Articles by "Korpala"

Tampilkan postingan dengan label Korpala. Tampilkan semua postingan

     Di ketinggian, ketika dunia di bawah terbungkus lapisan awan, rasa yang hadir bukan sekadar dingin menusuk kulit. Ada keheningan yang berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang bersedia mendengar. Pernah suatu waktu, di tempat yang jauh dari peradaban, rasa itu berubah menjadi firasat yang sulit dijelaskan. Getaran halus yang mengalir seperti pesan dari kosmos, memberi tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Pada malam itu, dalam bayang-bayang hutan yang gelap, ada keyakinan yang tumbuh, meski sulit diterima akal, bahwa seorang teman sedang berada di ujung perjalanan hidupnya.

     Pagi harinya, tubuhnya ditemukan, tergantung pada secuil harapan terakhir: sebatang pohon kecil yang menjadi pelindung dari jurang tak berdasar. Saat itu, kesedihan dan geram berpadu menjadi satu. Kehilangan adalah luka yang tak terhindarkan, tapi ketidakberdayaan menambah perihnya. Di antara pepohonan yang diam dan tanah yang basah, muncul pertanyaan yang terus menggema: apakah ini adalah kehendak alam, atau sekadar bukti bahwa manusia selalu kecil di hadapan kosmos?

     Rousseau pernah berkata bahwa manusia modern telah jauh dari alam, kehilangan harmoni dengan sumber kehidupannya. Di sini, di gunung yang tak peduli pada hierarki sosial atau kehebatan teknologi, kenyataan itu terasa begitu gamblang. Alam bukan hanya tempat untuk melarikan diri dari kebisingan kota, tetapi juga cermin yang memaksa untuk melihat keterbatasan dan ketidaksempurnaan diri. Ketika teman itu tergeletak dalam damainya yang terakhir, ada pelajaran yang diberikan oleh alam: hidup adalah keberanian untuk menghadapi risiko, meski tak ada jaminan hasil yang diinginkan.

     Mendaki gunung adalah perjalanan menuju hakikat. Bukan sekadar menaklukkan puncak, melainkan menemukan apa yang tersembunyi di dalam diri. Seperti dalam pengalaman lain, ketika makanan terakhir tercecer dari genggaman, ada keharusan untuk memungutnya kembali dari rerumputan, satu butir demi satu butir. Tindakan kecil ini, sederhana tapi penuh makna, menjadi simbol penghormatan pada kehidupan. Thoreau, dalam keheningan Walden-nya, mengajarkan pentingnya menghargai yang kecil dan sederhana. Di gunung, ajaran itu hidup, mengingatkan bahwa di balik kemewahan kota, terdapat dunia di mana setiap butir nasi adalah berkat yang tak boleh disia-siakan.

     Namun, gunung bukan hanya tentang keheningan dan renungan. Ia juga tentang tantangan yang memaksa untuk berpikir dan bertindak. Malam itu, saat sungai berarus deras menghadang perjalanan, keputusan harus diambil. Melanjutkan dengan risiko besar atau mencari jalan lain yang lebih panjang dan melelahkan. Heidegger mungkin akan menyebut momen ini sebagai ujian keberadaan. Di hadapan alam yang acuh, manusia dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apa artinya menjadi? Ketika kaki terus melangkah melewati bukit-bukit dalam gelap malam, rasa takut dan harapan bercampur menjadi satu, membawa kesadaran bahwa hidup adalah gerakan, pilihan, dan tanggung jawab.

     Di ketinggian gunung, Nietzsche menemukan metafora untuk kehidupan. Gunung, dengan puncaknya yang menjulang, adalah simbol dari tujuan tertinggi, yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani menanggung kesulitan. Pendakian adalah perlawanan terhadap gravitasi, baik fisik maupun mental. Ketika tubuh lelah dan napas terasa berat, semangat untuk terus maju menjadi bukti bahwa manusia, meski rapuh, memiliki kekuatan untuk melampaui dirinya sendiri. Dalam setiap langkah, ada pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah ketenangan di dasar lembah, melainkan perjuangan menuju puncak.

     Ada yang mengatakan bahwa gunung adalah tempat di mana manusia mendekat kepada yang ilahi. Bagi sebagian orang, firasat yang datang malam itu mungkin adalah bentuk kepekaan terhadap kosmos, sebuah bahasa yang tak bisa dipahami semua orang. Alam, dengan segala keheningannya, berbicara dalam frekuensi yang hanya dapat didengar oleh mereka yang mau menyelaraskan diri. Kesadaran kosmik ini adalah pengingat bahwa manusia bukanlah penguasa, melainkan bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.

     Setiap pendakian adalah cerita tentang keberanian, kerendahan hati, dan refleksi. Di gunung, waktu bergerak lebih lambat, memberikan ruang untuk merenung. Apakah kehilangan itu mengajarkan arti kehadiran? Apakah kesederhanaan memberi pemahaman tentang kelimpahan? Apakah setiap langkah menuju puncak adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia?

     Barangkali di sinilah letak keindahan sejati dari mendaki gunung—bahwa ia tidak pernah memberikan jawaban pasti, hanya menawarkan ruang untuk pertanyaan, refleksi, dan mungkin, jika kita beruntung, sedikit kebijaksanaan. Dalam diamnya, gunung mengajarkan tentang hidup yang menerima ketidakpastian dengan keberanian dan rasa syukur.

     Mendaki gunung adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar berakhir, karena puncak yang sebenarnya bukanlah tempat fisik, melainkan sesuatu yang terus kita cari di dalam diri kita sendiri. Di sana, di tempat di mana langit dan bumi bertemu, manusia belajar bahwa hidup adalah perpaduan antara kehilangan dan harapan, kesederhanaan dan perjuangan, kesedihan dan kebahagiaan. Gunung adalah guru, sahabat, dan cermin yang tak pernah bosan mengingatkan bahwa di balik segala kerumitan, hidup ini adalah anugerah yang harus dijalani sepenuh hati.

     Aku mencintai gunung. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak mereka yang bernafsu. Begitulah kata Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang selalu berhasil menusuk langsung ke inti persoalan, entah dengan pisau logika atau silet satire yang tak kenal ampun. Apakah ini hanya romantisasi tentang batu, pohon dan keheningan? Atau adakah sebuah tamparan terselubung bagi kita yang hidup dan terengah-engah dalam lautan keramaian?

     Saya tidak sekadar mengkritik keramaian sebagai fenomena sosial, namun menggambarkannya sebagai perangkap homogenitas yang membunuh jiwa. Bayangkan kita, para manusia modern, terjebak dalam hiruk-pikuk yang kita sebut masyarakat, mengikuti arus norma dan tradisi seperti ikan mati di sungai yang tercemar. Dalam keramaian ini, di mana hasrat akan kekuasaan, status, dan pengakuan mendominasi, bukankah kita telah menyerahkan kemerdekaan kita kepada ilusi kebutuhan kolektif? Ironisnya, nafsu yang kita bicarakan sering kali berkamuflase sebagai moralitas atau bahkan kemajuan. Betapa halusnya penghinaan ini, ketika hasrat kita untuk menjadi "bermakna" di mata orang lain ternyata menjadikan kita sekadar pion dalam permainan sosial yang besar.

     Gunung bukan hanya tumpukan batu dan tanah; ia adalah simbol kebebasan, sebuah ruang di mana individu bisa bernapas tanpa pengawasan atau penilaian. Dalam keheningan gunung, tidak ada sorak sorai kosong atau pandangan yang menghakimi. Kita dibiarkan sendirian dengan pikiran kita sendiri, dan bukankah itu sering menjadi momok? Manusia modern takut pada kesendirian karena di sanalah segala ilusi yang kita bangun runtuh, dan kita dihadapkan pada diri kita yang telanjang. Cinta kita pada gunung, mengajak kita untuk berdamai dengan ketelanjangan itu, untuk menghargai keaslian yang terlepas dari hiruk pikuk.

     Mari kita renungkan, apakah manusia benar-benar mencari kebebasan? Ataukah kita lebih nyaman dalam keramaian yang meninabobokan kita dengan kebisingan? Kita ditantang dengan paradoks ini. Keramaian bukan sekadar bising dalam arti harfiah; ia adalah kebisingan mental yang menutupi kebenaran tentang siapa kita sebenarnya. Kebisingan itu memanipulasi kita untuk percaya bahwa kita hidup, sementara yang sebenarnya terjadi adalah kita melarikan diri dari hidup itu sendiri. Bukankah ironis, bahwa di tengah keramaian, kita justru kehilangan koneksi dengan apa yang paling esensial?

     Perenungan atas pertanyaan itu bisa menjadi suatu undangan brutal untuk keluar dari barisan, untuk menolak nilai-nilai kolektif yang dangkal dan menemukan keberanian menjadi diri sendiri. Tapi siapa yang mau menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus menawarkan template keberhasilan, kebahagiaan, bahkan spiritualitas? Gunung, adalah tempat di mana kita bisa memecahkan cermin yang memantulkan wajah-wajah palsu kita dan melihat apa yang ada di baliknya. Namun, adakah dari kita yang cukup berani untuk menjelajah ke gunung itu tanpa peta atau kompas sosial?

     Dari pernyataan-pernyataan yang tampak sederhana ini, kita tidak hanya berbicara tentang gunung atau keramaian. Tetapi sedang berbicara tentang kita semua, tentang pilihan yang kita buat setiap hari: untuk hidup sebagai bagian dari keramaian yang memabukkan atau mencari keheningan yang menyakitkan tetapi memerdekakan. Jadi, mari kita tanyakan pada diri sendiri: apakah kita mencintai gunung, ataukah kita terlalu nyaman dengan kebisingan keramaian yang merampas kebebasan kita sambil berbisik bahwa kita bahagia?

     Dalam pusaran diskusi masyarakat 5.0 di suatu wilayah bertabur zamrud khatulistiwa, Korpala adalah sorotan dan idaman. Dalam beberapa tahun yang singkat, Korpala telah menjelma menjadi tren setter idola untuk suatu pola hidup yang berkarakter kuat dengan pengembangan kecerdasan yang berimbang di hampir semua sektor penting kehidupan. Setelah anggota-anggota Korpala menjadi idaman idola di setiap organisasi di dunia, orang mulai mengulik apa dan bagaimana proses yang membentuk kualitas seperti itu. Khalayak pun menemukan formulanya. Namun bagaimana mereka dapat menerapkannya di dalam kehidupan mereka?

