Aku Mencintai Gunung

     Aku mencintai gunung. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak mereka yang bernafsu. Begitulah kata Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang selalu berhasil menusuk langsung ke inti persoalan, entah dengan pisau logika atau silet satire yang tak kenal ampun. Apakah ini hanya romantisasi tentang batu, pohon dan keheningan? Atau adakah sebuah tamparan terselubung bagi kita yang hidup dan terengah-engah dalam lautan keramaian?

     Saya tidak sekadar mengkritik keramaian sebagai fenomena sosial, namun menggambarkannya sebagai perangkap homogenitas yang membunuh jiwa. Bayangkan kita, para manusia modern, terjebak dalam hiruk-pikuk yang kita sebut masyarakat, mengikuti arus norma dan tradisi seperti ikan mati di sungai yang tercemar. Dalam keramaian ini, di mana hasrat akan kekuasaan, status, dan pengakuan mendominasi, bukankah kita telah menyerahkan kemerdekaan kita kepada ilusi kebutuhan kolektif? Ironisnya, nafsu yang kita bicarakan sering kali berkamuflase sebagai moralitas atau bahkan kemajuan. Betapa halusnya penghinaan ini, ketika hasrat kita untuk menjadi "bermakna" di mata orang lain ternyata menjadikan kita sekadar pion dalam permainan sosial yang besar.

     Gunung bukan hanya tumpukan batu dan tanah; ia adalah simbol kebebasan, sebuah ruang di mana individu bisa bernapas tanpa pengawasan atau penilaian. Dalam keheningan gunung, tidak ada sorak sorai kosong atau pandangan yang menghakimi. Kita dibiarkan sendirian dengan pikiran kita sendiri, dan bukankah itu sering menjadi momok? Manusia modern takut pada kesendirian karena di sanalah segala ilusi yang kita bangun runtuh, dan kita dihadapkan pada diri kita yang telanjang. Cinta kita pada gunung, mengajak kita untuk berdamai dengan ketelanjangan itu, untuk menghargai keaslian yang terlepas dari hiruk pikuk.

     Mari kita renungkan, apakah manusia benar-benar mencari kebebasan? Ataukah kita lebih nyaman dalam keramaian yang meninabobokan kita dengan kebisingan? Kita ditantang dengan paradoks ini. Keramaian bukan sekadar bising dalam arti harfiah; ia adalah kebisingan mental yang menutupi kebenaran tentang siapa kita sebenarnya. Kebisingan itu memanipulasi kita untuk percaya bahwa kita hidup, sementara yang sebenarnya terjadi adalah kita melarikan diri dari hidup itu sendiri. Bukankah ironis, bahwa di tengah keramaian, kita justru kehilangan koneksi dengan apa yang paling esensial?

     Perenungan atas pertanyaan itu bisa menjadi suatu undangan brutal untuk keluar dari barisan, untuk menolak nilai-nilai kolektif yang dangkal dan menemukan keberanian menjadi diri sendiri. Tapi siapa yang mau menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus menawarkan template keberhasilan, kebahagiaan, bahkan spiritualitas? Gunung, adalah tempat di mana kita bisa memecahkan cermin yang memantulkan wajah-wajah palsu kita dan melihat apa yang ada di baliknya. Namun, adakah dari kita yang cukup berani untuk menjelajah ke gunung itu tanpa peta atau kompas sosial?

     Dari pernyataan-pernyataan yang tampak sederhana ini, kita tidak hanya berbicara tentang gunung atau keramaian. Tetapi sedang berbicara tentang kita semua, tentang pilihan yang kita buat setiap hari: untuk hidup sebagai bagian dari keramaian yang memabukkan atau mencari keheningan yang menyakitkan tetapi memerdekakan. Jadi, mari kita tanyakan pada diri sendiri: apakah kita mencintai gunung, ataukah kita terlalu nyaman dengan kebisingan keramaian yang merampas kebebasan kita sambil berbisik bahwa kita bahagia?

Gunung bukan hanya tumpukan batu dan tanah; ia adalah simbol kebebasan, sebuah ruang di mana individu bisa bernapas tanpa pengawasan atau penilaian.

This is the most recent post.
Posting Lama

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.