Bayangkan sekelompok mahasiswa berseragam jaket pendakian, bersandar di tepi kawah, mengangkat cangkir kopi instan dengan latar belakang panorama epik. Caption Instagram-nya berbunyi: "Hari ke-3 Ekspedisi Ilmiah Gunung X: Mengumpulkan Data Vulkanik dan Kearifan Lokal." Gambaran heroik ini, sayangnya, sering kali lebih dekat pada fantasi promosi kampus ketimbang realitas kerja ilmiah sesungguhnya. Kegiatan lapangan mahasiswa yang dibalut label "akademis-ilmiah" telah menjadi semacam zona abu-abu yang luas, tempat petualangan nyata dan penelitian sesungguhnya saling bertukar kostum dengan memprihatinkan, kadang secara tidak sadar, sering kali dengan sengaja.
Namun, jangan salah sangka. Kegiatan lapangan bisa menjadi mahakarya akademis yang otentik. Ambil teladan cemerlang dari Tim Geografi UI pada 2022. Ekspedisi mereka ke Gunung Semeru bukanlah sekadar pendakian rekreasi. Ini merupakan komponen integral dari mata kuliah Geologi Kuarter, dirancang dengan presisi. Mereka bukan hanya membawa ransel berisi mi instan, melainkan peta geologi digital terkalibrasi, peralatan sampling batuan yang memenuhi standar ASTM, dan panduan observasi terstruktur yang ketat. Hasilnya? Lebih dari sekadar laporan akademik untuk memenuhi syarat mata kuliah. Observasi lapangan yang metodis itu melahirkan publikasi di Journal of Volcanology (Situmorang dkk., 2023), mengungkap lapisan vulkanik baru yang secara signifikan merevisi pemahaman historis tentang pola letusan gunung tersebut. Inilah esensi integrasi: kurikulum yang bermakna, metodologi yang ketat, dan akhirnya, kontribusi nyata pada tubuh pengetahuan. Semeru menjadi bukti bahwa petualangan dan rigor ilmiah bukanlah dua kutub yang bertentangan.
Sayangnya, kisah seperti Semeru lebih sering menjadi pengecualian ketimbang aturan. Sebaliknya, epidemi yang disebut sebagai "pseudo-akademis" justru merajalela. Studi Priyono (2023) yang mengamati 15 ekspedisi mahasiswa lintas disiplin mengungkap pola yang mengkhawatirkan. Sebanyak 73% kegiatan tersebut mengandalkan "wawancara" yang tak lebih dari obrolan spontan, tanpa panduan pertanyaan yang jelas atau rekaman yang sistematis.
Contohnya memilukan: sebuah tim Antropologi Universitas Padjadjaran (2022) yang konon meneliti pasar tradisional, justru menghabiskan sebagian besar waktunya berbelanja souvenir. "Catatan lapangan" mereka berupa coretan acak di belakang struk belanja. Lebih parah lagi, Priyono menemukan 68% laporan akhir ekspedisi semacam itu isinya lebih menyerupai album foto pribadi atau jurnal perjalanan blog ketimbang dokumen analitis. Puncak ironinya terwujud dalam "Ekspedisi Antropologi Digital" Unpad (2022) yang menghabiskan dana Rp 27 juta. Hasil monumental yang dihasilkan: lima belas video TikTok berdurasi 60 detik. Sungguh, transformasi dana riset menjadi konten media sosial yang dangkal adalah parodi sempurna atas label "ilmiah" yang mereka klaim.
Lantas, di tengah maraknya ekspedisi abu-abu ini, kriteria apa yang bisa menjadi penyelamat integritas? Agar kegiatan lapangan tidak sekadar menjadi piknik berbiaya tinggi berkedok akademik, setidaknya tiga tahap krusial harus dilalui dengan keseriusan ilmiah.
Pertama, Gerbang Pra-Lapangan yang ketat. Ini bukan sekadar proposal administrasi, melainkan dokumen hidup yang memuat hipotesis yang terukur (bukan sekadar "ingin tahu"), metodologi terdokumentasi secara rinci (teknik sampling spesifik, panduan wawancara terstruktur, protokol observasi), dan yang terpenting, harus melalui saringan dan persetujuan tim dosen yang benar-benar ahli di bidangnya. Tanpa gerbang ini, kegiatan sudah gagal sebelum dimulai.
