakah benar ada perjuangan, atau hanya upaya menghindar dari tanggung jawab akademik?

     Lebih lucu lagi, setelah semester demi semester berlalu dengan catatan merah yang membanjir, datanglah ritual berikutnya: mengemis kelulusan. Dengan membawa cerita heroik tentang perjuangan membela rakyat kecil atau melawan sistem yang korup, mereka mengetuk pintu dosen. Kadang-kadang dengan mata berkaca-kaca, kadang-kadang dengan senyum licik yang penuh harap. Dan ajaibnya, beberapa dosen luluh. Karena siapa yang tega menghancurkan “mimpi besar” seorang aktivis? Maka, mereka pun lulus. Tidak dengan kehormatan, tetapi dengan belas kasihan.

     Tahun-tahun berlalu, dan cerita ini tidak berakhir di kampus. Ketika alumni kembali untuk bertemu junior mereka, sering kali mereka membawa kisah “sukses” yang aneh. Dengan bangga mereka menceritakan bagaimana dulu mereka berjuang di jalanan, bagaimana mereka hampir tidak lulus, tetapi akhirnya berhasil mendapatkan tanda tangan dosen setelah berminggu-minggu “membujuk.” Kisah itu diakhiri dengan tawa dan anggukan puas. Tetapi bagi saya, itu bukan cerita kemenangan. Itu adalah pengakuan kekalahan.

     Mereka menyebut diri mereka “mantan aktivis.” Label baru ini menjadi bendera yang mereka kibarkan di dunia kerja, sebagai bukti bahwa mereka pernah menjadi seseorang yang “peduli” dan “berani.” Tetapi, apa sebenarnya arti “mantan aktivis”? Jika Anda pernah menjadi aktivis sejati, bagaimana mungkin Anda bisa berhenti? Aktivisme bukanlah fase hidup, seperti remaja yang tumbuh menjadi dewasa. Ia adalah prinsip yang mengakar. Jika Anda benar-benar percaya pada nilai-nilai yang Anda perjuangkan, Anda akan membawanya ke mana pun Anda pergi, entah di ruang rapat, di pabrik, atau di parlemen. Tetapi mereka yang menyebut diri “mantan aktivis” adalah mereka yang telah menyerah. Mereka adalah orang-orang yang kalah dalam pertempuran melawan realitas.

     Ada satu hal yang sering saya pikirkan. Mengapa mereka begitu bangga dengan label itu? Apakah karena mereka merasa bahwa aktivisme adalah beban yang berhasil mereka lepaskan? Ataukah karena mereka ingin tetap diingat sebagai bagian dari sesuatu yang besar, meski hanya sebentar? Apa pun alasannya, bagi saya, mereka telah mengkhianati sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Mereka telah mengkhianati semangat kolektif yang pernah mereka gunakan untuk berdiri di depan mikrofon, berteriak lantang tentang keadilan dan kebenaran.

     Mari kita bicara tentang realitas. Saya tahu bahwa dunia tidak selalu sesuai dengan idealisme kita. Saya tahu bahwa ada tagihan yang harus dibayar, keluarga yang harus dihidupi, dan kompromi yang harus dibuat. Tetapi menyerah pada realitas bukan berarti Anda harus meninggalkan nilai-nilai Anda. Anda bisa tetap menjadi aktivis, bahkan di tengah tekanan hidup. Aktivisme tidak selalu berarti turun ke jalan atau melawan pemerintah. Kadang-kadang, itu berarti menjaga integritas Anda di tempat kerja, memperjuangkan hak-hak karyawan, atau hanya memastikan bahwa Anda tidak menjadi bagian dari masalah yang dulu Anda kritik.

     Sayangnya, mereka yang menyebut diri “mantan aktivis” sering kali menjadi bagian dari masalah itu. Mereka bergabung dengan perusahaan yang dulu mereka kecam, bekerja untuk pejabat yang dulu mereka hina, atau bahkan menjadi pejabat itu sendiri. Mereka mengubah narasi mereka, dari “perjuangan untuk rakyat” menjadi “ini adalah bagian dari strategi besar.” Tetapi siapa yang mereka bodohi? Apakah mereka benar-benar percaya pada apa yang mereka katakan, atau itu hanya cara lain untuk membenarkan pilihan mereka?

     Ada satu cerita yang selalu saya ingat. Seorang teman lama, yang dulu adalah aktivis garis depan, sekarang bekerja untuk perusahaan yang terlibat dalam perusakan lingkungan besar-besaran. Ketika saya bertanya mengapa ia melakukan itu, ia hanya tersenyum dan berkata, “Kita harus realistis. Perubahan tidak bisa dilakukan dari luar.” Mungkin ia benar. Tetapi ketika saya melihat matanya, saya tidak melihat api yang dulu ada di sana. Yang saya lihat hanyalah abu dingin dari mimpi yang telah mati.