     Beruntungnya, Korpala terlebih dahulu telah membangun Parasosial Relationship - hubungan parasosial. Suatu hubungan yang terjadi seperti pada para penggemar dan klub sepak bola ataupun antara penggemar dan bintang sepak bolanya. Hubungan parasosial yang sehat tentu saja. Dalam hubungan parasosial yang lazim, hanya terjadi hubungan satu arah. Para penggemar bisa sangat mengenal seorang bintang sepak bola tertentu, tetapi sang bintang sama sekali tidak mengenal sang penggemar.

     Hal berbeda dengan hubungan parasosial yang dibangun Korpala, dimana Korpala berusaha melakukan hubungan timbal balik dengan para penggemarnya. Untuk para penggemar Korpala dimana pun, telah disediakan materi-materi pelatihan digital yang bisa diakses oleh siapa saja. Termasuk tentunya materi-materi untuk pengembangan penguatan karakter Korpala. Siapapun, secara individu maupun secara berkelompok, dapat bergabung ke dalam Korpala. Di sini, Korpala adalah way of life.

     Langit baru inklusivisme telah direntangkan oleh Korpala. Bila di masa lalu, untuk menjadi anggota Korpala, orang terlebih dahulu harus menjadi mahasiswa Unhas. Korpala yang sangat eksklusif, mungkin telah menghasilkan elit-elit yang sangat spesial. Namun bila way of life Korpala dapat membantu dan menginspirasi semua orang, mengapa kita tidak berbagi kualitas kepada semua orang? Kita dapat menjadi pionir, mendorong percepatan budaya kolaborasi ke dalam masyarakat kita. Dan hal tersebut hanya dapat dicapai dengan kerendahan hati dalam inklusivisme.

     Memori genetik tentang menjadi yang terkuat, paling elit, paling spesial dalam karakter eksklusif yang terwariskan bersama mitos-mitos dari zaman society 2.0 dan 3.0, sudah tidak relevan dengan kebutuhan society 5.0 sekarang ini. Society 2.0 adalah masyarakat agraris yang mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan utama, society 3.0 adalah masyarakat industri yang fokus pada produksi massal dan pabrik, society 4.0 adalah masyarakat informasi dengan teknologi digital sebagai fondasi utamanya, sedangkan society 5.0 adalah masyarakat yang mengintegrasikan dunia fisik dan digital, menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara holistik.

     Karenanya, Korpala membuka kesempatan kepada siapa saja untuk berkolaborasi mengembangkan dan menganut way of life Korpala. Suatu hari, di seluruh Indonesia, kemanapun kita melangkah, maka kita akan bertemu dengan Korpala. Komunitas-komunitas tumbuh subur dengan melandaskan diri kepada way of life Korpala. Komunitas-komunitas tersebut juga melakukan pelatihan-pelatihan untuk anggotanya menggunakan materi pelatihan yang persis sama dengan yang dilakukan di Korpala. 

     Korpala bukan lagi ‘hanya’ tentang satu ‘unit kegiatan mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan’ di lingkup Universitas Hasanuddin. Korpala telah berubah menjadi patron tren setter membangun komunitas. Korpala adalah narasi besar, yang membebaskan organisasi ini dari batasan sangkar geografis dan status quo. Narasi yang sangat menguatkan kekokohan Korpala sebagai suatu realitas intersubyektif. Bila misalnya suatu hari nanti, Unhas tiba-tiba terhapus dari muka bumi, maka Korpala tidak akan ikut menghilang. Korpala tetap eksis, di dalam pikiran dan geliat kehidupan semua orang yang terlibat dalam komunitas yang berbasiskan way of life Korpala.

     Di setiap arah langkah kita sebagai anggota Korpala, dengan mudah kita dapat menjalin kolaborasi dengan semua komunitas berbasis Korpala untuk mensukseskan setiap kegiatan yang diselenggarakan Korpala. Korpala tetap eksis tanpa batas. Esprit d’Corps akan terus berkembang tanpa dapat dibendung oleh siapapun. 

Selamat Ulang Tahun ke-39 Korpala Unhas, esprit d'Corps be the unlimited spirit.

     Survive di Korpala bukan hanya tentang bagaimana bertahan hidup di dalam ‘kondisi tidak biasa’ tetapi juga tentang bertahan hidup dengan kualitas karakter yang dimiliki. Karenanya, untuk saya, survive with Korpala masih merupakan kalimat menggantung. Kita perlu menambahkan beberapa huruf dan kata sehingga menjadi; "Survive with Korpala’s way of life". 

     Sepanjang sejarah Korpala, kita telah belajar dan berlatih tentang berbagai macam basic life skill. Katakan misalnya kita mempelajari jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimakan, tentang bagaimana membuat api, bagaimana bernavigasi dengan peta kompas, bagaimana melakukan pertolongan pada kejadian hipotermia, dan lain-lain. 

     Namun di dalam perkembangan zaman yang begitu cepat, dimana saat ini kita sudah tiba di era revolusi industri 5.0, yang otomatis juga membentuk masyarakat society 5.0. Maka untuk dapat bertahan hidup dalam era ini, kita selayaknya mengantisipasi dengan mengembangkan pelatihan yang membantu kita tetap survive. Dengan berlandaskan way of life Korpala, maka sudah saatnya kita melatih diri untuk meningkatkan beberapa kualitas kecerdasan lainnya misalnya menambahkan menu life skill tentang cara menggunakan dan memanfaatkan teknologi terbaru terkini, yang akan melengkapi semua pelatihan basic life skill yang telah kita miliki selama ini.

     Dan untuk meneguhkan karakter dalam way of life Korpala selaras dengan yang saya gambarkan dalam tulisan 'Jalan Pedang Korpala' yang saya buat 11 tahun lalu untuk ulang tahun Korpala ke-28, maka upgrading soft skill berikut ini menjadi sesuatu yang mutlak bukan hanya untuk mempertahankan kehidupan secara individu tetapi juga akan mempertahankan kehidupan Korpala melintasi perubahan zaman yang semakin cepat sekarang dan di masa mendatang. Untuk saat ini saya melihat empat fokus penting untuk ditingkatkan. 

     Pertama, kita perlu meningkatkan kualitas IQ kita di Korpala hingga berada di rentang batas yang dianggap normal yaitu 90-100. Sekedar informasi rata-rata penduduk Indonesia memiliki IQ = 78,4 data tahun 2022. Meningkatkan IQ penting karena dengan IQ yang memadai, kita dapat berpikir lebih kritis dan analitis, yang sangat berguna dalam kegiatan Korpala yang sering kali membutuhkan keputusan cepat dan tepat. Misalnya, dalam situasi darurat di lapangan, kemampuan untuk menganalisis situasi dan membuat keputusan yang bijak sangatlah penting. Dengan IQ yang baik, anggota Korpala dapat lebih efektif dalam memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam kegiatan sehari-hari.

     Kedua, adalah melatih kecerdasan emosi sehingga manusia Korpala akan segera relevan dengan society 5.0. Secara genetik kita mewarisi sangat banyak memori genetik yang sangat berguna ketika nenek moyang sapiens masih berkeliaran sebagai pemburu pengumpul dalam rentang hidup selama 340 ribu tahun. Namun di saat sekarang sebagian besar sudah tidak relevan dan bahkan merugikan untuk kehidupan kita. Kecerdasan emosi berarti kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri serta memahami dan mempengaruhi emosi orang lain. Dalam konteks Korpala, kecerdasan emosi membantu kita bekerja sama dengan lebih baik, menjaga hubungan yang harmonis, dan menghadapi tekanan dengan lebih tenang. Misalnya, ketika menghadapi konflik dalam tim, kecerdasan emosi memungkinkan kita untuk merespons dengan bijaksana dan mencari solusi yang konstruktif.


     Ketiga, kita juga perlu meningkatkan kualitas kecerdasan berkelompok kita. Di antara hewan-hewan yang berkeliaran di panggung evolusi, sapiens adalah spesies yang sangat rentan rusak kualitas kecerdasan berkelompoknya. Ambil contoh saja kasus ‘antri’, dalam kerusuhan di stadion sepak bola Kanjuruhan. Kecerdasan berkelompok berarti kemampuan untuk bekerja sama secara efektif dalam tim dan berkontribusi pada tujuan bersama. Dalam Korpala, kecerdasan berkelompok sangat penting karena banyak kegiatan yang membutuhkan kerjasama tim. Misalnya, dalam suatu ekspedisi, kemampuan untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik sangatlah penting untuk keberhasilan dan keselamatan seluruh tim. Dengan mengembangkan kecerdasan berkelompok, kita bisa belajar dari contoh-contoh di alam, seperti semut dan lebah, yang menunjukkan kerjasama yang luar biasa dalam komunitas mereka. Semut dan lebah bekerja sama dengan sangat efisien, masing-masing individu melakukan tugasnya untuk kebaikan seluruh koloni. Manusia, khususnya anggota Korpala, perlu mengembangkan kecerdasan berkelompok untuk dapat bertahan hidup lebih lama dan mencapai tujuan bersama dengan lebih efektif.

     Keempat, kita membutuhkan kecerdasan ekologis untuk bersama-sama dengan semua kehidupan di bumi untuk dapat bertahan selama mungkin. Kecerdasan ekologis berarti kemampuan untuk memahami dan menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar kita. Dalam konteks Korpala, ini berarti memahami dampak tindakan kita terhadap lingkungan dan berusaha untuk meminimalkan dampak negatif tersebut. Misalnya, dalam kegiatan di alam, kita perlu memastikan bahwa kita tidak merusak lingkungan dan berkontribusi pada pelestarian alam. 

