Psikologi Survival

     Sudah begitu banyak orang dan penggiat kegiatan alam bebas menguasai dengan baik pengetahuan dan keterampilan bagaimana membuat bivak, mendapatkan makanan, membuat api disertai perlengkapan standar navigasi yang begitu canggih, kemudian sukses melanjutkan kelangsungan hidupnya menghadapi situasi survival. Beberapa penggiat lainnya yang tidak pernah melatih diri atau mungkin hanya sedikit  mendapat latihan survival, juga ternyata mampu untuk mengendalikan situasi yang mengancam hidupnya. Namun sayang sekali, beberapa lainnya harus mati meskipun sudah melalui serangkaian Training yang intensif tentang survival skill.
    Ternyata kunci utama menghadapi situasi survival adalah ‘sikap mental yang tepat’ dari individu yang ada di dalam situasi itu. Sangat penting mempunyai keterampilan teknis survival, namun yang menjadi intinya adalah ‘memiliki keinginan untuk bertahan hidup’. Tanpa keinginan untuk bertahan hidup, maka semua keterampilan yang dimiliki menjadi tidak berguna. Semua teori dan pengetahuan mengenai survival hanya menjadi sampah di dalam kepala.
     Di dalam lingkungan survival, kita akan menghadapi banyak tekanan pada mental atau stres yang lambat laun ataupun kadang secara tiba-tiba, akan mempengaruhi pikiran kita. Stres itu akan menghasilkan pikiran pikiran dan emosi yang bila tidak dipahami, akan dapat mengubah rasa percaya diri kita. Orang yang penuh percaya diri akan menjadi peragu, menjadi individu yang tidak efektif sehingga kemampuan survivalnya bisa dipetanyakan. Oleh karenanya Anda harus bisa menyadari dan mampu mengenali aneka macam tekanan mental yang secara umum terkait dengan survival.
     Untuk penjabaran selanjutnya, saya coba untuk membantu menjelaskan sedikit seluk beluk stres, faktor-faktor tekanan mental dari survival, serta beberapa reaksi reaksi yang mungkin muncul dari dalam diri kita ketika berada di dalam situasi survival yang sebenarnya. Semoga sekelumit penjabaran ini bisa membantu kita mempersiapkan diri melalui saat-saat tersulit dalam bertahan hidup.
     Sebelum kita mengetahui reaksi psikologis kita di dalam satu desain survival, baiknya terlebih dahulu kita mengetahui secara sederhana, apa yang dimaksud stres dan efek yang ditimbulkannya. Stres sebenarnya bukanlah satu penyakit yang perlu disembuhkan ataupun dihilangkan. Justru, stres adalah merupakan satu kondisi yang memperkaya pengalaman yang telah kita miliki. Stres bisa digambarkan sebagai ‘reaksi kita terhadap tekanan’. Sebutan atau penjabaran itu untuk setiap pengalaman yang kita alami ketika mendapatkan tekanan secara fisik, tekanan mental, tekanan emosi termasuk tekanan secara spiritual, sebagai respons atas tekanan hidup yang kita terima.
     Karenanya, kita membutuhkan stres, karena banyak manfaat positif yang bisa kita peroleh. Stres membantu kita menemukan kekuatan dan nilai-nilai yang ada di dalam diri.  Stres dapat menunjukkan kemampuan kita menangani tekanan tanpa perlu melanggar nilai-nilai kemuliaan sebagai manusia. Juga akan menjadi media menguji kemampuan adaptasi dan fleksibilitas kita yang nantinya akan bisa memicu kita untuk bisa melakukan hal-hal terbaik dari kemampuan yang kita miliki. Biasanya kita meremehkan peristiwa menyenangkan, yang melenakan (tingkat stresnya rendah), sehingga stres bisa menjadi indikator yang signifikan untuk menyadari hal-hal apa saja yang ternyata penting untuk hidup kita.
     Kita membutuhkan beberapa tekanan di dalam hidup, tentu saja di dalam porsi yang secukupnya. Terlalu banyak stres akan memberi dampak yang buruk. Bahkan bukan hanya stres, hal apapun yang berlebih-lebihan tentu saja akan menjadi buruk. Jadi marilah memiliki stres secara proporsional. Terlalu banyak stres tentu saja akan menimbulkan penderitaan pada diri sendiri, masyarakat dan organisasi. Stres bisa menyebabkan ketidak nyamanan, lalu kita memilih untuk menghidar atau malah melarikan diri dari situasi yang ada.
     Daftar berikut adalah beberapa tanda ketidak nyamanan yang bisa saja diakibatkan oleh terlalu banyaknya stres yang kita alami.
        - Kesulitan membuat keputusan
        - Menjadi pelupa
        - Kemampuan fisik menurun, mudah lelah.
        - Emosi yang meledak-ledak
        - Selalu dalam perasaan kuatir
        - Cenderung berbuat kesalahan, menjadi kikuk.
        - Kadang berfikir tentang kematian atau bunuh diri
        - Menjadi sulit bergaul dengan orang lain.
        - Menarik diri dari pergaulan.
        - Ceroboh
        - Bersembunyi dari tanggung jawab.

