Kebenaran Tidak Perlu Sempurna

     Ada kalanya luka tidak meminta untuk segera diobati. Ia hanya ingin diduduki, diam-diam, seperti seseorang yang menunggu hujan reda di bawah atap yang bocor. Di saat-saat seperti itu, membuka halaman-halaman Kahlil Gibran adalah seperti memasuki gua yang hangat. Bukan untuk mencari obor, bukan pula untuk mengusir kegelapan, tetapi untuk merasakan bagaimana gelap itu sendiri bisa menjadi semacam kelembutan. Di sana, kata-kata tidak menjelaskan; mereka hadir sebagai tetesan embun yang merayap perlahan di dinding batu, menyentuh retakan-retakan yang bahkan tak kau sadari ada.  

     Membacanya adalah ritual tanpa niat. Seperti ketika kau duduk di tepi sungai, tidak mencari ikan, hanya membiarkan dinginnya air mengalir di antara jari-jari. Dalam Sayap-Sayap Patah, cinta tidak digambarkan sebagai mahkota atau luka, melainkan sebagai tanah yang subur di mana segala yang patah justru mulai bertunas. Kisah Faris Karam dan Selma bukanlah tragedi, melainkan potret tentang bagaimana dua jiwa bisa saling merangkul kegagalan mereka tanpa mencoba memperbaikinya. Di sana, cinta yang kandas tidak perlu diangkat menjadi drama; ia cukup menjadi saksi bisu bahwa terkadang, yang tersisa dari sebuah pelukan hanyalah bekas hangat di udara—dan itu pun sudah cukup sebagai bukti keabadian.  

     Kebanyakan orang mencari jawaban dalam buku. Gibran tidak menawarkan itu. Ia menulis seperti angin yang membelai rerumputan: tidak mengubah arahnya, hanya membuatnya bergoyang dengan cara yang berbeda. Pasir dan Buih adalah kumpulan bisikan yang tidak ingin didengar, tetapi dirasakan. "Separuh dari apa yang kukatakan tak bermakna," tulisnya, "tetapi kukatakan agar separuh lainnya sampai padamu." Di sini, kebenaran tidak perlu sempurna. Ia bisa pecah menjadi serpihan, seperti kaca yang jatuh dari jendela, dan justru dalam pecahan itulah cahaya bermain dengan lebih liar. Seperti seorang penyair yang tahu bahwa kata-kata terlalu miskin untuk menampung seluruh kebenaran, Gibran memilih untuk bicara dalam parabel-parabel yang mengambang—persis seperti kabut pagi yang tak bisa dipegang, tapi membasahi segala sesuatu.  

     Dalam Si Gila, kegilaan tidak dirayakan sebagai pemberontakan, tetapi dihadirkan sebagai kejujuran yang tak terbendung. Tokoh-tokohnya berjalan di tepi jurang antara akal dan khayal, menertawakan segala yang dianggap sakral. Tapi di balik tawa itu, ada getar yang mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa manusia hanya bisa utuh ketika berani mengakui pecahannya. Seperti cermin retak yang justru memperlihatkan wajah asli kita—bukan melalui bagian yang utuh, tetapi dari garis-garis pecah yang membentuk peta rahasia jiwa. Di sini, kegilaan bukan penyakit, melainkan bahasa lain dari keberanian.  

     Lalu ada Sang Nabi, di mana setiap kata seolah ditulis dengan tinta yang terbuat dari waktu. Ketika Almustafa berbicara tentang anak-anak—"Mereka datang melalui dirimu, tapi bukan dari dirimu"—ia tidak sedang memberi petuah. Ia hanya membisikkan rahasia alam semesta: bahwa mencintai adalah seni melepaskan, bukan menggenggam. Seperti pohon yang membiarkan daun-daunnya pergi di musim gugur, bukan karena tak peduli, tetapi karena tahu bahwa akar dan langit adalah dua kutub yang sama-sama perlu dihormati. Di sini, cinta tidak diukur dari seberapa lama kita bertahan, tapi dari seberapa lapang dada kita saat harus mengucapkan selamat jalan.  