     Karena itulah saya mengatakan, saya bukan mantan aktivis. Saya tidak akan pernah menjadi mantan aktivis, karena bagi saya, aktivisme adalah bagian dari siapa saya. Saya mungkin tidak lagi sering turun ke jalan, tetapi itu tidak berarti saya berhenti peduli. Itu tidak berarti saya menyerah pada nilai-nilai yang saya yakini. Saya membawa semangat itu ke dalam setiap hal yang saya lakukan, sekecil apa pun itu. Dan jika suatu hari saya harus menghadapi realitas yang keras, saya akan melakukannya dengan kepala tegak, bukan dengan alasan atau pembenaran kosong.

     Mereka yang menyebut diri “mantan aktivis” mungkin melihat diri mereka sebagai pemenang, sebagai orang-orang yang berhasil bertahan hidup di dunia yang keras. Tetapi bagi saya, mereka hanyalah orang-orang kalah. Mereka kalah melawan dunia yang mereka coba ubah, dan yang lebih buruk, mereka kalah melawan diri mereka sendiri. Mereka menyerah pada kenyataan tanpa berjuang untuk mempertahankan mimpi mereka. Dan bagi saya, itu adalah kekalahan terbesar dari semua.

     Jadi, jika Anda bertanya kepada saya apakah saya akan menjadi mantan aktivis suatu hari nanti, jawaban saya adalah tidak. Karena aktivisme bukanlah sesuatu yang bisa Anda tinggalkan. Jika itu benar-benar ada dalam diri Anda, itu akan tetap ada, apa pun yang terjadi. Dan jika tidak, maka Anda tidak pernah benar-benar menjadi aktivis sejak awal. Anda hanya seseorang yang mengenakan topeng untuk sementara waktu, sampai realitas mengungkapkan siapa Anda sebenarnya.

     Mata kuliah Geologi Laut pertama kali di tahun 1985, ditambahkan ke dalam kurikulum untuk mahasiswa Jurusan Geologi Unhas. Perombakan materi perkulihan oleh kehadiran Bapak Haruna Mappa, sekembali beliau dari Jepang menyelesaikan program doktoralnya. Imbasnya jelas ke program perkuliahan mahasiswa.
     Bagi sebahagian yang sudah merampungkan jumlah sks sesuai persyaratan menyelesaikan Strata Satu, tidak perlu wajib ikut perkuliahan mata pelajaran tambahan dan perubahan. Namun untuk mahasiswa yang sekualifikasi saya, tidak ada pilihan lain. Mata kuliah itu menjadi wajib, sewajib-wajibnya, lengkap dengan kegiatan praktikum lapangan.
     Dan terjadilah, lokasi untuk pelaksanaan praktikum lapangan terpilih Pulau Barrang Lompo, salah satu pulau karang di dalam gugusan kepulauan Spermonde. Pulau yang di kemudian hari dipilih menjadi laboratorium ilmu kelautan milik Universitas Hasanuddin. Karenanya, menjadi pemandangan jamak bila peserta mata kuliah tersebut terdiri oleh mahasiswa Geologi dari berbagai angkatan.
 perjalanan menuju Pulau Barrang Lompo menggunakan perahu bermotor. 
dari kiri : Fauziah, Ahmad Habib, Gaffar Pallu, Dwiharso, Nur Asaf Abdullah, Hero, Kristian Simak, Hakku Wahab dan Hendrik Walla.
 malam hari begadang menunggui jam demi jam untuk mengumpulkan data pasang surut di bibir pantai. Perahu yang sementara parkir, menjadi tempat menyandarkan penat dan kantuk. 
Ada Nadira Tasik, Ahmad Negarawan, Hero dan Sulaeman Qamar. 
 dari kiri : Sulaeman Qamar, Hero, Hakku Wahab, Amir Jaya, Ahmad Negarawan, Buramin Dannu, Ruddin Bosa dan Yunus Patabang
 
 suasana siang hari, menunggu ritme pengukuran panjang dan tinggi gelombang setiap dua jam. 
 sekembali dari pulau, kapal kayu yang mengangkut rombongan peserta praktikum berserta para asisten dosen merapat di dermaga kayu bangkoa, tragedi itu terjadi
 Ashari Aras, Hero, Husen A.Taha dan Ahmad Negarawan
 ada juga Berry, staf Jurusan Geologi ikut di rombongan, dan tentu saja Bahtiar Amin Kasim yang paling sebelah kanan.

     Tragedi yang terjadi itu adalah saya terpeleset di bibir perahu ketika hendak menjangkau bibir dermaga. Tentu saja, saya nyemplung ke dalam laut, bersama ransel dan kamera yang digunakan merekan gambar-gambar yang ada ini. Beberapa foto rekaman terakhir kamera itu merupakan kinerja setelah sang kamera tercebut laut. Hasilnya masih mantap.
     Ada suka cita ketika saya tercebur ke laut itu. Betapa tidak, selama pelaksanaan praktikum di pulau Barrang Lompo, hanya saya satu-satunya praktikan yang tidak mau berbasah-basah menceburkan diri untuk sekadar melakukan pengukuran panjang dan tinggi gelombang. Dan kondisi itu tercium oleh para asisten dosen, namun mereka juga hanya bisa memendam dongkol dan mungkin juga dengki, karena kami bekerja berkelompok, maka mereka tidak bisa memaksakan saya untuk nyemplung ke laut di saat praktikum.
     Dan tragedi ini menjadi pelepas dahaga mereka-mereka. Ada rasa puas yang begitu membahagiakan di wajah para asisten dosen di waktu itu, seketika melihat 'kemalangan' yang menimpa saya. Rasa syukur tentu saja patut saya panjatkan kehadirat Tuhan, karena dengan kejadian itu saya bisa menolong mereka untuk terbebas dari dongkol dan dengki yang telah menggumpal menyerupai dendam di hati mereka. Senyum bahagia penuh kemenangan yang disisipi ekspresi sangat puas terbayang sepajang jalan menuju pulang ke kampus.
dari kiri : Brahaputera, Hasanuddin Landoho, Bahtiar Amin Kasim, Ashari Aras, Husen A.taha, Ahmad Negarawan, Kaharuddin M.S dan saya sendiri Hero