     Mengamati daftar di atas, terlihat bahwa stres bisa berfungsi sebagai hal yang konstruktif, namun bila berlebihan maka akan menjadi destruktif. Bisa sebagai pendorong kita untuk terus berkembang atau malah menjadi bencana yang mematikan kita di atas jalan hidup yang sementara berlangsung.
     Stres bisa menginspirasi kita untuk bertindak hingga berhasil sambil mengekspresikan performa maksimum yang efisien dari diri kita, di dalam situasi survival. Sebaliknya stres juga bisa mengakibatkan kita menjadi panik sehingga lupa pada semua materi dan hasil latihan selama ini. Kunci kita untuk survival adalah ‘kemampuan kita memanage dan menghadapi setiap tekanan yang ada’. Kita akan berhasil survival bila kita bisa mengendalikan stres, bukan sebaliknya malah stres yang mengendalikan kita.

     Stressor. Setiap kejadian bisa mengakibatkan stres, Dimana kejadian-kejadian itu kadang tidak muncul satu persatu tetapi bersamaan menyergap kita. Kejadian-kejadian itu bukanlah stres, tetapi ‘penyebab stres’ yang di dalam bahasan selanjutnya saya istilahkan sebagai ‘stressor’. Jadi sederhananya, stressor adalah penyebab, sementara stres adalah respons terhadap adanya stressor.
     Di dalam situasi survival, ketika tubuh kita menyadari dan mengakui adanya stressor, maka ia mulai bertindak untuk melindungi diri. Sebagai tanggapan terhadap stressor, maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama tubuh mempersiapkan diri dengan baik untuk melawan, atau yang kedua, melarikan diri.
     Bila tubuh menanggapi stressor dengan melawan, maka tubuh akan mengaktifkan sistim SOS di dalam tubuh. Sinyal sos yang terkirim ke seluruh tubuh akan direspon dalam bentuk sebagai berikut:
     - Tubuh melepaskan bahan bakar yang berbentuk (gula dan lemak) untuk memberikan suplay energi dengan cepat, begitu dibutuhkan.
     - Intensitas pernapasan meningkat, untuk memasok lebih banyak oksigen ke dalam darah.
     - Ketegangan otot meningkat untuk mempersiapkan tindakan dalam kewaspadaan.
     - Mekanisme pembekuan darah diaktifkan untuk mengurangi pendarahan dari luka (bila tubuh mempunyai luka).
     - Panca indera menjadi lebih peka. Pendengaran lebih sensitif, pupil mata membesar, penciuman bau menjadi lebih tajam.
     - Denyut jantung dan tekanan darah meningkat untuk mengalirkan lebih banyak darah ke otot.

     Celakanya, stressor itu sangat tidak sopan. Bila stressor lain muncul, bukan berarti stressor pertama akan pergi. Mereka malah akan berkolaborasi, menambah tekanan kepada kita. Hal lainnya lagi, bisa saja stres yang timbul sebenarnya mempunyai intensitas yang rendah, dalam kondisi normal bisa saja diabaikan. Namun bila munculnya stressor-stressor kecil terakumulasi dalam rentang waktu yang berdekatan, atau malah bersamaan, maka bisa menjadi pemicu stres yang luar biasa.
     Sebagai reaksi alamiah, tubuh akan bertahan. Pada titik ini, kemampuan bertahan terhadap stres atau menggunakan stres sebagai pemicu ‘sikap positif’ akan muncul. Mengantisipasi stressor dan mengembangkan strategi mengatasinya memenjadi dua unsur penting dalam memanage stres. Karenanya sangat penting bagi kita untuk menyadari jenis-jenis stres yang akan dihadapi.