     Dalam buku Daniel Goleman, kecerdasan ekologis mencakup kemampuan untuk memahami hubungan kita dengan alam dan bertindak dengan cara yang berkelanjutan. Dengan mengembangkan kecerdasan ekologis, kita bisa berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan memastikan bahwa sumber daya alam tetap tersedia untuk generasi mendatang. Misalnya, kita bisa belajar tentang konsep entropi, yang mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan energi dalam ekosistem. Dengan memahami entropi, kita bisa mengambil tindakan yang membantu mengurangi dampak negatif kita terhadap lingkungan. Selain itu, penting untuk mereduksi antroposentrisme, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta. Dengan mengadopsi pandangan yang lebih holistik, kita bisa melihat diri kita sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar dan bertindak dengan cara yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

     Bertahan hidup bukan hanya tentang menghadapi kondisi luar biasa di kondisi alam yang tidak biasa kita hadapi. Bertahan hidup adalah tentang mempertahankan kehidupan yang diamanatkan di dalam situasi apapun. Bertahan hidup dengan way of life Korpala adalah ‘paduan karakter dan keterampilan’ yang merupakan bekal khas anggota Korpala. Dengan mengembangkan keempat fokus ini, kita bisa memastikan bahwa anggota Korpala tidak hanya bertahan hidup tetapi juga berkembang dalam setiap aspek kehidupan. Dengan meningkatkan IQ, kecerdasan emosi, kecerdasan berkelompok, dan kecerdasan ekologis, kita bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh, bijaksana, dan bertanggung jawab. Korpala memberikan kita landasan yang kuat untuk mengembangkan kualitas-kualitas ini, sehingga kita bisa menghadapi tantangan zaman dengan lebih siap dan berkontribusi pada kebaikan bersama. Bertahan hidup dengan way of life Korpala berarti menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh, menghargai alam, bekerja sama dengan baik, dan bertindak dengan bijaksana dalam setiap situasi. Dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa Korpala tetap relevan dan berkontribusi positif pada masyarakat dan lingkungan di era society 5.0.

     Dari berbagai wacana yang telah berkembang, saya ingin memaparkan apa saja yang menjadi inti dari way of life Korpala. Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah dijabarkan sebelumnya, kita dapat menerapkan berbagai kualitas sebagai pedoman untuk membangun karakter setiap anggota Korpala. Kualitas-kualitas ini dibentuk oleh konsistensi dalam melangsungkan setiap kegiatan berlandaskan way of life tersebut. Saya juga menambahkan elemen kearifan lokal kita yang diwariskan dalam budaya siri’.

     Cosmos Consciousness mengajarkan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Korpala menanamkan kesadaran akan makrokosmos dan mikrokosmos yang saling berkaitan. Anggota didorong untuk memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang lebih besar, dan bertindak sesuai dengan prinsip kesadaran universal. Mereka bertindak dengan kesadaran penuh tentang dampak tindakan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat. Ketika kita mengenal dan memahami makrokosmos, kita juga akan lebih mengenal Tuhan yang tercermin dalam diri manusia sang mikrokosmos. Dalam hal ini, setiap anggota Korpala belajar untuk melihat dirinya sebagai bagian dari alam semesta yang luas, mengakui hubungan timbal balik antara manusia dan alam, serta bertindak dengan bijak dan penuh tanggung jawab.

     Kualitas selanjutnya adalah disiplin, beradab, teguh, dan bijaksana. Ini mengadopsi prinsip-prinsip dari filosofi Musashi dan ajaran Shaolin, yang menekankan disiplin, ketekunan, dan kebijaksanaan. Seperti Musashi yang menjalani "jalan pedang," kita di Korpala dilatih untuk mengembangkan keterampilan teknis yang mumpuni dan karakter yang tangguh melalui latihan intensif dan disiplin tinggi. Dalam kegiatan sehari-hari, anggota Korpala juga didorong untuk mengembangkan sikap santun dan beradab, menghormati senior dan rekan-rekan, serta menjalani kehidupan dengan integritas. Relasi antara murid dan guru di Shaolin juga menjadi contoh bagaimana kita seharusnya berinteraksi dan belajar dari para pemimpin dan sesama anggota Korpala.

     Kesadaran spiritual mendalam adalah elemen penting lainnya dalam way of life Korpala. Tradisi Sufi memberikan kerangka untuk pengembangan spiritual dan introspeksi mendalam. Anggota Korpala diajarkan untuk mencari makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi, mengembangkan kesadaran spiritual yang mendalam, serta hidup dengan integritas dan kejujuran. Hal ini juga sejalan dengan isi dari Kode Etik Pencinta Alam Indonesia. Dalam proses pembelajaran, anggota Korpala didorong untuk mengeksplorasi dan mengembangkan hubungan pribadi dengan alam dan pencipta, yang membantu mereka menemukan kedamaian dan tujuan dalam setiap kegiatan yang dilakukan.

     Ketenangan dan rasionalitas adalah kualitas yang diambil dari filosofi Zen dan Stoik. Zen dan Stoik menekankan pentingnya ketenangan batin, ketabahan, dan keteguhan hati. Anggota Korpala dapat mencapai keseimbangan batin melalui meditasi dan refleksi, sementara ajaran Stoik mengajarkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan rasionalitas. Narasi yang sudah terpatri sebagai ciri Korpala dalam setiap aspeknya adalah berkegiatan tanpa alkohol, yang sangat sejalan dengan kebutuhan untuk tetap rasional di dalam situasi apapun. Dalam menghadapi tantangan alam atau situasi yang tidak terduga, ketenangan batin dan pemikiran rasional membantu anggota Korpala untuk tetap fokus dan mengambil keputusan yang tepat.

     Menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai lokal Bugis Makassar adalah bagian penting dari way of life Korpala. Nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, tanggung jawab, dan solidaritas dijadikan pedoman dalam setiap aktivitas. Ini menjadikan budaya organisasi terkait erat dengan kearifan lokal secara mendalam, menghubungkan anggota dengan akar budaya mereka. Dalam setiap kegiatan, baik itu ekspedisi, pelatihan, atau diskusi, anggota Korpala selalu diingatkan untuk mengedepankan nilai-nilai tersebut, yang memperkuat rasa kebersamaan dan identitas kolektif sebagai bagian dari masyarakat Bugis Makassar.

     Dengan menarasikan secara detail way of life Korpala seperti di atas, kita dapat dengan mudah menyusun ulang kurikulum pelatihan dan pendidikan. Kita dapat mengintegrasikan kualitas karakter tertentu yang hendak dicapai di setiap modul pelatihan dan pendidikan. Way of life Korpala adalah untuk membangun karakter manusia di Korpala. Tidak peduli apapun bidang keterampilan dan keahlian yang dimiliki, karakter yang dimilikinya telah jelas dan nyata.

     Seperti yang pernah saya tulis di Buletin Lembanna online tahun 2013, Korpala adalah dapur yang mewadahi para koki yang juga adalah bahan baku yang berproses di dalamnya. Dalam dapur ini, setiap anggota diproses untuk menjadi pribadi yang utuh, yang memiliki kesadaran kosmos, disiplin, beradab, teguh, bijaksana, berkesadaran spiritual mendalam, tenang, rasional, dan menghormati kearifan lokal. Proses ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, namun hasilnya adalah individu yang tidak hanya terampil dalam bertahan hidup di alam bebas, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan luhur.

     Suatu hari di tahun 1989, di ruang D4, di sela-sela persiapan ekspedisi putri Ary untuk pemanjatan tebing Bambapuang, saya dan Nevy terlibat dalam percakapan yang serius tentang Korpala dan bagaimana Korpala bisa menjadi sebuah way of life. Diskusi filosofis yang intens di antara kami sering terjadi di mabes, di tengah riuhnya berbagai wacana yang beredar. Salah satu topik yang sering dibahas adalah konsep cosmos consciousness yang dijabarkan oleh Kak Ono. Konsep ini menggambarkan bagaimana kita sebagai manusia adalah bagian dari alam semesta yang lebih besar, dan bagaimana kesadaran ini mempengaruhi pola relasi kita terhadap alam dan Tuhan. Dalam pandangan ini, mikrokosmos dan makrokosmos saling berkaitan, mencerminkan harmoni antara diri manusia dan alam semesta.

     Cosmos consciousness bukanlah konsep yang hanya ada dalam khasanah filsuf Muslim tetapi juga berkembang di kalangan filsuf secara umum. Filsuf seperti Al-Ghazali dan Ibnu Arabi telah membahas hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam karya-karya mereka. Al-Ghazali, dalam bukunya "Ihya Ulumuddin", menjelaskan bagaimana manusia harus menyadari posisinya dalam alam semesta dan bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Sementara itu, Ibnu Arabi menekankan pentingnya hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan, dan bagaimana alam semesta adalah manifestasi dari Tuhan. 

     Pythagoras dan Heraklitus adalah dua filsuf Yunani Kuno yang sering berbicara tentang hubungan antara mikro dan makrokosmos. Mereka menganggap manusia sebagai cerminan dari alam semesta yang lebih besar. Plato, dalam beberapa dialognya, juga membahas ide bahwa manusia dan alam semesta memiliki struktur yang serupa dan saling mencerminkan satu sama lain. Tradisi Hermetisisme, yang berasal dari tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan Hermes Trismegistus, mengajarkan bahwa "apa yang di atas adalah sama dengan yang di bawah" atau "As above, so below." Ini menggambarkan gagasan bahwa manusia adalah cerminan dari alam semesta. Tulisan-tulisan ini menekankan bahwa setiap elemen di alam semesta memiliki padanan dalam diri manusia, dan memahami satu dapat membantu memahami yang lain. Konsep ini sangat relevan untuk Korpala dimana kita belajar dan menyuadari diri sebagai bagian semesta yang luas, saling terhubung timbal balik, memahami alam semesta dan menghargai kehidupan di dalamnya.

     Dalam hal pendidikan, secara becanda juga sering membahas konsep-konsep yang diadopsi dari cerita-cerita Kho Ping Ho yang banyak dibaca oleh Hukman dan teman-teman lainnya. Cerita-cerita ini sering mengangkat filosofi pendidikan di kuil-kuil Shaolin. Di Shaolin, pendidikan tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis tetapi juga pada pengembangan karakter dan disiplin. Para biksu Shaolin terkenal dengan latihan fisik yang keras dan disiplin yang tinggi, tetapi mereka juga menekankan pentingnya tata krama dan etika. Kualitas-kualitas ini sangat penting dalam membentuk karakter anggota Korpala, yang diharapkan memiliki disiplin tinggi dengan etika dan integritas yang kuat.

