Articles by "Lembanna"

Tampilkan postingan dengan label Lembanna. Tampilkan semua postingan

     Di dunia yang penuh dengan interaksi semu, di mana kehadiran seseorang lebih sering berupa deretan piksel di layar, karakter sejati menjadi sesuatu yang samar. Seseorang bisa tampil penuh welas asih dalam satu unggahan, lalu dingin dan abai dalam realitas. Frank A. Clark pernah berkata bahwa ujian sejati karakter terletak pada bagaimana seseorang memperlakukan mereka yang tak memberi keuntungan. Barangkali, itulah sebabnya mengapa dunia kini dipenuhi wajah-wajah yang memanipulasi kebaikan sebagai strategi, bukan sebagai esensi.

      Di zaman yang memuja citra, seseorang bukan lagi individu yang hidup dalam keterhubungan organik dengan sesama dan alam, melainkan konstruksi yang dirancang untuk diterima, dikagumi, dan diuntungkan. Antroposentrisme semakin kokoh, menjadikan segala sesuatu—termasuk manusia lain—sekadar instrumen bagi kepentingan pribadi. Hubungan sosial bukan lagi pertemuan antara jiwa-jiwa yang saling berbagi, tetapi transaksi tak kasatmata yang dikalkulasikan dalam keuntungan jangka pendek maupun panjang. Dalam dunia seperti ini, narsisme tumbuh subur, membentuk individu yang bukan hanya mencintai diri sendiri, tetapi juga merasa berhak menjadi pusat dari segalanya.

     Namun ada ruang-ruang tertentu yang menolak kepalsuan ini, tempat di mana manusia kehilangan daya untuk mempertahankan citra. Dalam kondisi di mana tubuh diuji, di mana bertahan hidup menjadi satu-satunya prioritas, tidak ada lagi tenaga tersisa untuk memainkan peran. Gunung adalah tempat semacam itu. Dingin yang menusuk, jalur yang curam, rasa lapar yang menggerogoti—semuanya adalah pengupas topeng paling ampuh. Di sinilah seseorang terlihat sebagaimana adanya. Apakah ia memilih berbagi api unggun atau berpaling? Apakah ia menawarkan air terakhirnya atau justru menyembunyikannya? Tidak ada tepuk tangan bagi kebaikan yang dilakukan, dan justru karena itu, tindakan tersebut menjadi murni.

     Mereka yang terlalu terbiasa dengan sorotan, yang menganggap hidup sebagai panggung permanen, akan gelisah dalam kesunyian gunung. Tanpa penonton, tanpa pengakuan, siapa yang mereka coba tipu? Namun mereka yang memahami keterhubungan, yang tidak melihat dunia sebagai benda mati untuk dimanfaatkan, akan menemukan bahwa gunung bukan sekadar latar belakang petualangan, tetapi sebuah ruang untuk menyatu. Ini adalah titik temu antara ekosentrisme dan keberadaan yang lebih dalam.

     Tidak ada manusia yang lebih unggul dari kabut yang melingkupi puncak, dari batu-batu yang telah ada sejak sebelum lahirnya peradaban. Tidak ada gunanya berdebat soal kehormatan ketika di hadapan alam, semua berdiri dalam kesetaraan mutlak. Keseimbangan bukan sekadar konsep ekologis, tetapi juga moral. Di puncak yang dingin, dalam udara yang tipis, batas antara diri dan alam menghilang. Alam sebagai cermin yang tidak memihak, memperlihatkan siapa yang masih terjebak dalam delusi kekuasaan dan siapa yang telah memahami posisinya sebagai bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.

     Di antara dingin yang menggigit dan suara angin yang berbisik di sela pepohonan, terselip sebuah pemahaman yang mungkin sulit ditemukan di tempat lain. Bukan sekadar perjalanan fisik, pendakian adalah bentuk lain dari rite of passage, suatu proses transformatif yang ditemukan dalam berbagai budaya sebagai ujian bagi seseorang yang tengah beranjak ke tahap kehidupan berikutnya. Ini bukan sekadar pengalaman mendaki dan menaklukkan puncak, tetapi perjalanan simbolis yang menguji ketahanan fisik dan kedalaman jiwa. Dalam perjalanan ini, seseorang dipaksa untuk menghadapi keterbatasannya, menanggalkan identitas superfisial, dan menemukan makna yang lebih esensial dalam keberadaannya. Di setiap langkah yang mendaki, ada lapisan-lapisan topeng yang terlepas. Tak ada tempat untuk kepalsuan, tak ada ruang bagi mereka yang hanya ingin dikenang tanpa benar-benar mengalami.

      Ironisnya, banyak yang kembali dari perjalanan ini hanya untuk kembali mengenakan topengnya. Mereka membawa pulang foto-foto lanskap, cerita tentang pendakian, bahkan mungkin kebanggaan telah menaklukkan alam. Seakan-akan gunung adalah panggung lain, dan mereka adalah tokoh utama. Namun bagi yang benar-benar memahami, gunung tidak pernah ditaklukkan. Ia hanya membiarkan manusia melewatinya, mengizinkan mereka bercermin dalam sunyinya, memberi mereka kesempatan untuk bertanya: jika semua sorotan padam, jika tidak ada satu pun yang melihat, siapa sebenarnya yang tersisa?

     Fajar menyelinap perlahan di punggung gunung, membasuh lanskap dengan kilauan keemasan. Di saat itu, kamera DSLR menjadi lebih dari sekadar alat, ia menjelma menjadi medium yang membekukan keabadian dalam sekejap. Setiap klik adalah dialog sunyi dengan alam, upaya merekam bukan hanya apa yang terlihat, tetapi juga apa yang dirasakan. Dalam keheningan puncak, di mana angin membawa bisikan pohon-pohon, fotografi menjadi perpanjangan dari kesadaran. Ini adalah cara untuk mendengarkan cerita yang tidak diucapkan, baik oleh pegunungan yang gagah maupun oleh wajah-wajah yang lelah namun penuh harapan.

     Sebagai seorang pendaki gunung, perjalanan ke puncak bukanlah sekadar pencapaian fisik. Setiap langkah adalah penziarahan, setiap nafas adalah pengingat akan keterbatasan dan ketangguhan manusia. Dalam perjalanan ini, kamera menjadi saksi bisu dari keterhubungan antara manusia dan alam. Lanskap gunung yang megah, dihiasi kabut yang melayang, berbicara tentang kekekalan, sementara ekspresi teman-teman pendakian menceritakan kisah keberanian, keraguan, dan sukacita yang universal. Memotret mereka adalah menangkap momen-momen di mana kejujuran manusia berpadu dengan keagungan alam.

     Keputusan untuk tetap setia pada kamera DSLR di era ponsel cerdas yang serba canggih adalah lebih dari sekadar pilihan teknis. Itu adalah pernyataan filosofi. DSLR menawarkan kendali penuh atas cahaya, ruang, dan waktu, memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap apa yang tidak kasat mata. Dengan kamera ini, lanskap dan wajah menjadi lebih dari sekadar objek; mereka adalah subjek yang memiliki jiwa. Di sinilah perbedaan antara foto dan sekadar gambar. Sebuah foto adalah cerminan dari apa yang ada di balik lensa, apa yang ada di dalam hati fotografer.

     Lanskap gunung memiliki ritmenya sendiri. Waktu bermain dengan warna dan bayangan, menciptakan momen-momen singkat yang begitu cepat berlalu. Golden hour dan blue hour, saat-saat di mana cahaya mengungkapkan keajaiban tersembunyi, adalah hadiah bagi mereka yang bersedia menunggu. Namun, menangkap wajah manusia membutuhkan jenis kesabaran yang berbeda, jenis kepekaan yang hanya dapat diasah melalui pengalaman. Candid adalah seni memahami tanpa mengganggu, seni menangkap kejujuran yang sering kali bersembunyi di balik kesadaran. Kamera DSLR, dengan kecepatannya yang andal dan kemampuannya menangkap detail, menjadi sekutu terbaik dalam mengejar momen-momen ini.

     Namun, fotografi di gunung bukanlah sekadar soal teknik atau alat. Ini adalah bentuk meditasi, cara untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketika sebuah foto berhasil menangkap kilauan embun di dedaunan, pancaran matahari di puncak, atau senyuman seorang teman yang tidak disengaja, itu lebih dari sekadar gambar. Itu adalah bukti dari keberadaan, momen di mana manusia, alam, dan waktu menyatu dalam harmoni.