     Cedera, sakit dan kematian. Merupakan kemungkinan yang nyata yang harus Anda hadapi. Mungkin tidak ada yang lebih stres bila berada sendirian di satu lingkungan asing dimana Anda bisa saja meninggal karena kecelakaan yang terjadi, mengalami cedera, atau karena keracunan oleh makanan tak dikenal. Cedera akan menambah stres karena membatasi kemampuan kita untuk bermanuver mendapatkan makanan dan minumam, mencari tempat berlindung dan membela diri. Meskipun cedera dan penyakit yang ada tidak menyebabkan kematian, namun mereka menambah stres melalui rasa sakit dan ketidaknyamanan yang timbul. Hanya dengan kemampuan mengendalikan stres yang terkait dengan kerentanan pada cedera, penyakit dan kematian, maka Anda bisa memiliki keberanian untuk mengambil resiko yang terkait untuk tetap bertahan hidup.
     Lingkungan. Dalam bertahan hidup, Anda harus mengahadapi stressor berupa cuaca, medan bentang alam dengan berbagai macam makhluk hidup yang menghuni daerah tersebut. Panas, dingin, hujan, angin, gunung, rawa, gurun, serangga, reptil berbahaya dan segala jenis hewan lainnya hanyalah sebahagian dari tantangan yang kita hadapi di dalam survival. Sehingga, segala sesuatunya tergantung pada bagaimana Anda menangani stres oleh faktor-faktor lingkungan tersebut. Apakah akan menjadikan lingkungan kita sebagai sumber makanan sekaligus tempat berlindung yang baik atau malah lingkungan menjadi penyebab ketiaknyamanan yang secara ekstrim akan mengarahkan kita pada cedera, sakit dan akhirnya mati.
     Lapar dan Haus. Tanpa makanan dan air, Anda akan menjadi lemah kemudian akhirnya mati. Jadi, mendapatkan dan mencadangkan makanan dan air akan memberi peluang memperpanjang waktu dalam survival. Mencari makanan bisa menjadi sumber stres yang besar karena Anda membutuhkan banyak energi sehingga mengakibatkan kelelahan.
     Kelelahan. Memaksakan diri untuk tetap bertahan hidup tidaklah mudah. Banyak energi yang terkuras, yang kemudian Anda menjadi sangat lelah. Ada kemungkinan Anda menjadi begitu lelahnya sehingga Anda tetap terjaga, tidak bisa tidur sehingga mendapatkan jenis stres yang baru lagi.

Reaksi Alamiah.
     Manusia sudah mampu bertahan hidup setelah melalui berbagai macam perubahan lingkungan selama berabad-abad. Kemampuan adaptasi yang luar biasa secara fisik dan mental terhadap alam yang terus berubah, sementara banyak spesies lain di sekitarnya yang kemudian punah perlahan-lahan. Mekanisme yang telah dikembangkan oleh nenek moyang kita, bisa kita gunakan untuk membantu kita tetap survive.
     Hal itu sebenarnya tidak mengherankan, karena setiap orang akan memiliki beberapa reaksi psikologis yang khas dalam situasi survival. Namun demikian, ada beberapa gejala umum yang akan dihadapi oleh setiap orang setelah munculnya stressor.

     Rasa Takut. Ketakutan adalah respons emosi kita oleh keadaan berbahaya, yang dipercaya berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau sakit. Bahaya yang timbul karena Anda cedera, mengancam kestabilan emosi kita hingga bisa menimbulkan rasa takut.
     Jika Anda dalam situasi survival, rasa takut sebenarnya bisa berfungsi positif bila hal itu akan membuat Anda menjadi lebih berhati-hati dimana kecerobohan bisa mengakibatkan cedera. Sayangnya, rasa takut juga bisa melumpuhkan Anda. Hal itu bisa menyebabkan Anda menjadi begitu takut bahwa Anda akan gagal untuk melakukan kegiatan penting demi tetap bertahan hidup. Kebanyakan orang akan memiliki tingkat rasa takut yang berbeda ketika dalam kondisi yang buruk berada di satu lingkungan yang tidak dikenalnya. Kita tidak perlu malu untuk mengakui hal ini, karena itu sangat manusiawi.
     Kita hanya perlu untuk terus melatih diri supaya tidak dikendalikan oleh rasa takut yang muncul. Idealnya, setiap kita memerlukan pelatihan yang realistis, sehingga memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan rasa percaya diri. Dengan kepercayaan diri yang memadai, kita bisa mengatasi rasa takut yang timbul.