     Ini jelas bukan pertanyaan sepele, bagaimanapun kita mencoba menyederhanakannya. Itu barulah pertanyaannya, belum lagi jawaban yang bisa lebih luas dibanding Sahara. Bisa menjadi perdebatan filosofis yang membutuhkan tenaga super ekstra untuk mampu bertahan di dalam setiap analisa. Sehingga harus dibekali kecerdasan penalaran yang tinggi bahkan lebih tinggi dari Everest.

     Dan kalau pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka dengan segala kerendahan hati saya mesti menjawab tidak tahu. Ketidak tahuan yang bisa saja diartikan sebagai suatu sikap masa bodoh, bahkan mungkin pula sebagai cerminan akan kebodohan yang sebenarnya akibat kurangnya informasi dan lemahnya kemampuan analisis. Sesungguhnyalah tidak mudah untuk sekadar bisa memahami suatu filosofi yang selayaknya menjadi dasar landasan way of life yang universal, apalagi sampai menganggapnya semudah membuat semangkuk bubur havermut hangat.

     Sebagai mahasiswa yang telah menjadi 'pencinta alam', ada satu pertanyaan yang selalu menggelitik, setiap kali diutarakan ketika saya pulang dari suatu pendakian di gunung. 'Mengapa ke gunung, mengapa mendaki gunung?' Gelitik pertanyaan yang terasa geli-geli enak, namun sekali-sekali menjadi geli-geli mengkhawatirkan.

photo : http://www.ehdwalls.com/

     Geli-geli enaknya adalah teman-teman yang bertanya selalu dengan antusias, sambil menyelipkan apresiasi pengakuan akan kegiatan yang baru saja selesai. Pertanyaan filosofis itu tidak benar-benar dibutuhkan jawabannya. Dan semakin enaknya lagi, bahwa saya dibiarkan menjawab dengan satu senyuman sederhana. Cukup. Si penanya akan menerjemahkan, bahwa senyuman saya adalah senyum yang mengandung sejuta makna, sejuta pemahaman dan bahkan sejuta kebijaksanaan. Senyum itu lebih dari cukup untuk mewakili hal-hal yang jumlahnya sudah berjuta-juta itu. Si penanya benar-benar maklum dan merasa sangat tertolong, bila saya tetap tersenyum saja. Tidak terbayangkan berapa stamina yang harus dia persiapkan untuk mendengar dan menyimak, bila saya menerjemahkan setiap hal itu menjadi rangkaian kata.

     Geli yang mengkhawatirkan, sebenarnya adalah petaka di setiap penghujung senyum yang berjuta-juta arti itu. Khawatir, kalau saja orang yang bertanya itu ngotot untuk mendapat jawaban dalam bentuk rangkaian kalimat, dalam rangkaian kata yang nyaman dan bisa diverifikasi. Lalu apa yang harus saya katakan? Jawaban apa yang pas, yang setara dengan sanjungan yang terlanjur ikut tersirat di ekspresi dan tatapan si penanya yang begitu antusias?

     Beberapa jawaban jujur mestinya bisa saya utarakan untuk menjawab itu, namun rasa yang tidak cukup pede di nyali menjadi penghalang lidah untuk mengucapkannya. Masak iya sih aku bilang, karena 'ikut-ikutan' mode, atau karena lagi ngetren? Atau untuk sekadar pajang foto-foto aksi yang 'luar biasa' untuk ukuran mahasiswa yang bisanya hanya belajar dan belajar saja di kampus, sehingga saya bisa kelihatan keren di wall facebook saya? Atau biar saya kelihatan machonya untuk si dia yang sedang getol-getolnya saya taksir? Selanjutnya saya berharap si anu dan si anu bisa menaruh hormat, bisa menempatkan rasa segan sepantasnya untuk saya, bisa terkagum-kagum lalu koprol-koprol sambil ‘wow-wow’ karena aku ini pendaki gunung?

     Terlalu aib rasanya di benak saya untuk menjawab dengan apa adanya tersebut. Masak iya sih, mahasiswa bisanya hanya ikut-ikutan. Lalu masak cuma sekadar narsis seperti fotomodel kurang modal. Kenapa masih begitu primitif, menarik minat lawan jenis dengan cara pamer otot yang meregang dalam lelehan keringat dan daki.

