Articles by "Personal Healing"

Tampilkan postingan dengan label Personal Healing. Tampilkan semua postingan

     Di bawah lampu neon dunia maya, di mana cuitan-cuitan di X beterbangan seperti nyamuk di musim hujan, politik Indonesia adalah teater absurd yang tak pernah tutup. Para aktornya, dengan jubah kebesaran dan senyum yang terlalu rapi, memainkan drama penuh intrik, di mana kebohongan kadang lebih manis daripada kebenaran. Seorang warganet, dengan jari lincah di layar ponsel, menulis: “Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda bisa berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” Kalimat itu, bagai pisau yang tersenyum, memotong tirai kemunafikan, mengundang tawa sekaligus kepedihan. Tapi, di balik sorak-sorai digital ini, apa yang sebenarnya kita saksikan? Sandiwara murahan, atau cermin jiwa bangsa yang resah, menolak diam di tengah janji-janji yang menguap?

     Bayangkan sebuah pasar malam di X, di mana kios-kios virtual berjejer, menjajakan harapan dengan harga satu suara. Di satu sudut, seorang politisi, dengan ijazah yang mungkin asli tapi nurani yang patut diragukan, berorasi tentang “keadilan sosial” sambil mengantongi dana dari sumber yang samar. @thePeople______, dengan nada sarkastik yang tajam, mencuit: “Ijazah boleh asli, tapi kalau kebijakan bikin rakyat miskin dan elit kaya, yang palsu itu ijazahnya atau nuraninya?” Cuitan ini bukan sekadar lelucon; ia adalah nyanyian protes, sebuah jeritan yang dibungkus humor untuk menahan air mata. Friedrich Nietzsche, yang pernah menertawakan kelemahan manusia, mungkin akan mengangguk setuju. “Bercanda tentang sesuatu adalah mekanisme pertahanan untuk mengatasi ketakutan terhadapnya,” katanya. Di Indonesia, di mana skandal korupsi seperti e-KTP atau Hambalang menjadi legenda, satire adalah perisai rakyat, mereduksi para dewa politik menjadi badut yang bisa diejek.

     Panggung politik ini penuh kontradiksi, seperti lukisan yang indah dari kejauhan tapi retak-retak saat dilihat dekat. Para politisi, dengan gelar “Yang Terhormat,” sering kali bertingkah seperti penututup botol—istilah sinis untuk mereka yang dianggap tak berguna. Namun, rakyat, yang seharusnya menjadi sutradara dalam demokrasi, justru merasa seperti penonton yang ditipu, diberi tiket mahal untuk pertunjukan yang buruk. @bahanasugeng62 menulis di X: “Semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi bahaya penyalahgunaannya.” Kalimat itu, sederhana namun menusuk, menggema seperti peringatan Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Di negeri ini, di mana kepercayaan publik terhadap DPR sering merosot di bawah 50% menurut survei LSI, satire bukan lagi sekadar hiburan—ia adalah cermin buram yang memaksa kita melihat wajah kita sendiri.

     Voltaire, sang maestro satire dari abad Pencerahan, pasti akan bersorak melihat kreativitas warganet Indonesia. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” katanya. Di X, kebebasan ini hidup dalam meme, cuitan, dan parodi yang absurd. @lalilupanama, misalnya, menyamakan politisi dengan “bakul obat kadas” yang lucu tapi tak perlu ular sanca untuk menarik perhatian. Bayangkan seorang calon senator, berdiri di panggung kampanye, menjajakan “obat mujarab” berupa proyek jalan yang entah kapan selesai, sementara rakyat hanya bisa tertawa pahit. Satire seperti ini adalah kebenaran yang disampaikan dengan jubah humor, sebuah cara untuk membongkar propaganda tanpa perlu darah. Voltaire akan melihatnya sebagai seni, sebuah tarian kata yang mengungkap kebusukan di balik topeng kebesaran.

     Namun, di balik tawa, ada kepedihan yang merayap. Satire di X lahir dari luka kolektif: ketimpangan sosial, janji politik yang menguap seperti asap, dan institusi yang kehilangan kepercayaan. @jan_marem menulis: “Politik Indonesia makin hari makin konyol, bukan bikin tertawa, tapi bikin kesal.” Kalimat ini adalah renungan filosofis, sebuah pengakuan bahwa politik adalah teater absurd yang melelahkan. Albert Camus, yang merenungkan absurditas hidup, mungkin akan melihat politik Indonesia sebagai Sisifus modern: rakyat terus mendorong batu demokrasi ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali karena korupsi atau pengkhianatan. Tapi, dalam tawa getir itu, ada pemberontakan—sebuah penolakan untuk menyerah, sebuah cara untuk tetap hidup di tengah keputusasaan.

     Apakah satire ini cukup untuk mengubah panggung? Mungkin tidak. Cuitan-cuitan lucu di X adalah katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membuat kita merasa sedikit lebih ringan di tengah beratnya realitas. Namun, seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa pun, itu berarti hak untuk memberi tahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar.” Satire adalah kebebasan ini, sebuah cara untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa takut—setidaknya, selama akun Anda belum diblokir. Kasus seperti hilangnya akun nurhadi_aldo di Instagram, yang memicu spekulasi tentang tekanan pihak berwenang, adalah pengingat bahwa panggung satire tidak selalu bebas dari bayang-bayang sensor. Namun, bahkan di tengah ancaman, rakyat terus menulis, terus menertawakan, terus bermimpi.

     Di sudut-sudut X, ada paradoks yang menyentuh. Satire, meski sinis, adalah tanda bahwa rakyat Indonesia belum menyerah. @bahanasugeng62 menulis: “Rezim boleh berganti, pemimpin bisa beralih, tapi nilai perjuangan harus tetap dijaga.” Kalimat ini, seperti nyanyian lembut di tengah badai, mengingatkan kita bahwa di balik ejekan dan tawa, ada harapan—mungkin rapuh, tapi nyata—untuk masa depan yang lebih adil. Soren Kierkegaard, filsuf yang merenungkan keberanian dalam ketidakpastian, pernah berkata, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Satire adalah cara kita melihat ke belakang, menertawakan kesalahan masa lalu, sambil melangkah dengan hati penuh tanya ke depan.

     Apa yang tersisa dari panggung sandiwara politik ini, di mana tawa dan kepedihan bercampur seperti minuman pasar malam? Humor, dengan segala keabsurdannya, adalah nyawa rakyat—senjata lembut yang mampu menyingkap tabir kemunafikan tanpa pedang. Sinisme, meski berbalut getir, adalah detak jantung bangsa yang masih resah, yang menolak diam di tengah janji-janji kosong. Dan politik, dengan segala kontradiksinya, adalah cermin buram dari kita semua—rakyat yang menertawakan, pemimpin yang berjanji, dan para penututup botol yang tersesat di antaranya. Aristophanes, sang pelopor satire Yunani kuno, pernah berkisah bahwa membuat orang tertawa adalah seni, tetapi membuat mereka berpikir sambil tertawa adalah keajaiban. Di X, keajaiban ini berkelip-kelip di setiap cuitan, meme, dan ejekan, mengingatkan kita bahwa di tengah absurditas panggung politik, kita masih punya kuasa untuk menertawakan, merenungkan, dan, suatu hari, mungkin mengukir perubahan.

     Ada kalanya luka tidak meminta untuk segera diobati. Ia hanya ingin diduduki, diam-diam, seperti seseorang yang menunggu hujan reda di bawah atap yang bocor. Di saat-saat seperti itu, membuka halaman-halaman Kahlil Gibran adalah seperti memasuki gua yang hangat. Bukan untuk mencari obor, bukan pula untuk mengusir kegelapan, tetapi untuk merasakan bagaimana gelap itu sendiri bisa menjadi semacam kelembutan. Di sana, kata-kata tidak menjelaskan; mereka hadir sebagai tetesan embun yang merayap perlahan di dinding batu, menyentuh retakan-retakan yang bahkan tak kau sadari ada.  

     Membacanya adalah ritual tanpa niat. Seperti ketika kau duduk di tepi sungai, tidak mencari ikan, hanya membiarkan dinginnya air mengalir di antara jari-jari. Dalam Sayap-Sayap Patah, cinta tidak digambarkan sebagai mahkota atau luka, melainkan sebagai tanah yang subur di mana segala yang patah justru mulai bertunas. Kisah Faris Karam dan Selma bukanlah tragedi, melainkan potret tentang bagaimana dua jiwa bisa saling merangkul kegagalan mereka tanpa mencoba memperbaikinya. Di sana, cinta yang kandas tidak perlu diangkat menjadi drama; ia cukup menjadi saksi bisu bahwa terkadang, yang tersisa dari sebuah pelukan hanyalah bekas hangat di udara—dan itu pun sudah cukup sebagai bukti keabadian.  

     Kebanyakan orang mencari jawaban dalam buku. Gibran tidak menawarkan itu. Ia menulis seperti angin yang membelai rerumputan: tidak mengubah arahnya, hanya membuatnya bergoyang dengan cara yang berbeda. Pasir dan Buih adalah kumpulan bisikan yang tidak ingin didengar, tetapi dirasakan. "Separuh dari apa yang kukatakan tak bermakna," tulisnya, "tetapi kukatakan agar separuh lainnya sampai padamu." Di sini, kebenaran tidak perlu sempurna. Ia bisa pecah menjadi serpihan, seperti kaca yang jatuh dari jendela, dan justru dalam pecahan itulah cahaya bermain dengan lebih liar. Seperti seorang penyair yang tahu bahwa kata-kata terlalu miskin untuk menampung seluruh kebenaran, Gibran memilih untuk bicara dalam parabel-parabel yang mengambang—persis seperti kabut pagi yang tak bisa dipegang, tapi membasahi segala sesuatu.  