     Dan di sinilah keajaiban sejati terletak. Foto-foto ini, meski diam dan tidak bergerak, berbicara dalam bahasa yang melampaui kata-kata. Lanskap gunung yang megah berbicara tentang kebesaran alam semesta, sementara wajah-wajah teman pendakian mengingatkan bahwa di tengah kebesaran itu, ada kehangatan, persahabatan, dan kemanusiaan. Mereka adalah pengingat bahwa hidup adalah campuran antara yang monumental dan yang intim, antara yang kekal dan yang sementara.

     Setiap perjalanan mendaki gunung adalah kesempatan untuk belajar, untuk mendengarkan, untuk melihat. Kamera, dalam konteks ini, menjadi jendela sekaligus cermin. Melalui lensa, dunia dilihat dengan mata yang lebih tajam, dan diri dipahami dengan cara yang lebih mendalam. Fotografi tidak hanya merekam perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin, jejak yang tidak hanya tertinggal di gunung, tetapi juga di dalam hati.

     Dalam lanskap gunung dan wajah-wajah yang bicara, ada kisah yang tidak akan pernah selesai diceritakan. Setiap klik adalah upaya untuk menangkap serpihan dari kisah itu, untuk menyimpan secuil keajaiban yang, meski sementara, memiliki daya tahan yang abadi. Dan di sanalah letak makna sejati fotografi bagi seorang pendaki gunung: bukan sekadar membekukan waktu, tetapi memberi hidup pada momen-momen yang telah berlalu.





     Menikmati secangkir kopi di puncak gunung, di tengah hutan tropis yang berkabut, sepertinya lebih dari sekadar ritual. Itu adalah meditasi, sebuah perayaan kecil untuk hidup yang sederhana tetapi penuh makna. Dalam setiap seduhan kopi tubruk, ada cerita yang melekat pada butiran bubuknya, pada air panas yang membawanya hidup, dan pada aroma yang menyebar seperti mantra, membawa kehangatan ke dalam jiwa yang mungkin sudah lelah oleh dingin dan lelah perjalanan. Kopi tubruk bukan hanya minuman; ia adalah esensi dari pengalaman mendaki. Sebuah pengingat bahwa hal-hal sederhana, ketika diberi ruang dan waktu, bisa menjadi bagian paling berharga dari sebuah perjalanan.

     Memilih kopi tubruk daripada kopi instan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang prinsip. Setiap bubuk kopi yang larut perlahan dalam air panas mencerminkan perjalanan yang dilalui untuk mencapainya: biji kopi yang dipanen, dipanggang, dan digiling. Setiap langkah dalam proses itu seolah menyampaikan pesan tentang penghargaan kepada alam, kepada waktu, kepada usaha manusia. Ketika dicampur dengan jahe dan sejumput merica, rasa kopi tidak hanya menjadi lebih kompleks, tetapi juga lebih intim. Kehangatannya menyatu dengan tubuh, melawan dinginnya udara pegunungan yang sering kali menyelinap hingga ke tulang. Ini bukan sekadar upaya menyesuaikan diri dengan cuaca; ini adalah cara menyatu dengan elemen, memahami bagaimana alam dan tubuh saling berbicara melalui rasa.

     Dan ada gula aren. Ah, gula aren! Manisnya berbeda. Bukan sekadar rasa manis yang mendominasi, tetapi sebuah manis yang lembut, menyentuh, mengingatkan pada akar tradisi, pada tangan-tangan yang memprosesnya tanpa mesin, tanpa formula kimia. Mungkin itulah mengapa rasa manisnya terasa lebih jujur. Di gunung, di mana segala sesuatu menjadi lebih mentah dan nyata, gula aren membawa sedikit sentuhan rumah, sedikit pengingat bahwa bahkan di tempat yang jauh dari peradaban, ada benang yang menghubungkan.

     Namun, ritual ini juga lebih dalam dari sekadar rasa atau teknik. Tidak membawa alkohol ke dalam pendakian adalah sebuah sikap yang jelas, sebuah prinsip yang menandai penghormatan kepada aktivitas mendaki itu sendiri. Gunung bukanlah tempat untuk kehilangan kesadaran, tetapi tempat untuk menemukannya. Ini adalah ruang di mana batas antara manusia dan alam menjadi kabur, di mana setiap langkah dan setiap tarikan napas mempertegas kesadaran akan kehidupan. Kopi, dalam kerangka itu, adalah teman yang sempurna—hadir tanpa membuat mabuk, memberi energi tanpa mengambil kendali. Ia tidak mengganggu keseimbangan, tetapi mempertegasnya.

     Ada sesuatu yang magis ketika meminum kopi di gunung. Aroma kopi bercampur dengan udara segar, kabut tipis, dan suara alam menciptakan harmoni yang sulit ditemukan di tempat lain. Setiap tegukan bukan hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga menenangkan pikiran. Dan dalam momen itu, seseorang mungkin merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, lebih hadir dalam hidupnya. Kopi di gunung menjadi lebih dari sekadar minuman; ia adalah penghubung antara manusia, alam, dan tradisi.

     Orang mendaki gunung karena ada sesuatu yang tak terjelaskan dalam ketinggian yang memanggil jiwa mereka. Gunung tidak pernah berteriak, tidak pernah memohon, tetapi kehadirannya yang megah seperti menantang, bukan dalam bentuk kompetisi melawan alam, melainkan pergulatan melawan diri sendiri. Mereka datang, berbondong-bondong membawa harapan, kegelisahan, atau mungkin sekadar rasa bosan terhadap kehidupan yang datar, mencari sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas harian yang membosankan.

     Di gunung, orang menemukan keheningan yang menampar dengan lembut, keheningan yang menuntut perhatian. Nietzsche menyebut alam sebagai tempat di mana manusia dapat menjauh dari dunia yang penuh nafsu dan kekosongan. Gunung menawarkan pelarian dari kebisingan duniawi, meskipun ironisnya, banyak yang membawa kebisingan itu bersama mereka. Di zaman modern ini, gunung sering kali menjadi panggung bagi eksistensi digital. Ada yang mendaki bukan untuk menikmati keheningan, tetapi untuk memproduksi konten, untuk mengabadikan diri dalam bentuk foto atau video dengan latar puncak yang megah. Hutan yang seharusnya menjadi tempat perenungan malah menjadi arena pertunjukan, dan keheningan gunung dirusak oleh bunyi klik kamera dan suara pemberitahuan ponsel.

     Namun, gunung memiliki caranya sendiri untuk mengembalikan manusia pada kenyataan. Di jalur-jalur terjal, tubuh lelah dan napas tersengal, tidak ada ruang untuk basa-basi. Orang dipaksa untuk merasakan keberadaan mereka dengan cara yang paling primitif, merasakan berat tubuh yang didorong oleh tekad semata. Rousseau pernah mengatakan bahwa alam adalah tempat di mana manusia bisa menemukan kebebasan sejati, bebas dari korupsi peradaban. Tetapi seperti halnya kebebasan, mendaki gunung adalah paradoks. Orang mencari kebebasan dari dunia di bawah, tetapi mereka sering kali membawa dunia itu ke atas. Dalam pelarian mereka, mereka justru menciptakan jejak-jejak baru yang mengingatkan pada tempat yang mereka coba tinggalkan.

     Thoreau mungkin akan kecewa melihat bagaimana gunung diperlakukan oleh manusia modern. Ia yang percaya pada hidup sederhana dan koneksi mendalam dengan alam mungkin akan mengernyit melihat pendaki yang lebih sibuk mencari sudut foto yang sempurna daripada menikmati pemandangan di depan mereka. Namun, Thoreau mungkin juga akan merasa lega melihat bagaimana di tengah kelelahan dan kehilangan sinyal, manusia akhirnya menyerah pada kebesaran alam. Dalam momen-momen itu, orang dipaksa untuk menerima bahwa mereka hanyalah makhluk kecil yang mencoba bertahan di hadapan kekuatan yang jauh lebih besar.

