Articles by "uncategorized"

Tampilkan postingan dengan label uncategorized. Tampilkan semua postingan

     Di bawah lampu neon dunia maya, di mana cuitan-cuitan di X beterbangan seperti nyamuk di musim hujan, politik Indonesia adalah teater absurd yang tak pernah tutup. Para aktornya, dengan jubah kebesaran dan senyum yang terlalu rapi, memainkan drama penuh intrik, di mana kebohongan kadang lebih manis daripada kebenaran. Seorang warganet, dengan jari lincah di layar ponsel, menulis: “Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda bisa berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” Kalimat itu, bagai pisau yang tersenyum, memotong tirai kemunafikan, mengundang tawa sekaligus kepedihan. Tapi, di balik sorak-sorai digital ini, apa yang sebenarnya kita saksikan? Sandiwara murahan, atau cermin jiwa bangsa yang resah, menolak diam di tengah janji-janji yang menguap?

     Bayangkan sebuah pasar malam di X, di mana kios-kios virtual berjejer, menjajakan harapan dengan harga satu suara. Di satu sudut, seorang politisi, dengan ijazah yang mungkin asli tapi nurani yang patut diragukan, berorasi tentang “keadilan sosial” sambil mengantongi dana dari sumber yang samar. @thePeople______, dengan nada sarkastik yang tajam, mencuit: “Ijazah boleh asli, tapi kalau kebijakan bikin rakyat miskin dan elit kaya, yang palsu itu ijazahnya atau nuraninya?” Cuitan ini bukan sekadar lelucon; ia adalah nyanyian protes, sebuah jeritan yang dibungkus humor untuk menahan air mata. Friedrich Nietzsche, yang pernah menertawakan kelemahan manusia, mungkin akan mengangguk setuju. “Bercanda tentang sesuatu adalah mekanisme pertahanan untuk mengatasi ketakutan terhadapnya,” katanya. Di Indonesia, di mana skandal korupsi seperti e-KTP atau Hambalang menjadi legenda, satire adalah perisai rakyat, mereduksi para dewa politik menjadi badut yang bisa diejek.

     Panggung politik ini penuh kontradiksi, seperti lukisan yang indah dari kejauhan tapi retak-retak saat dilihat dekat. Para politisi, dengan gelar “Yang Terhormat,” sering kali bertingkah seperti penututup botol—istilah sinis untuk mereka yang dianggap tak berguna. Namun, rakyat, yang seharusnya menjadi sutradara dalam demokrasi, justru merasa seperti penonton yang ditipu, diberi tiket mahal untuk pertunjukan yang buruk. @bahanasugeng62 menulis di X: “Semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi bahaya penyalahgunaannya.” Kalimat itu, sederhana namun menusuk, menggema seperti peringatan Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Di negeri ini, di mana kepercayaan publik terhadap DPR sering merosot di bawah 50% menurut survei LSI, satire bukan lagi sekadar hiburan—ia adalah cermin buram yang memaksa kita melihat wajah kita sendiri.

     Voltaire, sang maestro satire dari abad Pencerahan, pasti akan bersorak melihat kreativitas warganet Indonesia. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” katanya. Di X, kebebasan ini hidup dalam meme, cuitan, dan parodi yang absurd. @lalilupanama, misalnya, menyamakan politisi dengan “bakul obat kadas” yang lucu tapi tak perlu ular sanca untuk menarik perhatian. Bayangkan seorang calon senator, berdiri di panggung kampanye, menjajakan “obat mujarab” berupa proyek jalan yang entah kapan selesai, sementara rakyat hanya bisa tertawa pahit. Satire seperti ini adalah kebenaran yang disampaikan dengan jubah humor, sebuah cara untuk membongkar propaganda tanpa perlu darah. Voltaire akan melihatnya sebagai seni, sebuah tarian kata yang mengungkap kebusukan di balik topeng kebesaran.