     Dalam Si Gila, kegilaan tidak dirayakan sebagai pemberontakan, tetapi dihadirkan sebagai kejujuran yang tak terbendung. Tokoh-tokohnya berjalan di tepi jurang antara akal dan khayal, menertawakan segala yang dianggap sakral. Tapi di balik tawa itu, ada getar yang mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa manusia hanya bisa utuh ketika berani mengakui pecahannya. Seperti cermin retak yang justru memperlihatkan wajah asli kita—bukan melalui bagian yang utuh, tetapi dari garis-garis pecah yang membentuk peta rahasia jiwa. Di sini, kegilaan bukan penyakit, melainkan bahasa lain dari keberanian.  

     Lalu ada Sang Nabi, di mana setiap kata seolah ditulis dengan tinta yang terbuat dari waktu. Ketika Almustafa berbicara tentang anak-anak—"Mereka datang melalui dirimu, tapi bukan dari dirimu"—ia tidak sedang memberi petuah. Ia hanya membisikkan rahasia alam semesta: bahwa mencintai adalah seni melepaskan, bukan menggenggam. Seperti pohon yang membiarkan daun-daunnya pergi di musim gugur, bukan karena tak peduli, tetapi karena tahu bahwa akar dan langit adalah dua kutub yang sama-sama perlu dihormati. Di sini, cinta tidak diukur dari seberapa lama kita bertahan, tapi dari seberapa lapang dada kita saat harus mengucapkan selamat jalan.  

     Membaca Gibran adalah proses yang tidak linear. Hari ini, sebuah kalimat mungkin terasa seperti pelukan; besok, kalimat yang sama bisa menjadi pertanyaan yang menggantung. Seperti lukisan abstrak yang maknanya berubah tergantung sudut cahaya. Dalam Rahasia Hati, ia tidak mencoba mengajari cara menghentikan derita. Ia hanya memberi ruang—ruang untuk duduk bersama kesepian, ruang untuk tidak merasa bersalah karena belum bisa melupakan, ruang untuk menyimpan rahasia yang bahkan tak perlu diberi nama. Di sini, kesedihan tidak lagi musuh yang harus dikalahkan, melainkan tamu yang datang dengan membawa hadiah aneh: mungkin sebatang lilin, mungkin segenggam debu, tergantung bagaimana kau menerimanya.  

     Ada keanehan dalam karya-karyanya. Ia bicara tentang patah hati tanpa menyebutkan jantung. Ia menulis tentang kematian tanpa menyentuh kuburan. Mungkin karena baginya, segala sesuatu yang penting terjadi di wilayah yang tak terlihat: di ruang antara dua napas, di keheningan sebelum tidur, di retakan kecil antara apa yang diucapkan dan yang ditahan. Ketika ia menulis, "Kau adalah busur darimana anak-anakmu sebagai anak panah hidup diluncurkan," ia tidak sedang menggambarkan keluarga. Ia sedang menuliskan hukum alam tentang keterpisahan yang tak terhindarkan—bahwa setiap pertemuan mengandung benih perpisahan, dan setiap pelukan menyimpan bayangan pelepasan.  

     Barangkali inilah yang membuat tulisannya selalu terasa personal sekaligus universal. Ia tidak menawarkan obat, tetapi mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya yang kita cari dalam kesembuhan? Apakah kita ingin luka itu hilang, atau justru ingin belajar mendengarkan pesan yang dibawanya? Dalam Air Mata dan Tawa, ia menggambarkan keduanya sebagai sungai dan laut—dua entitas yang berbeda, tapi berasal dari sumber yang sama. Mungkin itu juga jawaban implisitnya: bahwa penderitaan dan sukacita bukanlah lawan; mereka adalah dua sisi dari koin yang sama, yang terus berputar dalam genggaman nasib.  

     Di akhir hari, buku-bukunya tidak meninggalkan kita dengan pencerahan. Yang ada hanyalah kehangatan samar, seperti bekas duduk seseorang di kursi yang baru saja ditinggalkan. Kau tidak pulang dengan pedoman hidup baru, tapi dengan perasaan bahwa ada yang ikut memikul bebanmu—sesuatu yang tak berbentuk, tapi nyata. Gibran tidak pernah berjanji akan membuat segalanya lebih baik. Ia hanya membisikkan, melalui ratusan halaman, bahwa hidup tidak harus selalu "lebih baik". Kadang, hidup hanya perlu dirasakan apa adanya: retak, ambigu, dan penuh dengan pertanyaan yang tak perlu dijawab.  

     Dan di tengah dunia yang terus meneriakkan mantra "move on", suaranya menjadi semacam oasis. Ia mengingatkan bahwa manusia punya hak untuk tidak menjadi kuat. Bahwa merangkak pun adalah bentuk perjalanan. Bahwa di balik tirai kesibukan kita, ada ruang sunyi yang selalu tersedia—untuk menangis, untuk tertawa, atau sekadar berdiri diam sementara waktu terus bergerak. Di sana, dalam keheningan itu, kita tiba-tiba mengerti sesuatu yang tak bisa diungkapkan: bahwa menjadi manusia tidak pernah tentang menjadi sempurna. Hanya tentang menjadi utuh, dengan segala ketidakutuhan kita.  

     Seperti daun yang jatuh di musim gugur: ia tidak melawan angin, tidak juga menyesali dahan yang ditinggalkan. Ia hanya jatuh, pelan-pelan, sambil menggambar pola yang hanya bisa dimengerti oleh bumi yang akan menerimanya.

     Di tengah pusaran hidup yang tak henti berubah, ada rahasia-rahasia sunyi yang tersembunyi di balik pergulatan manusia dengan dirinya sendiri. Seperti sungai yang mengukir lembah, kekuatan sejati tidak lahir dari perlawanan terhadap arus, melainkan dari keheningan yang memahami cara menari bersama gelombang. Di sini, dalam ruang sunyi antara kepergian dan ketetapan, kita menemukan pilar-pilar yang membentuk ketangguhan manusia—sebuah mozaik kebijaksanaan yang menuntun kita untuk merangkul kesendirian, melampaui keterikatan, dan menemukan keabadian dalam keindahan yang fana.

     Kesendirian adalah altar tempat jiwa menemukan bahasa aslinya. Bukan kebetulan bahwa langit malam yang kosong justru memantulkan cahaya bintang-bintang paling terang. Manusia kerap lupa bahwa kepergian adalah hukum alam yang tak terbantahkan—setiap pertemuan mengandung benih perpisahan, setiap tangan yang bersentuhan suatu saat akan melepas. Tapi di situlah keajaiban terjadi: ketika kita berhenti menggenggam bayang-bayang orang lain, kita mulai merasakan denyut nadi keberanian sendiri. Kesendirian bukan penjara, melainkan samudra luas tempat kita belajar berenang tanpa pelampung. Di sanalah kita menemukan bahwa ketakutan akan kesepian hanyalah ilusi; yang sebenarnya kita takuti adalah pertemuan dengan diri yang selama ini tersembunyi di balik keramaian.

     Lalu datanglah kebebasan yang lahir dari ketidakpedulian—bukan sikap apatis yang dingin, melainkan kebijaksanaan untuk memilih apa yang layak diresapi. Seperti pohon yang tidak menghakimi angin yang menerpa daun-daunnya, manusia yang tangguh memahami bahwa kebahagiaan adalah seni menyaring. Setiap kritik, pujian, atau penilaian dari luar hanyalah riak di permukaan; yang abadi adalah samudra tenang di kedalaman jiwa. Ketika kita berhenti mengejar validasi, tiba-tiba dunia yang dulu terasa berat menjadi ringan. Bahkan luka-luka pun kehilangan sengatnya, karena kita telah memilih untuk tidak memberinya kekuasaan atas diri.

     Di balik ketidakpedulian itu, tersembunyi seni melatih diri agar tak mudah tersinggung—seperti permukaan danau yang tak terganggu oleh lemparan batu. Ketangguhan sejati bukanlah perisai dari baja, melainkan kelenturan bambu yang membiarkan badai berlalu tanpa patah. Setiap kata kasar, sikap sinis, atau penghinaan adalah cermin yang menunjukkan di mana ego masih bersarang. Saat kita berhenti menjadikan diri sebagai benteng yang harus dipertahankan, segala serangan tiba-tiba kehilangan maknanya. Yang tersisa hanyalah keheningan yang memahami: apa yang orang lain lakukan adalah cerita mereka; bagaimana kita merespons adalah cerita kita.

     Di titik ini, kebahagiaan menemukan makna barunya—bukan sebagai harta yang direbut, melainkan sebagai puisi yang dibaca perlahan. Kita terbangun dari mimpi bahwa kepenuhan hidup bergantung pada apa yang belum dimiliki, lalu menyadari bahwa keabadian justru bersemayam dalam detik-detik yang dianggap biasa. Secangkir kopi pagi, senyum tak sengaja dari orang asing, atau bayangan matahari senja di dinding—semuanya adalah altar kecil tempat syukur bersujud. Hidup berhenti menjadi perlombaan, dan berubah menjadi tarian dengan ritme yang kita tentukan sendiri.