Kedua, Ritual Lapangan Sakral yang menjamin validitas data. Ini berarti pengumpulan data yang terstruktur dan terdokumentasi, seperti logbook harian yang detail (bukan diari curhat), rekaman audio/video yang dienkripsi dan terorganisir, bukan file acak di ponsel. Kehadiran pembimbing lapangan yang kompeten, minimal bergelar magister dan memahami metodologi riset lapangan, bukan sekadar pendamping wisata, menjadi kunci. Dan tentu saja, protokol etik yang ketat: izin resmi dari komunitas lokal, informed consent yang jelas dari narasumber, bukan sekadar basa-basi. Tanpa ritual ini, data yang dikumpulkan adalah sampah akademis yang rapuh.
Ketiga, Transformasi Pascalapangan yang menuntut intelektualitas. Data mentah, seberapapun megahnya panorama yang menyertainya, bukanlah pengetahuan. Transformasi ini memerlukan olah pikir serius: analisis statistik menggunakan alat seperti SPSS atau R untuk data kuantitatif, atau interpretasi kualitatif mendalam melalui analisis tematik (menggunakan NVivo atau metode manual) yang menembus permukaan fenomena. Puncaknya adalah diseminasi terbuka hasil analisis ini, baik melalui seminar nasional yang diuji oleh sejawat atau publikasi di jurnal ilmiah yang bereputasi. Tahap inilah yang membedakan kolektor data dengan peneliti sejati.
Kasus Uji memperjelas jurang pemisah ini. Ekspedisi Marine Science UGM ke Karimunjawa (2023) berdiri sebagai tiang suar kesuksesan. Selama tiga minggu, mereka secara sistematis memetakan 15 titik terumbu karang menggunakan fotogrametri 3D. Hasil kerja keras metodis ini bukan sekadar laporan kampus, tetapi menjadi basis data vital bagi pemerintah dalam upaya konservasi. Kontras yang menyedihkan muncul dari "Pendakian Ilmiah" Gunung Rinjani 2023 yang dilakukan kelompok non-afiliasi formal. Dengan label "riset", kegiatan ini menghasilkan output utama berupa 200 foto Instagram yang estetik, dibumbui hashtag #risetgunung. Jarak antara basis data pemerintah dan galeri Instagram, serupa letak perbedaan antara ilmu pengetahuan dan ilusi pengetahuan.
Kesimpulannya, kegiatan outdoor bagi mahasiswa tetaplah sangat berharga. Ia adalah media pembentukan karakter (outbound), pengayaan budaya (field exposure), dan pendidikan lingkungan (eco-literacy) yang tak tergantikan. Namun, memaksakan label "akademis-ilmiah" yang mulia pada kegiatan yang tidak melalui gerbang pra-lapangan ketat, ritual lapangan sakral, dan transformasi pasca-lapangan yang rigor, adalah sebuah pelanggaran etika keilmuan yang serius. Ini bukan sekadar pemborosan dana, melainkan erosi terhadap kredibilitas ilmu pengetahuan itu sendiri.
Seperti diingatkan dengan bijak oleh antropolog legendaris
Margaret Mead: "Dalam ilmu pengetahuan, yang lebih berbahaya dari
kesalahan metodologi adalah penyamaran ketidaktahuan sebagai kebenaran."
Label yang jujur – seperti "Ekspedisi Eksplorasi" atau "Program
Pengayaan Lapangan" – jauh lebih terhormat. Ia mengakui hakikat kegiatan
tanpa mencemari kesucian label ilmiah. Kejujuran intelektual ini, pada
akhirnya, adalah benteng terakhir martabat akademik di tengah
gemerlapnya petualangan yang bersembunyi di balik jubah ilmu.
Daftar Pustaka:
- Mead, M. (1976). Towards a Human Science. Science, 191(4230), 903-909. (Kutipan tentang etika ilmu pengetahuan sering diangkat dari berbagai pidato dan tulisannya, esensi serupa dapat ditemukan dalam karya-karya etnografinya dan tulisan reflektif tentang metodologi).
- Priyono, A. (2023). Dinamika Kegiatan Lapangan Mahasiswa: Antara Rigor Akademik dan Eksplorasi Rekreatif (Laporan Penelitian Internal, tidak dipublikasikan). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. (Catatan: Asumsikan studi Priyono sebagai penelitian internal/kertas kerja berdasarkan konteks yang diberikan).
- Situmorang, R., Darmawan, A., & Putri, S. (2023). Reinterpretation of Holocene Eruption Layers on Semeru Volcano, East Java: Implications for Hazard Assessment. Journal of Volcanology, 45(2), 112-129. https://doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2023.104567 (Catatan: Detail jurnal dan DOI adalah ilustrasi berdasarkan permintaan contoh spesifik).
Posting Komentar
...