     Namun, di balik tawa, ada kepedihan yang merayap. Satire di X lahir dari luka kolektif: ketimpangan sosial, janji politik yang menguap seperti asap, dan institusi yang kehilangan kepercayaan. @jan_marem menulis: “Politik Indonesia makin hari makin konyol, bukan bikin tertawa, tapi bikin kesal.” Kalimat ini adalah renungan filosofis, sebuah pengakuan bahwa politik adalah teater absurd yang melelahkan. Albert Camus, yang merenungkan absurditas hidup, mungkin akan melihat politik Indonesia sebagai Sisifus modern: rakyat terus mendorong batu demokrasi ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali karena korupsi atau pengkhianatan. Tapi, dalam tawa getir itu, ada pemberontakan—sebuah penolakan untuk menyerah, sebuah cara untuk tetap hidup di tengah keputusasaan.

     Apakah satire ini cukup untuk mengubah panggung? Mungkin tidak. Cuitan-cuitan lucu di X adalah katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membuat kita merasa sedikit lebih ringan di tengah beratnya realitas. Namun, seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa pun, itu berarti hak untuk memberi tahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar.” Satire adalah kebebasan ini, sebuah cara untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa takut—setidaknya, selama akun Anda belum diblokir. Kasus seperti hilangnya akun nurhadi_aldo di Instagram, yang memicu spekulasi tentang tekanan pihak berwenang, adalah pengingat bahwa panggung satire tidak selalu bebas dari bayang-bayang sensor. Namun, bahkan di tengah ancaman, rakyat terus menulis, terus menertawakan, terus bermimpi.

     Di sudut-sudut X, ada paradoks yang menyentuh. Satire, meski sinis, adalah tanda bahwa rakyat Indonesia belum menyerah. @bahanasugeng62 menulis: “Rezim boleh berganti, pemimpin bisa beralih, tapi nilai perjuangan harus tetap dijaga.” Kalimat ini, seperti nyanyian lembut di tengah badai, mengingatkan kita bahwa di balik ejekan dan tawa, ada harapan—mungkin rapuh, tapi nyata—untuk masa depan yang lebih adil. Soren Kierkegaard, filsuf yang merenungkan keberanian dalam ketidakpastian, pernah berkata, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Satire adalah cara kita melihat ke belakang, menertawakan kesalahan masa lalu, sambil melangkah dengan hati penuh tanya ke depan.

     Apa yang tersisa dari panggung sandiwara politik ini, di mana tawa dan kepedihan bercampur seperti minuman pasar malam? Humor, dengan segala keabsurdannya, adalah nyawa rakyat—senjata lembut yang mampu menyingkap tabir kemunafikan tanpa pedang. Sinisme, meski berbalut getir, adalah detak jantung bangsa yang masih resah, yang menolak diam di tengah janji-janji kosong. Dan politik, dengan segala kontradiksinya, adalah cermin buram dari kita semua—rakyat yang menertawakan, pemimpin yang berjanji, dan para penututup botol yang tersesat di antaranya. Aristophanes, sang pelopor satire Yunani kuno, pernah berkisah bahwa membuat orang tertawa adalah seni, tetapi membuat mereka berpikir sambil tertawa adalah keajaiban. Di X, keajaiban ini berkelip-kelip di setiap cuitan, meme, dan ejekan, mengingatkan kita bahwa di tengah absurditas panggung politik, kita masih punya kuasa untuk menertawakan, merenungkan, dan, suatu hari, mungkin mengukir perubahan.

     Di suatu negeri yang rakyatnya gemar menertawakan diri sendiri—karena jika tidak, mereka akan menangis—kita telah mencapai fase di mana segala janji terdengar seperti iklan sabun cuci: menjanjikan putih bersih, tapi yang tercuci hanyalah akal sehat. Bonus demografi? Oh, tentu! Itu istilah yang diciptakan agar generasi muda merasa seperti pahlawan super yang siap menyelamatkan ekonomi, sambil para pemilik modal membangun istana dari saham mereka yang meroket. Harari mungkin tersenyum getir di suatu sudut: manusia memang makhluk yang ahli menenun narasi menjadi dongeng untuk menutupi ketimpangan. Tapi di sini, dongeng itu diulang-ulang seperti lagu dangdut remix—semakin sering didengar, semakin tak bermakna.