     Tapi bagaimana menjaga api impian tetap menyala di tengah gurun realitas? Rahasianya terletak pada keberanian untuk mendengar suara hati di tengah hiruk-pikuk nasihat dunia. Setiap impian adalah benih yang hanya bisa tumbuh dalam ekosistem keyakinan. Nasihat yang baik adalah angin yang membantu benih itu bertunas, bukan badai yang mencabutnya dari akar. Manusia tangguh adalah penjaga api yang tahu kapan harus menutup telinga pada suara-suara yang ingin memadamkan nyala itu—karena terkadang, perlindungan terbesar terhadap impian justru adalah pagar yang dibangun dari keheningan.

     Kesulitan kemudian datang bukan sebagai musuh, melainkan sebagai guru yang mengenakan jubah kegelapan. Setiap tantangan adalah pahat yang mengukir ketangguhan, setiap kegagalan adalah cermin yang menunjukkan retakan karakter yang perlu diperbaiki. Seperti besi yang ditempa dalam api, manusia menemukan kekuatan sejati justru ketika berada di ambang kehancuran. Tapi di sini diperlukan mata yang jernih: penderitaan hanya bermakna jika kita memberinya makna. Kesulitan bukan tujuan, melainkan jembatan menuju versi diri yang lebih utuh.

     Di perjalanan ini, kebijaksanaan menjadi kompas yang tak pernah bohong. Tapi kebijaksanaan bukan barang jadi—ia adalah sungai yang mengalir dari sumber ilmu yang tak pernah kering. Setiap buku yang dibaca, setiap kegagalan yang direnungkan, setiap percakapan dengan orang asing adalah tetesan yang memperdalam alirannya. Manusia pembelajar adalah pejalan yang menyadari bahwa puncak gunung kebenaran hanyalah bukit di kaki gunung yang lebih tinggi. Di sini, kerendahan hati bertemu dengan rasa ingin tahu yang tak pernah puas—dua sayap yang membawa jiwa melintasi cakrawala pemahaman.

     Namun, kebijaksanaan tanpa kesadaran akan waktu bagai kapal tanpa dayung. Waktu adalah mata uang paling berharga yang hanya bisa dibelanjakan sekali. Setiap detik yang dihabiskan untuk menggerutu, menunda, atau meragukan diri adalah harta yang tercecer ke dalam jurang ketiadaan. Tapi kebijaksanaan menggunakan waktu bukan berarti mengisinya sampai sesak. Justru, keheningan yang disengaja—saat-saat ketika kita duduk diam mendengarkan detak jantung—adalah investasi terbesar untuk memahami ke mana hidup ingin mengalir.

     Dan pada akhirnya, kita kembali ke pangkal: kesendirian. Tapi kini, ia bukan lagi ruang kosong yang menakutkan, melainkan kuil tempat kita menyembah keaslian diri. Di sini, dalam sunyi yang penuh, kita menemukan bahwa kedamaian bukanlah tujuan yang harus dikejar, melainkan udara yang sudah selalu ada di sekitar kita—kita hanya perlu berhenti menahan napas.

     Esensi dari semua filsafat ini adalah tarian antara penerimaan dan kehendak, antara melepas dan menggenggam, antara menjadi bagian dari dunia dan sekaligus penontonnya. Manusia tangguh bukanlah patung yang tak tergoyahkan, melainkan air yang mengalir—mengikuti kontur bumi tapi tak kehilangan hakikatnya. Di sini, kekuatan sejati terungkap bukan sebagai kemenangan atas orang lain, melainkan sebagai rekonsiliasi dengan diri sendiri. Dan dalam rekonsiliasi itulah, kita menemukan keabadian yang selama ini tersembunyi dalam kefanaan.

     Menikmati secangkir kopi di puncak gunung, di tengah hutan tropis yang berkabut, sepertinya lebih dari sekadar ritual. Itu adalah meditasi, sebuah perayaan kecil untuk hidup yang sederhana tetapi penuh makna. Dalam setiap seduhan kopi tubruk, ada cerita yang melekat pada butiran bubuknya, pada air panas yang membawanya hidup, dan pada aroma yang menyebar seperti mantra, membawa kehangatan ke dalam jiwa yang mungkin sudah lelah oleh dingin dan lelah perjalanan. Kopi tubruk bukan hanya minuman; ia adalah esensi dari pengalaman mendaki. Sebuah pengingat bahwa hal-hal sederhana, ketika diberi ruang dan waktu, bisa menjadi bagian paling berharga dari sebuah perjalanan.

     Memilih kopi tubruk daripada kopi instan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang prinsip. Setiap bubuk kopi yang larut perlahan dalam air panas mencerminkan perjalanan yang dilalui untuk mencapainya: biji kopi yang dipanen, dipanggang, dan digiling. Setiap langkah dalam proses itu seolah menyampaikan pesan tentang penghargaan kepada alam, kepada waktu, kepada usaha manusia. Ketika dicampur dengan jahe dan sejumput merica, rasa kopi tidak hanya menjadi lebih kompleks, tetapi juga lebih intim. Kehangatannya menyatu dengan tubuh, melawan dinginnya udara pegunungan yang sering kali menyelinap hingga ke tulang. Ini bukan sekadar upaya menyesuaikan diri dengan cuaca; ini adalah cara menyatu dengan elemen, memahami bagaimana alam dan tubuh saling berbicara melalui rasa.

     Dan ada gula aren. Ah, gula aren! Manisnya berbeda. Bukan sekadar rasa manis yang mendominasi, tetapi sebuah manis yang lembut, menyentuh, mengingatkan pada akar tradisi, pada tangan-tangan yang memprosesnya tanpa mesin, tanpa formula kimia. Mungkin itulah mengapa rasa manisnya terasa lebih jujur. Di gunung, di mana segala sesuatu menjadi lebih mentah dan nyata, gula aren membawa sedikit sentuhan rumah, sedikit pengingat bahwa bahkan di tempat yang jauh dari peradaban, ada benang yang menghubungkan.

     Namun, ritual ini juga lebih dalam dari sekadar rasa atau teknik. Tidak membawa alkohol ke dalam pendakian adalah sebuah sikap yang jelas, sebuah prinsip yang menandai penghormatan kepada aktivitas mendaki itu sendiri. Gunung bukanlah tempat untuk kehilangan kesadaran, tetapi tempat untuk menemukannya. Ini adalah ruang di mana batas antara manusia dan alam menjadi kabur, di mana setiap langkah dan setiap tarikan napas mempertegas kesadaran akan kehidupan. Kopi, dalam kerangka itu, adalah teman yang sempurna—hadir tanpa membuat mabuk, memberi energi tanpa mengambil kendali. Ia tidak mengganggu keseimbangan, tetapi mempertegasnya.

     Ada sesuatu yang magis ketika meminum kopi di gunung. Aroma kopi bercampur dengan udara segar, kabut tipis, dan suara alam menciptakan harmoni yang sulit ditemukan di tempat lain. Setiap tegukan bukan hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga menenangkan pikiran. Dan dalam momen itu, seseorang mungkin merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, lebih hadir dalam hidupnya. Kopi di gunung menjadi lebih dari sekadar minuman; ia adalah penghubung antara manusia, alam, dan tradisi.

     Aku mencintai gunung. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak mereka yang bernafsu. Begitulah kata Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang selalu berhasil menusuk langsung ke inti persoalan, entah dengan pisau logika atau silet satire yang tak kenal ampun. Apakah ini hanya romantisasi tentang batu, pohon dan keheningan? Atau adakah sebuah tamparan terselubung bagi kita yang hidup dan terengah-engah dalam lautan keramaian?

     Saya tidak sekadar mengkritik keramaian sebagai fenomena sosial, namun menggambarkannya sebagai perangkap homogenitas yang membunuh jiwa. Bayangkan kita, para manusia modern, terjebak dalam hiruk-pikuk yang kita sebut masyarakat, mengikuti arus norma dan tradisi seperti ikan mati di sungai yang tercemar. Dalam keramaian ini, di mana hasrat akan kekuasaan, status, dan pengakuan mendominasi, bukankah kita telah menyerahkan kemerdekaan kita kepada ilusi kebutuhan kolektif? Ironisnya, nafsu yang kita bicarakan sering kali berkamuflase sebagai moralitas atau bahkan kemajuan. Betapa halusnya penghinaan ini, ketika hasrat kita untuk menjadi "bermakna" di mata orang lain ternyata menjadikan kita sekadar pion dalam permainan sosial yang besar.

     Gunung bukan hanya tumpukan batu dan tanah; ia adalah simbol kebebasan, sebuah ruang di mana individu bisa bernapas tanpa pengawasan atau penilaian. Dalam keheningan gunung, tidak ada sorak sorai kosong atau pandangan yang menghakimi. Kita dibiarkan sendirian dengan pikiran kita sendiri, dan bukankah itu sering menjadi momok? Manusia modern takut pada kesendirian karena di sanalah segala ilusi yang kita bangun runtuh, dan kita dihadapkan pada diri kita yang telanjang. Cinta kita pada gunung, mengajak kita untuk berdamai dengan ketelanjangan itu, untuk menghargai keaslian yang terlepas dari hiruk pikuk.