      Selain dari konsep pendidikan di Shaolin, yang juga sering didiskusikan adalah tentang pendidikan dalam tradisi Sufisme. Tulisan-tulisan Al-Ghazali dan filsuf Muslim lainnya sangat mempengaruhi diskusi kami. Dalam tradisi Sufi, pendidikan tidak hanya berfokus pada pengetahuan tetapi juga pada pengembangan spiritual dan moral. Relasi antara guru dan murid sangat penting, dengan guru dianggap sebagai pembimbing spiritual yang membantu murid mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Kualitas-kualitas seperti kejujuran, kerendahan hati, dan ketekunan, adalah watak yang sangat ditekankan. Hal ini bisa menjadi pilar nilai-nilai yang dapat kita tanamkan dalam Korpala, di mana anggota diharapkan memiliki integritas dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan spiritual.

     Yang tidak kalah menarik adalah buku Musashi yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Nilai-nilai, perjuangan, dan proses pelatihan yang dilalui oleh Musashi menjadi contoh yang sangat menginspirasi. Musashi dikenal dengan disiplin dan ketekunannya dalam berlatih, serta filosofinya yang menekankan keseimbangan antara kekuatan fisik dan mental. Karakter Musashi yang tegas dan bijaksana dengan filosofi Zen dapat menjadi model bagi anggota Korpala dalam mengembangkan keterampilan dan karakter mereka. Duo Malawat, Ma’ruf dan Demiati, sering membicarakan fragmen-fragmen pertarungan dan dasar filosofi Musashi dalam proses perkembangan dirinya. Teknik meditasi Zen yang mengarahkan pencapaian ketenangan batin dan kesederhanaan, dapat membantu anggota Korpala menghadapi tantangan dengan tenang dan bijaksana.

     Pada tahun 2011, Iwan Amran dan Bang Haji Indra sempat mampir di mabes. Saya sangat ingin mendiskusikan hal ini lebih lanjut dengan mereka. Namun, banyak hal terjadi dan kami tidak bertemu lagi hingga kini. Iwan hanya menitipkan harap sekiranya saya dapat hadir di garis edar aktif Korpala untuk beraneka gelut pikiran yang telah mengeram sekian lama di Korpala. Lahirlah ide membuat antology di hari-hari berkabung kepergian Iwan. Dan di tahun 2023, saya mengajak secara terbuka kepada teman-teman dan saudara-saudara se-Korpala untuk bersama-sama membuat antologi yang dapat merangkum semua pemikiran dan makna kehidupan selama kita di Korpala. Salah satu draft tulisan saya untuk antologi itu, saya sajikan di halaman ini sekarang. Di dalamnya saya tambahkan pemikiran-pemikiran Stoik yang saya pandang sangat relevan sebagai salah satu sendi penopang way of life Korpala.

     Stoikisme menekankan pentingnya ketenangan pikiran dan pengendalian diri dalam menghadapi tantangan hidup. Filosofi ini sangat praktis dan berfokus pada bagaimana kita dapat menghadapi situasi sulit dengan ketenangan dan rasionalitas. Ajaran Stoik mengajarkan kita untuk menerima apa yang tidak bisa kita ubah dan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Ini sangat relevan dengan kegiatan Korpala yang sering menghadapi tantangan alam dan kondisi ekstrem. Anggota Korpala didorong untuk tetap tenang dan rasional dalam menghadapi situasi sulit, mengembangkan ketangguhan mental dan emosional yang diperlukan untuk bertahan hidup dan berhasil dalam setiap kegiatan.

     Sekarang, tulisan ini akan tetap saya biarkan terbuka untuk tambahan di sana sini sehingga memperkaya wacana Korpala kita. Tentu saja, dengan segala kerendahan hati, tambahan dan masukan sangat dinantikan dari setiap insan Korpala dan juga dari para pendiri d’Corps yang masih ada. Tidak ketinggalan, spesial untuk Bang Haji Indra, masih ditunggu hadir di mabes atau mungkin saat dikdas di Lembanna, melanjutkan diskusi kita yang belum selesai.

     Korpala sebagai way of life bukan hanya tentang bagaimana kita bertahan hidup di alam bebas tetapi juga tentang bagaimana kita mengembangkan karakter dan nilai-nilai yang kuat. Dengan mengadopsi filosofi-filosofi ini, kita dapat membentuk anggota Korpala yang memiliki kesadaran kosmos, disiplin, dan ketenangan batin. Hal ini akan membantu kita dalam menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana dan penuh integritas, menjadikan Korpala bukan hanya sebuah organisasi pencinta alam tetapi juga sebuah komunitas yang menginspirasi dan mendukung anggotanya untuk mencapai potensi terbaik mereka. Dengan demikian, kita dapat terus melanjutkan warisan Korpala dan memastikan bahwa nilai-nilai dan filosofi ini akan terus hidup dan berkembang dalam setiap generasi anggota Korpala.

     Tiba-tiba degup di dada sedikit lebih cepat. Ada rasa gugup yang menyeruak ketika bersiap-siap meninggalkan pos-8. Sebentar lagi kita akan bertemu, setalah sekian lama. Iya, setelah sekian lama tidak menyapa di berandamu. Malu hati ini, seakan saya sudah lupa kepadamu membuat rasa gugup itu enggan menguap.
     Namun rasa rindu yang mendera bertubi-tubi belakangan ini membuatku segera bangkit untuk mulai melangkah. Terserah apa katamu nanti setelah aku sampai di sana. Bersama kerabat lainnya, Piyu, Syam, Ikki, Andi dan Nuge, kami mulai bergerak menuju puncak. Hening mengiringi langkah-langkah kecil kami, di pagi yang begitu cerah dan hangat.
      Cuaca yang berubah drastis sejak sore kemarin, benar-benar membuatku hampir hilang kesabaran untuk segera summit. Ini seperti hamparan karpet merah yang sengaja digelar untuk kulalui. Ada 'ge-er' terbersit di benakku untuk semua sajian ini. Bagaimana tidak, hujan yang hampir tanpa jeda, sambung menyambung sejak meninggalkan Makassar hingga camping di hutan pinus Lembanna, seakan menjadi satu rangkaian sajian yang kontras dengan kehangatan yang terpampang sekarang. Ini bukan lagi tentang bermain semacam april mop. Tetapi agar rasa hangat itu bisa lebih terasa greget.
      Tiga minggu sebelumnya, saya menyempatkan ke Lembanna. Menatap puncakmu yang selalu berkabut waktu itu, sebenarnya saya hanya hendak menegaskan tentang rasa yang menggelitikku belakangan ini. Apakah ini hanya rasa yang timbul dari saya sendiri, ataukah selaras getar darimu yang saling menyapa. Dan ya, harus kuakui kalau ternyata kita memang saling merindu. Maka seketika kabut menyapu lembut Lembanna, ditimpali gemericik lembut hulu air tejun yang sudah terlalu akrab itu, aku yakin untuk menemuimu nanti.

Kenampakan wajah Pos 7 di cerahnya sinar matahari pagi dishoot dari arah sebelum pos 9, dengan guratan jejak longsor yang membentuk kurva (bagian tengah gambar di sebelah atas kepalanya Syam)
      Maka rangkaian kegiatan pendidikan dasar Korpala Unhas ke-29 yang direncanakan selesai di akhir Januari 2016 kujadikan jadwal untuk itu. Memilih bersama dengan para titisan darah-K, bersama keluarga di Korpala, telah banyak meninggalkan guratan ingatan yang terpateri tentangmu. Dan kuingin kali inipun kenangan menjumpaimu setelah jeda 23 tahun, turut menjadi bagian kenangan sebagian keluarga itu.
      Menjadi luar biasa dan tidak terduga, beberapa keluarga yang juga sudah lama tidak menjejak berandamu, turut menapak bersama. Canda yang sambung menyambung, kreatif, selalu menjadi bumbu bercita rasa kuat di setiap kesempatan. Aku suka, tidak perlu ada rasa sungkan yang timbul diantara kami karena gap waktu yang relatif lebar dengan mereka.
Sekitar pos 10.
Bawah, kenampakan lembah Sungai Jeneberang terlihat dari pos 9
     Terimakasih untuk jamuan hangatmu. Sungguh, cuaca cerah dengan sinar matahari hangat itu, terasa jauh lebih hangat dibanding seluruh kopi yang disuguhkan di semua tempat di pagi itu. Begitu tersanjung menerima semua sajian itu, sehingga terasa tidak sebanding dengan kunjungan lutut reot berkarat itu, yang tertatih-tatih untuk sampai di berandamu. Tetapi ah.. sudahlah, rindu itu, rindu kita, akan selalu ada..