     Demokrasi, kata mereka, adalah pesta rakyat. Tapi seperti pesta pernikahan di kampung, yang penting bukan kebahagiaan mempelai, melainkan siapa yang membawa amplop paling tebal. Toto Rahardjo dalam Demokrasi Para Perampok menggambarkannya sebagai drama tiga babak: pembukaan dengan jargon kebersamaan, pertengahan dengan transaksi terselubung, dan penutup dengan foto bersama sambil memeluk pundi-pundi. Di negeri ini, demokrasi bukanlah sistem, melainkan semacam stand-up comedy di mana penonton tertawa bukan karena lucu, tapi karena gila.

     Pernahkah kalian memperhatikan betapa para pemimpin kita adalah lulusan terbaik sekolah Machiavelli—tanpa perlu membuka bukunya? Mereka ahli dalam seni berpura-pura peduli, seperti aktor sinetron yang mampu menitikkan air mata saat berjanji membangun jalan, lalu melupakannya begitu kamera padam. Il Principe seharusnya jadi panduan, tapi di tangan mereka, buku itu berubah menjadi manual cara tersenyum sambil menandatangani kontrak penggusuran. Ketika seorang pejabat berkata, "Kami mendengar suara rakyat," yang ia maksud mungkin hanya suara deru mesin proyek yang sedang menggali lubang tambang baru.

     "Pembangunan"—kata yang sakral, diucapkan dengan nada bak imam memimpin ritual. Tapi bacalah The Grapes of Wrath karya Steinbeck, dan kita akan tahu bahwa di mana pun, pembangunan sering berarti menggusur yang lemah untuk memberi jalan pada yang berkuasa. Di sini, hutan digunduli atas nama investasi, laut dipagari demi "kebersihan pantai", dan warga dipindahkan ke rusunawa yang lebih mirip kandang burung. Mereka dijanjikan masa depan gemilang, tapi yang datang hanyalah tagihan listrik dan air yang tak pernah stabil. Jika ada yang protes, jawabannya selalu sama: "Ini untuk kepentingan umum!" Seolah-olah "umum" itu adalah entitas mistis yang hanya bisa diwakili oleh segelintir orang berkopiah.

     Lalu datanglah pemimpin-pemimpin yang berbicara tentang "revolusi mental", sementara buku-buku di perpustakaan mereka berdebu seperti fosil. Inayat Khan dalam Hakikat Pikiran menulis bahwa kemajuan bangsa lahir dari pemikiran yang mendalam. Tapi di sini, yang dianggap "mendalam" hanyalah kemampuan menghafal pidato, bukan memahami isinya. Kita punya wakil presiden yang bangga tak pernah tuntas membaca bahkan satu novel pun, lalu heran mengapa kebijakannya sering terasa seperti resep masakan tanpa garam.

     Demokrasi kita—ia seperti kucing yang dijual dalam karung. Dibungkus dengan kata-kata "keterbukaan" dan "partisipasi", tapi isinya adalah algoritma yang menghitung suara berdasarkan popularitas Instagram. Kahlil Gibran dalam Kematian Sebuah Bangsa berbisik: "Ketika keadilan hanya menjadi hiasan bendera, bangsa itu sedang sekarat." Di sini, keadilan memang ada—di dalam novel, di dalam lagu, dan di dalam retorika kampanye. Tapi di pengadilan? Ia lebih sering jadi bahan lelucon para pengacara yang tahu persis di tikungan mana ia menyuap.

     Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die mengingatkan: demokrasi tidak mati oleh tentara, tapi oleh politisi yang mengubah konstitusi jadi alat pribadi. Di negeri kita, konstitusi bisa direvisi secepat menu ganti wallpaper di smartphone. Rakyat diminta percaya, tapi dilarang bertanya. Hukum? Ia seperti pisau—sangat tajam untuk memotong rumput liar di halaman rakyat, tapi tumpul saat dihadapkan pada besi tua para konglomerat. John Rawls pasti geleng-geleng melihat Teori Keadilan-nya dipelintir menjadi "Teori Pembenaran": keadilan di sini bukan tentang proses, tapi tentang siapa yang punya koneksi untuk mempersingkat antrian.

     Dan media? Mereka adalah dalang di balik layar. Noam Chomsky dalam Politik Kuasa Media menjelaskan bahwa media tidak mencerminkan realitas, tapi menciptakannya. Di sini, berita kenaikan harga cabai diubah menjadi cerita tentang "ketahanan pangan", sementara konferensi pers pejabat dirancang seperti tayangan reality show: penuh emosi, tapi kosong substansi. Kami rindu pada jurnalis yang menulis dengan darah, bukan pada influencer yang dibayar untuk memoles luka menjadi lukisan.

     "Pembangunan" lagi-lagi jadi mantra. Tapi bacalah Max Havelaar—bukan sebagai kisah kolonial, tapi sebagai cermin kekinian. Multatuli menangis melihat penderitaan rakyat, tapi di era sekarang, penderitaan itu dijual sebagai komoditas. Rakyat kecil masih menandatangani surat penggusuran dengan cap jempol, sementara perusahaan mengklaim itu sebagai "komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan". Eksploitasi disebut "pemberdayaan", perampasan tanah disebut "revitalisasi", dan ketika nelayan kehilangan laut, mereka diberi pelatihan jadi barista—seolah-olah laut bisa digantikan oleh latte art.

     Bahasa pun telah dikorupsi. R.F. Kuang dalam Babel menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata penjajahan. Di sini, kata "transformasi digital" berarti memecat karyawan dan menggantinya dengan chatbot. "Bonus demografi" adalah istilah untuk menyembunyikan fakta bahwa 60% pengangguran adalah anak muda. Dan "makan bergizi gratis" biasanya berakhir di kantong pejabat yang mengaku "sedang diverifikasi". Negeri ini adalah ahli dalam seni mengubah logam menjadi emas palsu—atau dalam bahasa mereka: "memoles narasi".

     Lalu tibalah kita di zaman di mana kenyataan lebih absurd daripada fiksi. Orwell menulis '1984' sebagai peringatan, tapi di sini, ia dijadikan manual. "Kebebasan pers" berarti pers dibebaskan dari keberanian. "Transparansi" berarti semua korupsi dilakukan di tempat terbuka, asal rakyat sibuk menghitung diskon e-commerce. Pengawasan disebut "perlindungan data", kritik disebut "ujaran kebencian", dan ketika ada yang bertanya, jawabannya selalu: "Ini untuk stabilitas nasional!" Seolah-olah "stabilitas" adalah dewa yang haus tumbal akal sehat.

     Kita telah sampai di ujung panggung. Tepuk tangan palsu menggema, lampu sorot mengaburkan bayangan ketidakadilan, dan para pemain berjalan keluar dengan senyum lebar—sambil menggenggam amplop di belakang punggung. Tapi di antara riuh rendah ini, ada yang masih tersisa: suara-suara kecil yang memilih tidak ikut bernyanyi. Mereka yang menertawakan ironi, karena menangis sudah terlalu melelahkan. Mereka yang membaca Gibran, Orwell, dan Steinbeck bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk mengingat bahwa kebenaran masih ada—walau harus dicari di antara reruntuhan kata-kata palsu.