     Mari kita renungkan, apakah manusia benar-benar mencari kebebasan? Ataukah kita lebih nyaman dalam keramaian yang meninabobokan kita dengan kebisingan? Kita ditantang dengan paradoks ini. Keramaian bukan sekadar bising dalam arti harfiah; ia adalah kebisingan mental yang menutupi kebenaran tentang siapa kita sebenarnya. Kebisingan itu memanipulasi kita untuk percaya bahwa kita hidup, sementara yang sebenarnya terjadi adalah kita melarikan diri dari hidup itu sendiri. Bukankah ironis, bahwa di tengah keramaian, kita justru kehilangan koneksi dengan apa yang paling esensial?

     Perenungan atas pertanyaan itu bisa menjadi suatu undangan brutal untuk keluar dari barisan, untuk menolak nilai-nilai kolektif yang dangkal dan menemukan keberanian menjadi diri sendiri. Tapi siapa yang mau menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus menawarkan template keberhasilan, kebahagiaan, bahkan spiritualitas? Gunung, adalah tempat di mana kita bisa memecahkan cermin yang memantulkan wajah-wajah palsu kita dan melihat apa yang ada di baliknya. Namun, adakah dari kita yang cukup berani untuk menjelajah ke gunung itu tanpa peta atau kompas sosial?

     Dari pernyataan-pernyataan yang tampak sederhana ini, kita tidak hanya berbicara tentang gunung atau keramaian. Tetapi sedang berbicara tentang kita semua, tentang pilihan yang kita buat setiap hari: untuk hidup sebagai bagian dari keramaian yang memabukkan atau mencari keheningan yang menyakitkan tetapi memerdekakan. Jadi, mari kita tanyakan pada diri sendiri: apakah kita mencintai gunung, ataukah kita terlalu nyaman dengan kebisingan keramaian yang merampas kebebasan kita sambil berbisik bahwa kita bahagia?

      Brain rot, istilah yang sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa pikirannya menjadi tumpul atau tidak produktif. Meski bukan istilah medis, fenomena ini sering digunakan untuk menggambarkan efek dari kebiasaan yang dianggap tidak sehat, seperti menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar, terutama untuk mengonsumsi konten yang dangkal atau receh. Dalam dunia yang semakin dikuasai teknologi dan informasi, perasaan ini semakin sering dialami banyak orang, mendorong kita untuk mencari tahu penyebab dan dampaknya lebih dalam. Salah satu pendekatan menarik adalah dengan melihatnya melalui lensa evolusi manusia.

     Otak manusia adalah organ yang luar biasa kompleks. Sepanjang sejarah evolusi, otak kita berkembang untuk merespons tantangan lingkungan. Dalam kehidupan purba, otak kita dirancang untuk bereaksi cepat terhadap ancaman atau peluang. Respon ini memungkinkan manusia bertahan hidup di lingkungan liar yang penuh ketidakpastian. Keingintahuan terhadap hal-hal baru, misalnya, membantu nenek moyang kita menemukan makanan, tempat berlindung, atau bahkan menghindari bahaya. Namun, dalam lingkungan modern, sistem ini mulai menghadapi masalah. Konten digital yang kita konsumsi, terutama yang receh atau ringan, mengeksploitasi mekanisme biologis ini dengan cara yang sering kali berlebihan. Media sosial, video pendek, dan meme dirancang untuk terus memancing perhatian, memberikan "hadiah" kecil berupa hiburan atau kepuasan instan. Ini menciptakan siklus konsumsi yang berulang, di mana otak kita selalu menginginkan lebih banyak, meski nilai dari apa yang kita konsumsi sebenarnya rendah.

     Fenomena kecanduan konten receh ini bukan hanya masalah kebiasaan, tetapi juga berkaitan erat dengan cara otak kita memproses informasi. Konten receh biasanya mudah dipahami, tidak membutuhkan banyak usaha kognitif, dan sering memicu reaksi emosional yang cepat. Elemen-elemen ini membuatnya sangat menarik dan sulit dihindari. Dalam evolusi, otak manusia cenderung memilih jalur yang lebih mudah untuk menghemat energi. Aktivitas yang membutuhkan usaha lebih besar, seperti membaca buku atau memecahkan masalah kompleks, sering kali kalah saing dibandingkan dengan scrolling tanpa henti di media sosial. Ini bukan karena manusia menjadi "malas," melainkan karena otak kita bekerja dengan prinsip efisiensi.

     Namun, yang menarik adalah mengapa otak kita begitu mudah terjebak dalam konsumsi konten dangkal. Salah satu alasannya adalah ketidaksesuaian antara lingkungan evolusi kita dan dunia modern. Dalam masa prasejarah, rangsangan yang manusia hadapi cenderung jarang dan bernilai tinggi. Ketika menemukan sesuatu yang menarik, otak kita memberikan "hadiah" berupa pelepasan dopamin, zat kimia yang menimbulkan rasa senang. Dalam konteks ini, kemampuan untuk merespons hal-hal baru sangatlah adaptif. Namun, di era digital, rangsangan tersedia dalam jumlah yang sangat besar. Media sosial, video pendek, dan aplikasi hiburan menyediakan rangsangan terus-menerus tanpa batas. Akibatnya, otak kita menerima terlalu banyak dopamin, membuat kita kecanduan dan sulit berhenti.

     Efek dari fenomena ini meluas ke berbagai aspek kehidupan. Secara individu, konsumsi konten receh secara berlebihan dapat menyebabkan stagnasi kognitif, di mana seseorang merasa tidak berkembang secara intelektual atau emosional. Ini juga berkontribusi pada rasa tidak puas yang terus-menerus, karena hiburan instan sering kali tidak memberikan kepuasan jangka panjang. Dalam konteks sosial, konten receh sering menjadi alat komunikasi yang efektif, seperti melalui meme atau video viral. Meskipun ini membantu mempererat hubungan sosial, fokus yang berlebihan pada hiburan ringan dapat mengurangi kemampuan untuk mendiskusikan atau memproses isu-isu yang lebih mendalam dan kompleks.

     Dari perspektif evolusi, fenomena ini menunjukkan bagaimana manusia terus beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Namun, tidak semua adaptasi membawa manfaat. Lingkungan digital modern telah menciptakan kondisi yang disebut sebagai mismatch evolusioner, di mana adaptasi yang dulu bermanfaat kini menjadi masalah. Konsumsi konten receh memberikan kepuasan instan tanpa memerlukan usaha, sesuatu yang tidak pernah dialami oleh nenek moyang kita. Dalam konteks prasejarah, reward selalu datang dengan kerja keras, seperti berburu atau memecahkan masalah. Tanpa kerja keras itu, reward kehilangan makna yang lebih dalam, menciptakan rasa kosong atau "brain rot" yang sering kita rasakan.

     Namun, tidak semua efek dari konten receh bersifat negatif. Dalam dosis yang tepat, hiburan ringan dapat berfungsi sebagai bentuk pelarian sementara dari tekanan hidup. Dalam situasi tertentu, konsumsi konten ringan juga dapat membantu seseorang mengurangi stres dan meremajakan pikiran. Yang menjadi masalah adalah ketika konsumsi ini menjadi kebiasaan utama, menggantikan aktivitas yang lebih bermakna dan menantang secara intelektual. Di sinilah peran kesadaran menjadi penting. Untuk melawan efek negatif dari kecanduan konten receh, diperlukan usaha untuk menciptakan keseimbangan antara hiburan ringan dan aktivitas yang merangsang otak.

     Langkah-langkah seperti membatasi waktu di depan layar, mengadopsi kebiasaan membaca, atau melibatkan diri dalam diskusi mendalam bisa membantu menjaga kesehatan mental dan kognitif. Olahraga juga memainkan peran penting, karena aktivitas fisik meningkatkan aliran darah ke otak, membantu merangsang fungsi kognitif. Selain itu, menciptakan ruang untuk refleksi dan meditasi dapat membantu seseorang menyadari pola konsumsi mereka dan mengarahkan perhatian ke hal-hal yang lebih berarti.

     Fenomena brain rot dan kecanduan konten receh adalah cerminan dari tantangan modern yang dihadapi manusia dalam evolusi mereka sebagai spesies. Meski teknologi telah membawa banyak kemajuan, ia juga menciptakan tantangan baru yang memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku. Memahami fenomena ini melalui perspektif evolusionis memberikan wawasan tentang mengapa kita rentan terhadap hiburan dangkal dan bagaimana kita bisa mengatasi dampaknya. Sebagai makhluk yang terus beradaptasi, manusia memiliki kapasitas untuk menemukan cara baru dalam memanfaatkan teknologi sambil menjaga keseimbangan antara kesenangan instan dan makna yang mendalam. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat menghindari perangkap brain rot dan memastikan bahwa perkembangan teknologi justru memperkuat, bukan melemahkan, kemampuan kita sebagai individu dan sebagai masyarakat.