     Dan itulah khawatir-khawatir yang selalu menyertai kemana-mana. Sederet jawaban sebenarnya sudah tersedia, mau yang filosofis copy-paste model lokal sampai gaya import, mau yang asal-asalan yang penting bunyi, mau yang sembrono rada-rada porno, semuanya tersedia untuk bisa dihapalkan. Namun selalu tidak sampai hati saya untuk sekadar copy-paste slogan, karena jerihnya terasa begitu menyayat bila mengatakan yang tidak sesuai dengan nurani. Dan tentu saja, copy-paste itu adalah ekspresi nyata dari suatu sikap ikut-ikutan yang sangat tidak bermartabat.

     Mungkin seperti itulah juga kalau tiba-tiba ada yang bertanya, apa sih pencinta alam itu? Berkaca pada pertanyaan ‘mengapa mendaki gunung’, maka menjawab pertanyaan terakhir ini rasanya menjadi jauh lebih sulit lagi. Terlalu banyak fenomena yang semakin menyudutkan rasa percaya diri yang sudah begitu rapuh. Satu jawaban yang bagaimanapun sederhananya, pastinya akan menuai begitu banyak sanggahan, sinisme dan pelecehan semangat dalam ekspresi penuh cibir untuk pertanyaan yang bertubi-tubi sebagai sanggahan untuk jawab yang sederhana tadi.

     Banyak paradoks yang sudah digambarkan dari masa ke masa tentang kepencinta alaman itu. Mulai dari kalimat-kalimat kasar anarkis, sampai yang mendayu dalam senandung yang indah. Bagaimana Rita Rubby Hartland menggugat keberadaan para pendaki gunung yang identik dengan pencinta alam, di dalam lagu ‘kepada alam dan pencintanya’.

     Menarik suatu kesimpulan tentang apa pencinta alam itu, bisa kita lakukan dengan mengamati hal-hal yang merupakan hasil kreasi dari mereka yang menamakan diri pencinta alam. Namun sekali lagi, kesulitan segera membentang, ketika tolak ukur dan batasan nampak sangat kabur dan luas. Kabur dan luas, memberi kesempatan untuk melahirkan penafsiran-penafsiran sendiri dari para penganutnya. Keberadaan kode etik sendiri menjadi pajangan filosofis yang tergantung tinggi di puncak menara gading, yang begitu sulit untuk diterjemahkan apalagi untuk diaplikasikan.

     Penafsiran-penafsiran liar yang menjadi definisi anutan setiap pencinta alam kemudian menjadi suatu keabsahan belaka. Menjadi permakluman yang lumrah bila setiap orang mempunyai definisinya sendiri. Bila sudah seperti itu, maka menarik suatu kesimpulan universal, menjadi sesuatu yang mustahil. Bila kesimpulan umum menjadi mustahil, maka mustahil pulalah untuk mendefinisikan apakah pencinta alam itu. Tanpa definisi yang jelas, maka sangat lumrah bagi kita untuk gagal atau keliru di dalam identifikasi.

     Kita kemudian akan terjerumus ke siklus telur-ayam. Pertanyaan joke sepele yang sering hadir di warung kopi ujung kampung sana, menyertai mentari yang merangkak meninggi. Namun seorang temanku selalu konsisten untuk menjawab ‘telur’. Seperti konsistennya ia selalu menjawab, bahwa contoh ideal pencinta alam itu adalah para ‘nabi’. ‘Semua nabi itu adalah pencinta alam’, begitu yang selalu dikatakannya bila diskusi sudah semakin mendalam tentang apa dan bagaimana semestinya pencinta alam itu.

     Nabi-nabi sepertinya bisa bahkan sangat layak untuk menjadi model yang disebut sebagai Pencina Alam. Mereka selain  menjadi penyampai 'kata-kata' Tuhan dalam bentuk kitab-kitab suci, juga membantu manusia di dalam membaca dan menerjemahkan kreasi Tuhan yang terpahat sebagai bentuk alam semesta ini. Metafora, perumpamaan dan fenomena-fenomena alam menjadi bahan halus, untuk diramu menjadi bahan pendidikan untuk manusia.

     Untuk itulah mereka melakukan perjalanan, penjelajahan, migrasi, dengan semua duka dan sukanya. Bahkan nyawa akan menjadi taruhannya, bukan hanya oleh ancaman binatang buas, oleh sulitnya medan yang harus diatasi, namun juga oleh variasi kelicikan manusia yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari semua itu. Tujuannya jelas, sederhana meskipun sama sekali tidak bisa dikatakan sepele. Pembelajaran, penerjemahan, perenungan akan interaksi manusia dengan semesta, akan membentuk manusia menjadi manusia yang baik. Manusia dengan wawasan yang holistik, berkesadaran semesta. Lalu manusia yang baik itu selanjutnya mampu untuk menyadari Dia sang Maha yang telah menciptakan segalanya.

     Para pencinta alam yang berkegiatan di alam bebas mestinya juga seperti itu. Apapun yang dilakukan semuanya sebagai sarana berlatih, belajar, membaca dan menerjemahkan kebaikan yang mendukung proses penempaan diri untuk menjadi ‘manusia baik’. Manusia baik yang ‘kebaikannya’ bisa ditakar secara universal, bukan sekadar baik oleh golongan kecilnya, apalagi hanya baik menurut dirinya sendiri. Kebaikan yang mampu untuk lulus uji sebagai suatu kebaikan oleh berbagai parameter, baik yang religius, yang akademis, yang filosofis dan lain-lainnya.