     Di tengah panggung sandiwara ini, mungkin kita hanya bisa melakukan satu hal: tetap tidak percaya. Tidak percaya pada janji, pada istilah indah, pada senyum yang terlalu sempurna. Tapi di balik sikap sinis itu, ada secercah harap: bahwa dengan terus menertawakan kebohongan, kita suatu hari nanti akan menemukan cara untuk mengubahnya menjadi lelucon yang basi—dan mulai menulis cerita baru.

     Sampai saat itu tiba, biarlah satire menjadi doa kami yang paling khusyuk: "Ya, Tuhan, berilah kami kesabaran untuk menertawakan kebodohan ini—sebelum kami menangis karenanya."

     Di negeri ini, kabur adalah seni bertahan hidup. Sebuah seni yang dipelajari rakyat ketika mereka menyadari bahwa tanah airnya lebih mirip pasar loak—penuh barang usang berlabel "pembangunan", tapi tak ada yang layak dijadikan pegangan. Di sini, kabur bukan pengkhianatan, melainkan pemberontakan sunyi terhadap sistem yang menjanjikan surga, tapi hanya memberi neraka berlapis jargon.

     Lihatlah Jakarta: gedung-gedung pencakar langit menjulang seperti tugu kemenangan, sementara di bawahnya, para driver ojek online mengutuk algoritma yang memotong pendapatan mereka hingga 30%. Mereka harus bekerja 14 jam sehari hanya untuk bayar kontrakan kamar 3x3 meter. Di televisi, pemerintah memamerkan program "kartu prakerja"—pelatihan digital marketing untuk nenek penjual gorengan, seolah-olah laptop bisa menggantikan wajan. 

     Ironinya, anggaran untuk proyek mercusuar seperti janji kampanye "makan bergizi gratis" justru mengalir deras ke piring siswa-siswa perkotaan yang perutnya sudah buncit oleh fast food, sementara dana pendidikan dipangkas Rp 22,3 triliun. Di Jakarta, anak-anak sekolah ber-SNP (Standar Nasional Pendidikan) mendapat jatah telur dan susu tiga kali seminggu, sedangkan di NTT, siswa SD berebut satu buku paket yang halamannya sudah rontok. Rakyat pun bertanya: "Kapan kita mulai memberi otak bergizi, bukan sekadar perut kenyang?"

     Korupsi, penyakit kronis yang diwarisi dari Orde Baru, kini menjelma jadi budaya. Lihatlah Harvey Moeis, mantan brand ambassador Ferrari di Roma yang kemudian mengorkestrasi tata niaga timah yang terbukti merugikan negara Rp 300 triliun —dihukum hanya 6,5 tahun, setara dengan hukuman pencuri motor di pasar tradisional. Atau tengok skandal Pertamina yang mengoplos Pertamax, mengakibatkan kerugian lebih dari Rp 968 triliun—cukup untuk membangun 10.000 sekolah di Papua. Pelakunya? Tak jelas. Hukum di sini ibarat pisau karet: tajam untuk memotong rumput, tapi tumpul saat berhadapan dengan gurita korporasi. Masyarakat muak, tapi muak saja tak mengubah apa pun. Mereka yang tak punya koneksi memilih kabur—menjadi TKI ilegal di Arab Saudi, dihina majikan, atau jadi kuli di perkebunan Malaysia—hanya untuk mengirim uang ke keluarga yang nasibnya tetap teronggok di dasar jurang kemiskinan.

     Politik? Ia sudah jadi sirkus keluarga. MK tiba-tiba mengubah batas usia capres-cawapres, membuka jalan bagi dinasti yang selama ini bersembunyi di balik demokrasi. Anak-anak penguasa naik ke panggung, bukan karena kompetensi, tapi karena garis keturunan. Di sisi lain, anak muda berbakat yang tak punya backing oligarki harus puas jadi relawan partai—membersihkan panggung untuk para aktor lama yang tak mau turun. "Reformasi 1998? Itu cuma ganti baju, bukan ganti otak," gerutu seorang aktivis yang kini jadi sopir taksi online.