     Di sebuah sudut kota metropolitan, seorang wanita muda duduk terpaku di depan layar laptopnya yang memancarkan cahaya biru. Di sebelah kanan, ponselnya bergetar tak henti—notifikasi media sosial, email kerja, promo belanja. Di sebelah kiri, buku self-help bertumpuk dengan judul-judul menggoda: "5 Langkah Menjadi Produktif", "Rahasia Bahagia ala Miliarder". Tiba-tiba, ia menutup semua perangkat itu, menarik napas dalam, dan memandang keluar jendela. Di langit, seekor burung terbang melintas tanpa aplikasi navigasi. Inilah pertanyaan yang jarang kita ajukan: Bagaimana jika kunci ketenangan bukan terletak pada apa yang kita tambahkan, melainkan pada apa yang berani kita buang?

     Via Negativa—jalan penghapusan—bukanlah konsep baru. Ia lahir dari rahim pemikiran kuno, di mana para mistikus memahami bahwa Tuhan terlalu agung untuk didefinisikan dengan kata-kata, sehingga mereka mendekati-Nya dengan diam, dengan menanggalkan semua gambaran yang membatasi. Di zaman kini, filosofi ini menjadi tamparan halus bagi budaya "more is better". Kita seperti anak kecil yang terus menumpuk mainan di lantai kamar, lalu heran mengapa tak ada ruang untuk bernapas.

     Setiap pagi, rata-rata manusia membuka ponsel 58 kali sebelum sarapan—ritual baru penyembahan dewa algoritma. Media sosial bukan lagi alat, melainkan tuan yang menghukum kita dengan FOMO (Fear of Missing Out). Tapi lihatlah paradoksnya: semakin banyak kita scroll, semakin sedikit yang benar-benar kita lihat. Seperti kisah Narcissus yang tenggelam dalam bayangan diri sendiri, kita terhipnotis oleh highlight reel kehidupan orang lain. Tapi Via Negativa mengajak kita melakukan pembedahan radikal: mematikan notifikasi bukanlah tindakan teknofobia, melainkan deklarasi kemerdekaan. Seperti petani yang membersihkan rumput liar agar padi bisa tumbuh, membuang aplikasi tak perlu adalah cara merawat kebun pikiran. Di Kyoto, seorang seniman keramik sengaja tak memiliki ponsel—karya terbaiknya lahir justru ketika dunia tak bisa mengganggu dengan ping dan ding.

     Budaya modern telah mengubah kesempurnaan menjadi agama baru. Instagram menjadi altar tempat kita mempersembahkan potongan hidup yang terfilter, sementara LinkedIn adalah pameran trofi karier. Tapi lihatlah paradoksnya: semakin banyak achievement yang kita pajang, semakin dalam lubang kecemasan yang kita gali. Via Negativa berbisik: "Lepaskan mahkota duri 'harus sempurna' itu." Seorang ibu di Norwegia memilih tak mengikuti parenting group online—kebahagiaannya justru muncul ketika ia berhenti membandingkan anaknya dengan bayi-bayi dalam foto viral.

     Pagi hari dimulai dengan pertempuran: sarapan apa? Baju warna apa? Lalu berlanjut ke 57 keputusan remeh lainnya sebelum jam 9 pagi. Fenomena ini bukan hanya lelucon—ilmuwan di Universitas Columbia menemukan bahwa otak kita hanya mampu membuat 4-5 keputusan berkualitas per hari. Sisanya? Sampah kognitif yang menguras energi. Via Negativa di sini adalah seni menjadi seperti sungai yang mengalir: alih-alih membangun bendungan pilihan, biarkan hidup mengikuti alur yang alami. Steve Jobs tahu ini—ia memakai sweter hitam yang sama setiap hari agar tak perlu memikirkan pakaian. Seorang koki di Barcelona menghapus 80% menunya—restorannya justru meraih bintang Michelin ketika fokus pada tiga hidangan sempurna.

     Kita telah mengubah kesibukan menjadi agama baru. “Sibuk” adalah mantra yang diucapkan dengan bangga, seolah-olah itu bukti kesucian. Tapi coba tanyakan: sibuk untuk apa? Seperti tikus dalam roda, kita berlari cepat tapi tak pernah sampai. Via Negativa di sini adalah seni mengatakan “tidak” pada rapat tak penting, pada networking yang memuakkan, pada kursus online yang tak pernah ditonton. Di Silicon Valley, sebuah perusahaan menerapkan “No-Meeting Wednesday”—hasilnya, produktivitas naik 40% karena karyawan punya waktu untuk... berpikir.

Seni Menjadi Tukang Sampah Eksistensial

Menerapkan Via Negativa bukanlah aksi kekerasan pada diri, melainkan proses merangkul keheningan. Mulailah dengan pertanyaan sederhana: "Apa yang terjadi jika aku berhenti...?"

Berhenti membuka media sosial di jam pertama bangun tidur, mungkin engkau akan menemukan matahari terbit lebih indah dari feed mana pun.

Berhenti membeli kursus online yang tak pernah ditonton, mungkin engkau akan punya waktu untuk benar-benar membaca buku yang selama ini teronggok.

Berhenti membicarakan politik di grup WhatsApp keluarga, mungkin engkau akan menemukan arti kata "darah lebih kental dari air" dalam acara family gathering.

     Di ujung semua ini, ada paradoks manis: dengan membuang yang tak perlu, kita justru mendapatkan ruang untuk hal-hal yang benar-benar hidup. Seperti patung David karya Michelangelo yang lahir dari membuang serpihan marmer berlebihan, manusia menemukan jati diri bukan dengan menumpuk, tetapi dengan mengikis.

     Di sebuah desa kecil di Yunani, seorang nenek berusia 102 tahun tertawa renyah ketika ditanya rahasia umur panjangnya. "Saya tak pernah diet superfood atau lari maraton," katanya, sambil menyiram tanaman tomat. "Saya hanya tak pernah membiarkan hal-hal tak penting masuk ke hari-hari saya."

     Mungkin inilah kebijaksanaan Via Negativa yang paling jitu: bahwa kadang-kadang, langkah paling progresif yang bisa kita lakukan adalah berhenti. Berhenti mengejar. Berhenti membandingkan. Berhenti mengacaukan hidup dengan segala yang "tambahan". Dan dalam keheningan yang tersisa setelah semuanya pergi, barulah kita mendengar: detak jantung sendiri, desau angin di daun, atau mungkin—suara jiwa yang selama ini terpendam dalam tumpukan sampah eksistensial.

     Ketika kita merasa lapar dan menahannya, tubuh kita memproduksi hormon ghrelin. Hormon ini dikenal memiliki dampak negatif pada kemampuan kita dalam mengambil keputusan. Ghrelin, yang meningkatkan selera makan, juga mengurangi kemampuan kita mengendalikan dorongan dari dalam diri.

     Para ahli telah melakukan dua pengamatan penting dalam penelitian tentang efek hormon ghrelin. Pengamatan pertama adalah tentang 'tindakan impulsif', yaitu ketidakmampuan mengendalikan atau menahan respons motorik. Pengamatan kedua adalah tentang 'pilihan impulsif', yaitu ketidakmampuan menahan atau menunda kepuasan.

     Dari eksperimen laboratorium terhadap tikus, ditemukan bahwa ketika hormon ghrelin masuk ke otak (seperti pesan dari perut ke otak yang memberi tahu kapan kita harus makan), tikus kehilangan kendali atas pilihan impulsif mereka dan merespons situasi dengan tindakan impulsif.

     Kemampuan untuk menunda kepuasan jangka pendek demi imbalan atau keuntungan jangka panjang adalah ukuran kemampuan mengendalikan 'pilihan impulsif'. Namun, kegagalan mengendalikan pilihan impulsif ini membuat kita cenderung menyantap camilan dan makanan ringan tambahan, meskipun tahu bahwa waktu makan malam sudah dekat. Hormon ghrelin menurunkan kemampuan kita untuk mengambil keputusan yang rasional.

     Semakin tinggi kadar hormon ghrelin yang membanjiri otak, semakin tidak rasional kita dalam membuat keputusan. Ghrelin dihasilkan oleh keadaan lapar, dan ini menjadi penjelasan logis mengapa kita sebaiknya tidak membuat keputusan penting dalam keadaan lapar. Banjirnya ghrelin di otak sangat mempengaruhi rasionalitas kita.

hormon ghrellin yang timbul karena lapar

gambar dari film kungfu panda

     Untuk anda yang sering menggunakan kaki untuk perjalanan jauh menempuh medan yang lembab apalagi basah, sudah tahu dengan pasti bagaimana rasanya iritasi oleh kutu air. Nah untuk itulah, saya bermaksud berbagi resep yang cukup bagus untuk dioleskan di kaki, sebagai pencegahan maupun pengobatan untuk masalah kulit kaki dan kutu air.
     Oh iya, judul tulisannya memang sengaja dibuat tidak nyambung dengan isi tulisan. Jadi sama sekali bukan membahas mana lebih hebat atau mana lebih ampuh antara minyak bawang dan minyak ular. Tetapi pembahasannya mengenai bagaimana meramu bahan-bahan sederhana untuk mendapatkan ramuan yang ampuh meminimalisir iritasi kulit kaki. Saya katakan ampuh, karena setidaknya ramuan-ramuan tersebut telah saya gunakan cukup lama dengan hasil yang bagus untuk membantu kulit kaki saya tetap sehat selama ini.