     Ada yang mendaki untuk mencari makna, untuk merenung, atau untuk merasakan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Heidegger pernah berbicara tentang keterbukaan batin terhadap pengalaman eksistensial, dan di gunung, banyak orang menemukan momen itu. Ketika mereka berdiri di puncak, dikelilingi oleh awan dan keheningan, ada perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Perasaan itu sulit dijelaskan, tetapi ia nyata. Orang yang biasanya sibuk dengan jadwal, pekerjaan, atau drama kehidupan tiba-tiba dihadapkan pada kesederhanaan yang menohok.

     Namun, keindahan gunung juga terletak pada kontradiksi yang ia tawarkan. Orang mendaki untuk menemukan ketenangan, tetapi mereka sering kali menciptakan kebisingan baru. Mereka mencari rasa kecil di hadapan alam, tetapi mereka juga ingin merasa besar dengan menunjukkan bahwa mereka telah menaklukkan sesuatu. Gunung, dengan diamnya yang agung, tidak peduli pada klaim manusia. Ia tidak memerlukan pengakuan, tidak butuh pujian. Ia hanya ada, sebagai saksi bisu perjalanan manusia yang sering kali penuh dengan ironi.

     Ketika pendaki akhirnya sampai di puncak, ada rasa lega yang luar biasa, tetapi juga kekosongan yang sulit dijelaskan. Pemandangan di depan mata mungkin indah, tetapi makna sebenarnya dari mendaki gunung tidak pernah hanya tentang mencapai puncak. Ia adalah perjalanan, bukan tujuan. Nietzsche mungkin akan berkata bahwa di setiap langkah menuju puncak, orang melampaui dirinya yang lama. Rousseau mungkin akan melihat ini sebagai perjalanan menuju kebebasan sejati. Thoreau mungkin akan menyebutnya sebagai perayaan hidup sederhana yang berhubungan dengan alam. Tetapi bagi mereka yang mendaki, gunung adalah sesuatu yang lebih dari itu. Ia adalah cermin yang memantulkan diri mereka apa adanya, tanpa basa-basi atau tipu daya.

     Gunung tidak pernah menawarkan jawaban, hanya ruang untuk pertanyaan. Mungkin itulah alasan sebenarnya mengapa orang mendaki gunung. Di tengah kelelahan, di bawah langit yang tak terbatas, mereka menemukan momen-momen kecil yang membisikkan bahwa hidup adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar selesai. Gunung menjadi simbol dari perjuangan, keheningan, dan ironi kehidupan manusia yang tidak pernah lepas dari kontradiksi.

     Memilih kata Lembanna sebagai nama buletin yang dimiliki Korpala, sejatinya sarat dengan makna dan simbol. Lembanna bukan hanya sekadar sebagai tanah datar yang kemudian menjadi kampung bagi penduduk di kaki Bawakaraeng tetapi juga sebagai media persiapan transformasi spiritual bagi para pelintas yang hendak menuju Butta Toayya, sebutan lain untuk Bawakaraeng.
     Menjadi basis aktifitas Korpala yang utama selain Blue Sky Room di kampus Tamalanrea, maka Lembanna merekam banyak hiruk pikuk semangat yang penuh gelora. Aktifitas transformasi pendewasaan mental dan spiritual begitu terasa untuk mereka yang akrab dengan komunitas kaki Bawakaraeng. Simbol-simbol dari pengalaman lahir batin yang bertambah dari waktu ke waktu menjadi pengantar untuk semua proses yang terjadi.
     Maka dipilihlah kata itu, Lembanna, dengan tagline 'alam dalam ekspresi' yang juga menguatkan akan harapan di dalam menangkap makna dari setiap simbol yang terungkap. Menerjemahkan ekspresi alam, sebagai kesatuan ekosistim yang utuh, setidaknya menjadi tanggung jawab mereka yang menyandangkan label pencinta alam di pundaknya. Bagaimana kabut, lolong anjing, desah daun pinus, ataupun beningnya embun di pucuk daun bawang, selain mengantarkan keteduhan untuk gejolak di dalam jiwa, juga akan mengantarkan kebijakan bila diekspresikan dengan penjabaran literasi yang memadai.
     Dan buletin itu, Buletin Lembanna adalah wadah yang dilahirkan untuk menampung luapan sarat makna dari setiap simbol yang muncul, setiap metafora yang dijumpai, di sepanjang langkah kaki menuju Butta Toayya. Ekspresi alam yang digambarkan dalam bentuk baris-baris kalimat oleh para akademisi, para ilmuwan, para intelektual yang menempa diri di Korpala. Ekspresi yang begitu sayang bila hanya dibiarkan menguap begitu saja bersama semakin samarnya kumpulan memori di kepala mereka.
     Mengisi lembar demi lembar buletin itu, tidak akan pernah terasa sebagai beban, apalagi sekadar sebagai pemenuhan kewajiban akan amanah rapat kerja pengurus. Setiap baris di dalamnya, merupakan luapan imajinasi intelektual, sebagai penegas untuk setiap buah perenungan yang melimpah. Karenanya, menerbitkan buletin itu lebih kepada sebagai wadah untuk mengekalkan mutiara-mutiara pemikiran para pencinta alam itu, ketimbang sebagai suatu kewajiban belaka yang menjadi beban tersembunyi bagi individu yang sedang aktif mengurus organisasi.
     Di era teknologi komunikasi yang semakin canggih sekarang ini, tidak ketinggalan, buletin Lembanna bermetamorfosa ke format online. Bila di awal kelahirannya di tahun 1990 banyak keruwetan yang mengiringi setiap edisi penerbitan, maka itu semua sudah tersisihkan. Bahkan interaksi yang intens dari pembaca bisa dilakukan dengan segera, cepat. Metamorfosa yang sebenarnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ketika merancang kelahiran buletin itu. Mengabadikan setiap ekspresi alam menjadi begitu mudah, semudah mengedipkan mata ketika kelilipan. Gambar foto dan frasa-frasa sarat makna ataupun sekadar narasi pendukung narsisme, dengan segera bisa dibagikan. Wadah itu semakin luas dan lapang untuk setiap ekspresi yang lahir.
     Sungguh suatu anugrah yang luar biasa, bisa menyaksikan sekaligus mengawal proses metamorfosa itu.
Berikut copy paste dari beberapa edisi Salam Rimba, yang merupakan pengantar dari setiap edisi buletin Lembanna.
Salam Rimba edisi 001 hardcopy, Maret 1990, diposting ulang dalam bentuk online edisi 05-12 Juli 2012.
Ekspresi alam..
tak hanya ketika sebuah pohon membunuh dahannya,
atau ketika rusa memaafkan harimau.

Ekspresi alam merupakan ucapan alam
dalam berbagai tanda dan bentuk
orang-orang mesti menggunakan dan mengasah
kepekaan dalam menangkap seluruh tanda
dan bentuk tadi

Alam dalam ekspresi adalah keinginan kekuatan
kami dalam melukiskan pernyataan alam.
Kita punya bakat dan kewajiban untuk mencintai alam,
alam dimana kita bernafas,
alam semesta alam.

Buletin Lembanna hadir sebagai rangkaian kata
untuk mewujudkan segenap gejolak kehidupan
yang sempat terangkum di dalam lingkup rasa setiap kita..
ruang, materi dan waktu menjadi limitasi penggurat rasa
untuk setiap pengalaman bercinta dengan alam
sehingga sempat dan tidak sempat, menjadi bias
untuk berbagi ekspresi alam kepada sesama..