     Manusia baik yang kebaikannya akan segera luntur bila sedikit saja menerapkan keburukan kepada semesta dan tentu saja kepada manusia lainnya.

also posted at KOMPASIANA

     Setelah memendam hasrat mendaki gunung sekian lama, dalam rangka menyelesaikan proses perkuliahanku, maka hari itu 19 Desember 1992 tepat sehari setelah merampungkan ujian akhir dan prosesi yudisium, saya dan rombongan kecil anak Geology Unhas berangkat menuju Bawakaraeng.
     Gunung yang selalu bersahaja itu menjadi tujuan untuk jiwa-jiwa yang juga selalu ikhlas dalam kebersahajaan. Tidak banyak persiapan yang dilakukan, malah semuanya cenderung tergesa-gesa. Bukan apa-apa, rencana ke gunung inipun saya cetuskan hanya dua hari sebelumnya.
     Dan begitulah, mereka-mereka yang terbiasa kepepet oleh tantangan yang tiba-tiba itu, menyertai langkah-langkah rinduku menapaki Bawakaraeng. Terimakasih adik-adikku, sekali lagi di kesempatan ini, kusampaikan untuk waktu yang kalian luangkan bersamaku di saat itu. Sungguh, meski rentang waktu kehadiran saya di Geology bisa dikatakan terpaut cukup jauh dengan kalian, namun kalian sama sekali tidak perlu merasa risih ataupun segan untuk bercanda, bergurau di sepanjang perjalan itu.
     Ingin rasanya, di suatu hari nanti, bila kalian tidak terlalu sibuk, kita bisa sekadar mengulang kenangan ini, meskipun tidak sampai menjejak puncak Bawakaraeng, namun sekadar menikmati dingin bumi Lembanna tidaklah menjadi angan yang terlalu berlebihan. Where ever you are, adik-adikku, kalian telah mengguratkan satu episode indah di alur kenangan indah yang kulalui.
 Farida Lahay, Nasrudin Yasin, Herman, Hero Fitrianto

 Hero Fitrianto, Jimmi Allolinggi, Syahrir.
depan : Herman dan Suardi

     Satu hal yang pasti, di perjalanan waktu itu ada banyak cerita yang tidak sempat mampir dalam jangkauan indera saya yang terbatas. Dengan senang hati, saya menunggu baris-baris komentar sebagai tambahan cerita kalian yang mewarnai kenangan ini.
:-)

     Begitu banyak ragam kegiatan yang diselenggarakan menyambut sepertempat abad Fakultas Teknik Unhas, salah satunya adalah mengadakan pendakian ke Gunung Bawakaraeng di 2 Mei tahun 1985. Sekitar seratus tiga puluh orang mahasiswa Teknik, berbaur meriuhkan bumi Lembanna pada waktu itu. Tentu saja, sebahagian besarnya adalah 'anak kuliahan' yang sekadar pingin coba-coba naik gunung.
     Tidak ada persiapan yang spesifik, semuanya hanya berdasarkan naluri saja. Apalagi puncak Bawakaraeng meskipun menjadi target utama untuk digapai, namun nuansa 'yang penting rame-rame' jauh lebih terasa pas. Kesempatan yang langka untuk bisa berbaur dan menjadi semakin akrab dengan mahasiswa (baca : mahasiswi-mahasiswi) jurusan-jurusan lainnya.
     Untunglah kami-kami dari jurusan Geology sudah terbiasa melakukan kegiatan ke alam bebas sebagai bagian dari proses perkuliahan. Itulah mengapa, hampir semua anak Geology bisa mencapai puncak Bawakaraeng. Meski demikian, ada juga yang tidak sempat sampai ke puncak, karena itu tadi, lebih fokus ke 'rame-rame'nya saja di Lembanna. Tapi ada juga yang tidak sampai ke puncak karena 'kesasar' entah sampai di mana, kemudian kembali ke Lembanna tetap dalam keadaan ceria. Tanya kenapa?  mungkin sudah latto' dengan odo'-odo' nya..
     Ini juga adalah pendakian pertama saya ke Gunung Bawakaraeng. Di waktu itu, belum banyak orang apalagi mahasiswa yang menjangkau ke sana, sehingga pendakian yang dilakukan oleh Fakultas Teknik Unhas ini sedikit banyaknya kemudian menjadi inspirasi mahasiswa-mahasiswa lainnya di Unhas untuk turut mengeksplorasi kemampuan diri dalam berkegiatan di alam bebas.
Sebahagian kecil anak Teknik yang mencapai puncak Bawakaraeng. Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk saling bekerja sama dan bertanggung jawab di dalam kelompok masing-masing.
Hero bersama Sulaeman Kamaruddin, Geo-82.
 Sekitar pukul 10 pagi tiba di puncak, seniorku Buramin asyik menikmati 'kuaci' yang menjadi bekal andalannya. Uchen buru-buru lompat biar tercover kamera, Latif senyum-senyum girang di samping Modesta.