     Ada semacam rasa rindu yang sebentar lagi hendak terbayarkan, ketika merencanakan untuk kembali menyambangi Gunung Lompobattang. Tidak banyak persiapan yang ruwet, dipilih 1 Juni di tahun 1988 itu menjadi kesepakatan untuk berada di puncak yang pertama kali dikunjungi di tahun 1986 dua tahun sebelumnya. Banyak suka cita, tentu saja selalu menggelorakan setiap rencana perjalanan ke puncak gunung.
     Apalagi di pendakian kali ini, beberapa generasi baru titisan darah-K neranaikan keriuhan yang tercipta. Selain beberapa produk dikdas satu, ada juga beberapa orang simpatisan yang turut meramaikan.
 Afras Pattisahusiwa, Dwi 'Ammy' Rahmiaty, Nevy Tonggiroh, saya sendiri Hero Fitrianto, juga ada Long dan beberapa lainnya simpatisan yang ramanya tidak sempat tertinggal lama di ingatan saya.
 sekitar pos-7 sebelum puncak Lompobattang. Pemandangan yang indah dan sesi foto-foto menjadi alasan untuk sekadar satu dua tarikan  napas yang lebih panjang. 
hehehe.. U know lah What I mean.. :)
 sekitar puncak Gunung Lompobattang.
ada juga As'adi Abdullah, Husnia Asaf, Mappalologau Tantu, Nevy, Long, Hero, Welly Turupadang, Agus Cippe'.
     Ada yang tidak terlupakan di perjalanan ini, bagaimana Agus Cippe' yang dengan susah payah di tarik-tarik dan di paksa-paksa untuk bisa sampai ke puncak. Dan begitu sampai di dekat tugu, langsung duduk berselonjor setengah baring dengan wajah sangat pucat. Saat itu tidak ada yang tahu apa yang dialami oleh Agus. Senda gurau berseliweran ke mana-mana tanpa belas kasihan.
     Setelah perjalanan ini tuntas, beberapa hari setelahnya, Agus menjadi bahan diskusi yang hangat, Dokter yang menangai kasus kesehatan Agus menjadi kaget, Hb Agus melonjak menjadi 11 point, dalam rentang waktu seminggu saja. Rupanya sebelum pendakian itu, Hb Agus hanya 6. Keheranan yang dialami oleh dokter itu menjadi senda gurau, yang mengantarkan tawa sesaat namun menyisakan kegetiran karena tidak mengetahui bagaimana keadaan Agus sebenarnya sebelum ikut mendaki. Nasib baik masih berpihak kepada kita semua.
 gambar atas dengan salah satu peserta yang anggota Menwa Unhas.
Really miss that moment.
bawah dengan Yani Abidin dan Bakhtiar Baso
 tim sweeper di kegiatan ini, Asadi Abdullah, Iwan Amran, Wahyuddin dan saya sendiri Hero Fitrianto. Beruntung tikar daun pandan yang menjadi alas semalam, tidak sempat terekam.
 Pos-9 sebelum puncak Lompobattang. Banyak coretan yang menghiasi ceruk batu itu. Namun, menikmati senja di ceruk yang menghadap ke barat itu sungguh luar biasa. Di cuaca yang indah, lukisan alam seperti gambar di bawah ini menjadi salah satu imbalannya.
      Dan perjalanan itu, tentu saja meninggalkan begitu banyak pelajaran berharga di perjalanan perkembangan Korpala selanjutnya.
Seperti tulisan-tulisan sebelumnya, dengan segala kerendahan hati saya menunggu tambahan kenangan di setiap kita yang sempat bersama di kegiatan itu. Memperkaya kenangan, membantu teman-teman yang lain menikmati dan mensyukuri salah satu momen yang terentang indah di perjalanan hidup ini.

     Lebih seratus orang sedang bersiap di Lembanna, menatap puncak Bawakaraeng yang sebentar lagi menjadi tujuan mereka. Beberapa jam lagi, rangkaian puncak kegiatan pendidikan dasar akan segera mereka rampungkan. Di tempat yang lainnya, beberapa kelompok yang mengarahkan beberapa puluh anggota lainnya, sementara bergelut menuntaskan serangkaian prosesi untuk menyelesaikan pendidikan khususnya.
     Pendidikan khusus yang akan menjadi bekal, untuk persiapan rencana ekspedisi mereka, menyusul kakak-kakak lainnya yang sementara mengayunkan langkah menuju summit-summit tertinggi di dunia. Beberapa kakak lainnya, sementara membentangkan layar di atas perahu untuk merapat ke pantai-pantai yang jauh di belahan bumi yang lain. Lainnya lagi sementara merambah lorong-lorong gelap menyusuri perut bumi yang mungkin belum sempat terjamah oleh penelusur lainnya.
     Mendampingi setiap tahapan pendidikan itu, instruktur-instruktur handal yang telah menuntaskan seluruh rangkaian pendidikannya, yang tentu saja adalah para veteran ekspedisi. Seluruh rangkaian pendidikan dilakukan dengan teliti, bersungguh-sungguh, disiplin tinggi yang tentu saja dengan eror tolerance yang mendekati nol. Bukan apa-apa, kualitas alumni dari setiap jenjang pendidikan, haruslah kualitas premium. Dan itu hanya bisa didapatkan salah satunya dengan arahan para instruktur yang juga berkualitas premium.
     Suatu siklus regenerasi yang begitu intens, mapan dan juga begitu terarah. Meminjam istilah mereka yang hendak mengabdikan diri menjadi seorang samurai, maka yang bersangkutan harus melakoni tata hidup dalam suatu istilah ‘jalan pedang’. Tata hidup yang penuh disiplin, berlatih dengan tekun menerapkan metode yang rumit, sulit dan penuh tantangan. Semuanya adalah untuk mencapai kualitas diri yang mumpuni secara teknis, mapan secara mental dengan kualitas karakter yang terpilih. Dan tentu saja pada puncaknya, untuk memahami dan menerapkan filosofi yang melandasi setiap gerak laku hidupnya.
     Itulah u-ka-em bernama Korpala Unhas. Di saat setiap lembaga kemahasiswaan maupun wadah-wadah ekstra kurikuler lainnya sedang lesu darah, di Korpala justru sebaliknya. Orang berduyun-duyun bersaing mendapatkan kesempatan menempa diri di sana. Jumlah anggota yang begitu melimpah, memungkinkannya melakukan serangkaian kegiatan yang melibatkan kuantitas anggota yang berkualitas, di waktu yang hampir bersamaan. Konsekwensinya, penyaringan untuk menjadi anggota berlangsung ketat. Bahkan beberapa orang tua mahasiswa sampai perlu membantu merengek untuk anaknya, menghubungi si anu dan si anu demi mendapatkan kesempatan sekali seumur hidup itu.
     Beberapa dari mereka pasti dengan sukarela mau melakukan suap demi anaknya diterima di Korpala. Namun mereka pasti gentar dan berpikir beribu kali, karena mereka tahu, itu bukan idealisme yang dianut oleh para pencinta alam itu. Terlalu naif dan tentunya sangat hina, yang bisa saja menutup selamanya kesempatan bergabung di Korpala. Bila ada akreditasi mengenai u-ka-em, maka pastilah Korpala meraih akreditasi A yang masih ditambah acungan jempol, plus dan plus.
     Keberhasilan organisasi ini mengembangkan, menerapkan dan menjaga filosofi yang kuat untuk setiap anggotanya, telah begitu memikat para pencinta alam di manapun berada. Serangkaian jenjang pendidikan dan kegiatannya, telah membentuk suatu standar keterampilan yang begitu rapi dan handal. Biasnya adalah, kualitas karakter yang dilandasi kualitas mental yang tepercaya, menjadi trade mark  yang mapan yang melekat di dalam diri setiap anggota.
     Bila pada umumnya pencinta alam selalu gamang, ragu tentang apa itu definisi, apa penjabaran yang tepat untuk sebutan pencinta alam, maka di sini semuanya sudah begitu jelas. Serangkaian siklus yang dilakoni dengan penuh disiplin, menghasilkan pribadi yang beretika sesuai kode etiknya. Baris-baris kode etik bukan hanya sebagai penghias bibir di setiap upacara atau seremoni, tetapi menjadi laku keseharian yang akrab dan tidak sakral. Ketahanan mentalnya juga luar biasa, bahkan mampu beradaptasi di dalam evolusi hingga ribuan tahun. Trend setternya adalah idealisme, bukan pragmatisme yang oportunis.
     Logika yang dikembangkan adalah logika tentang kesadaran. Membaca setiap ayat Tuhan dalam keping pahatan-pahatan terkecil hingga terbesar, membantu memahami tentang kompleksitas semesta. Kompleksitas yang terangkum di dalam satu miniatur yang namanya manusia. Kesadaran tentang manusia sebagai metafora alam dalam bentuk kecil, juga kesadaran tentang semesta sebaagi metafora manusia dalam bentuk super. Cosmos conciousness – kesadaran sejagad bukan hanya menjadi wacana untuk ruang-ruang seminar yang tidak jelas ke mana mengaplikasikannya. Di korpala, sekali lagi semua itu menjadi hal yang lumrah di dalam kehidupan keseharian.
     Begitulah, bila di hari ini di usia yang menginjak 28 tahun, Korpala sarat kegiatan yang mehadirkannya di setiap summit di berbagai belahan dunia dengan jumlah anggota yang melimpah, semuanya bukan karena individu-individu yang menonjol atau hebat di suatu rentang waktu tertentu. Seperti yang biasa didengungkan para awam, bahwa di setiap masa punya aktornya sendiri, maka di Korpala sebenarnya hanya konsisten menerapkan –istilah pinjaman- jalan pedang nya sendiri. Hal itu juga mengacu sebenarnya pada pemahaman yang awam yang mengakui dengan sedikit getir tentang pentingnya proses dibanding hasil. Nah, proses yang bagus dan matang, tidak lain akan menelurkan hasil yang baik.
     Semua orang di seluruh dunia, menginginkan Korpala ada terlibat di dalam organisasi mereka. Proses di dalam jalan pedang korpala telah melahirkan insan-insan yang handal berkualitas. Setiap institusi, berlomba untuk bisa menjadi sponsor kegiatan Korpala, bagaimanapun riskan dan tidak logisnya dalam takaran proses kehidupan yang normal. Sudah tidak ada anggota yang mengemis berkeliling dunia, demi membiayai sepenggal kegiatan remeh. Summit demi summit digapai bukan karena kita memfokuskan diri untuk mencapai setiap summit yang ada. Semuanya dicapai karena kualitas setiap anggota memang layak untuk berada di semua summit itu.
     Lalu antrianpun semakin panjang di depan pintu mabes korpala, adalah kenyataan bahwa di dalam curriculum vitae yang mencantumkan korpala sebagai ekskul semasa kuliah, telah menjadi nilai tawar yang sangat tinggi di dunia profesional. Disiplin yang tinggi menjalani setiap proses pendidikan dan berkegiatan, menghasilkan kepercayaan yang begitu tinggi. Gemblengan di dalam jalan pedang korpala telah mampu memenuhi setiap ekspektasi tinggi di dalam pasar kehidupan.
     Selamat ulang tahun ke-28 Korpala Unhas. Jalan Pedang itu adalah keniscayaan, bukan kemustahilan.
gambar : bigstockphoto.mountainclimb