Salam Rimba 01-13 edisi online
     Siklon tropis Narelle bergerak menjauhi Indonesia, namun sisa kibasan ekornya justru meninggalkan cemas. Banjir yang bisa meluap setiap saat, lalu beliung yang garing mengintai siap menerkam. Fenomena yang sebenarnya sudah predictable oleh para ahli cuaca, namun tidak ada justifikasi layak untuk yang awam. Resiko yang selayaknya harus ditanggung karena menghangatnya bumi, kata para 'pengkhawatir' kondisi lingkungan. Namun merupakan hukuman dan ancaman peringatan bagi para penganut skeptic orthodoc.
     Sudut pandang yang beragam, menafsirkan kesimpulan yang juga beragam. Seperti ketika Januari ini menyapa denyut kehidupan yang hangat, dimana dua tahun yang lalu Lembanna edisi digital ini hadir. Kehadiran yang sejatinya memberikan makna, penafsiran dan pastinya prediksi-prediksi masa depan, sesuai dengan lingkup karakter kita masing-masing. Kehadiran yang mungkin saja sangat diharapkan, sekaligus di sisi lain menjadi sangat ingin dihindari. Kehadiran yang bisa saja menjadi media metamorfosis memuliakan jiwa, atau malah justru menjadi bahan baku mengkristalnya dengki di dalam sak wasangka kerdil oportunisme.
     Bila dua tahun adalah bilangan yang sedikit, maka dua puluh empat bulan rupanya tidak terlalu sederhana untuk suatu rutinitas. Bila merayakan suatu perulangan biasanya sebagai ungkapan syukur untuk suatu capaian usia tertentu, maka senyapnya semadi mungkin adalah ungkapan paling bersahaja dalam perenungan para pertapa.
     Ketika kabut tipis menyapa lembanna dengan sahaja,
     di sana hanya ada ungkapan cinta yang ditebar.
     Bila kristal iri dalam hipokrisi merinding menggigil di dalam dingin,
     cinta kabut pada Lembanna adalah cinta yang abadi.
     Ketika bilangan usia harus berulang di dalam senyap,
     semoga hening itu adalah refleksi bijak para pelintas.
     Di tanah harapan esok hari, dengki, oportunisme dan hipokrisi
     bukanlah jimat mujarab untuk mengalahkan cinta yang tulus.
     Dan di tanah datar itu, Lembanna, kabut tipis penuh cinta.

Salam Rimba 02-13 edisi online 
     Ada coklat di dalam bingkisan, ada bunga dan kartu-kartu harvest untuk ungkapan di saat-saat cinta menghangat. Setumpuk ekspresi, setumpuk simbol untuk mengaburkan kelemahan menyampaikan cinta apa adanya. Dengan simbol-simbol, ada ruang untuk membetulkan makna, ada ruang untuk berkelit dan ada waktu untuk bersiaga.
     Bisa jadi setiap simbol adalah pewakilan yang mutlak, pun bisa adalah pewakilan yang samar. Lalu setiap makna akan kembali ke dalam niat yang menyampaikan. Niat yang hanya diketahui pasti oleh pemiliknya, dan juga katanya oleh Tuhan. Dari sisi itulah, manakar niat menjadi domain yang sangat privat.
     Tetapi setiap ungkapan cinta itu adalah cermin kejiwaan para pencinta. Ada jiwa yang romantis, ada yang anarkis. Banyak yang oportunis, tidak sedikit yang hipokrit. Lalu ada cinta ala kadarnya, ada cinta yang paranoid. Seperti thesa Alexis Carrel, keragaman manusia sebanyak bilangan individu yang ada. Mungkin itulah mengapa setiap sidik jadi adalah unik, dan itulah mengapa setiap tatapan mata adalah spesifik.
     Lalu setiap individu bisa mengklaim diri sebagai pencinta alam, seperti klaim dasar hak hidup setiap manusia. Setiap hidup manusia adalah haknya, lalu mencintai adalah hak mutlak setelahnya, bagaimanapun cara mengekspresikannya.
     Cinta itu diekspresikan, kepada alam, dan kita adalah manusia.
 
 dan ekspresi alam lainnya bisa dinikmati dengan lebih bersahaja dengan mengunjungi blognya.

di puncak-puncak tinggi itu
cinta memahat harap dan kecemasan
menggelitik adrenalin yang lena
berpacu menuju limit

di kabut tipis yang melayang rendah
sebaris, sebait lalu selaksa janji terserak liar
membelai lembut setiap pucuk di ladang bawang
untuk sang kabut atau sang janji
setiap harap dan cemas itu

di sejengkal pijakan yang lebih tinggi itu
tidak ada pilihan untuk menjadi munafik
meski sehembus nafas itu hanya debu kosmik
namun masih terlalu mulia untuk bertahan
demi sekadar sepotong oportunisme
di dalam lakon syahwat egoisme

di sini
dari telapak yang jejaknya hampir selalu samar
hanya sekeping cinta yang selalu menyertai
menyapa alam
untuk metamorfosa menuju gerbang-Nya
adakah cinta itu masih cinta yang layak
untuk dia yang maha tercinta

di tanah lembanna
setiap pucuk di ladang bawang itu
adalah cintaNya

photo : sunrire at Annapurna by Colman Li published National Geographi
 

    Sepertinya gambaran yang ada ini tidak bisa secara umum layak dikatakan mewakili kondisi Lembanna yang sebenarnya. Sisi subyektif yang terlalu kental tentu saja tidak pas untuk bisa dijadikan sebagai tolak ukur menggeneralisir apa yang terasa. Nah penggalan gambar-gambar berikut hanya untuk sebagai pembanding kenampakan itu.
     Akhir dekade 80-an, mengunjungi Lembanna selalu menjadi pilihan, entah dilakukan secara sadar ataupun tidak. Menemui 'keluarga' yang bermukim di sana, selalu memberikan rasa hangat di dalam relasi yang tercipta. Bahkan kehangatan yang didapatkan mungkin saja jauh lebih terasa dibanding mengunjungi keluarga yang sesungguhnya di kampung masing-masing.
     Aura mistik tentu saja begitu kental terasa. Berada di perkampungan tanpa listrik, tanpa sarana memadai untuk ukuran kehidupan orang kota, bahkan tanpa sarana mck. Namun disitulah daya tariknya. Apalagi hangatnya obrolan tentang kearifan-kearifan yang dianut masyarakatnya, yang kadang dilakukan sambil berselimut sarung di depan dapur.
     Di depan dapur tentu saja selalu memberi pancaran hangat. Dari situlah bara dari kayu yang terbakar itu memancar. Air yang telah dijerang lalu berubah menjadi kopi yang hangat. Yang selanjutnya bara itu mematangkan kentang, atau panganan lainnya.
 
Desember 1990 dalam cuaca yang cukup dingin dengan kabut tipis yang hampir setiap saat menyelimuti Lembanna. Tampak depan rumah Daeng Supu' yang selalu menjadi 'markas' untuk setiap kegiatan Korpala di sekitar Gunung Bawakaraeng.

     Denyut kehidupan berjalan lambat. Tidak ada 'deadline' atau tenggat yang begitu mencekam. Semua berputar bersama kondisi alam, apa adanya. Air kebutuhan sehari-hari yang sampai ke rumah, yang mengalir dari gunung, mengalir dengan tenang hingga ke pancuran bambu. Hanya kadang menjadi keruh ketika hujan turun. Karena tidak ada listrik, praktis tidak ada petugas PLN yang menjadi momok untuk suatu kewajiban rutin.
     Bahu membahu, pengunjung dan keluarga di Lembanna menyiapkan kelangsungan hidup. Sebelum menuju Lembanna, dari kota kita akan berfikir untuk melengkapi kebutuhan yang urgen di sana. Mulai dari mencari 'sumbu lampu' untuk pelita, sampai mengusahakan obat-obatan praktis untuk membantu kesehatan 'keluarga' yang sebentar lagi akan ditemui. Tidak jarang ikut menyediakan perlengkapan mengolah kebun, pupuk bahkan nanti turut serta di dalam proses pengolahan lahan yang ada.

Di bagian dalam rumah dengan kondisi yang begitu sederhana. Kelambu tempat tidur yang merangkap sebagai dinding sekat tempat menerima tamu. Di dalam gambar ada bapak Kahar Idu PR-3 Unhas dan Nyonya, untuk kunjungan resmi sehubungan dengan kegiatan Penghijauan Kaki Gunung Bawakaraeng yang dimotori oleh Korpala.