 Matahari pagi di pos 7 sebelum puncak Bawakaraeng.

Senyum Nadira begitu indah. di latar belakang ada adiknya Nadira, Madesta, dan aduh maaf, lainnya saya lupa namanya.. :)  Lokasi ini ada di antara pos 8 dan 9, yang sering disebut sebagai 'teteang tujua' sudah begitu berkabut ketika perjalanan pulang menjelang sore. Tempat ini sudah tidak ada sekarang, terbawa longsor yang heboh beberapa waktu lalu.

     Dengan rendah hati saya minta maaf, tidak mampu untuk menyebut nama-nama yang ada di dalam gambar yang tercover di kegiatan ini. Untuk itu dengan senang hati saya menunggu tambahan komentar brader-brader dan sista-sista sekalian, tentu saja di kolom komentar di bawah, untuk melengkapi kenangan pendakian ke Gunung Bawakaraeng yang memeriahkan rangkaian kegiatan seperempat abad Fakultas Teknik Unhas.
     Ini ceritaku, menunggu cerita kalian sambil membayangkan tikuz-tikuz muda menapak tilas jalur yang kami tempuh dulu itu. Bila kalian berkenan, seandainya nanti hendak kembali menjangkau puncak Bawakaraeng, maka biarkanlah lutut yang telah renta dan bekarat ini turut meramaikan perjalanan kalian.
     Bravo Teknik. I know we are always 'the champion'.

     Hujan dan kabut bulan Februari 1990 ini begitu setia mengiringi langkah kami untuk menemukan puncak Gunung Kambuna. Sudah sekitar 2 jam mencoba setiap arah yang memungkinkan, namun tidak memberikan hasil. Akhirnya tim memuutuskan untuk kembali ke bivak tempat berteduh semalam.
     Bivak yang letaknya di 'pos 8'. Pos-pos itu adalah penanda yang baru dipasang oleh tim Korpala sepanjang perjalanan ini. Tujuannya sederhana saja, pertama sebagai penanda rute yang ditempuh oleh tim yang terdiri dari empat putri dan empat putra, sekaligus sebagai jejak awal perintisan jalur tracking menuju puncak Kambuna.
     Pos sembilan sudah disematkan di tempat terakhir siang tadi, sebelum memutuskan kembali ke pos 8 ini. Sedangkan rambu untuk pos 10 masih ikut terbawa, yang rencananya untuk diletakkan di puncak nanti. Namun apa yang terjadi hari ini di luar rencana. Cadangan logistik hanya tersisa untuk satu hari perjalanan kembali menuju kaki gunung di Desa Padang Raya.
     Keputusan selanjutnya, tim akan kembali mencari puncak Kambuna keesokan harinya.
      Cuaca menuju puncak ternyata tidak seperti kemarin. Begitu cerah. Tidak sampai dua jam dari pos 8, puncak Kambuna ditemukan. Masih ada sisa-sisa tugu triangulasi, yang dulunya dibongkar oleh penduduk karena dikira ada harta karun di bawahnya.
      Satu-satunya alat komunikasi yang dimiliki waktu itu adalah radio Handy Talky 2 meter band. Teriak sana, teriak sini, hanya suara sayup-sayup yang termonitor, yang juga tidak jelas apakah menjawab teriakan dari puncak Kambuna, ataukah mereka hanya sekadar teriak-teriak dengan rekan mojoknya.
      Berfoto ria tentu saja menjadi satu-satunya hiburan, yang bahkan benar-benar membuat lupa sesaat bagaimana terseok-seoknya tim selama satu minggu berjalan dari Sa'bang menuju desa Padang Raya di kaki Kambuna ini. Tentu saja juga membuat lupa sesaat bahwa cadangan logistik terakhir akan segera habis di saat tengah hari nanti.
      Dalam perjalanan pulang, dari rencana semula tim bisa bermalam di pos dua, namun mengingat sudah tidak ada makanan sama sekali, kembali diputuskan tim melanjutkan berjalan di malam hari tanpa beristirahat, agar bisa secepatnya mencapai base camp di Padang Raya.
      Menjelang pukul 12 tengah malam, tim sudah tiba di tepi sungai Lodang. Kondisi sungai tidak sama dengan beberapa hari yang lalu, yang airnya hanya setengah betis, tapi malam ini airnya sudah setinggi dada. Hujan beberapa hari ini membuat debit airnya bertambah.
      Percobaan menyeberangi sungai ternyata gagal, bahkan hampir menghanyutkan salah seorang anggota tim yang menjadi leader 'penyeberangan basah' malam itu. Sekitar setengah dua dini hari, tim memutuskan untuk memutari bukit yang lebih ke hulu sungai agar bisa mendapatkan bagian sungai yang lebih dangkal.
Phiphi, Hero, Nona, Ammy, Wida, Hilda, Adi dan Welly

