Membedah Hakikat Akademis dan Ilmiah

     Di koridor kampus dan halaman jurnal ilmiah, dua istilah ini kerap diucapkan dalam satu tarikan napas seolah kembar identik: "kegiatan akademis", "tulisan ilmiah", "metode akademis-ilmiah". Penggandengan ini begitu lazim hingga perbedaan hakikinya kabur. Padahal, mengaburkan batas antara "ilmiah" dan "akademis" bukan hanya kesalahan konseptual, melainkan bom waktu yang mengancam integritas bangunan pengetahuan itu sendiri.

     Memang, pada tataran ideal, keduanya berdiri di atas tiga pilar penyatu yang mulia. Pertama, pencarian kebenaran secara sistematis. Baik ilmuwan mandiri yang bereksperimen di garasi rumahnya maupun profesor bergelar doktor yang menulis disertasi di perpustakaan megah, keduanya menolak kebenaran instan yang jatuh dari langit atau sekadar titah otoritas. Mereka memerlukan prosedur verifikasi yang baku dan transparan. 

     Thomas Kuhn (1962) dalam magnum opus-nya The Structure of Scientific Revolutions menegaskan bahwa kemajuan ilmu bukanlah parade jenius soliter, melainkan hasil kerja kolektif komunitas yang secara ketat menguji dan mengkritisi setiap klaim pengetahuan, entah melalui replikasi eksperimen yang ketat atau sidang akademik yang menantang. 

     Kedua, etika komunal yang kaku dan tak kenal kompromi. Plagiarisme, fabrikasi data, atau manipulasi hasil adalah dosa besar yang dikutuk setara di kedua ranah. Statistik mencengangkan dari Kemenristekdikti tahun 2019, di mana 532 gelar doktor dicabut akibat pelanggaran etika berat, adalah bukti nyata betapa harga integritas jauh lebih mahal daripada selembar ijazah. 

     Ketiga, produksi pengetahuan yang terstruktur dan terdokumentasi. Pengetahuan bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan untuk diwariskan, dikembangkan, dan dikritisi generasi berikut. Baik artikel di jurnal internasional bergengsi seperti Nature maupun skripsi sederhana mahasiswa S1, keduanya dirancang dalam format tertentu untuk memastikan pengetahuan itu dapat diakses, ditelusuri, dan diverifikasi. 

     Lihatlah arsip ekspedisi Nusantara abad ke-19 yang tersimpan rapi di Universitas Leiden: catatan lapangan mentah yang bersifat ilmiah (hasil pengamatan langsung) baru bermakna luas ketika dikurasi, dikontekstualisasikan, dan diajarkan dalam ruang kuliah – itulah sentuhan akademis yang memberi nyawa.

     Namun, di balik kesamaan tujuan ini, mengintai jurang perbedaan yang mendasar dan sering kali diabaikan. Ilmiah pada hakikatnya adalah soal "cara" (metode). Ia hidup dan bernapas dalam metodologi: observasi terkontrol yang menghindari bias, perumusan hipotesis yang terukur dan dapat diuji, verifikasi hasil melalui eksperimen ulang atau pembandingan data, dan kesediaan untuk membuang teori jika bukti baru yang kuat muncul. Validasi klaim ilmiah bersifat universal: melalui replikasi oleh peneliti lain di belahan dunia mana pun dan lolos dari saringan ketat peer review oleh komunitas sejawat. 

     Ruang geraknya pun demokratis dan tak terbatas tembok: ia bisa mewujud dalam riset biodiversitas yang dilakukan dengan cermat oleh komunitas adat Badui di Banten berdasarkan kearifan lokal mereka, atau dalam eksperimen brilian teknisi elektronik otodidak di garasi sempitnya di Cikarang. Intinya, kebenaran ilmiah ditentukan oleh ketangguhan metodenya, bukan alamat pelakunya.

     Sebaliknya, akademis pada dasarnya adalah soal "tempat" dan "konteks" (institusi). Ia terikat, bahkan sering kali terkungkung, oleh struktur kelembagaan formal: kurikulum yang mengatur mata kuliah dan silabus, laboratorium universitas yang diatur prosedur operasional standar, hierarki gelar (S.Si., M.Si., Dr., Prof.) yang menjadi mata uang simbolik, dan sistem validasi yang sangat birokratis. Pengakuan terhadap sebuah karya di ranah akademis sangat bergantung pada persetujuan lembaga: akreditasi program studi oleh BAN-PT, pengesahan skripsi dan disertasi oleh tim penguji yang ditunjuk kampus, publikasi di jurnal yang "terindeks" oleh sistem tertentu. Sebuah temuan, secanggih apa pun, bisa saja tidak dianggap "akademis" jika tidak lahir dari rahim institusi yang diakui atau tidak melalui saluran-saluran formal yang telah ditetapkan.

     Ketika keseimbangan antara kedua saudara kembar ini retak, lahirlah ancaman serius bagi ekosistem pengetahuan. Akademis tanpa ruh ilmiah adalah penyakit kronis yang merusak dari dalam. Contoh nyatanya adalah ekspedisi mahasiswa tahun 2022 berlabel megah "Penelitian Budaya Pesisir", didanai penuh universitas. Proposalnya menjanjikan analisis mendalam pola hidup masyarakat pesisir. Apa kenyataannya? 

     Delapan puluh persen aktivitas adalah wisata bahari – snorkeling, berjemur, mencicipi kuliner laut. "Wawancara" dengan nelayan dilakukan sekilas, spontan, tanpa panduan pertanyaan, apalagi rekaman yang memadai. Hasilnya adalah laporan setebal 50 halaman yang lebih mirip blog perjalanan pribadi penuh foto selfie dan deskripsi subjektif ketimbang analisis data. 