Membuat Minyak Bawang.
     Siapkan minyak kelapa 100 ml. Usahakan minyak dari kelapa yang biasa, bukan minyak dari kelapa sawit. Minyak kelapa yang ada banyak di pasaran saat ini adalah minyak kepala sawit. Nah, untuk membuat minyak dari kelapa juga cukup mudah, parut kelapa yang sudah cukup tua, peras santannya, lalu panaskan dalam wadah panci atau wajan di atas kompor yang tidak terlalu panas, jerang santan hingga menjadi minyak.
     Selanjutnya 100 gram bawang putih, kupas lalu diparut sampai halus.
     Panaskan minyak kelapa di dalam wadah panci atau wajan, masukkan bawang putih yang sudah diparut tadi, biarkan dengan api yang tidak terlalu panas hingga bawang putih matang dan tidak hangus. Setelah matang, campurkan 'sejempol' (sekitar 5 gram) belerang yang terlebih dahulu ditumbuk menjadi bubuk. Belerang bisa dibeli di apotik.
     Lanjutkan pemanasan hingga belerang larut di dalam minyak dan bawang tadi. Setelah larut, tunggu hingga hangat, masukkan ke dalam botol kaca, dan siap untuk dibawa beraktifitas di lapangan.

Penggunaan :
      Oleskan merata ke seluruh kaki, biarkan meresap hingga agak kering, sebelum menggunakan kaos kaki. Larutan lemak dan bawang akan berfungsi seperti film yang melapisi kulit, sementara belerang berfungsi untuk mematikan jamur dan bakteri yang menjadi biang membusuknya kulit di kaki.


Minyak Ular
     Membuat minyak ular sebenarnya juga tidak terlalu sulit, siapkan minyak kelapa 100 ml, lemak ular 40 gram, dua umbi (sekitar 40 gram) Temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) - diparut hingga halus.
     Panaskan minyak kelapa, campurkan semua bahan hingga matang. Setelah dingin, siap dibotolkan untuk digunakan di lapangan.

Penggunaan :
     Untuk mengobati luka lecet, luka teriris dan lain-lain. Bila hanya untuk pemakaian luar, bisa dicampurkan dengan belerang 5 gram, seperti waktu membuat minyak bawang. Namun untuk penggunaan di bagian yang memungkinkan tertelan atau berselaput yang sensitif, sebaiknya yang tanpa belerang.
     Di waktu malam saat beristirahat setelah perjalanan sepanjang hari, gunakan minyak ular yang mengandung belerang untuk dioleskan merata ke seluruh kaki. Larutan lemak ular untuk mengobati iritasi dan luka-luka yang terjadi, sementara belerang tetap untuk mematikan bakteri dan jamur-jamur yang turut serta di kaki.

     bawang putih dan temu hitam
     Selamat berjalan kaki. :)

     Menghipnotis diri sendiri layak Anda coba untuk membantu merekayasa kembali kondisi mental maupun emosional ke arah yang Anda harapkan. Metode auto-hipnosa berikut ini begitu mudah untuk bisa dilakukan sendiri. Suatu metode yang dikembangkan oleh Silva bersaudara (Jose dan Juan) sejak tahun 1966. Metode itupun kemudian dikenal dengan nama Metode Silva.
     Metode Silva adalah cara untuk merilekskan tubuh dengan menggunakan gelombang otak di tingkat alpha serta memacu penggunaan otak kanan untuk memperoleh hasil yang positif. Penggunaan otak kanan adalah kuncinya. Metode Silva membantu kita mengoptimalkan kekuatan kreatif dari pikiran dengan menggunakan teknik-teknik visualisasi, imaginasi, berpikir positif dan meditasi.     Begitu sekilas mengenai metode praktis tersebut, dan untuk tidak berpanjang lebar lagi, mari kita praktekkan setiap langkahnya dengan cermat.

     Ambillah waktu secukupnya (kurang lebih 10 menit) untuk melaksanakan latihan yang akan saya bentangkan ini. Sebaiknya Anda lakukan pada pagi hari, kemudian siang atau sore hari dan di malam hari sebelum tidur.
     Ambil posisi santai dengan duduk pada sebuah kursi tanpa penyangga lengan, kaki selonjor saja, punggung disandarkan pada sandaran kursi. Kemudian posisikan kepala tegak lurus terhadap bahu. Arahkan bola mata pada kedudukan horisontal, mengamati suatu benda imajinatif (misalnya bola golf, atau buah apel) berada sejarak kurang lebih dua meter di depan Anda.
     Naikkanlah kedudukan benda imaji tadi (bola atau apel)  pada ketinggian satu meter di atas kedudukan horizontal tadi, pertahankan kedudukannya itu selama 10 detik dengan kelopak mata tetap terbuka. Bayangkan kini pada kedudukan itu angka lima beberapa kali selama 10 detik.
     Kemudian, tutuplah mata Anda, namun bola mata Anda tetap pada kedudukan semula (memandang benda kira-kira 1 meter di atas posisi horisontal tadi). Janganlah di-ubah, karena posisi itu akan membantu Anda untuk mendapatkan kondisi gelombang Alpha di dalam otak.
     Kini imajinasikan angka empat beberapa kali selama 10 detik. Ingatlah untuk tetap menjaga kedudukan bola mata Anda, karena ini adalah faktor yang sangat penting !!!
     Setelah membayangkan angka empat tadi, Anda lanjutkan membayangkan angka tiga beberapa kali, lalu mulai memberi perhatian kepada seluruh bagian tubuh dengan cara menelusuri bagian demi bagian.
     Mulailah dari kulit kepala, dahi, raut muka keseluruhannya, bahu, rongga dada, perhatikan turun naiknya paru-paru, detak jantung, perut, kedua paha, betis, telapak kaki dan akhirnya jari-jari kaki.
     Berikan perhatian pada setiap bagian tubuh yang disebutkan tadi itu, selama lima detik.
     Kini kita lanjutkan dengan mengimajinasikan angka dua beberapa kali, disusul dengan angka satu beberapa kali, lalu Anda membayangkan suatu imajinasi sesuai skenario yang Anda inginkan.

      Berikut ini adalah contoh skenario, tentu saja bisa membuat sendiri sesuai kebutuhan. (Penting untuk diingat, gunakan 'hanya' kata-kata positif di dalam menyusun kalimat skenario Anda)

      Aku duduk di sebuah bangku dengan pemandangan alam yang asri. Disekelilingku adalah taman berumput indah dengan berbagai macam bunga diantara pohon-pohon pinus. Cuaca yang cerah dan udara sejuk, ada angin sepoi-sepoi kurasakan menghembus pada rambut dan kulit tubuhku. Baunya merangsang hidungku, segar dan semerbak. Pemandangan ini dilatar belakangi oleh langit yang cerah, berwarna biru muda dan nampak dihiasi beberapa awan putih indah. Perasaanku sangat santai dan damai.

      Aku mendengar suaraku yang jelas dan tegas. Sikap ramah dan pemurah, ringan tangan untuk selalu membantu sesama. Aku kuat dan percaya akan semua kemampuan yang saya miliki, Aku penuh cinta dan kasih, tulus dan ikhlas sehingga selalu berdaya untuk berguna bagi umat manusia.
   <<< Susun skenario sesuai kebutuhan Anda!!!
Begitulah tadi contoh skenario imajinasi yang hendaknya Anda kembangkan sejelas mungkin di dalam imajinasi, seakan-akan Anda benar-benar memang sedang mengalami hal itu pada kondisi bangun sadar.

     Bila waktu belum sampai sepuluh menit, laksanakan terus pengulangan dari imajinasi Anda di atas.
     Setelah itu kita kembali ke alam sadar dengan melihat angka-angka satu, kemudian dua, tiga, empat dan lima. Pada angka lima kita buka mata, sambil merasakan nyaman di seluruh tubuh, lalu bangun dengan segar dalam kondisi sehat sempurna.
     Janganlah langsung beranjak dari posisi Anda, duduklah dengan santai selama sepuluh detik.

Rekamlah skenario ini pada alat perekam, atau pada komputer Anda, lalu pindahkan ke CD atau ponsel Anda, untuk Anda gunakan sebagai penuntun di dalam melaksanakan proses auto-hipnotis ini. Jadi Anda tinggal mengikuti setiap instruksi yang telah Anda rekam sendiri. Tidak perlu mengingat-ingat lagi sehingga bisa benar-benar berkonsentrasi pada setiap instruksi yang ada.

     Setelah sepuluh hari, Anda bisa beristirahat selama dua hari. Lanjutkan latihan Anda selama sepuluh hari lagi, istirahat dua hari, begitu seterusnya. Amati perkembangan positif dalam perilaku alam bawah sadar Anda, apakah telah memberi efek di dalam sikap sadar sehari-hari sesuai skenario yang telah Anda buat. Setelahnya, Anda bisa merancang skenario yang lain lagi sesuai kebutuhan Anda.

Berikut ini saya memberikan contoh rekaman audio yang bisa membantu Anda dalam tahap latihan awal. Suara dan skenario oleh Ir.DR.Psy, Rd.Lasmono Abdulrify Dyar, Guru Besar dari ilmu pengetahuan Psychorientology, Certified Silva Method Instructor sejak tahun 1983 yang belajar Metode Silva di Brussel, Belgia pada tahun 1980. Selanjutnya Anda bisa merancang skenario Anda sendiri.
     Selamat berlatih.

download file ukuran normal 13,9 Mb - standart untuk PC

download file ukuran 'diet'  1,75 Mb - baik untuk dimasukkan ke ponsel.
materi rujukan berupa artikel dan pelatihan
yang diselenggarakan oleh Silva Foundation
dalam program faraway training.
juga materi pelatihan DR. Lasmono
untuk pengembangan bisnis jaringan.
tulisan ini saya sampaikan sebagai
ungkapan terimakasih untuk
dr. Djalal yang telah dengan sabar
membimbing saya di dalam belajar
teori sekaligus praktek menghipnotis.
I miss U brader...