     Cemas. Terkait dengan masalah takut adalah cemas. Karena takut itu adalah reaksi yang alami, maka rasa cemas juga salah satu reaksi yang natural. Kecemasan bisa berbentuk rasa gelisah, khawatir karena situasi yang berbahaya (secara fisik, mental dan emosi).
     Bila kita bisa mengendalikannya secara sehat, maka kecemasan bisa mendorong Anda bertindak untuk menuntaskan satu ancaman, setidaknya bisa menguasai stressor yang mengancam keberadaan Anda. Jika kita tidak pernah cemas, maka kita hanya akan memiliki sedikit motivasi untuk membuat perubahan di dalam hidup. Di dalam situasi survival, kita bisa mengurangi rasa cemas dengan melakukan hal-hal yang setidaknya bisa memastikan Anda untuk bertahan dalam situasi yang ada.
     Ketika kita bisa mereduksi rasa cemas, kita juga sekaligus mengendalikan sumber rasa cemas itu, yaitu ketakutan kita. Sampai di titik ini, maka rasa cemas berfungsi sebagai hal yang positif. Bila tidak berjalan di arah yang benar, maka kecemasan akan berdampak menghancurkan. Rasa cemas bisa menjerumuskan kita ke titik dimana kita menjadi mudah bingung dan sulit untuk berfikir. Sekali kita berada di situasi ini, maka keadaan akan semakin bertambah sulit untuk bisa membuat pertimbangan logis dan keputusan yang baik.
     Untuk survive, kita harus belajar dan berlatih cara menenangkan kecemasan, cara mengendalikan kecemasan sehingga tetap berada di rentang yang bisa memberi dampak yang positif.

     Marah dan Frustrasi. Frustrasi bisa muncul ketika kita terus-menerus gagal di dalam upaya mencapai tujuan. Tujuan survival adalah supaya tetap hidup sampai kita bisa mencapai bantauan atau sampai tim penolong menemukan kita. Untuk mencapai tujuan itu, kita harus bisa menuntaskan hal-hal yang diperlukan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin.
     Frustrasi yang menumpuk akan menimbulkan kemarahan. Tersesat, rusaknya peralatan, cuaca yang tidak bersahabat, medan yang sulit dengan beberapa cedera yang mungkin sudah menimpa kita bisa menjadi sumber frustrasi dan marah. Reaksi impulsif yang ditimbulkannya bisa berupa perilaku yang tidak rasional, keputusan yang tidak dipertimbangkan dengan matang, bahkan dalam beberapa kasus akan bersikap merajuk, berhenti berusaha melakukan hal-hal yang tidak dikuasai dengan sempurna.
     Sangat penting untuk bisa mengendalikan intensitas emosi yang berkaitan dengan rasa frustrasi dan marah, sehingga kita bisa lebih produktif menghadapi setiap tantangan di dalam situasi survival. Bila kita bisa mengalihkan fokus dari rasa marah, kita bisa menghemat banyak energi yang terbuang percuma akibat penyaluran pelampiasan rasa marah itu.  Kita bisa menciptakan peluang hidup lebih besar untuk orang lain di sekitar kita.

     Depresi. Anda akan menjadi manusia langka, bila tidak dihinggapi perasaan sedih, meski hanya sesaat, ketika berhadapan dengan kesulitan hidup. Rasa sedih yang mendalam akan berubah menjadi depresi. Depresi sendiri berhubungan erat dengan rasa marah dan frustrasi
     Frustrasi akan menyebabkan kita menjadi semakin marah ketika gagal mencapai tujuan. Jika kemarahan tidak berhasil membantu kita untuk berhasil, maka tingkat frustrasi akan semakin tinggi. Sebuah siklus destruktif akan terus berlangsung antara kemarahan dan frustrasi, yang akan menggerogoti kondisi kita secara fisik, emosi dan mental. Ketika kita sampai di titik ini, maka kita biasanya akan menyerah. Fokus kita akan bergeser dari “apa yang bisa saya lakukan’ menjadi “tidak ada yang bisa saya lakukan”.
     Depresi adalah satu ungkapan putus asa, ungkapan perasaan tidak berdaya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perasaan sedih. Kita menjadi sedih karena memikirkan orang yang kita cintai dan ingat untuk membawa kembali kehidupan ini ke ‘peradaban’ atau ‘dunia yang normal’. Pikiran-pikiran seperti itu pada dasarnya bisa  menimbulkan keinginan dan dorongan untuk berusaha lebih keras, demi hidup ‘satu hari lagi’.
     Di sisi lain, bila kita membiarkan diri kita untuk tenggelam dalam keadaan tertekan, maka akan menguras sebagian besar energi yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal lain yang berguna. Maka di sini menjadi penting bagaimana memelihara ‘kemauan untuk bertahan hidup’. Kita harus menolak untuk menyerah pada depresi.