     Lalu sampailah di hari-hari sekarang, ketika kita berkunjung ke Lembanna, tetapi kita tidak mengunjungi keluarga lagi. Hanya merupakan suatu kewajiban saja sehingga kita masih mampir ke sana. Itupun selalu membawa pulang ungkapan kesal, sambil bersungut-sungut mencibir kondisi masyarakat yang sudah tidak seperti yang diharapkan. 
     Harapan yang rasanya kurang rasional. Mengharap mendapat perlakuan seperti yang telah kita alami di era 80-an itu, namun tidak melakukan seperti apa yang pengunjung lakukan di masa itu. Padahal kita masih bisa dan sangat layak bila mengunjungi keluarga dengan sikap dan rasa seperti kerabat hendak bertemu keluarga, di dalam silaturahmi penuh cinta.
     Beberapa hal yang terlewati untuk kita cermati adalah, di hari-hari ini sudah begitu banyak kewajiban yang ditanggung oleh masyarakat Lembanna, yang tentu saja mempunyai deadline. Katakan saja kewajiban membayar rekening listrik, juga kewajiban pembiayaan untuk perawatan saluran air ke rumah-rumah. Belum lagi kebutuhan untuk ber-'halo-halo'. Sesuatu yang tidak ada di waktu dulu. Belum lagi perkembangan kehidupan sekarang mengharuskan mereka untuk menggunakan 'liquid cash' dengan segera. 
     Untuk memasak nasi dan lauk, sudah menggunakan gas dan listrik, bukan kayu bakar yang dikumpul dari hutan seperti dulu. Lalu ada televisi yang mengantarkan kemajuan dan pola hidup, tentu saja dengan sikap hidup materialistis di dalam tayangannya.
 beginilah tampak depan rumah Mama' (Januari 2012). Di bahagian dalam dengan dapur yang bagus, mck yang sangat baik. Tidak ada lagi teriakan histeris ketika pintu belakang terbuka lalu udara dingin menyeruak mengusik kehangatan, ketika seseorang hendak melakukan 'sesuatu' di pancuran belakang. Di ruang tamu tentu saja sudah dilengkapi dengan sofa-sofa yang empuk dengan alas karpet di bawah sehingga kaki tidak perlu menjadi dingin. 
Masih di area dapur, tetap ada perapian dan 'sedikit' tumpukan kayu bakar, bila ada yang rindu untuk sekadar 'bakar-bakar' atau 'hangat-hangat' di depan tungku.

     Lalu, masih adakah kerabat yang akan mengunjungi 'keluarga' di Lembanna, untuk berbagi rasa di dalam hangatnya silaturahmi.?

