Lembanna sebagai Buletin - Literasi Ekspresi Alam

     Memilih kata Lembanna sebagai nama buletin yang dimiliki Korpala, sejatinya sarat dengan makna dan simbol. Lembanna bukan hanya sekadar sebagai tanah datar yang kemudian menjadi kampung bagi penduduk di kaki Bawakaraeng tetapi juga sebagai media persiapan transformasi spiritual bagi para pelintas yang hendak menuju Butta Toayya, sebutan lain untuk Bawakaraeng.
     Menjadi basis aktifitas Korpala yang utama selain Blue Sky Room di kampus Tamalanrea, maka Lembanna merekam banyak hiruk pikuk semangat yang penuh gelora. Aktifitas transformasi pendewasaan mental dan spiritual begitu terasa untuk mereka yang akrab dengan komunitas kaki Bawakaraeng. Simbol-simbol dari pengalaman lahir batin yang bertambah dari waktu ke waktu menjadi pengantar untuk semua proses yang terjadi.
     Maka dipilihlah kata itu, Lembanna, dengan tagline 'alam dalam ekspresi' yang juga menguatkan akan harapan di dalam menangkap makna dari setiap simbol yang terungkap. Menerjemahkan ekspresi alam, sebagai kesatuan ekosistim yang utuh, setidaknya menjadi tanggung jawab mereka yang menyandangkan label pencinta alam di pundaknya. Bagaimana kabut, lolong anjing, desah daun pinus, ataupun beningnya embun di pucuk daun bawang, selain mengantarkan keteduhan untuk gejolak di dalam jiwa, juga akan mengantarkan kebijakan bila diekspresikan dengan penjabaran literasi yang memadai.
     Dan buletin itu, Buletin Lembanna adalah wadah yang dilahirkan untuk menampung luapan sarat makna dari setiap simbol yang muncul, setiap metafora yang dijumpai, di sepanjang langkah kaki menuju Butta Toayya. Ekspresi alam yang digambarkan dalam bentuk baris-baris kalimat oleh para akademisi, para ilmuwan, para intelektual yang menempa diri di Korpala. Ekspresi yang begitu sayang bila hanya dibiarkan menguap begitu saja bersama semakin samarnya kumpulan memori di kepala mereka.
     Mengisi lembar demi lembar buletin itu, tidak akan pernah terasa sebagai beban, apalagi sekadar sebagai pemenuhan kewajiban akan amanah rapat kerja pengurus. Setiap baris di dalamnya, merupakan luapan imajinasi intelektual, sebagai penegas untuk setiap buah perenungan yang melimpah. Karenanya, menerbitkan buletin itu lebih kepada sebagai wadah untuk mengekalkan mutiara-mutiara pemikiran para pencinta alam itu, ketimbang sebagai suatu kewajiban belaka yang menjadi beban tersembunyi bagi individu yang sedang aktif mengurus organisasi.
     Di era teknologi komunikasi yang semakin canggih sekarang ini, tidak ketinggalan, buletin Lembanna bermetamorfosa ke format online. Bila di awal kelahirannya di tahun 1990 banyak keruwetan yang mengiringi setiap edisi penerbitan, maka itu semua sudah tersisihkan. Bahkan interaksi yang intens dari pembaca bisa dilakukan dengan segera, cepat. Metamorfosa yang sebenarnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ketika merancang kelahiran buletin itu. Mengabadikan setiap ekspresi alam menjadi begitu mudah, semudah mengedipkan mata ketika kelilipan. Gambar foto dan frasa-frasa sarat makna ataupun sekadar narasi pendukung narsisme, dengan segera bisa dibagikan. Wadah itu semakin luas dan lapang untuk setiap ekspresi yang lahir.
     Sungguh suatu anugrah yang luar biasa, bisa menyaksikan sekaligus mengawal proses metamorfosa itu.
Berikut copy paste dari beberapa edisi Salam Rimba, yang merupakan pengantar dari setiap edisi buletin Lembanna.
Salam Rimba edisi 001 hardcopy, Maret 1990, diposting ulang dalam bentuk online edisi 05-12 Juli 2012.
Ekspresi alam..
tak hanya ketika sebuah pohon membunuh dahannya,
atau ketika rusa memaafkan harimau.

Ekspresi alam merupakan ucapan alam
dalam berbagai tanda dan bentuk
orang-orang mesti menggunakan dan mengasah
kepekaan dalam menangkap seluruh tanda
dan bentuk tadi

Alam dalam ekspresi adalah keinginan kekuatan
kami dalam melukiskan pernyataan alam.
Kita punya bakat dan kewajiban untuk mencintai alam,
alam dimana kita bernafas,
alam semesta alam.

