Orang mendaki gunung karena ada sesuatu yang tak terjelaskan dalam ketinggian yang memanggil jiwa mereka. Gunung tidak pernah berteriak, tidak pernah memohon, tetapi kehadirannya yang megah seperti menantang, bukan dalam bentuk kompetisi melawan alam, melainkan pergulatan melawan diri sendiri. Mereka datang, berbondong-bondong membawa harapan, kegelisahan, atau mungkin sekadar rasa bosan terhadap kehidupan yang datar, mencari sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas harian yang membosankan.
Di gunung, orang menemukan keheningan yang menampar dengan lembut, keheningan yang menuntut perhatian. Nietzsche menyebut alam sebagai tempat di mana manusia dapat menjauh dari dunia yang penuh nafsu dan kekosongan. Gunung menawarkan pelarian dari kebisingan duniawi, meskipun ironisnya, banyak yang membawa kebisingan itu bersama mereka. Di zaman modern ini, gunung sering kali menjadi panggung bagi eksistensi digital. Ada yang mendaki bukan untuk menikmati keheningan, tetapi untuk memproduksi konten, untuk mengabadikan diri dalam bentuk foto atau video dengan latar puncak yang megah. Hutan yang seharusnya menjadi tempat perenungan malah menjadi arena pertunjukan, dan keheningan gunung dirusak oleh bunyi klik kamera dan suara pemberitahuan ponsel.
Namun, gunung memiliki caranya sendiri untuk mengembalikan manusia pada kenyataan. Di jalur-jalur terjal, tubuh lelah dan napas tersengal, tidak ada ruang untuk basa-basi. Orang dipaksa untuk merasakan keberadaan mereka dengan cara yang paling primitif, merasakan berat tubuh yang didorong oleh tekad semata. Rousseau pernah mengatakan bahwa alam adalah tempat di mana manusia bisa menemukan kebebasan sejati, bebas dari korupsi peradaban. Tetapi seperti halnya kebebasan, mendaki gunung adalah paradoks. Orang mencari kebebasan dari dunia di bawah, tetapi mereka sering kali membawa dunia itu ke atas. Dalam pelarian mereka, mereka justru menciptakan jejak-jejak baru yang mengingatkan pada tempat yang mereka coba tinggalkan.
Thoreau mungkin akan kecewa melihat bagaimana gunung diperlakukan oleh manusia modern. Ia yang percaya pada hidup sederhana dan koneksi mendalam dengan alam mungkin akan mengernyit melihat pendaki yang lebih sibuk mencari sudut foto yang sempurna daripada menikmati pemandangan di depan mereka. Namun, Thoreau mungkin juga akan merasa lega melihat bagaimana di tengah kelelahan dan kehilangan sinyal, manusia akhirnya menyerah pada kebesaran alam. Dalam momen-momen itu, orang dipaksa untuk menerima bahwa mereka hanyalah makhluk kecil yang mencoba bertahan di hadapan kekuatan yang jauh lebih besar.
Ada yang mendaki untuk mencari makna, untuk merenung, atau untuk merasakan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Heidegger pernah berbicara tentang keterbukaan batin terhadap pengalaman eksistensial, dan di gunung, banyak orang menemukan momen itu. Ketika mereka berdiri di puncak, dikelilingi oleh awan dan keheningan, ada perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Perasaan itu sulit dijelaskan, tetapi ia nyata. Orang yang biasanya sibuk dengan jadwal, pekerjaan, atau drama kehidupan tiba-tiba dihadapkan pada kesederhanaan yang menohok.
Namun, keindahan gunung juga terletak pada kontradiksi yang ia tawarkan. Orang mendaki untuk menemukan ketenangan, tetapi mereka sering kali menciptakan kebisingan baru. Mereka mencari rasa kecil di hadapan alam, tetapi mereka juga ingin merasa besar dengan menunjukkan bahwa mereka telah menaklukkan sesuatu. Gunung, dengan diamnya yang agung, tidak peduli pada klaim manusia. Ia tidak memerlukan pengakuan, tidak butuh pujian. Ia hanya ada, sebagai saksi bisu perjalanan manusia yang sering kali penuh dengan ironi.
Ketika pendaki akhirnya sampai di puncak, ada rasa lega yang luar biasa, tetapi juga kekosongan yang sulit dijelaskan. Pemandangan di depan mata mungkin indah, tetapi makna sebenarnya dari mendaki gunung tidak pernah hanya tentang mencapai puncak. Ia adalah perjalanan, bukan tujuan. Nietzsche mungkin akan berkata bahwa di setiap langkah menuju puncak, orang melampaui dirinya yang lama. Rousseau mungkin akan melihat ini sebagai perjalanan menuju kebebasan sejati. Thoreau mungkin akan menyebutnya sebagai perayaan hidup sederhana yang berhubungan dengan alam. Tetapi bagi mereka yang mendaki, gunung adalah sesuatu yang lebih dari itu. Ia adalah cermin yang memantulkan diri mereka apa adanya, tanpa basa-basi atau tipu daya.
Gunung tidak pernah menawarkan jawaban, hanya ruang untuk pertanyaan. Mungkin itulah alasan sebenarnya mengapa orang mendaki gunung. Di tengah kelelahan, di bawah langit yang tak terbatas, mereka menemukan momen-momen kecil yang membisikkan bahwa hidup adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar selesai. Gunung menjadi simbol dari perjuangan, keheningan, dan ironi kehidupan manusia yang tidak pernah lepas dari kontradiksi.
Nice fiction Bang.. or brilliant thinking
BalasHapusTerimakasih Dek 😊
BalasHapus