     Kabut tipis mengambang di permukaan tanah, menyelimuti Lembanna. Hujan baru saja reda, saat menjelang magrib ketika aku melangkah di atas tanah basah menuju rumah Mama'. Rumah yang selalu bersahaja oleh keramahan perempuan tua penghuninya, adalah rumah yang selalu kutuju sebagai 'base camp' bila akan mendaki ke Gunung Bawakaraeng. Namun kedatanganku kali ini sama sekali bukan untuk naik gunung.
     Sesampai di rumah Mama', perempuan tua itu segera menyambutku. Hanya kali ini, tidak seperti biasanya. Mama' yang biasanya mengumbar senyum, sekarang kelihatan cemas meski berusaha untuk tetap terlihat tenang. Tapi setidaknya, kehadiranku membuatnya sedikit lega.
     "Sudah tiga hari kau kutunggu. Tapi kenapa baru datang sekarang?" Mama membuka percakapan saat menyuguhkan kopi panas ke hadapanku.
     "Saya sibuk Ma'" jawabku pendek.
     "Tapi ini bukan persoalan gampang. Kau sudah kuanggap seperti anak sendiri. Saya sayang sekali kepadamu. Jadi kalau ada persoalan yang menyangkut keselamatanmu, saya tidak bisa tinggal diam dan membiarkanmu menderita sendirian. Saya tidak bisa!"
     Aku hanya menunduk, tanpa berusaha membantah sedikitpun. Ini memang kesalahan saya. Tiga hari yang lalu Mama' menghubungiku dengan kekuatan batinnya, menyuruhku untuk segera ke Lembanna. Tapi kegiatan perkuliahanku terlalu padat sehingga tidak bisa segera memenuhi panggilan itu. Lagipula, aku tidak tahu ada persoalan apa yang menyangkut diriku sehingga Mama' begitu menghendaki aku segera datang ke Lembanna.
     Aku tetap duduk diam tanpa bertanya. Padahal di dalam hati aku sudah sangat ingin untuk mengetahui persoalannya. Mama' kemudian berdiri mendekati rak pakaian. Dia mengambil sesuatu, lalu kembali duduk di depanku.
     "Coba kau lihat, benda apa ini?" Mama bertanya sambil menyodorkan sesuatu ke tanganku. Sekarang rasa ingin tahuku sudah tak tertahan lagi. Segera kuraih benda yang diberikan Mama'.
     Rupanya benda itu adalah kain putih. Aku kemudian membentangkannya. Seketika aku terperanjat, namun aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya dan tidak memperlihatkan kepada Mama' rasa kaget itu. Kain itu itu berbentuk segiempat bujursangkar dengan panjang sisinya sekitar 50 cm. Terbuat dari katun yang biasa digunakan untuk membungkus mayat. Dan sejengkal dari salah satu sisinya nampak satu titik sebesar kepala ujung korek api, berwarna  coklat kehitaman seperti warna darah yang telah mengering.
     "Dari mana kain ini Ma'?" tanyaku menyelidik.
     "Dari temanmu, sepuluh hari yang lalu." Mama' berhenti sejenak, sambil mengingat-ingat  peristiwa yang akan diceritakan kepadaku. Sementara saya meneguk kopi di hadapanku.
     "Waktu itu, Ulo dan Ake berdua mendaki Bawakaraeng. Seperti biasanya mereka berpamitan kepadaku. Meski cuaca tidak terlalu baik, tapi tidak kulihat tanda-tanda yang buruk pada mereka. Apalagi saya pikir mereka sudah biasa naik. Jadi saya izinkan saja mereka mendaki. Jam delapan pagi mereka sudah sampai di puncak karena mereka berangkat tengah malam.Tidak ada yang bisa dilihat. Sekeliling puncak tertutup kabut. Ulo dan Ake tinggal di puncak beberapa saat, menunggu siapa tahu kabut akan menipis dan dapat menyaksikan pemandangan sekeliling, namun harapan itu tak kunjung tiba. Bahkan kabut menggulung semakin tebal dan mulai turun hujan rintik-rintik. Keduanya terpaksa memutuskan untuk turun.
     Menjelang pos delapan hujan semakin lebat. Mereka melangkah terus, hingga pos tujuhpun kemudian dilalui meski curahan hujan masih tetap lebat. Selanjutnya mereka berlari menyusuri lereng yang licin. Ake berlari di depan dan Ulo di belakang. Mereka berkejaran terus, hingga ketika mendekati pos lima, Ake berhenti berlari. Di antara deru hujan ia mendengar suara Ulo minta tolong di belakangnya. Ake berbalik lalu berlari ke atas lagi. Ternyata Ulo terpeleset dan tidak mampu untuk berdiri lagi. Lutut kanannya terantuk keras oleh batu yang menonjol runcing di tepi jalan. Ake kemudian berusaha menolong Ulo sedapat-dapatnya.
     Namun belum sempat ia berbuat banyak ketika dari arah atas muncul dua orang berjalan ke arah mereka. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka menegur Ake dan Ulo. Yang perempuan kemudian membantu memberi pertolongan kepada Ulo dengan mengikatkan syal putih yang melilit di lehernya. Sesaat kemudian Ulo sudah dapat berdiri dan berjalan lagi.
     Tetapi merka tidak sempat mengucapkan terima kasih karena kedua penolongnya itu telah mendahului berjalan menuju pos lima. Sepintas Ulo sempat heran, dari mana datangnya kedua orang itu. Sepanjang perjalanan mereka mendaki dan turun lagi, tidak menjumpai seorangpun pendaki lain di perjalanan.
     Tapi Ulo tidak melanjutkan rasa herannya. Dingin yang menusuk sampi ke tulang di antara lebatnya hujan, segera memacu mereka untuk bisa sampai ke rumah secepat mungkin.
     Mama' berhenti sejenak untuk melinting tembakau dan mengisapnya.
     "Hujan masih lebat ketika mereka sampai di rumah. Mereka segera berganti pakaian dengan pakaian kering. Ketika itulah saya melihat sesuatu yang aneh yang diletakkan Ulo. Kain putih pembalut lututnya adalah kain yang sekarang berada di tanganmu." Aku tersentak sambil mengangkat wajah menatap tajam ke arah Mama'. Aku bermaksud bertanya, tapi Mama' segera melanjutkan.
     "Saya mengenal kain itu. Kain pembawa bencana dari Bawakaraeng. Siapa saja yang mengenakannya akan mendapat kecelakaan yang gawat, bahkan bisa sampai mati!" Aku masih memandang tajam ke arah Mama'. Sementara Mama' mengisap beberapa kali sisa tembakau di tangannya. Banyak pertanyaan yang timbul di benakku.
     Kalau memang benar apa yang dikatakan Mama', lalu mengapa Ulo tidak cedera sedikitpun? Adapun saat dia terjatuh, waktu itu dia belum mendapat kain itu. Lagipula sekarang luka gores bekas terpeleset itu, sudah sembuh. Yang lebih janggal lagi, mengapa keselamatan saya yang dikuatirkan Mama'? Apa hubungannya kain itu dengan diriku?
     Sayup-sayup kudengar adzan Magrib dikumandangkan. Kuletakkan kain tadi di atas tikar, lalu bangkit ke belakang untuk berwudhu. Sementara Mama' menyalakan lentera, aku shalat magrib sendirian. Kebetulan anak dan menantu Mama' tidak berada di rumah. Jadi segala sesuatu harus dibereskan sendiri oleh Mama'.
     Selesai berdoa, aku merasa mendapat firasat jelek. Seakan ada awan hitam panas menggantung dekat dahiku. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera mempersiapkan diri. Setahap demi setahap, dengan kemurahan dan kasih sayang Allah, aku mengisi jalan darah dan persendianku dengan nama-nama Nya yang agung.
     Tepat ketika aku selesai dan menggulung kembali tikar yang sudah kupergunakan shalat, pintu depan diketuk orang. Mama' buru-buru mendekati pintu dan membukanya.
     "Assalamu alikum.."
     "Alaikum salam.." jawab Mama' singkat, lalu mempersilakan kedua tamu itu masuk. Setelah keduanya sudah melewati pintu, Mama' segera menutup pintu kembali. Mama' kemudian mengajak kedua tamu itu duduk di tikar berhadapan denganku.
     "Ini Daeng Bira', dan ini Daeng Kelo," Mama' memperkenalkan mereka kepadaku. Aku segera menjulurkan tangan untuk menjabat mereka berdua. Selanjutnya Mama' memperkenalkan diriku kepada mereka, sebagai orang yang telah dianggap sebagai anak sendiri.
     Mama' kemudian ke dapur menyiapkan kopi untuk tamu-tamunya. Aku sendiri merasa enggan untuk bercakap. Aku hanya diam sambil menimang-nimang dan meremas-remas kain putih yang tadi kuletakkan di sampingku. Pikiranu terus menerawang mencari hubungan peristiwa yang diceritakan Mama' dengan diriku.
     Sedang asyik membalik-balik kain di tangan, tiba-tiba tanpa sengaja saya memandang ke arah Daeng Bira'. Pandangan kami beradu. Selanjutnya kurasakan ada sesuatu yang aneh. Awan panas hitam yang tadi kurasakan sewaktu selesai shalat, kini kembali terasa di pelupuk mataku. Bersamaan dengan itu, kain di tanganku serasa berontak hendak melepaskan diri dari genggamanku. Aku kemudian tersadar akan firasatku tadi sewaktu baru selesai shalat.
     Segera kugenggam kain itu dengan semua kemampuan yang telah kupersiapkan tadi. Beberapa saat aku seperti tak sadarkan diri, hingga tiba-tiba terdengar suara kain koyak. Bersamaan dengan itu halilintar menggelegar dengan begitu kerasnya. Mama' yang sedang meletakkan gelas berisi kopi di hadapan tamu-tamunya, tersentak kaget.
     Sementara aku sendiri, merasa lega. Beban yang meronta di tanganku sudah menjadi enteng. Gelayutan awan hitam di pelupuk matakupun berangsur sirna. Aku menggenggam kain putih itu dengan tenang tanpa reaksi lagi.
     Kini aku mengangkat wajah dan memandang lagi ke arah Daeng Bira'. Dalam temaram cahaya lentera, jelas terlihat rasa sesal dan cemas yang mendalam di wajahnya. Aku terus memperhatikannya ketika ia meneguk kopi. Tidak sampai habis. Ia pun segera mengajak Daeng Kelo untuk berpamitan.
     Aku heran. Namun Mama' nampaknya membiarkan saja mereka berlalu tanpa menanyakan maksud kedatangan mereka.
     Setelah keduanya diantar Mama' keluar, Mama' kembali duduk di sebelahku. Dia menyodorkan sesuatu. Rupanya sehelai kain hitam yang telah terbakar sebahagian. Meski begitu, aku segera mengenali kain itu sebagai syal kepunyaanku.
     Pada syal itu telah kupaterikan  namaku bersama wasiat warisan Nabi Sulaiman. Goresan tanganku masih nampak jelas. Hanya saja, bagian yang memuat namaku telah hangus terbakar. Tinggal goresan wasiatnya yang tersisa.
     "Bukankah Ulo yang membawasyalmu itu waktu naik ke Bawakaraeng dua minggu yang lalu?"
     "Betul Ma'" jawabku pendek.
     "Kekuatan yang ada pada syal milikmu itu yang telah menarik kain pembawa bencana itu untuk mengikutinya." Mama' menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk.
     "Syal itu terbakar sewaktu dikeringkan oleh Ulo di dekat tungku. Barangkali kurang hati-hati. Padahal waktu itu hanya ada bara di atas tunggu," lanjut Mama'.
     "Apakah bukan karena pengaruh kain pembawa bencana itu Ma;?"
     "Mungkin juga begitu. Syal itu menyala begitu berada di dekat tungku, padahal kondisinya masih begitu basah. Menyala dan menghanguskan hanya di bagian goresan namamu." Aku mengangguk-angguk lagi. Sekarang aku bisa sedikit mengerti hubungannya dengan diriku, namun masalah intinya belum juga kutemukan.
     "Apakah kau tahu kedua orang tadi?"
     "Tidak Ma''jawabku ingin tahu.
     "Dia adalah perawat kain itu. Selain sebagai perawat dia juga sebagai perantara bila seseorang hendak menggunakan kekuatan pemilik kain itu di Bawakaraeng." Mama' berhenti sejenak untuk merapikan lintingan tembakau yang sementara disiapkannya.
     "Sudah beberapa hari ini mereka datang kepadaku untuk meminta kembali kain yang tidak sampai ke sasarannya itu. Tetapi saya tidak memberikannya. Saya ingin mereka meminta sendiri dari tanganmu." lanjut Mama' kemudian.
     "Apakah ada yang menyuruh mereka untuk mencelakakanku Ma'?" Tanyaku yang begitu penasaran.
     "Memang ada. Temanmu sendiri sesama pendaki. Hal ini kuketahui dari penjelasan Daeng Bira' sendiri waktu datang ke sini kemarin."
     "Lalu, mengapa tadi Daeng Bira' tidak meminta kain ini?" tanyaku masih penasaran.
     "Kain itu tidak bisa dipakai lagi, kaena telah kau rusakkan. Sebagai akibatnya, dia bersama orang yang menyuruhnya harus menanggung tuntutan dari pemilik kain itu di Bawakaraeng." Mama' menjelaskan.
     Rupanya tadi Daeng Bira' dan Daeng Kelo bermaksud mengambil kain itu dari tanganku dengan menggunakan kekuatan batinnya. Namun ternyata mereka gagal, bahkan sampai mengakibatkan kerusakan kain itu sendiri. Mama' kemudian mengambil lentera yang diletakkan di atas bangku, ke dekatku.
     "Sekarang coba kau periksa bagaimana keadaan kain itu." Aku segera membentangkannya. Rupanya telah koyak tepat membelah dua bintik coklat kehitaman tadi. Dan di ujung bawah robekannya ada cairan yang masih segar agak basah berwarna merah.
     "Apa ini Ma'? aku menunjuk ke arah cairan yang masih agak basah itu di ujung yang terkoyak. Mama' kemudian melihatnya lebih dekat ke arah lentera.
     "Darah.." jawab Mama' setengah berbisik.
     "Darah? Darah siapa Ma'?" tanyaku kaget dan penasaran.
     "Darah orang yang menyuruh Daeng Bira' yang telah mengalir di sini" Mama' menjelaskan.
     "Mengapa Mama' bisa begitu yakin?"
     "Memang begitulah biasanya resiko orang yang bermain-main dengan kekuatan hitam. Tunggulah dua tiga hari lagi, Daeng Bira' dan Daeng Kelo pun akan segera mendapat bagiannya sebagai tuntutan dari pemilik kain itu."
     Aku tercenung mendengar penjelasan Mama'. Dalam hati aku berdua semoga cukup di dunia ini saja orang-orang itu mendapatkan hukuman untuk perbuatannya, sehingga Allah tidak perlu mengazabnya lagi di hari kemudian nanti.
     Di luar gelap membungkus malam dengan rapat. Aku menghela nafas panjang dengan lega. Di dapur, Mama' sedang mempersiapkan piring dan panganan untuk makan malam kami berdua.
(24 desember 1990 - ketika kabut turun di Lembanna)
diterbitkan pertama kali dalam bentuk hardcopy
di bulletin Lembana Korpala Unhas edisi 002 thn 1990 
also posted at Kompasiana