Buletin Lembanna hadir sebagai rangkaian kata
untuk mewujudkan segenap gejolak kehidupan
yang sempat terangkum di dalam lingkup rasa setiap kita..
ruang, materi dan waktu menjadi limitasi penggurat rasa
untuk setiap pengalaman bercinta dengan alam
sehingga sempat dan tidak sempat, menjadi bias
untuk berbagi ekspresi alam kepada sesama..

Salam Rimba 01-13 edisi online
     Siklon tropis Narelle bergerak menjauhi Indonesia, namun sisa kibasan ekornya justru meninggalkan cemas. Banjir yang bisa meluap setiap saat, lalu beliung yang garing mengintai siap menerkam. Fenomena yang sebenarnya sudah predictable oleh para ahli cuaca, namun tidak ada justifikasi layak untuk yang awam. Resiko yang selayaknya harus ditanggung karena menghangatnya bumi, kata para 'pengkhawatir' kondisi lingkungan. Namun merupakan hukuman dan ancaman peringatan bagi para penganut skeptic orthodoc.
     Sudut pandang yang beragam, menafsirkan kesimpulan yang juga beragam. Seperti ketika Januari ini menyapa denyut kehidupan yang hangat, dimana dua tahun yang lalu Lembanna edisi digital ini hadir. Kehadiran yang sejatinya memberikan makna, penafsiran dan pastinya prediksi-prediksi masa depan, sesuai dengan lingkup karakter kita masing-masing. Kehadiran yang mungkin saja sangat diharapkan, sekaligus di sisi lain menjadi sangat ingin dihindari. Kehadiran yang bisa saja menjadi media metamorfosis memuliakan jiwa, atau malah justru menjadi bahan baku mengkristalnya dengki di dalam sak wasangka kerdil oportunisme.
     Bila dua tahun adalah bilangan yang sedikit, maka dua puluh empat bulan rupanya tidak terlalu sederhana untuk suatu rutinitas. Bila merayakan suatu perulangan biasanya sebagai ungkapan syukur untuk suatu capaian usia tertentu, maka senyapnya semadi mungkin adalah ungkapan paling bersahaja dalam perenungan para pertapa.
     Ketika kabut tipis menyapa lembanna dengan sahaja,
     di sana hanya ada ungkapan cinta yang ditebar.
     Bila kristal iri dalam hipokrisi merinding menggigil di dalam dingin,
     cinta kabut pada Lembanna adalah cinta yang abadi.
     Ketika bilangan usia harus berulang di dalam senyap,
     semoga hening itu adalah refleksi bijak para pelintas.
     Di tanah harapan esok hari, dengki, oportunisme dan hipokrisi
     bukanlah jimat mujarab untuk mengalahkan cinta yang tulus.
     Dan di tanah datar itu, Lembanna, kabut tipis penuh cinta.

Salam Rimba 02-13 edisi online 
     Ada coklat di dalam bingkisan, ada bunga dan kartu-kartu harvest untuk ungkapan di saat-saat cinta menghangat. Setumpuk ekspresi, setumpuk simbol untuk mengaburkan kelemahan menyampaikan cinta apa adanya. Dengan simbol-simbol, ada ruang untuk membetulkan makna, ada ruang untuk berkelit dan ada waktu untuk bersiaga.
     Bisa jadi setiap simbol adalah pewakilan yang mutlak, pun bisa adalah pewakilan yang samar. Lalu setiap makna akan kembali ke dalam niat yang menyampaikan. Niat yang hanya diketahui pasti oleh pemiliknya, dan juga katanya oleh Tuhan. Dari sisi itulah, manakar niat menjadi domain yang sangat privat.
     Tetapi setiap ungkapan cinta itu adalah cermin kejiwaan para pencinta. Ada jiwa yang romantis, ada yang anarkis. Banyak yang oportunis, tidak sedikit yang hipokrit. Lalu ada cinta ala kadarnya, ada cinta yang paranoid. Seperti thesa Alexis Carrel, keragaman manusia sebanyak bilangan individu yang ada. Mungkin itulah mengapa setiap sidik jadi adalah unik, dan itulah mengapa setiap tatapan mata adalah spesifik.
     Lalu setiap individu bisa mengklaim diri sebagai pencinta alam, seperti klaim dasar hak hidup setiap manusia. Setiap hidup manusia adalah haknya, lalu mencintai adalah hak mutlak setelahnya, bagaimanapun cara mengekspresikannya.
     Cinta itu diekspresikan, kepada alam, dan kita adalah manusia.
 
 dan ekspresi alam lainnya bisa dinikmati dengan lebih bersahaja dengan mengunjungi blognya.

Ekspresi alam.. tak hanya ketika sebuah pohon membunuh dahannya, atau ketika rusa memaafkan harimau.

Label:

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.