     Sepi dan bosan. Manusia adalah makhluk sosial. Karenanya hanya sedikit orang yang ingin sendiri sepanjang waktu. Karenanya rasa sepi dan bosan bisa mengantarkan kita ke arah depresi. Bila kita dalam situasi survival, entah sendirian atau dengan beberapa orang lain, penting untuk bisa selalu menemukan cara untuk membuat dan menjaga fikiran kita tetap sibuk dan produktif.

     Rasa bersalah. Kadang kita berada dalam situasi survival oleh suatu keadaan yang dramatis dan tragis. Mungkin oleh satu kecelakaan, sehingga Anda adalah satu-satunya korban yang selamat. Sementara Anda selamat, disaat bersamaan orang lain yang kurang beruntung, yang mungkin saja sangat kita cintai, telah menjadi korban meninggal. Hal ini bisa saja menimbulkan rasa bersalah di dalam diri kita.
     Perasaan ini bila digunakan secara positif akan bisa mendorong kita untuk berusaha bertahan hidup hingga tim penolong tiba, atau malah menemukan jalan sendiri menyelamatkan diri. Kita harus mempunyai perasaan bersyukur karena telah selamat, sekaligus menyadari bahwa masih ada skenario kehidupan yang lebih besar yang harus kita selesaikan, sehingga kita masih diberi kesempatan tidak menjadi korban meninggal dalam kecelakaan itu. Kita bisa menanamkan keyakinan di dalam diri bahwa kita sekarang memegang amanah untuk menyelesaikan tugas yang belum sempat dituntaskan oleh orang-orang yang telah menjadi korban.
     Apapun alasan yang bisa kita temukan, yang penting jangan membiarkan rasa bersalah yang timbul menghalangi kita untuk melanjutkan kehidupan. Hidup yang menyia-nyiakan kesempatan hidup tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dan hal itu akan menjadi tragedi besar kehidupan.

Mempersiapkan Diri
     Misi kita dalam survival adalah untuk tetap hidup. Bermacam-macam pikiran dan emosi yang kita alami dalam survival bisa dikendalikan, atau malah sebaliknya mereka yang mengendalikan kita.
     Rasa takut, cemas, marah, frustrasi, rasa bersalah, depresi dan kesepian adalah jenis-jenis stres yang secara umum kita hadapi di dalam situasi survival. Ketika kita mengontrol dengan baik setiap reaksi tadi, akan meningkatkan peluang kita untuk bertahan hidup. Tentu saja, kita perlu meluangkan banyak waktu, tenaga dan fokus latihan untuk bisa mengendalikan setiap stres yang muncul. Bagaimana melawan rasa takut, bagaimana bereaksi untuk menciptakan rasa aman, bagaimana mempertahankan rasa percaya diri setiap anggota tim kita, untuk tetap berusaha menghadapi setiap rintangan.
     Bila kita gagal mengontrol reaksi tersebut dengan cara yang sehat, maka reaksi stres itu akan membuat kita berhenti. Jangankan bisa mengerahkan sumber daya internal dalam diri kita, kita malah mendengarkan dan mengembangkan kekhawatiran dari dalam diri. Ketakutan itu akan menyebabkan kita kalah secara psikologis, jauh sebelum kita benar-benar kalah secara fisik.
     Ingatlah, survival adalah kondisi alamiah untuk setiap orang, yang tiba-tiba saja terperangkap dalam situasi perjuangan hidup-mati di dalam kondisi survival. Jangan kuatir akan ‘reaksi alamiah dari situasi yang tidak biasa’. Persiapkan diri kita untuk menguasai reaksi ini sehingga kita bisa manfaatkannya untuk bertahan hidup dengan cara terhormat dan bermartabat.
     Mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang reaksi yang mungkin muncul di dalam suatu situasi survival, merupakan tindakan yang produktif. Tantangan di dalam survival sudah menghasilkan banyak contoh terpuji dalam bentuk karakter kepahlawanan, keberanian dan kerelaan berkorban. Kualitas-kualitas itu akan kita dapatkan bila bisa mempersiapkan diri secara efektif.