    Tidak ada yang istimewa bila menyebut lembanna di hari ini. Tempat yang sudah begitu lazim dan lumrah, entah sebagai kata yang sekadar mampir di telinga ataupun sebagai tempat yang terlalu sering dikunjungi. Tentu saja dikunjungi dengan maksud yang beragam. Dan tidak terkecuali kita-kita yang di Korpala Unhas melazimkan lembanna dalam suatu rutinitas organisasi.
Gunung BawakaraEng nampak tegar di belakang sana. Jalan lingkar Lembanna yang sudah di aspal mulus, menjauhkan kaki dari paparan debu. (foto:panoramio.com)

     Begitu ramai, hiruk pikuk oleh para pengunjung, Lembanna hari ini tentu saja sudah sangat jauh berbeda dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Banyak nilai dari kearifan lokal yang kemudian bergeser oleh kemajuan pembangunan, kemajuan kesejahteraan secara ekonomi dan tentu saja dengan menyerap sentuhan-sentuhan kebiasaan dari para pendatang. Bisa dikatakan, evolusi kebudayaan dan kemanusiaan bergulir begitu alamiah.
     Dari kelaziman sehari-hari itulah, kemudian tidak banyak lagi yang memperhatikan fungsi semula Lembanna yang merupakan salah satu gerbang menuju 'ButtaToa', sebutan lain untuk Bawakaraeng. Salah satu gerbang yang istimewa, dinamai Lembanna karena fungsinya sebagai tempat 'peralihan'. 'Lembang' yang di dalam Bahasa Makassar berarti  beralih,  menyeberang atau transformasi.
     Ke Lembanna, adalah menuju gerbang untuk mencapai 'ButtaToa'. Di Lembanna, para 'Pelintas' mempersiapkan diri lahir dan batin. Fisik yang tangguh jelas untuk mengarungi tantangan alam Bawakaraeng. Batin yang terasah dan mumpuni, dipersiapkan sesuai tujuan yang hendak dicapai di Butta Toa. Tentu saja, persiapan batin menjadi begitu bervariasi, mengingat begitu beragam maksud dan tujuan 'orang-orang jaman dulu' yang hendak menyambangi Bawakaraeng.
     Dan di Lembanna, segalanya dipersiapkan. Kita akan dengan mudah menjumpai mereka-mereka yang dapat menunjukkan persiapan apa saja untuk mendukung kepentingan para pelintas. Tentu dengan segala kerahasiaan yang terjaga sebagai bagian dari kearifan budaya masyarakat Lembanna. Ada persiapan untuk beribadah, ada persiapan untuk siarah ke makam Wali, ada persiapan untuk menuntut ilmu kanuragan dan kesaktian, dan masih banyak tujuan-tujuan lainnya. Di sinilah terjadi transformasi  pada diri para pelintas, untuk bisa merendahkan hati, menanggalkan segala pantangan demi mencapai tujuan. Transformasi yang didukung dengan penuh keikhlasan oleh masyarakat Lembanna.
     Setelah semua persiapan dirasa cukup, para pelintas akan dilepas untuk mengarungi sendiri peruntungan sesuai tujuannya. Banyak yang berhasil sesuai harapan, juga tentu saja banyak yang gagal tanpa pernah sampai ke sasaran. Apapun hasil yang dicapai sepenuhnya adalah hasil jerih payah para pelintas. Lembanna tetap seperti sediakala, sebagai gerbang awal menggapai cita-cita di Butta Toa. Tidak ada jaminan keberhasilan dari Lembanna dan masyarakatnya. Di sana hanya ada media dan petunjuk, sementara hasil akhir tetap harus diperjuangkan sendiri.
     Inilah Lembanna, gerbang yang sama yang digunakan Korpala Unhas dalam prosesi akhir rangkaian pendidikan dasarnya. Sarat makna yang simbolis di dalam proses transformasi setiap pribadi di Korpala.
     Jadi, mari kita ke Lembanna.
untuk semua saudaraku tercinta
di Korpala Unhas yang telah memperkaya
khasanah cinta di dalam batin saya
 Sisi lain Lembanna. Rumah-rumah yang senakin indah, seiring perkembangan kondisi ekonomi penduduk Lembanna yang semakin baik. Jaringan listrik dari PLN, mensuplai energi untuk geliat informasi yang tidak terbatas...(foto:panoramio.com)
Tulisan ini juga di posting
di Buletin Lembanna Korpala Unhas 

      Mengenang dekade akhir 80-an, mengunjungi Lembanna bukan hanya sekadar untuk mendaki ke Bawakaraeng. Ada getar tersendiri di dalam batin, ketika kebersahajaan penduduk menyambut kita para 'tamu' yang mampir sebelum mendaki. Penerimaan yang tulus, menyambut dengan hangat dalam keramahan yang ikhlas tidak dibuat-buat kepada para tamu yang beberapa diantaranya sudah dikenal baik, setengah kenal bahkan sebahagian besar yang baru berjumpa.
     Tidak peduli, apakah tetamu itu orang baik-baik, orang bermartabat atau rakyat kebanyakan, atau mungkin ada yang pelaku tindak kriminal, semuanya mendapat perlakuan yang sama. Hanya alur kalimat yang sedikit membedakan, bagi mereka yang sudah sering berkunjung ke sana, ditimpali candaan ala kadarnya khas masyarakat pedesaan, dibandingkan dengan mereka yang baru dikenal. Namun itu tidak berlangsung lama, karena keakraban itu akan segera muncul yang segera menjadi kental ketika kaki sudah menjejak ke dalam rumah.
     Kopi yang tersaji adalah hasil proses rebusan air menggunakan kayu bakar. Belum ada listrik sama sekali sehingga untuk mendengarkan siaran radio saja, menggunakan baterai yang telah dijemur berkali-kali dan sudah penyok-penyok digebuk demi mengeksporasi sisa-sisa tenaganya. Lantai rumah yang sebagian tanah dan sebagian lainnya tertutup papan yang sudah termakan rayap di beberapa tempat, menjadi penyangga kehangatan antara tuan rumah dan tetamu yang mampir.
     Ketika sampai saatnya meninggalkan Lembana, tuan rumah akan mengantar dan melepaskan kepergian tetamu dengan berat hati. Banyak pesan agar hati-hati di perjalanan pulang, sambil menitipkan tentengan ala kadarnya hasil dari halaman belakang untuk oleh-oleh orang di kota nanti. Itupun kadang masih desertai rengekan agar tetamu masih mau tinggal lebih lama.
     Ah.. manusia itu menemukan kedamaiannya ketika berinteraksi dengan sesama manusia..
     Di hari-hari belakangan ini, Korpala juga disesaki oleh tetamu, yang bukan hanya tamu domestik tetapi juga tamu mancanegara. Dan belajar dari kearifan lokal yang diwariskan melalui rentang waktu yang tidak sedikit, menjadi kebanggaan tersendiri ketika kita mampu 'melayani' dengan baik, tulus dan ikhlas. tetamu yang sempat mampir ke Korpala. Menjadi tuan rumah yang begitu manusiawi, telah mengetuk sisi nurani kemanusiaan para tetamu, yang mungkin telah lama tidak mereka rasakan. Sisi paling primitif dan paling sering terlupakan atau mungkin tidak sempat muncul di keseharian tetamu kita, adalah 'rasa kesadaran sebagai manusia' yang tak sanggup terlukiskan dengan kata-kata, ketika orang diperlakukan sebagai manusia oleh manusia lainnya.
    