     Membaca Gibran adalah proses yang tidak linear. Hari ini, sebuah kalimat mungkin terasa seperti pelukan; besok, kalimat yang sama bisa menjadi pertanyaan yang menggantung. Seperti lukisan abstrak yang maknanya berubah tergantung sudut cahaya. Dalam Rahasia Hati, ia tidak mencoba mengajari cara menghentikan derita. Ia hanya memberi ruang—ruang untuk duduk bersama kesepian, ruang untuk tidak merasa bersalah karena belum bisa melupakan, ruang untuk menyimpan rahasia yang bahkan tak perlu diberi nama. Di sini, kesedihan tidak lagi musuh yang harus dikalahkan, melainkan tamu yang datang dengan membawa hadiah aneh: mungkin sebatang lilin, mungkin segenggam debu, tergantung bagaimana kau menerimanya.  

     Ada keanehan dalam karya-karyanya. Ia bicara tentang patah hati tanpa menyebutkan jantung. Ia menulis tentang kematian tanpa menyentuh kuburan. Mungkin karena baginya, segala sesuatu yang penting terjadi di wilayah yang tak terlihat: di ruang antara dua napas, di keheningan sebelum tidur, di retakan kecil antara apa yang diucapkan dan yang ditahan. Ketika ia menulis, "Kau adalah busur darimana anak-anakmu sebagai anak panah hidup diluncurkan," ia tidak sedang menggambarkan keluarga. Ia sedang menuliskan hukum alam tentang keterpisahan yang tak terhindarkan—bahwa setiap pertemuan mengandung benih perpisahan, dan setiap pelukan menyimpan bayangan pelepasan.  

     Barangkali inilah yang membuat tulisannya selalu terasa personal sekaligus universal. Ia tidak menawarkan obat, tetapi mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya yang kita cari dalam kesembuhan? Apakah kita ingin luka itu hilang, atau justru ingin belajar mendengarkan pesan yang dibawanya? Dalam Air Mata dan Tawa, ia menggambarkan keduanya sebagai sungai dan laut—dua entitas yang berbeda, tapi berasal dari sumber yang sama. Mungkin itu juga jawaban implisitnya: bahwa penderitaan dan sukacita bukanlah lawan; mereka adalah dua sisi dari koin yang sama, yang terus berputar dalam genggaman nasib.  

     Di akhir hari, buku-bukunya tidak meninggalkan kita dengan pencerahan. Yang ada hanyalah kehangatan samar, seperti bekas duduk seseorang di kursi yang baru saja ditinggalkan. Kau tidak pulang dengan pedoman hidup baru, tapi dengan perasaan bahwa ada yang ikut memikul bebanmu—sesuatu yang tak berbentuk, tapi nyata. Gibran tidak pernah berjanji akan membuat segalanya lebih baik. Ia hanya membisikkan, melalui ratusan halaman, bahwa hidup tidak harus selalu "lebih baik". Kadang, hidup hanya perlu dirasakan apa adanya: retak, ambigu, dan penuh dengan pertanyaan yang tak perlu dijawab.  

     Dan di tengah dunia yang terus meneriakkan mantra "move on", suaranya menjadi semacam oasis. Ia mengingatkan bahwa manusia punya hak untuk tidak menjadi kuat. Bahwa merangkak pun adalah bentuk perjalanan. Bahwa di balik tirai kesibukan kita, ada ruang sunyi yang selalu tersedia—untuk menangis, untuk tertawa, atau sekadar berdiri diam sementara waktu terus bergerak. Di sana, dalam keheningan itu, kita tiba-tiba mengerti sesuatu yang tak bisa diungkapkan: bahwa menjadi manusia tidak pernah tentang menjadi sempurna. Hanya tentang menjadi utuh, dengan segala ketidakutuhan kita.  

     Seperti daun yang jatuh di musim gugur: ia tidak melawan angin, tidak juga menyesali dahan yang ditinggalkan. Ia hanya jatuh, pelan-pelan, sambil menggambar pola yang hanya bisa dimengerti oleh bumi yang akan menerimanya.

Seperti daun yang jatuh di musim gugur: ia tidak melawan angin, tidak juga menyesali dahan yang ditinggalkan. Ia hanya jatuh, pelan-pelan, sambil meng

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.