     Bila Anda jenuh dengan obat batuk kimiawi, apalagi kalau batuknya tidak kunjung sembuh, beberapa resep berikut ini bisa dicoba. Ada beberapa komposisi, yang tentu saja awalnya mengacu pada karakteristik batuk yang terjadi. Namun dokumentasi akurat pemanfaatan masing-masing ramuan tersebut tidak terjadi, maka tersisalah lampiran resep seperti apa adanya.
     Begitu banyak resep yang telah dituturkan dan dipublish di internet, namun yang saya posting di sini hanyalah yang mempunyai komposisi kadar yang jelas. Ini penting untuk memudahkan meracik, apalagi oleh 'kita-kita' yang belum terbiasa membuat ramuan obat-obatan.
     Hal penting mendasar di dalam meramu obat-obatan herbal adalah wadah. Gunakan wadah yang  'bukan' logam. Mangkuk atau panci keramik menjadi pilihan utama. Alat untuk mengaduk juga jangan yang terbuat dari logam. Gunakan yang terbuat dari kayu. Selanjutnya, takarlah setiap bahan sesuai petunjuk. Semoga resep-resep berikut bisa membantu.

Ramuan #1 :
Campur 1 sdm air perasan jeruk nipis, 3 sdm madu murni, 5 sdm air matang, lalu ditim selama 30 menit. )rang dewasa 3 - 4 kali sehari 1 - 2 sdm. Dosis untuk diminumkan ke bayi antara usia 6 bln -1 tahun : 2 kali sehari, 1/2 sdt. Untuk anak 1-3 tahun : 2 kali sehari 1 sdt. Anak 4-5 tahun : 2 kali sehari 1,5 sdt.
Cara lain, potong 1 buah jeruk nipis, peras airnya, letakkan dalam gelas/cangkir. Tambahkan kecap manis sejumlah cairan jeruk yang ada (satu banding satu), aduk rata. Takaran minum untuk anak, 3 kali sehari 1 sdt. Dewasa 3 - 4 kali sehari 1 - 2 sdm.


Ramuan #2 :
10 gram kulit jeruk mandarin kering dan 25 gram kencur (diiris-iris tipis) direbus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc (satu gelas), kemudian airnya diminum selagi hangat.
Pemakaian untuk dewasa : Konsumsi 2 kali sehari 1 gelas.



Ramuan #3 :
10 lembar daun sirih direbus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc (satu gelas), kemudian airnya diminum selagi hangat.
Pemakaian : Konsumsi 2 kali sehari  1 gelas

Ramuan #4 :
10 gram kulit jeruk mandarin kering dan 250 gram oyong segar direbus dengan 600 cc hingga tersisa 300 cc (untuk dua kali minum),  diminum selagi hangat.
Bila terasa ada khasiatnya, lanjutkan mengkonsumsi ramuan hingga batuk sembuh sempurna.






Ramuan #5 :
Cuci bersih 25 kuntum bunga belimbing wuluh, 1 jari rimpang temu giring, 1 jari kulit kayu manis, 1 jari rimpang kencur, 2 siung bawang merah, ¼ genggam pegagan, ¼ genggam daun saga, ¼ genggam daun ingu, dan ¼ genggam daun sendok. Kemudian bahan dipotong-potong, lalu direbus dengan 5 gelas air bersih hingga tersisa 2 ¼ gelas. Setelah dingin saring.
Pemakaian : Minum dengan tambahan madu seperlunya sebanyak 3 kali sehari. Setiap minum sebanyak ¾ gelas ramuan.


Ramuan #6 :
Haluskan bahan berupa 4 gram umbi bawang merah, 4 gram daun poko segar, 3 gram daun sembung segar, 4 gram herba pegangan segar, 2 gram buah adas dan 125 ml air yang sudah matang. Sebelum diolah, bersihkan dengan baik semua bahan segar, begitu juga media untuk menghaluskan harus benar-benar bersih. Ini penting karena ramuan langsung dikonsumsi tanpa direbus atau dimasak.
Pemakaian : Minum sehari 1 kali pada pagi hari sebanyak 100 ml, selama 14 hari.

     Mungkin kita tak pernah tinggal di pedesaan, namun kita bisa mengetahui bagaimana para petani menumbuhkan tanamannya. Pertama mereka menyebarkan bibit, kemudian menyebarkan pupuk dan menyemprotkan cairan anti hama. Semua dilakukan agar tanamanya dapat tumbuh subur dan menghasilkan padi yang bernas.
      Penjelasan selanjutnya bukanlah tentang bagaimana cara bercocok tanam bibit padi yang sebenarnya. Tetapi lebih kepada bagaimana kita bercocok tanam bibit kesuksesan. Kita sebut saja sebagai ilmu sebarkan bibit sebelum menuai.
     Mari kita siapkan imajinasi sejenak dengan santai, untuk beberapa ungkapan berikut ini, yang mungkin anda pernah dengar, “Nanti kalau saya sudah kaya, saya akan menyumbang untuk Mesjid, Panti Asuhan, Kegiatan Sosial, dan lain-lain”. Anda pernah mendengarnya? Saya kira iya, bahkan mungkin itu dari mulut anda sendiri.
     Lalu, bagaimana dengan ungkapan-ungkapan ini, “Kalau dapat rezeki, bagikan sebagian pada orang-orang yang membutuhkan”. Pernah dengar juga? Saya yakin Anda pernah mendengarnya, mungkin dari orang tua anda sendiri.
     Mari kita coba menganalisa pelajaran yang “kurang pas” dari dua kalimat diatas. Yang pertama kalau sudah kaya saya akan menyumbang. Jadi kalau belum kaya, ya tidak menyumbang... Betul?
Yang kedua, “Kalau dapat rezeki, sisihkan sebagian untuk orang lain”. Jadi kalau tidak atau belum mendapat rezeki ya tidak usah memberi..?
     Di dalam prinsip hukum alam yang sebenarnya adalah “Menanam dahulu, menuai kemudian” bukan  sebaliknya. "Menuai dahulu menanam kemudian”. Artinya adalah agar kita bisa menuai atau panen kita harus menanam terlebih dahulu. Agar kita mendapat rezeki, kita harus memberi dahulu. Agar kita bisa banyak rezeki berarti kita harus juga banyak berbagi.
     Jika anda coba melawan hukum alam ini dengan bersikap pelit, enggan memberi sebelum mendapatkan sesuatu maka anda justru akan sulit mendapatkan apapun juga.
     Jadi, bila Anda mau sukses, mau banyak uang, atau bila mau menjadi kaya, mulailah berbagi. Berbagi secara tulus, bukan seadanya, tetapi semampunya. Kalau seadanya saja maka itu berarti kita berbagi secara asal-asalan dan ala kadarnya. Berbeda kalau semampunya, maka kita akan berbagi dengan tulus sekuat kemampuan yang kita miliki.

sumber tulisan, TDWClub.com
sumber gambar, sokagallery.com

     Banyak penyebab sehingga saluran kemih menjadi tidak lancar. Karenanya, resep berikut ini mungkin saja tidak mempan untuk semua orang. Namun demikian, karena ini adalah resep tradisional, yang pastinya dibuat di jaman dahulu dimana belum ada diagnosa yang spesifik untuk setiap jenis keluhan, maka dapat disimpulkan juga bahwa resep ini bisa digunakan berdasarkan diagnosa yang umum.
     Langsung saja, siapkan bahan-bahan untuk membuat ramuannya. Untuk satu porsi resep, menggunakan dua buah lobak, dicuci bersih, singkirkankan daunnya, lalu dibelah menjadi empat bagian hingga ke pangkal batang. Biarkan tetap menyatu di bagian pangkal tersebut.
    Selanjutnya, siapkan gula batu seukuran jempol, sebanyak dua buah. Gula batu bisa didapatkan di toko-toko yang menjual bahan baku membuat jamu. Sebagai bahan lainnya adalah dua gelas air (kira-kira 450 cc).
Gula batu
     Yang paling penting kemudian adalah wadah untuk merebus ramuan tersebut. Siapkan panci gerabah ukuran sedang, masukkan semua bahan, tutup rapat. Menutup rapat panci bisa dengan mengalas daun pisang di antara panci dan penutupnya. Ingat, jangan pernah menggunakan panci yang terbuat dari logam, bagaimanapun mahal dan tinggi mutunya.
     Rebus dengan api kecil, sehingga diperkirakan air tersisa satu gelas. Jangan membuka penutup panci untuk melihat berapa banyak sisa airnya. Perkirakan saja. Biarkan hingga menjadi hangat, buka penutup panci, pindahkan larutan ke gelas kemudian di minum.
     Untuk keluhan adanya batu di saluran kemih, bisa menggunakan dua porsi ramuan dalam sehari, selama tiga hari berturut-turut. Sebagai pencegahan, bisa dikonsumsi sekali dalam sebulan. Direkomendasikan untuk yang sering berkegiatan di alam bebas, untuk menggunakan ramuan ini sebagai tindakan pencegahan, setidaknya sekali dalam tiga bulan.\
     Selamat mencoba, semoga dapat membantu menjaga kesehatan.

