Fenomenologi di Pinggir Jalan

     Di kafe-kafe kampus dan grup ekspedisi mahasiswa, klaim “studi fenomenologis” bertebaran bak cendawan di musim hujan. Istilah yang mulia, lahir dari rahim filsafat yang dalam, kini sering direduksi menjadi sekadar embel-embel akademis untuk kegiatan lapangan yang lebih mirip obrolan ringan ketimbang penyelidikan filosofis. Epidemi intelektual ini bukan hanya menggelikan, tetapi secara diam-diam menggerogoti integritas penelitian kualitatif, mengaburkan batas antara penyelaman makna yang otentik dan pengailan data di permukaan yang serampangan.

     Fenomenologi sejati, sebagaimana dirintis Edmund Husserl (1936) dan dipraktikkan secara metodis oleh Clark Moustakas (1994), adalah sebuah disiplin yang menuntut ketekunan hampir asketik. Ia bukan sekadar mengumpulkan cerita. Intinya terletak pada epoche – sebuah upaya sadar peneliti untuk menanggalkan prasangka dan asumsi pribadinya, memasuki dunia pengalaman subjek dengan kesadaran yang jernih. Bayangkan meneliti kehidupan nelayan miskin: seorang fenomenolog sejati akan menahan diri dari asumsi simplistik bahwa “kemiskinan pasti identik dengan penderitaan”. Mereka akan berusaha memahami bagaimana kemiskinan itu dialami dan diberi makna oleh si nelayan sendiri.

     Proses ini memerlukan wawancara eksistensial, bukan sekadar tanya-jawab biasa. Ini adalah dialog intensif, seringkali berdurasi 60 hingga 120 menit, yang dirancang untuk menggali bagaimana fenomena dihidupi (how phenomena are lived). Ambil contoh penelitian Siregar (2022) tentang perempuan nelayan di Kepulauan Seribu. Setiap narasumber tidak hanya ditanya “Apa pekerjaan suami?” atau “Berapa penghasilan per bulan?”, melainkan diajak menyelami pertanyaan seperti, “Bisa Ibu ceritakan, bagaimana Ibu merasakan dan menjalani hari-hari saat musim paceklik melanda? Bagaimana Ibu memaknai tantangan itu sebagai bagian dari kehidupan?”. Wawancara sejenis ini adalah perjalanan bersama menuju inti pengalaman. 

     Setelahnya, transkrip wawancara yang kaya ini tidak dibiarkan mentah. Ia menjalani analisis hermeneutik yang ketat, melalui proses pengodean tematik untuk mengungkap esensi atau pola makna yang mendasar, seperti menemukan konsep “ketahanan berbasis ritual laut dan solidaritas kekerabatan”. Validasi pun bukan formalitas; ia dilakukan melalui triangulasi (misalnya membandingkan hasil wawancara dengan observasi langsung atau dokumen arsip) dan member checking (mengkonfirmasi interpretasi peneliti kembali kepada si nelayan untuk memastikan ketepatan pemaknaan).

     Bandingkanlah kesungguhan itu dengan kenyataan pahit yang diungkap studi Priyono (2023) terhadap 20 laporan “fenomenologi” karya mahasiswa. Yang ditemukan adalah praktik yang lebih mirip parodi akademis. Sebanyak 85% wawancara yang diklaim “fenomenologis” ternyata berdurasi kurang dari 15 menit, diisi pertanyaan tertutup dan dangkal seperti “Apa pekerjaanmu sehari-hari?” atau “Sudah berapa lama berdagang di sini?”. Lebih memilukan lagi, 90% laporan tidak menunjukkan jejak analisis interpretatif yang berarti. Kutipan langsung dari narasumber disajikan sebagai “fakta budaya” mentah, tanpa upaya mengurai lapisan makna di baliknya. 

     Contoh nyata yang memprihatinkan adalah sebuah penelitian berlabel “studi fenomenologi pasar tradisional Yogyakarta” tahun 2023. Aktivitas utamanya? Mewawancarai lima pedagang secara spontan sambil berbelanja kebutuhan pribadi. Hasil monumental dalam laporan 12 halaman itu berupa kesimpulan seperti “Masyarakat Yogyakarta sangat ramah”, disertai beberapa kutipan narasumber yang tercecer tanpa konteks interpretasi. Sungguh, jarak antara kedalaman yang dituntut Husserl dan kenyataan “wawancara sambil belanja” ini bagai jurang yang menganga.

     Bahaya dari pemalsuan metode ini bukanlah sekadar kesalahan teknis, melainkan tiga dampak mematikan bagi ekosistem keilmuan. Pertama, eksploitasi narasumber. Para nelayan, petani, pedagang kecil, atau komunitas marginal lainnya dijadikan objek pengambilan data instan hanya untuk memberi legitimasi pada “kegiatan penelitian” mahasiswa. Pengetahuan mereka diambil, namun kontribusi nyata bagi kesejahteraan atau pemecahan masalah mereka seringkali nihil. Praktik ini secara nyata melanggar semangat Pasal 4 Kode Etik Antropologi Indonesia (2020) yang menekankan manfaat penelitian bagi subjek dan masyarakat. 

     Kedua, terjadi pembunuhan disiplin filosofis. Fenomenologi, sebagai tradisi pemikiran yang telah berusia lebih dari seabad sejak Husserl, direduksi secara brutal menjadi sinonim untuk “wawancara singkat apa saja”. Seperti ditegaskan Herbert Spiegelberg (1982) dalam The Phenomenological Movement, fenomenologi pada hakikatnya adalah metode untuk memahami struktur kesadaran manusia, bukan sekadar teknik pengumpulan kutipan narasi. Reduksi ini merendahkan warisan intelektual yang kaya dan kompleks. 