     Malam dingin pekat Lembang Bu'ne memeluk erat peserta wisata alam ke-3 yang digelar Korpala di tahun 1990 itu. Jam masih menunjukkan pukul 10 malam, masih empat jam sebelum mengeksekusi rencana wisata itu. Rumah panggung Daeng Mengngu' cukup lapang untuk menampung kami semua. Perjalanan rencananya akan dimulai pukul 2 dinihari nanti. Panitia menginformasikan agar peserta sebisa mungkin terlelap tidur sambil menanti empat jam berikut. Tentu saja, selain agar waktu menunggu menjadi tidak terasa, istirahat itu bisa memulihkan tenaga untuk mempersiapkan perjalanan nanti menuju puncak Lompobattang. Maklum saja, tidak semua peserta wisata ini adalah anggota Korpala. Sebahagian partisipan dari berbagai jurusan di Unhas, beberapa diantaranya adalah anggota tetangga-tetangga ukam di pkm.
     Tetapi alih-alih bisa terlelap, rasa kantuk sedikitpun sama sekali tidak muncul di kepalaku. Lalu, apakah aku akan menunggu kesunyian empat jam berikut diantara mereka-mereka yang bisa terlelap? Ah, aku menjadi usil. Mulailah aku melontarkan joke-joke kecil, setengah berbisik untuk satu dua orang di samping. Namun di malam yang sunyi itu, suara bisik itu masih cukup nyaring untuk terdengar. Dan mulailah, dari seorang dua orang, akhirnya keriuhan menjadi hangat oleh joke-joke yang saling bersahutan dari masing-masing penutur. Selamatlah, empat jam berlalu tanpa sempat terpejam sedikitpun.
     Rombongan wisata sukses melalui puncak Lompobattang, bergerak sedikit lebih lanjut, menemukan Ko'bang, makam tua yang terletak di puncak yang sedikit lebih rendah dari puncak Lompobattang. Ko'bang merupakan sebutan untuk makam Tuanta Salamaka, atau yang dikenal sebagai Syekh Yusuf. Tentu saja makam itu bukan makam yang benar-benar makam yang mengandung jasad Syekh Yusuf. Tetapi merupakan simbolisasi ikatan batin para pengikut beliau secara turun temurun. Namun demikian, bagi awam yang rutin berziarah ke Ko'bang, mereka akan meyakini dengan sepenuh jiwa, bahwa jasad beliau memang ada bersemayam di sana.
     Matahari sudah sangat condong ke cakrawala barat, rombongan berhenti untuk melewatkan malam, di posisi yang sedikit lebih rendah dari Ko'bang. Banyak batu yang membentuk ceruk-ceruk kecil menjadi tempat berlindung semalaman dari hembusan angin dingin. Kebetulan, ceruk batu yang saya gunakan cukup kecil, sehingga hanya bisa untuk memuat diri saya sendiri. Malam yang indah, disinari kerlip bintang yang lebih terang. Malam ini tidak ada joke. Lelah, tentu saja mengantar tidur yang begitu lelap menjelang pagi keesokan hari.
 Awaluddin Lasena, Arifin Jaya, Hero Fitrianto,
Ada Nurdin, Yusran Wahid, Aco Lologau, Nona, Rustam Rahmat dan Bastian.
     Aku sedang mempersiapkan sarapan, ketika ada Bastian mendekat ke ceruk tempatku bermalasan di pagi yang masih dingin. Ikan kaleng yang saya panaskan di kompor parafin, segera dibedah begitu terasa sudah hangat. Dan terjadilah, kami menyantap roti tawar yang membalut isi kaleng yang hangat itu. Burger ala Ko'bang, begitu Bastian nyelutuk menikmati setiap gigitan roti di tangannya. Ah.. miss this moment bro..
     Matahari sudah mulai tinggi, ketika rombongan melanjutkan langkah, menuju Majannang. Perlahan-lahan meninggalkan ketinggian, menyusuri lereng menuju lembah hulu sungai Jeneberang. Sasaran camping berikutnya adalah Raulo.
 membekukan permainan cahaya.. ada Uci Kasim dengan temannya anak menwa cewek berkacamata (lupa namanya)
 siap-siap meninggalkan Majannang, berdoa bersama.. ada Saribuana Nur.
 camping di Raulo. Gagahnya Yani Abidin..
     Lebih banyak kesempatan berpose di depan kamera setelah tiba di Raulo. Masak-masak, bercanda dan foto-foto. Hangatnya pagi terasa berbeda dibanding pagi di Ko'bang. Serangkaian memori telah tergurat, tentu saja dengan joke kekonyolan selama perjalanan wisata ini, yang sebentar lagi akan dibagikan untuk kerabat di kampus yang tidak sempat berwisata bersama di kesempatan ini.
 menikmati hangatnya Raulo. Ada Asri, juga Guntur
lalu doa-doa.. mengiringi langkah yang sebentar lagi meninggalkan Raulo.
  once upon a time, Ko'bang sekitar Lompobattang
     Beberapa nama tidak sempat terekam baik di memori saya. Karenanya, melengkapi kenangan perjalanan wisata itu, dengan senang hati saya menunggu tambahan komentar di bawah.

     Sudah begitu banyak orang dan penggiat kegiatan alam bebas menguasai dengan baik pengetahuan dan keterampilan bagaimana membuat bivak, mendapatkan makanan, membuat api disertai perlengkapan standar navigasi yang begitu canggih, kemudian sukses melanjutkan kelangsungan hidupnya menghadapi situasi survival. Beberapa penggiat lainnya yang tidak pernah melatih diri atau mungkin hanya sedikit  mendapat latihan survival, juga ternyata mampu untuk mengendalikan situasi yang mengancam hidupnya. Namun sayang sekali, beberapa lainnya harus mati meskipun sudah melalui serangkaian Training yang intensif tentang survival skill.

    Ternyata kunci utama menghadapi situasi survival adalah ‘sikap mental yang tepat’ dari individu yang ada di dalam situasi itu. Sangat penting mempunyai keterampilan teknis survival, namun yang menjadi intinya adalah ‘memiliki keinginan untuk bertahan hidup’. Tanpa keinginan untuk bertahan hidup, maka semua keterampilan yang dimiliki menjadi tidak berguna. Semua teori dan pengetahuan mengenai survival hanya menjadi sampah di dalam kepala.

     Di dalam lingkungan survival, kita akan menghadapi banyak tekanan pada mental atau stres yang lambat laun ataupun kadang secara tiba-tiba, akan mempengaruhi pikiran kita. Stres itu akan menghasilkan pikiran pikiran dan emosi yang bila tidak dipahami, akan dapat mengubah rasa percaya diri kita. Orang yang penuh percaya diri akan menjadi peragu, menjadi individu yang tidak efektif sehingga kemampuan survivalnya bisa dipetanyakan. Oleh karenanya Anda harus bisa menyadari dan mampu mengenali aneka macam tekanan mental yang secara umum terkait dengan survival.

     Untuk penjabaran selanjutnya, saya coba untuk membantu menjelaskan sedikit seluk beluk stres, faktor-faktor tekanan mental dari survival, serta beberapa reaksi reaksi yang mungkin muncul dari dalam diri kita ketika berada di dalam situasi survival yang sebenarnya. Semoga sekelumit penjabaran ini bisa membantu kita mempersiapkan diri melalui saat-saat tersulit dalam bertahan hidup.

     Sebelum kita mengetahui reaksi psikologis kita di dalam satu desain survival, baiknya terlebih dahulu kita mengetahui secara sederhana, apa yang dimaksud stres dan efek yang ditimbulkannya. Stres sebenarnya bukanlah satu penyakit yang perlu disembuhkan ataupun dihilangkan. Justru, stres adalah merupakan satu kondisi yang memperkaya pengalaman yang telah kita miliki. Stres bisa digambarkan sebagai ‘reaksi kita terhadap tekanan’. Sebutan atau penjabaran itu untuk setiap pengalaman yang kita alami ketika mendapatkan tekanan secara fisik, tekanan mental, tekanan emosi termasuk tekanan secara spiritual, sebagai respons atas tekanan hidup yang kita terima.

     Karenanya, kita membutuhkan stres, karena banyak manfaat positif yang bisa kita peroleh. Stres membantu kita menemukan kekuatan dan nilai-nilai yang ada di dalam diri.  Stres dapat menunjukkan kemampuan kita menangani tekanan tanpa perlu melanggar nilai-nilai kemuliaan sebagai manusia. Juga akan menjadi media menguji kemampuan adaptasi dan fleksibilitas kita yang nantinya akan bisa memicu kita untuk bisa melakukan hal-hal terbaik dari kemampuan yang kita miliki. Biasanya kita meremehkan peristiwa menyenangkan, yang melenakan (tingkat stresnya rendah), sehingga stres bisa menjadi indikator yang signifikan untuk menyadari hal-hal apa saja yang ternyata penting untuk hidup kita.

     Kita membutuhkan beberapa tekanan di dalam hidup, tentu saja di dalam porsi yang secukupnya. Terlalu banyak stres akan memberi dampak yang buruk. Bahkan bukan hanya stres, hal apapun yang berlebih-lebihan tentu saja akan menjadi buruk. Jadi marilah memiliki stres secara proporsional. Terlalu banyak stres tentu saja akan menimbulkan penderitaan pada diri sendiri, masyarakat dan organisasi. Stres bisa menyebabkan ketidak nyamanan, lalu kita memilih untuk menghidar atau malah melarikan diri dari situasi yang ada.

     Daftar berikut adalah beberapa tanda ketidak nyamanan yang bisa saja diakibatkan oleh terlalu banyaknya stres yang kita alami.
        - Kesulitan membuat keputusan
        - Menjadi pelupa
        - Kemampuan fisik menurun, mudah lelah.
        - Emosi yang meledak-ledak
        - Selalu dalam perasaan kuatir
        - Cenderung berbuat kesalahan, menjadi kikuk.
        - Kadang berfikir tentang kematian atau bunuh diri
        - Menjadi sulit bergaul dengan orang lain.
        - Menarik diri dari pergaulan.
        - Ceroboh
        - Bersembunyi dari tanggung jawab.

     Mengamati daftar di atas, terlihat bahwa stres bisa berfungsi sebagai hal yang konstruktif, namun bila berlebihan maka akan menjadi destruktif. Bisa sebagai pendorong kita untuk terus berkembang atau malah menjadi bencana yang mematikan kita di atas jalan hidup yang sementara berlangsung.