      Sambil terkantuk-kantuk dan juga begitu lapar, menjelang pukul 3 dinihari tim sampai di sebuah gubuk ladang. Diputuskan beristirahat di tempat itu, apalagi di dalam gubuk ada tungku dengan beberapa potong kayu kering. Dan aha.. di sekitar gubuk itu adalah ladang jagung dengan buah yang sudah ranum menjelang dipanen.
      Diskusipun terjadi, apakah mengambil jagung untuk mengganjal perut yang sudah begitu lapar.? Kesimpulannya adalah 'tidak'!! Tim masih kuat untuk bertahan hingga pagi, kemudian melanjutkan perjalanan sekitar 3 jam lagi menuju basecamp, sehingga tidak perlu mengambil jagung-jagung itu. Terjadilah, malam itu tim menghangatkan badan dengan air yang berhasil didihkan dari tungku di dalam gubuk, ditambah beberapa sachet bumbu mi instan yang masih tersisa di dalam carrier.
      Itulah kuah mi instan yang ternikmat yang pernah saya rasakan selama ini.
Hamparan dataran yang begitu luas, menjadi inspirasi untuk nama desa 'Padang Raya'. Di tahun 1991 itu, kami bahkan ditawari untuk tinggal di desa itu, membantu pertanian penduduk di sana. Lahan pertanian masih begitu luas sementara kemampuan penduduk hanya bisa menggarap sekitar sepertiganya saja. Dan bila kami berdelapan mau tinggal, tinggal tunjuk saja tanah sebelah mana yang hendak dipatok, seberapapun luas yang mampu untuk kami garap.

     Dan alangkah konyolnya kejadian dinihari itu. Ketika sudah sampai di Desa dan menceritakan bahwa kami kelaparan namun tidak 'berani' mengambil jagung itu, oh.. kami menjadi bahan tertawaan orang desa. Mereka sama sekali tidak tahu, kalau kami selalu dibayangi mitos tentang kekuatan supra natural orang-orang menertawakan itu, salah satunya adalah bahwa akan mengalami gejala fisik yang aneh yang 'segera' akan terasa bila berani mengambil barang mereka tanpa izin.
     Jamuan bubur jagung dengan kombinasi gurihnya ayam kampung yang mereka sajikan benar-benar mampu memulihkan kondisi yang sudah drop kemarin. Pesta kecil yang mereka sudah siapkan, tentu saja dengan begitu sukacita setelah melihat kami bisa kembali dengan selamat meski terlambat sehari dari jadwal. Keterlambatan yang sempat membuat mereka was-was menunggu.
Lampu badai, rantang di atas kompor parafin adalah perangkat jadul untuk ukuran sekarang ini. Belum lagi jas hujan kelelawar dipadu dengan sepatu kets yang mestinya lebih cocok untuk sekadar lari sore. Juga ada carrier dengan frame luar, yang ujungnya mencuat tinggi seperti sepasang antena dipadu dengan senter besar yang akan menghabiskan tenaga baterainya hanya dalam semalam.

     Beberapa kerat daging rusa juga ikut meramaikan acara makan-makan itu. Empuk dan gurihnya, benar-benar jauh berbeda dengan daging anoa yang kami cicipi di perjalanan menuju puncak beberapa hari yang lalu. Daging anoa yang begitu alot, kenyal dan baunya itu.. benar-benar tidak terlupakan.
     Sebagai cendera mata yang diberikan oleh salah seorang penduduk, saya mendapat potongan tengkorak dan tanduk anoa yang telah diawetkan dengan mengasapinya di atas perapian dalam waktu yang lama. Tengkorak yang masih tersimpan hingga sekarang.
Base camp selama di desa Padang Raya.

     Rangkaian foto-foto lainnya saya rangkum dalam bentuk film sederhana dengan latar belakang lagu Iwan Fals berjudul 'Rinduku'. Rinduku yang selalu mengusik saat-saat sepi untuk bersama-sama kalian saudara-saudaraku, mengukir jejak langkah baru di puncak-puncak yang lain. Masih terlalu sedikit jejak yang telah kita tinggalkan bersama, untuk menggapai puncak-puncak yang masih begitu banyak.
     Rinduku untuk kalian...
File videonya bisa di download di sini. Ukuran 5,8 Mb, format file: .wmv.

     Jejak kecil yang ditinggalkan Korpala menuju Kambuna di saat itu hanyalah seperti semilir yang berhembus setiap waktu di lebat hutannya. Sama sekali tidak mengusik virginitas Kambuna dengan ekosistimnya yang belum tersentuh keserakahan. Hanya ada tertinggal sekadar penanda psikologis dari  interaksi para pencinta alam itu.

ps : tambahan kisah dari kalian untuk memori yang tidak terangkum di tulisan ini,
saya tunggu untuk mengisi komentar di bawah. Terimakasih.. miss U all..

     Dua puluh tujuh orang anggota Korpala, di April 1986 menandai penjajakan pertama Korpala Unhas di Gunung Lompobattang. Perjalanan yang tidak terlalu mulus, tim yang meninggalkan kampus di sore hari, harus rela mendarat di Malakaji menjelang tengah malam. Karena tujuan masih jauh, rombongan melangkah perlahan, bergerak mendekati Lembang Bu'ne.
     Menjelang subuh, keberuntungan menghampiri, ada truk yang bersedia membawa rombongan sebagai penumpang tambahan diantara komoditi yang sudah memenuhi bak truk. Dan begitulah, menjelang pagi, kami tiba di Lembang Bu'ne dengan begitu lelah dan ngantuk.
 ada Afras, Bahtiar Baso, Akbar, Hero, Bob Lubis, Abang dan Wahyuddin. Tahulah mengapa ada gitar yang selalu mengikuti kegiatan.. banyak brader yang begitu lahir langsung bisa 'nyanyi'..
 