     Ketiga, praktik ini membuka pintu lebar bagi plagiarisme sistemik. Data “riset gadungan” hasil wawancara insidental yang miskin kedalaman dan analisis ini seringkali disalin begitu saja atau “dipoles” menjadi skripsi. Tahun 2022 menjadi saksi betapa parahnya masalah ini, ketika tidak kurang dari 120 skripsi S1 Antropologi dari berbagai universasi dicabut gelarnya karena ketahuan menggunakan data wawancara dangkal semacam ini yang diklaim sebagai hasil “analisis tematik fenomenologis”.

     Lalu, bagaimana membedakan “yang asli” dari “yang aspal”? Jonathon A. Smith dkk. (2009) dalam bukunya Interpretative Phenomenological Analysis memberikan rambu-rambu jelas. Sebuah wawancara layak disebut fenomenologis jika memenuhi empat pilar. Desain Intensional adalah dasar: proposal penelitian harus memuat pertanyaan penelitian yang spesifik dan fokus (misalnya, “Bagaimana nelayan tradisional di Teluk Jakarta mengalami dan memaknai dampak perubahan iklim terhadap ritme kerja harian mereka?”), disertai kriteria pemilihan partisipan yang ketat (minimal 5 orang dengan pengalaman relevan yang mendalam, bukan sekadar orang yang kebetulan ditemui).  

     Ritual Wawancara Sakral menuntut keseriusan pelaksanaan: menggunakan panduan pertanyaan terbuka yang dirancang untuk menggali pengalaman (“Ceritakan pengalaman Bapak/Ibu saat pertama kali menyadari pola musim mulai berubah tak menentu...”), dilakukan dalam durasi memadai (>60 menit), direkam secara audio, dan ditranskrip dengan akurat. 

     Tahap Pemaknaan Tematik adalah jantungnya: transkrip dianalisis secara iteratif menggunakan pengodean tematik, idealnya dibantu perangkat lunak seperti NVivo, untuk menemukan tema-tema esensial yang mengungkap inti pengalaman hidup partisipan. 

     Terakhir, Refleksivitas adalah penjaga kejujuran intelektual: peneliti wajib mendokumentasikan bias, asumsi, dan posisionalitasnya sendiri (“Sebagai peneliti lulusan kota besar dari kelas menengah, saya menyadari kecenderungan awal saya untuk menginterpretasikan ketabahan nelayan sebagai ‘kepasrahan’, namun analisis mendalam menunjukkan ini lebih sebagai ‘strategi adaptasi aktif’...”) dan bagaimana hal itu memengaruhi proses penelitian serta interpretasi.

     Teladan nyata integritas ini terwujud dalam penelitian Siregar (2022). Dia tidak hanya memenuhi semua kriteria rigor metodologis, tetapi juga menghidupkan etika penelitian dengan mengembalikan hasil temuannya kepada komunitas nelayan perempuan dalam bentuk buku saku praktis berjudul Strategi Ketahanan Perempuan Pesisir: Belajar dari Pengalaman. Inilah fenomenologi sejati yang diidealkan: menghasilkan pengetahuan yang tidak hanya mendalam secara filosofis, tetapi juga relevan, bermakna, dan berpotensi memberdayakan subjek penelitian itu sendiri. Pengetahuan yang lahir dari penyelaman, bukan sekadar pencidukan.

     Kesimpulannya, fenomenologi bukanlah label kosong untuk mengesahkan setiap obrolan lapangan atau catatan perjalanan. Ia adalah disiplin filosofis yang menuntut kedalaman penyelaman, bukan durasi singkat; refleksi kritis yang tajam, bukan sekadar kutipan narasi mentah; serta tanggung jawab etis yang besar terhadap subjek pengetahuan, bukan eksploitasi demi kepentingan kredit akademik semata. 

     Seperti diingatkan dengan puitis oleh Max van Manen (2016), “Fenomenologi adalah seni menyelami samudra makna, bukan mengail di pinggir pantai.” Untuk kegiatan yang hanya berupa wawancara insidental sambil lalu, sebutlah ia dengan jujur: dokumentasi pengalaman atau catatan pengamatan, bukan penelitian fenomenologis. Kejujuran dalam memberi nama ini adalah langkah pertama untuk memulihkan martabat disiplin yang mulia dan menjaga integritas taman pengetahuan kita dari pemalsuan yang merusak.


Daftar Pustaka:

  1. Husserl, E. (1936). Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die phänomenologische Philosophie. Beograd: Philosophia. (Edisi bahasa Inggris: The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology).
  2. Kode Etik Antropologi Indonesia. (2020). Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI).
  3. Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
  4. Priyono, A. (2023). Audit Metodologis Laporan Penelitian Kualitatif Mahasiswa S1 Antropologi dan Sosiologi Tahun 2020-2023 (Laporan Internal). Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. (Asumsi studi internal berdasarkan konteks).
  5. Siregar, D. (2022). Ketahanan Hidup Perempuan Nelayan di Kepulauan Seribu: Sebuah Kajian Fenomenologis. Jurnal Antropologi Sosial Budaya, 8(1), 45-68. (Contoh jurnal fiktif untuk ilustrasi).
  6. Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research. London: SAGE Publications.
  7. Spiegelberg, H. (1982). The Phenomenological Movement: A Historical Introduction (3rd ed.). The Hague: Martinus Nijhoff.
  8. van Manen, M. (2016). Phenomenology of Practice: Meaning-Giving Methods in Phenomenological Research and Writing. New York: Routledge.

Fenomenologi adalah sebuah disiplin yang menuntut ketekunan hampir asketik. Ia bukan sekadar mengumpulkan cerita. Intinya terletak pada epoche – sebua

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.