     Stres bisa menginspirasi kita untuk bertindak hingga berhasil sambil mengekspresikan performa maksimum yang efisien dari diri kita, di dalam situasi survival. Sebaliknya stres juga bisa mengakibatkan kita menjadi panik sehingga lupa pada semua materi dan hasil latihan selama ini. Kunci kita untuk survival adalah ‘kemampuan kita memanage dan menghadapi setiap tekanan yang ada’. Kita akan berhasil survival bila kita bisa mengendalikan stres, bukan sebaliknya malah stres yang mengendalikan kita.


     Stressor. Setiap kejadian bisa mengakibatkan stres, Dimana kejadian-kejadian itu kadang tidak muncul satu persatu tetapi bersamaan menyergap kita. Kejadian-kejadian itu bukanlah stres, tetapi ‘penyebab stres’ yang di dalam bahasan selanjutnya saya istilahkan sebagai ‘stressor’. Jadi sederhananya, stressor adalah penyebab, sementara stres adalah respons terhadap adanya stressor.

     Di dalam situasi survival, ketika tubuh kita menyadari dan mengakui adanya stressor, maka ia mulai bertindak untuk melindungi diri. Sebagai tanggapan terhadap stressor, maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama tubuh mempersiapkan diri dengan baik untuk melawan, atau yang kedua, melarikan diri.

     Bila tubuh menanggapi stressor dengan melawan, maka tubuh akan mengaktifkan sistim SOS di dalam tubuh. Sinyal sos yang terkirim ke seluruh tubuh akan direspon dalam bentuk sebagai berikut:
     - Tubuh melepaskan bahan bakar yang berbentuk (gula dan lemak) untuk memberikan suplay energi dengan cepat, begitu dibutuhkan.
     - Intensitas pernapasan meningkat, untuk memasok lebih banyak oksigen ke dalam darah.
     - Ketegangan otot meningkat untuk mempersiapkan tindakan dalam kewaspadaan.
     - Mekanisme pembekuan darah diaktifkan untuk mengurangi pendarahan dari luka (bila tubuh mempunyai luka).
     - Panca indera menjadi lebih peka. Pendengaran lebih sensitif, pupil mata membesar, penciuman bau menjadi lebih tajam.
     - Denyut jantung dan tekanan darah meningkat untuk mengalirkan lebih banyak darah ke otot.

     Celakanya, stressor itu sangat tidak sopan. Bila stressor lain muncul, bukan berarti stressor pertama akan pergi. Mereka malah akan berkolaborasi, menambah tekanan kepada kita. Hal lainnya lagi, bisa saja stres yang timbul sebenarnya mempunyai intensitas yang rendah, dalam kondisi normal bisa saja diabaikan. Namun bila munculnya stressor-stressor kecil terakumulasi dalam rentang waktu yang berdekatan, atau malah bersamaan, maka bisa menjadi pemicu stres yang luar biasa.

     Sebagai reaksi alamiah, tubuh akan bertahan. Pada titik ini, kemampuan bertahan terhadap stres atau menggunakan stres sebagai pemicu ‘sikap positif’ akan muncul. Mengantisipasi stressor dan mengembangkan strategi mengatasinya memenjadi dua unsur penting dalam memanage stres. Karenanya sangat penting bagi kita untuk menyadari jenis-jenis stres yang akan dihadapi.

 

     Cedera, sakit dan kematian. Merupakan kemungkinan yang nyata yang harus Anda hadapi. Mungkin tidak ada yang lebih stres bila berada sendirian di satu lingkungan asing dimana Anda bisa saja meninggal karena kecelakaan yang terjadi, mengalami cedera, atau karena keracunan oleh makanan tak dikenal. Cedera akan menambah stres karena membatasi kemampuan kita untuk bermanuver mendapatkan makanan dan minumam, mencari tempat berlindung dan membela diri. Meskipun cedera dan penyakit yang ada tidak menyebabkan kematian, namun mereka menambah stres melalui rasa sakit dan ketidaknyamanan yang timbul. Hanya dengan kemampuan mengendalikan stres yang terkait dengan kerentanan pada cedera, penyakit dan kematian, maka Anda bisa memiliki keberanian untuk mengambil resiko yang terkait untuk tetap bertahan hidup.

     Lingkungan. Dalam bertahan hidup, Anda harus mengahadapi stressor berupa cuaca, medan bentang alam dengan berbagai macam makhluk hidup yang menghuni daerah tersebut. Panas, dingin, hujan, angin, gunung, rawa, gurun, serangga, reptil berbahaya dan segala jenis hewan lainnya hanyalah sebahagian dari tantangan yang kita hadapi di dalam survival. Sehingga, segala sesuatunya tergantung pada bagaimana Anda menangani stres oleh faktor-faktor lingkungan tersebut. Apakah akan menjadikan lingkungan kita sebagai sumber makanan sekaligus tempat berlindung yang baik atau malah lingkungan menjadi penyebab ketiaknyamanan yang secara ekstrim akan mengarahkan kita pada cedera, sakit dan akhirnya mati.

     Lapar dan Haus. Tanpa makanan dan air, Anda akan menjadi lemah kemudian akhirnya mati. Jadi, mendapatkan dan mencadangkan makanan dan air akan memberi peluang memperpanjang waktu dalam survival. Mencari makanan bisa menjadi sumber stres yang besar karena Anda membutuhkan banyak energi sehingga mengakibatkan kelelahan.

     Kelelahan. Memaksakan diri untuk tetap bertahan hidup tidaklah mudah. Banyak energi yang terkuras, yang kemudian Anda menjadi sangat lelah. Ada kemungkinan Anda menjadi begitu lelahnya sehingga Anda tetap terjaga, tidak bisa tidur sehingga mendapatkan jenis stres yang baru lagi.


Reaksi Alamiah.

     Manusia sudah mampu bertahan hidup setelah melalui berbagai macam perubahan lingkungan selama berabad-abad. Kemampuan adaptasi yang luar biasa secara fisik dan mental terhadap alam yang terus berubah, sementara banyak spesies lain di sekitarnya yang kemudian punah perlahan-lahan. Mekanisme yang telah dikembangkan oleh nenek moyang kita, bisa kita gunakan untuk membantu kita tetap survive.

     Hal itu sebenarnya tidak mengherankan, karena setiap orang akan memiliki beberapa reaksi psikologis yang khas dalam situasi survival. Namun demikian, ada beberapa gejala umum yang akan dihadapi oleh setiap orang setelah munculnya stressor.

     Rasa Takut. Ketakutan adalah respons emosi kita oleh keadaan berbahaya, yang dipercaya berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau sakit. Bahaya yang timbul karena Anda cedera, mengancam kestabilan emosi kita hingga bisa menimbulkan rasa takut.

     Jika Anda dalam situasi survival, rasa takut sebenarnya bisa berfungsi positif bila hal itu akan membuat Anda menjadi lebih berhati-hati dimana kecerobohan bisa mengakibatkan cedera. Sayangnya, rasa takut juga bisa melumpuhkan Anda. Hal itu bisa menyebabkan Anda menjadi begitu takut bahwa Anda akan gagal untuk melakukan kegiatan penting demi tetap bertahan hidup. Kebanyakan orang akan memiliki tingkat rasa takut yang berbeda ketika dalam kondisi yang buruk berada di satu lingkungan yang tidak dikenalnya. Kita tidak perlu malu untuk mengakui hal ini, karena itu sangat manusiawi.

     Kita hanya perlu untuk terus melatih diri supaya tidak dikendalikan oleh rasa takut yang muncul. Idealnya, setiap kita memerlukan pelatihan yang realistis, sehingga memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan rasa percaya diri. Dengan kepercayaan diri yang memadai, kita bisa mengatasi rasa takut yang timbul.

     Cemas. Terkait dengan masalah takut adalah cemas. Karena takut itu adalah reaksi yang alami, maka rasa cemas juga salah satu reaksi yang natural. Kecemasan bisa berbentuk rasa gelisah, khawatir karena situasi yang berbahaya (secara fisik, mental dan emosi).

     Bila kita bisa mengendalikannya secara sehat, maka kecemasan bisa mendorong Anda bertindak untuk menuntaskan satu ancaman, setidaknya bisa menguasai stressor yang mengancam keberadaan Anda. Jika kita tidak pernah cemas, maka kita hanya akan memiliki sedikit motivasi untuk membuat perubahan di dalam hidup. Di dalam situasi survival, kita bisa mengurangi rasa cemas dengan melakukan hal-hal yang setidaknya bisa memastikan Anda untuk bertahan dalam situasi yang ada.

     Ketika kita bisa mereduksi rasa cemas, kita juga sekaligus mengendalikan sumber rasa cemas itu, yaitu ketakutan kita. Sampai di titik ini, maka rasa cemas berfungsi sebagai hal yang positif. Bila tidak berjalan di arah yang benar, maka kecemasan akan berdampak menghancurkan. Rasa cemas bisa menjerumuskan kita ke titik dimana kita menjadi mudah bingung dan sulit untuk berfikir. Sekali kita berada di situasi ini, maka keadaan akan semakin bertambah sulit untuk bisa membuat pertimbangan logis dan keputusan yang baik.

     Untuk survive, kita harus belajar dan berlatih cara menenangkan kecemasan, cara mengendalikan kecemasan sehingga tetap berada di rentang yang bisa memberi dampak yang positif.

     Marah dan Frustrasi. Frustrasi bisa muncul ketika kita terus-menerus gagal di dalam upaya mencapai tujuan. Tujuan survival adalah supaya tetap hidup sampai kita bisa mencapai bantauan atau sampai tim penolong menemukan kita. Untuk mencapai tujuan itu, kita harus bisa menuntaskan hal-hal yang diperlukan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin.

     Frustrasi yang menumpuk akan menimbulkan kemarahan. Tersesat, rusaknya peralatan, cuaca yang tidak bersahabat, medan yang sulit dengan beberapa cedera yang mungkin sudah menimpa kita bisa menjadi sumber frustrasi dan marah. Reaksi impulsif yang ditimbulkannya bisa berupa perilaku yang tidak rasional, keputusan yang tidak dipertimbangkan dengan matang, bahkan dalam beberapa kasus akan bersikap merajuk, berhenti berusaha melakukan hal-hal yang tidak dikuasai dengan sempurna.