Salam hangat dari D4,.. :)

     Perlahan aku melangkah turun meninggalkan Pos 6 Gunung Bawakaraeng. Aku tertinggal sendiri, sementara teman-temanku yang lain telah meninggalkan tempat ini sejam yang lalu. Mereka tidak perlu kuatir terhadapku, karena mereka tahu aku sudah mengenal dengan baik jalan turun ke Lembanna, dusun di kaki Bawakaraeng.
     Namun, kali ini aku merasa agak kurang beres dengan kondisi tubuhku. Sejak seminggu belakangan ini, aku selalu kurang tidur. Bahkan sejak meninggalkan Makassar menuju ke Lembanna, aku hanya sempat istirahat tidur selama dua jam.
     Pukul empat sore lewat sepuluh menit, sesuai arloji yang lengket di pergelanganku, dengan kepala berat, pusing dan ngantuk, aku berusaha tetap melangkah. Setengah lima, aku sampai di Pos 5.
     "Oh lelahnya..!" Aku memutuskan untuk istirahat lagi. Sayang di carrierku tidak ada lagi makanan yang tersisa. Aku meraba fieldples yang menggantung di pinggang lalu mengguncangnya sedikit. Masih ada air yang tersisa. Kulepaskan fieldples itu dari gantungannya di pinggang lalu meneguk air dari dalamnya, dan ih...dingin.
     Sesaat kemudian kuhamparkan matras lalu berbaring. Tidak lama, aku sudah terlelap.
     Hingga entah berapa lama, aku tersentak kaget. Aku merasa begitu dingin, dengan tubuh yang menggigil hebat. Sementara kepalaku masih terasa begitu berat dan pusing. Rupanya panas tubuhku banyak berkurang sementara aku tertidur tadi. Tetapi aku berusaha untuk dapat menguasai diri dan mencoba berfikir untuk melakukan yang terbaik demi menolong keadaanku.
     Aku masih terduduk di atas matras dan belum membuat keputusan apapun, ketika daun-daun di depanku tersibak. Dan seseorang muncul di sana. Hanya sekilas aku memandangnya lalu tidak memperdulikannya lagi. Tetapi berbeda dengan orang itu. Mungkin ia melihat mukaku yang pucat dengan sedikit kepanikan, sehingga ia singgah untuk menegurku. Dan ah, rupanya suara sapaan yang kudengar adalah suara seorang perempuan.
     Kamipun bercakap-cakap untuk beberapa saat. Ia menanyaiku dan aku menjawab sejujurnya mengenai kondisi tubuhku saat ini. Ia kemudian menawarkan diri untuk menolongku. Aku setuju-setuju saja.
     Terampil dan cepat sekali, ia mempersiapkan kompor parafin yang kubawa, lalu menjerang air yang tersisa dari dalama fieldplesku, ditambah air yang ia bawa sendiri. Sementara menunggu mendidih, ia membawa fieldples kosongku bersama botol airnya ke mata air yang ada di dekat pos lima ini untuk diisi kembali. Aku sendiri masih duduk menghadapi kompor parafin yang menyala, dengan harapan bisa mendapatkan sedikit kehangatan dari pancaran panasnya.
     Tidak lama ia sudah kembali dan mulai mempersiapkan dua bungkus mi instan dari dalam rimbagnya. Aku cuma mampu memandang semua yang dilakukannya tanpa bertanya atau berkomentar. Selanjutnya, aku mulai mengisi perut dengan mi instan panas itu. Ia juga ikut menyantap.
     Kurang seperempat jam enam sore, aku merasa kondisi tubuhku sudah agak baik. Kubenahi semua perlengkapanku, untuk meneruskan perjalanan pulang. Rupanya ia bermaksud mengantarku. Aku lagi-lagi setuju saja.
     Heran memang, aku yang biasanya banyak cakap, kali ini tiba-tiba seperti kehabisan kata-kata, padahal di depanku seorang perempuan yang parasnya cukup cantik - apalagi di gunung seperti ini, sedang beraksi membatu diriku yang tiba-tiba menjadi goblok bahkan untuk menolong diri sendiri. Tapi itulah keadaannya.
     Kami bersama menyusuri jalan setapak dengan perlahan. Dan ketika malam turun bersama gelap, aku mengeluarkan senter dari dalam carrierku. Ha.. rupanya ia tidak punya senter. Terpaksa kami berjalan menjadi semakin lambat, karena harus saling menunggu memanfaatkan satu senter. Sekali-sekali aku harus memegang tangannya agar ia tidak tergelincir di dalam gelap.
     Kami sampai di rumah pertama yang terpisah jauh dengan rumah-rumah lainnya di pinggir kampung Lembanna, ketika bulan mulai muncul. Teman perjalananku itu singgah di pancuran yang terletak di depan rumah, sambil menyarankan padaku untuk terus melanjutkan perjalanan sendiri. Rumah yang akan kutuju di mana teman-teman ku berkumpul, sudah tidak jauh. Ia sendiri akan singgah di rumah ini untuk menginap. Kali ini pun, tanpa banyak cakap aku menuruti saja semua yang disarankannya.
     Sesaat aku hendak pamit untuk meninggalkannya ketika aku teringat belum menanyakan siapa namanya. Oh..aku benar-benar goblok sekarang ini. Sambil tersenyum kecil, aku menghampiri dia yang masih berdiri di dekat pancuran bambu kecil. Lalu dengan semangat empat lima yang kubulat-bulatkan di dalam dada, aku bertanya siapa namanya. Sambil menyebutkan namaku sendiri, kulanjutkan dengan berbasa basi yang lain sambil pamitan untuk meneruskan langkahku.
     Ia mengangkat wajahnya memandangku lekat-lekat, sambil tersenyum. Dan ya Tuhan.. ia terlihat begitu cantik dalam siraman cahaya bulan yang baru muncul. Entah mengapa, ada getar aneh dari dalam diriku sehingga aku merasa ada yang kurang beres. Tapi aku tidak memperdulikan dan berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Ia lalu mengulurkan tangan kearahku.
     Tanpa basa basi, tangan itu segera kusambar. Dingin sekali rasanya. Sementara angin dari hutan pinus sebelah Selatan, berhembus perlahan mengiringi lolong anjing yang berkepanjangan, membuat bulu tengkukku terasa dingin dan merinding.
     "Namaku Noni", suaranya bening, singkat sambil tersenyum. Aku balas senyumnya, selanjutnya aku tidak bertanya lagi, terus melangkah meninggalkan dia sendirian.
     Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya bila mendaki ke Bawakaraeng, atau sekadar mengunjungi kampung Lembanna. Namun setiap kali aku ke Lembanna, aku selalu berharap agar bisa bertemu dia lagi. Konyol memang, karena data yang aku punyai hanya namanya saja. Meski begitu aku tidak berputus asa. Aku berusaha menanyai setiap orang di Lembanna, tentu saja tentang dia, sambil menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi tidak ada yang bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
     Suatu hari, kutemui orang tua pemilik pondok dengan pancuran bambu kecil di depannya, yang dulu kami singgahi dimana Noni bermaksud bermalam. Tetapi orang tua ini juga tidak memberi keterangan yang memadai. Nama Noni hanya dikenalnya beberapa tahun yang lalu, sebagai seorang gadis yang pernah menggemparkan kampung Lembanna. Gadis yang suka mendaki ke Bawakaraeng seorang diri itu, ditemukan meninggal, menggantung diri di dahan sebatang pohon di Pos 3 menuju Bawakaraeng.
     Hanya itu yang diketahui oleh orang tua ini. Dan sejak peristiwa heboh itu, ia tidak pernah lagi mendengar ada orang yang menggunakan nama Noni, yang singgah di rumahnya.
     Aku masih terus mencari dan mencari. Dengan bekal rasa yang gamang, aku berharap suatu hari nanti dapat menjumpai dia. Bukan apa-apa, aku ingin menyampaikan terimakasih untuk pertolongannya dulu. Terus terang, malam itu aku belum sempat berterimakasih kepadanya.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy
pertama kali di buletin lembanna edisi 004
April 1991
 foto Paramitha Rusady - tabloidnova.com
also linked to Kompasiana
 

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.