     Dalam cuaca yang berkabut disertai gerimis yang setia menyelimuti Lembang Bu'ne, rombongan mendekati pos pertama sekitar pukul 08.30 pagi. Keadaan cuaca stabil seperti itu, sepanjang waktu. Hingga sekitar pukul 17.30, barulah sebahagian besar peserta bisa mencapai ceruk di pos 9.
     Puncaknya sebelah mana? Itu, di sebelah itu.. ada telunjuk mengarah ke atas, menunjuk kabut yang berbaur gerimis. Saya memandang ke arah telunjuk itu mengarah, namun sama sekali tidak terlihat apa-apa, selain putih yang kelabu. Ada diskusi singkat, apakah akan melanjutkan menjangkau puncak Lompobattang, sementara sebentar lagi hari menjadi gelap. 
     Sesaat diam, sepertinya beberapa sedang sibuk berdialog dengan diri sendiri. Lalu, dengan beberapa anggukan kecil, seperti sedang mengirit kata-kata, hanya tatapan yang mewakili tekad untuk melanjutkan langkah. Tentu saja karena kondisi daya tahan yang tidak sama dalam menghadapi hujan sepanjang jalan tadi, sehingga tidak semuanya memutuskan untuk melanjutkan menuju puncak.
     Saya sempat mengamati jam di pergelangan tangan, sebelum melangkah. Lima belas menit lagi pukul enam sore. Sekali lagi saya menatap ke arah telunjuk tadi mengarah, berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan tujuan di dalam pandangan mata, namun tetap tidak ada yang terlihat.
 
 melintasi tangga batu ini di saat itu terasa begitu mencekam. Gerimis yang tidak kunjung reda, lalu kabut yang begitu tebal betul-betul membatasi pandangan mata. Ada sensasi yang lahir oleh fantasi manakala menikmati kondisi seakan melayang di atas seonggok batu, yang mengapung di hamparan tanpa dasar..
Jemmy, Iwan dan Indra, kapan kita bisa ke tempat ini lagi.?
 dari rombongan yang berjumlah 27 orang, sayang sekali tidak semuanya sempat menjejak hingga ke puncak Lompobattang. Hanya sembilan orang pada saat itu, diantaranya Indra Diannanjaya, Wahyuddin, Iwan Amran, Riri, Jemmy Abidjulu, Nevy Tonggiroh, Bahtiar Baso, Hero Fitrianto dan Yani Abidin.
 beruntung ketika rombongan kecil Korpala tiba di puncak, di sana juga ada rombongan lain yang sudah tiba beberapa saat sebelumnya. Mereka adalah teman-temannya Riri.. tentu saja ramai.. apalagi untuk foto-foto.

     Hanya lima belas menit di puncak, semuanya bergegas turun dan tiba kembali di pos 9 ketika gelap sudah hampir sempurna. Hanya tersisa sedikit bias cahaya di langit yang baru saja beranjak malam. Dan inilah.. penerangan hanya mengandalkan dua atau tiga lampu badai ditambah beberapa senter, yang juga hanya dua atau tiga buah saja.. senter jadul 'cap kepala singa' dengan baterai besar, panjang dan berat.
     Dalam serba keterbatasan pencahayaan, rombongan bergerak perlahan, hingga di mata air sekitar pos 3, sudah sekitar pukul 2 pagi. Rombongan berhenti di tempat ini untuk beristirahat. Menggigil dan tentu saja lapar, begitu terasa. Api yang cukup besar berhasil menyala, dan inilah.. bekal berupa 'nasi' dalam bungkusan plastik dikeluarkan. Sudah begitu dingin, membeku dan keras.
     As'adi begitu cekatan menyiapkan rantang aluminium untuk difungsikan sebagai panci, dan merebus kembali nasi yang sudah membeku itu. Luar bisa sekali, tanpa lauk sama sekali, nasi yang kembali mendidih di dalam panci itu ludes seketika tanpa mengangkat panci dari api. Hanya jari-jari dingin bergantian keluar masuk panci berburu dengan rasa lambung yang sudah begitu kosong.
 
nampang untuk foto dulu, sebelum meninggalkan Lembang Bu'ne
     Tidak semua peserta sempat teringat oleh saya, namun beberapa masih begitu segar di dalam ingatan.. ada As'adi, Allu, Phiphi, Novandi Arisoni, Buyung, Hukman dan ah.. lain-lainnya sudah tidak teringat lagi namanya...
     Dengan rendah hati saya menunggu komentar kalian, saudara-saudaraku, melengkapi cerita jalan-jalan pertama kita yang begitu bersahaja menuju Lompobattang, sehingga kembali memperkaya dan menyegarkan ruang memori saya yang sudah compang camping.
     Miss U all brader..

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.