     Sangat penting untuk bisa mengendalikan intensitas emosi yang berkaitan dengan rasa frustrasi dan marah, sehingga kita bisa lebih produktif menghadapi setiap tantangan di dalam situasi survival. Bila kita bisa mengalihkan fokus dari rasa marah, kita bisa menghemat banyak energi yang terbuang percuma akibat penyaluran pelampiasan rasa marah itu.  Kita bisa menciptakan peluang hidup lebih besar untuk orang lain di sekitar kita.

     Depresi. Anda akan menjadi manusia langka, bila tidak dihinggapi perasaan sedih, meski hanya sesaat, ketika berhadapan dengan kesulitan hidup. Rasa sedih yang mendalam akan berubah menjadi depresi. Depresi sendiri berhubungan erat dengan rasa marah dan frustrasi

     Frustrasi akan menyebabkan kita menjadi semakin marah ketika gagal mencapai tujuan. Jika kemarahan tidak berhasil membantu kita untuk berhasil, maka tingkat frustrasi akan semakin tinggi. Sebuah siklus destruktif akan terus berlangsung antara kemarahan dan frustrasi, yang akan menggerogoti kondisi kita secara fisik, emosi dan mental. Ketika kita sampai di titik ini, maka kita biasanya akan menyerah. Fokus kita akan bergeser dari “apa yang bisa saya lakukan’ menjadi “tidak ada yang bisa saya lakukan”.

     Depresi adalah satu ungkapan putus asa, ungkapan perasaan tidak berdaya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perasaan sedih. Kita menjadi sedih karena memikirkan orang yang kita cintai dan ingat untuk membawa kembali kehidupan ini ke ‘peradaban’ atau ‘dunia yang normal’. Pikiran-pikiran seperti itu pada dasarnya bisa  menimbulkan keinginan dan dorongan untuk berusaha lebih keras, demi hidup ‘satu hari lagi’.

     Di sisi lain, bila kita membiarkan diri kita untuk tenggelam dalam keadaan tertekan, maka akan menguras sebagian besar energi yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal lain yang berguna. Maka di sini menjadi penting bagaimana memelihara ‘kemauan untuk bertahan hidup’. Kita harus menolak untuk menyerah pada depresi.

     Sepi dan bosan. Manusia adalah makhluk sosial. Karenanya hanya sedikit orang yang ingin sendiri sepanjang waktu. Karenanya rasa sepi dan bosan bisa mengantarkan kita ke arah depresi. Bila kita dalam situasi survival, entah sendirian atau dengan beberapa orang lain, penting untuk bisa selalu menemukan cara untuk membuat dan menjaga fikiran kita tetap sibuk dan produktif.

     Rasa bersalah. Kadang kita berada dalam situasi survival oleh suatu keadaan yang dramatis dan tragis. Mungkin oleh satu kecelakaan, sehingga Anda adalah satu-satunya korban yang selamat. Sementara Anda selamat, disaat bersamaan orang lain yang kurang beruntung, yang mungkin saja sangat kita cintai, telah menjadi korban meninggal. Hal ini bisa saja menimbulkan rasa bersalah di dalam diri kita.

     Perasaan ini bila digunakan secara positif akan bisa mendorong kita untuk berusaha bertahan hidup hingga tim penolong tiba, atau malah menemukan jalan sendiri menyelamatkan diri. Kita harus mempunyai perasaan bersyukur karena telah selamat, sekaligus menyadari bahwa masih ada skenario kehidupan yang lebih besar yang harus kita selesaikan, sehingga kita masih diberi kesempatan tidak menjadi korban meninggal dalam kecelakaan itu. Kita bisa menanamkan keyakinan di dalam diri bahwa kita sekarang memegang amanah untuk menyelesaikan tugas yang belum sempat dituntaskan oleh orang-orang yang telah menjadi korban.

     Apapun alasan yang bisa kita temukan, yang penting jangan membiarkan rasa bersalah yang timbul menghalangi kita untuk melanjutkan kehidupan. Hidup yang menyia-nyiakan kesempatan hidup tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dan hal itu akan menjadi tragedi besar kehidupan.


Mempersiapkan Diri

     Misi kita dalam survival adalah untuk tetap hidup. Bermacam-macam pikiran dan emosi yang kita alami dalam survival bisa dikendalikan, atau malah sebaliknya mereka yang mengendalikan kita.

     Rasa takut, cemas, marah, frustrasi, rasa bersalah, depresi dan kesepian adalah jenis-jenis stres yang secara umum kita hadapi di dalam situasi survival. Ketika kita mengontrol dengan baik setiap reaksi tadi, akan meningkatkan peluang kita untuk bertahan hidup. Tentu saja, kita perlu meluangkan banyak waktu, tenaga dan fokus latihan untuk bisa mengendalikan setiap stres yang muncul. Bagaimana melawan rasa takut, bagaimana bereaksi untuk menciptakan rasa aman, bagaimana mempertahankan rasa percaya diri setiap anggota tim kita, untuk tetap berusaha menghadapi setiap rintangan.

     Bila kita gagal mengontrol reaksi tersebut dengan cara yang sehat, maka reaksi stres itu akan membuat kita berhenti. Jangankan bisa mengerahkan sumber daya internal dalam diri kita, kita malah mendengarkan dan mengembangkan kekhawatiran dari dalam diri. Ketakutan itu akan menyebabkan kita kalah secara psikologis, jauh sebelum kita benar-benar kalah secara fisik.

     Ingatlah, survival adalah kondisi alamiah untuk setiap orang, yang tiba-tiba saja terperangkap dalam situasi perjuangan hidup-mati di dalam kondisi survival. Jangan kuatir akan ‘reaksi alamiah dari situasi yang tidak biasa’. Persiapkan diri kita untuk menguasai reaksi ini sehingga kita bisa manfaatkannya untuk bertahan hidup dengan cara terhormat dan bermartabat.

     Mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang reaksi yang mungkin muncul di dalam suatu situasi survival, merupakan tindakan yang produktif. Tantangan di dalam survival sudah menghasilkan banyak contoh terpuji dalam bentuk karakter kepahlawanan, keberanian dan kerelaan berkorban. Kualitas-kualitas itu akan kita dapatkan bila bisa mempersiapkan diri secara efektif.


     Berikut ini, beberapa tip untuk membantu persiapan diri secara psikologis untuk bertahan hidup. Kita bisa mengembangkan ‘sikap survival’ yang baik dengan melakukan pelatihan yang tepat dan terarah.

1. Kenali diri sendiri

     Luangkan waktu dan ikuti pelatihan, tanya pada keluarga dan teman-teman untuk menemukan siapa diri anda sebenarnya. Perkuat mutu diri Anda menjadi semakin kuat dan kembangkan potensi yang Anda ketahui diperlukan untuk survive.

2. Antisipasi rasa takut

     Jangan pernah berpura-pura bahwa Anda tidak punya rasa takut. Mulailah berfikir tentang hal-hal yang paling menakutkan bila Anda berada dalam situasi sendirian. Latihlah diri untuk mengendalikannya, namun bukan menghilangkan rasa takut sama sekali. Kembangkan rasa kepercayaan diri yang baik dalam setiap kemampuan yang Anda miliki sehingga bisa mengendalikan dan mereduksi kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul.

3. Bersikap realistik

     Jangan takut untuk melakukan penilaian yang jujur terhadap suatu situasi atau kondisi. Pandang permasalahan di dalam kacamata pandangan orang lain. Perhatikan dan pelihara apa yang Anda harapkan dari perkiraan situasi yang ada. Jangan membuat harapan yang di luar perkiraan, karena nanti akan menjadi bibit kekecewaan yang sangat pahit. Ikuti pepatah lama, ‘berharap yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk’. Kita tentunya lebih mudah beradaptasi dengan ‘kejutan’ tentang situasi yang menyenangkan dari suatu nasib baik yang tak terduga, dibanding menjadi marah oleh keadaan mengecewakan yang tidak terduga sebelumnya.

4. Menerapkan Sikap Positif

     Pelajari dan lihatlah potensi baik di dalam segala hal. Menemukan hal-hal baik bukan hanya akan meningkatkan moral kita, tetapi juga sangat penting dalam mengolah imajinasi dan mengeksplorasi kreativitas.

5. Ingat apa yang Anda pertaruhkan

     Gagal mempersiapkan diri secara psikologis untuk mengatasi situasi survival akan menyebabkan reaksi seperti depresi, ceroboh, kurang konsentrasi, kurang percaya diri, tidak bisa membuat keputusan yang baik. Ingatlah selalu, bahwa hidup Anda dan hidup orang lain sedang dipertaruhkan di tangan Anda.

6. Latihan

     Melalui pelatihan intensif dan pengalaman hidup yang keras, bisa menjadi modal untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi survival. Ingat, semakin realistik suatu pelatihan, semakin memperkecil kemungkinan kita gagal dalam suatu situasi survival.

7. Belajar teknik Manajemen Stres
      Orang di dalam tekanan stres berpotensi untuk menjadi panik jika tidak disiapkan secara psikologis untuk menghadapi situasi yang mungkin terjadi. Meskipun kita sering tidak bisa mengatur keadaan apa saja yang boleh menimpa kita di dalam satu kondisi survival, tetapi kita punya kemampuan untuk mengendalikan reaksi kita di dalam merespon setiap keadaan.
     Mempelajari teknik Manajemen Stres bisa meningkatkan kemampuan kita untuk tetap tenang dan fokus saat kita berusaha menjaga diri dan hidup orang lain. Beberapa teknik penting misalnya keterampilan relaksasi, keterampilan manajemen waktu, keterampilan ketegasan, juga keterampilan restrukturisasi kemampuan kognitif (kemampuan untuk mengontrol bagaimana kita bisa melihat situasi secara realistis).

     Sebagai penutup tulisan ini, satu ungkapan kunci di dalam survival yaitu ‘keinginan bertahan hidup’ bisa juga ditransformasikan menjadi bentuk ungkapan lain: ‘menolak untuk menyerah’.

 rujukan : US Army Survival Manual

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.