     Berikut ini, beberapa tip untuk membantu persiapan diri secara psikologis untuk bertahan hidup. Kita bisa mengembangkan ‘sikap survival’ yang baik dengan melakukan pelatihan yang tepat dan terarah.

1. Kenali diri sendiri
     Luangkan waktu dan ikuti pelatihan, tanya pada keluarga dan teman-teman untuk menemukan siapa diri anda sebenarnya. Perkuat mutu diri Anda menjadi semakin kuat dan kembangkan potensi yang Anda ketahui diperlukan untuk survive.
2. Antisipasi rasa takut
     Jangan pernah berpura-pura bahwa Anda tidak punya rasa takut. Mulailah berfikir tentang hal-hal yang paling menakutkan bila Anda berada dalam situasi sendirian. Latihlah diri untuk mengendalikannya, namun bukan menghilangkan rasa takut sama sekali. Kembangkan rasa kepercayaan diri yang baik dalam setiap kemampuan yang Anda miliki sehingga bisa mengendalikan dan mereduksi kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul.
3. Bersikap realistik
     Jangan takut untuk melakukan penilaian yang jujur terhadap suatu situasi atau kondisi. Pandang permasalahan di dalam kacamata pandangan orang lain. Perhatikan dan pelihara apa yang Anda harapkan dari perkiraan situasi yang ada. Jangan membuat harapan yang di luar perkiraan, karena nanti akan menjadi bibit kekecewaan yang sangat pahit. Ikuti pepatah lama, ‘berharap yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk’. Kita tentunya lebih mudah beradaptasi dengan ‘kejutan’ tentang situasi yang menyenangkan dari suatu nasib baik yang tak terduga, dibanding menjadi marah oleh keadaan mengecewakan yang tidak terduga sebelumnya.
4. Menerapkan Sikap Positif
     Pelajari dan lihatlah potensi baik di dalam segala hal. Menemukan hal-hal baik bukan hanya akan meningkatkan moral kita, tetapi juga sangat penting dalam mengolah imajinasi dan mengeksplorasi kreativitas.
5. Ingat apa yang Anda pertaruhkan
     Gagal mempersiapkan diri secara psikologis untuk mengatasi situasi survival akan menyebabkan reaksi seperti depresi, ceroboh, kurang konsentrasi, kurang percaya diri, tidak bisa membuat keputusan yang baik. Ingatlah selalu, bahwa hidup Anda dan hidup orang lain sedang dipertaruhkan di tangan Anda.
6. Latihan
     Melalui pelatihan intensif dan pengalaman hidup yang keras, bisa menjadi modal untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi survival. Ingat, semakin realistik suatu pelatihan, semakin memperkecil kemungkinan kita gagal dalam suatu situasi survival.
7. Belajar teknik Manajemen Stres
      Orang di dalam tekanan stres berpotensi untuk menjadi panik jika tidak disiapkan secara psikologis untuk menghadapi situasi yang mungkin terjadi. Meskipun kita sering tidak bisa mengatur keadaan apa saja yang boleh menimpa kita di dalam satu kondisi survival, tetapi kita punya kemampuan untuk mengendalikan reaksi kita di dalam merespon setiap keadaan.
     Mempelajari teknik Manajemen Stres bisa meningkatkan kemampuan kita untuk tetap tenang dan fokus saat kita berusaha menjaga diri dan hidup orang lain. Beberapa teknik penting misalnya keterampilan relaksasi, keterampilan manajemen waktu, keterampilan ketegasan, juga keterampilan restrukturisasi kemampuan kognitif (kemampuan untuk mengontrol bagaimana kita bisa melihat situasi secara realistis).

     Sebagai penutup artikel ini, satu ungkapan kunci di dalam survival yaitu ‘keinginan bertahan hidup’ bisa juga ditransformasikan menjadi bentuk ungkapan lain: ‘menolak untuk menyerah’.
 rujukan : US Army Survival Manual

kunci utama menghadapi situasi survival adalah ‘sikap mental yang tepat’ dari individu yang ada di dalam situasi itu.

Label:

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.