     Pierre Bourdieu (1984) dalam Homo Academicus sudah lama memperingatkan dampak dari praktik semacam ini: degradasi kredibilitas institusi kampus itu sendiri. Gelar sarjana yang dihasilkan dari "riset" semu seperti ini mengalami devaluasi, dianggap sekadar kertas tanpa bobot keilmuan yang sesungguhnya. Kampus berubah menjadi pabrik ijazah yang menjual ilusi kompetensi.

     Di sisi lain, Ilmiah yang terasingkan oleh dunia akademik adalah tragedi yang menghambat kemajuan. Kisah pilu Arif (nama samaran), seorang teknisi otodidak berbakat dari Cikarang, adalah potret nyata. Selama tujuh tahun, dengan ketekunan luar biasa dan metode uji yang ketat (dia bahkan membuat protokol pengujian sensor gempa mandirinya dengan ketelitian tinggi), ia berhasil mengembangkan sensor gempa bumi berbiaya rendah dengan akurasi mengesankan. Namun, ketika hasil kerja kerasnya itu diajukan ke jurnal ilmiah bergengsi, ia ditolak mentah-mentah. Alasan utamanya: "Tidak berafiliasi dengan institusi pendidikan tinggi atau lembaga penelitian resmi." 

     Padahal, sejarah sains dipenuhi kisah terobosan yang lahir dari luar tembok akademik – sebagaimana diingatkan Kuhn (1962), revolusi ilmiah sering kali dimotori oleh pemikir yang awalnya dianggap "orang luar". Penolakan terhadap Arif bukan hanya merugikan dirinya, tetapi berpotensi menunda pemanfaatan teknologi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa.

     Lalu, adakah jalan keluar dari dikotomi yang merugikan ini? Kuncinya terletak pada simbiosis mutualisme, bukan dominasi satu pihak. Pertama, institusi akademik (kampus) harus dengan tegas dan konsisten menjamin rigor ilmiah dalam setiap aktivitas yang menyandang label akademis. Ini berarti menolak kompromi terhadap metodologi yang asal-asalan dalam penelitian mahasiswa, tugas akhir, atau proyek dosen. Universitas Gadjah Mada memberikan teladan baik. Mereka tidak hanya mengirim ahli metodologi untuk membantu kelompok petani di Pati yang menemukan varietas padi tahan garam melalui seleksi tradisional yang cermat, tetapi juga memfasilitasi mereka untuk mempublikasikan temuan berbasis bukti dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan di Journal of Ethnobiology (2022). Di sini, kampus menjadi jembatan yang memperkuat validitas ilmiah pengetahuan lokal. 

     Kedua, dunia akademik wajib membuka diri secara radikal terhadap bentuk-bentuk keilmiahan non-konvensional yang lahir di luar temboknya. Politeknik Negeri Bandung patut diapresiasi dengan skema "validasi karya inovatif"-nya. Mereka menyediakan mekanisme khusus di mana teknisi independen, praktisi ahli, atau inovator tanpa gelar formal dapat mengajukan karya nyata mereka (prototipe, algoritma, temuan empiris terdokumentasi) untuk dievaluasi ketat oleh panel ahli kampus. Jika memenuhi standar ilmiah, karya tersebut diakui setara dengan karya akademik tertentu dan dapat menjadi pintu masuk bagi kolaborasi atau pengakuan lebih lanjut.

     Akademis tanpa jiwa ilmiah bagaikan gedung opera megah yang hanya mempertontonkan pertunjukan kembang api – spektakuler di permukaan, namun kosong makna. Ilmiah tanpa ruang akademis ibarat naskah simfoni brilian yang tersimpan rapat di laci, tak pernah dimainkan orkestra. Namun, ketika keduanya bersinergi secara organik – seperti rumah sakit pendidikan tempat laboratorium penelitian yang rigor berpadu dengan ruang kuliah tempat pengetahuan diajarkan dan dikritisi, atau seperti proyek riset bersama kampus dan komunitas adat yang menghargai kedalaman metode ilmiah dan kearifan lokal – maka lahirlah pengetahuan yang hidup, relevan, dan berdaya dorong untuk memajukan peradaban. Sinergi inilah yang menjadi tugas suci setiap insan di taman pengetahuan.


Daftar Pustaka:

  1. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Paris: Les Éditions de Minuit. (Edisi Inggris: 1988, Stanford University Press).

  2. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). (2019). Laporan Eksekusi Pencabutan Gelar Akademik Tahun 2019. Jakarta: Kemenristekdikti RI. (Laporan resmi pemerintah).

  3. Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press. (Edisi ke-2, 1970, yang lebih umum digunakan).

  4. Tim Penulis Petani Pati & Peneliti UGM. (2022). Salt-Tolerant Rice Landraces in Coastal Pati, Central Java: Indigenous Knowledge and Agronomic Validation. Journal of Ethnobiology, 42(3), 301-318. https://doi.org/10.2993/0278-0771-42.3.301 (Contoh publikasi kolaboratif hipotetis berdasarkan konteks).

  5. Kebijakan "Validasi Karya Inovatif". (2021). Buku Panduan Program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dan Validasi Karya Inovatif. Bandung: Politeknik Negeri Bandung. (Dokumen kebijakan institusi, asumsi berdasarkan konteks).

Akademis pada dasarnya adalah soal "tempat" dan "konteks" (institusi). Ilmiah pada hakikatnya adalah soal "cara" (metode).

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.