 Bagi Anda yang ingin mengikis timbunan lemak yang ada di sekitar perut, enam rahasia berikut ini mungkin bisa membantu. Tip ini adalah langkah bijaksana dibandingkan harus melakukan operasi sedot lemak.
 
Tip ini adalah bocoran dari buku  The Flat Belly Diet yang ditulis Liz Vaccariello dan Cynthia Sass. Mereka adalah editor majalah kesehatan Prevention.

1. Makanlah dengan cara mengonsumsi empat hidangan masing-masing bernilai 400 kalori setiap hari.

2. Jangan pernah membiarkan perut Anda kosong lebih dari empat jam.

3. Masukan jenis makanan yang mengandung lemak tak jenuh tunggal mono-unsaturated fat acyd(MUFA) dalam menu Anda. Contoh makanan yang mengandung MUFA adalah kacang-kacangan (termasuk kacang tanah, kacang mete, kacang almond, kacang Brazil, kemiri dan pistachios) alpukat, zaitun, dan sayur-sayuran berlemak lainnya, minyak kacang, minyak zaitun dan minyak canola.

4. Ketika dalam kondisi stres, tubuh Anda akan memproduksi hormon kortisol, yang akan memicu penimbunan lemak di perut. Oleh sebab itu, belajarlah mengendalikan stres supaya program perampingan perut Anda  sukses.

5. Jalinlah dan pertahankan eksitensi Anda dalam kelompok dukungan (support group) yang kuat. Carilah teman sebanyak-banyaknya untuk berdiskusi dan berbagi informasi. Anda pun dapat menemukan kelompok-kelompok online untuk saling  mendukung dan berbagi program dalam target Anda.

6. Biasakan untuk mencatat dan mengingat apa saja yang telah Anda makan dan berapa banyak jumlahnya.

Orang sering bingung dengan perbedaan antara hypnosis dan hypnotherapy.

     Jadi apa bedanya hypnosis dan hypnotherapy? Secara ringkas, hypnosis adalah suatu metode untuk mengakses alam bawah sadar seseorang. Jadi hypnosis hanyalah cara atau metode atau teknik saja. Sementara itu, hypnotherapy adalah suatu terapi yang dilakukan dengan bantuan metode hypnosis. Jadi orang dibawa kedalam kondisi hipnosa, lantas di dalamnya orang tersebut dilakukan terapi.

Terapinya apa?
    
Tentunya semua terapi dalam hipnosis berangkat dari suatu diagnosis bahwa “penyakit” (dalam tanda kutip), ini disebabkan oleh permasalahan kejiwaan yang berakar di bawah sadar. Jadi proses “penyembuhannya” juga harus dilakukan di level bawah sadar.
     Kenapa kata penyakit diberikan dalam tanda kutip? Karena istilah penyakit dalam kejiwaan tidaklah 100% benar. Kadang yang disebut penyakit itu hanyalah suatu penyimpangan (perbedaan) dengan orang yang dianggap normal. Terkadang yang dianggap penyakit itu juga sebenarnya adalah persoalan belajar yang salah.
     Jadi dengan demikian yang disebut penyembuhan adalah bisa jadi adalah penyesuaian dengan apa yang disebut normal, atau bisa pula penyembuhan berati juga suatu proses re-learning (belajar kembali).

     Nah, jika hendak memilih seorang hypnotherapist, perlulah dipastikan, apakah ia hanya seorang hypnotist atau benar-benar sekaligus juga terapis. Salah satu kondisi yang penting untuk menjadi pertimbangannya adalah, jika misalnya si ahli hipnosis itu memundurkan umur si klien (regression), kemudian terjadi suatu abbreaction, yakni proses teraksesnya memori traumatik di masa lalu (biasanya terjadi secara tidak sengaja). Maka, seorang terapis akan tahu bagaimana cara mengatasi dengan benar kondisi tersebut sehingga tidak menimbulkan dampak yang merugikan. Nah, kalau orang yang hanya belajar hipnosis namun tidak mengetahui seluk beluk terapi, hampir bisa dipastikan hanya akan menambah masalah bagi orang lain. Apa yang akan dilakukannya dengan situasi seperti tadi? 
     Tidak banyak yang bisa diharapkan dari orang seperti itu.
  

     Apakah sebenarnya alam bawah sadar itu?

     Jika kita ajukan pertanyaan yang lebih provokatif misalkan, apakah alam bawah sadar emang ada? Semenjak pertama kali disebutkan di dunia ini, istilah alam bawah sadar sudah memancing kontroversial. Kita bukan orang pertama yang mempertanyakannya, bahwa sejak jaman awal perkembangan psikologi sampai sekarang belum semua ahli berdamai mengenai konsep ini.

Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang menggugat keberadaan alam bawah sadar ini:

  • Benarkah alam bawah sadar ini ada? Dari mana kita tahu?
  • Jika benar ada alam lain di luar alam sadar, apakah itu emang letaknya di bawah kesadaran (sub conscious), atau mungkinkah letaknya justru di atas kesadaran (supra conscious), atau justru itu adalah alam tak sadar (unconscious)?
  • Mungkinkah sebenarnya semuanya itu hanya ada satu alam pikiran saja, namun memiliki fungsi yang berbeda-beda? Jadi itu merupakan benda yang terpisah atau hanya fungsi yang terpisah?
  • Alam “Bawah sadar?” Hmmmmmm…., jangan-jangan letaknya yang benar adalah yang “Alam samping sadar”…? Atau “Alam Belakang Sadar?” Atau malah “Alam Depan Sadar”?
  •  Ataukah malahan “Alam Agak Sadar”, atau “alam terlalu sadar…” karena ia bisa bekerja menggunakan kesadarannya sendiri…? Atau alam “sadar nggak sadar”..
  • Dan seterusnya....
     Wah, gitu aja kok repot, barangkali itu yang akan dikatakan Milton Erickson ahli hipnotis modern jika ia hidup di jaman Gusdur. Capek dengan berbagai perdebatan itu, Erickson, memilih menggunakah istilah yang elegan yakni other than conscious mind. Sesuatu yang bukan alam sadar, entah itu apa. Kita tidak tahu bendanya, kita mungkin juga tidak bisa membuktikannya, namun kita bisa melihat karakteristik fungsi operasionalnya berbeda dengan alam sadar.

     Pikiran kita itu ibarat suatu perpustakaan yang memiliki sistem operasionalnya sendiri, namun kondisinya gelap gulita. Nah, manusia punya sebuah senter yang jika dinyalakan kira-kira bisa menerangi 1 meter persegi secara terang, dan sebagian remang-remang, sisanya yang mayoritas adalah gelap gulita.
     Alam sadar adalah daerah terang yang disorot senter itu, sisanya adalah alam selain alam sadar. Jadi secara radikal penjelasan ini membedakan diri dari yang lain, dengan kata lain, sebenarnya alam sadar hanya eksis saat tertentu saja. Mungkin ini menjadi lebih mudah dimengerti, sebab jika kita sedang tidur memang pikiran sadar sepertinya tidak eksis lagi.

      Jadi sebagai kesimpulan, istilah alam bawah sadar hanyalah cara kita untuk menjadi lebih mudah memahami bahwa ada fungsi pikiran yang tidak berada dalam dataran kesadaran. Atau, kita bisa menamakan dengan istilah lain, 'alam tidak sadar'.


      Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti suatu perlombaan mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa empat orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab  memang begitulah peraturannya.
      Adalah seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.
 
      Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun. Mark bangga dengan itu semua, sebab.mobil itu seutuhnya buatan tangannya sendiri.
      Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start. untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap empat mobil. dengan empat "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan empat jalur terpisah diantaranya.
      Namun. sesaat kemudian. Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. la tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian. ia berkata. "Ya. aku siap!".
      Dor.! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat. mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Semua orang bersorak-sorai, bersemangat. menjagokan mobilnya masing-masing. "Ayo..ayo...cepat cepat. maju maju". begitu teriak mereka. Ahha...sang pemenang harus ditentukan, dan tali lintasan finish pun telah terlambai. Ternyata kemuidan, Mark adalah pemenangnya. Semuanya senang. begitu juga Mark. la berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. 'Terima kasih Tuhan."
      Saat pembagian piala tiba, Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya sambil berseloroh: "Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang. bukan?". Mark terdiam sesaat, lalu dengan mimik serius menjawab. "Bukan, Pak. Bukan itu yang aku utarakan di dalam doa tadi" kata Mark. la lalu melanjutkan. "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. "Aku hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis jika aku kalah." Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat hening, barulah terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.

      Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark tak memohon kepada Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. la tak berdoa untuk menang dan menyakiti yang lainnya. Namun. Mark, bermohon pada Tuhan. agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. la berdoa. agar diberikan kernuliaan dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
      Mungkin. telah banyak waktu yang kita gunakan utuk berdoa pada Tuhan agar mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan. untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal. bukankah sebenarnya yang kita butuhkan adalah bimbingan-Nya. tuntunan-Nya. dan panduan-Nya?
      Kita terlalu sering merasa lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mampuu kita andalkan? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya, Tuhan hanya sedang menguji setiap hamba-Nya.
modified from
soul and wisdom collection

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.