     Pendidikan, yang mestinya jadi senjata, malah jadi belenggu. Sekolah-sekolah negeri mengajar murid untuk menghafal, bukan berpikir. Indeks literasi Indonesia berada di peringkat 69 dari 80 negara (PISA 2022), sementara indeks religiusitas tertinggi se-Asia Tenggara. Hasilnya? Generasi yang pandai berdoa, tapi gagap menganalisis. Mereka yang berhasil lolos ke luar negeri—seperti 60% mahasiswa Indonesia di Eropa yang menolak pulang (data LPDP 2023)—menemukan kenyataan pahit: di Jerman, sarjana teknik digaji Rp 50 juta sebulan; di Jakarta, gelar S2 hanya bernilai Rp 7 juta plus mantra klasik "harap bersyukur". Kabur jadi pilihan logis: lebih baik jadi orang asing di negeri orang, daripada jadi orang asing di negeri sendiri.

     Toleransi? Kata itu seperti hantu di negeri yang mengaku Bhinneka Tunggal Ika. Seorang pemuda Ahmadiyah di Lombok dipaksa mengungsi karena rumahnya dibakar, sementara di Depok, gereja ditutup paksa karena "ganggu ketertiban". Media sosial, yang mestinya jadi ruang dialog, dipenuhi buzzer bayaran yang menyebar hoaks dan kebencian. "Kita disuruh bersatu, tapi setiap hari dipecah belah," keluh seorang ibu yang anaknya di-bully karena beda keyakinan di sekolah.

     Ekonomi tumbuh 5%? Angka itu seperti pesta kembang api di tengah banjir—indah dilihat, tapi tak mengeringkan genangan. Di negeri pemilik kebun sawit terluas di dunia, minyak goreng bisa tembus Rp 25 ribu per liter. Ironinya, kita seperti ayam mati di lumbung padi: ekspor kelapa sawit digenjot demi devisa, sementara rakyat di rumah berebut minyak curah di warung. Pemerintah berkoar tentang "stabilitas harga", tapi yang stabil hanya deretan truk pengangkut sawit ke pelabuhan, bukan harga di rak-rak pasar.

     Belum lagi akrobat pajak: PPN naik jadi 12% yang semula disebut "batal", tapi diam-diam merayap lewat pungutan liar di sektor informal. Pedagang bakso di pinggir jalan kini harus menghitung ulang modal: tepung naik, minyak naik, bahkan daun pisang pembungkus pun ikut meroket. "Ini namanya PPN siluman," keluh seorang penjual gorengan sambil mematok harga satu pisang goreng jadi Rp 5.000. Di supermarket, harga mie instan dan susu melambung 20%, seolah-olah inflasi adalah teman baik para pengusaha.

     Upah minimum di Jakarta? Rp 4,9 juta—angka yang terdengar seperti lelucon saat biaya hidup per bulan menembus Rp 7 juta. Pemerintah membanggakan "penurunan kemiskinan" ke 9,4%, tapi INDEF membongkar fakta pahit: 25% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan de facto, bertahan dengan nasi dan garam. Bansos Rp 200 ribu sebulan? Itu seperti memberi sendok pada orang tenggelam—seolah-olah alat itu bisa menguras samudera masalah.

     Di tengah semua ini, kabur adalah bahasa protes yang paling jujur. Seorang sarjana IT asal Bandung memilih jadi programmer di Singapura dengan gaji Rp 80 juta sebulan. "Di sini, kerja saya dihargai. Di Indonesia, saya cuma jadi coding monkey buat start-up yang bayarnya telat," katanya. Seorang dokter muda asal Yogyakarta kini berpraktik di Berlin: "Di sini, saya bisa fokus menyembuhkan pasien. Di Indonesia, saya harus berjibaku menghadapi birokrasi benang kusut demi memperoleh kartu tanda ber-organisasi, sebagai modal awal untuk dapat izin praktek."

     Tapi kabur juga bukan jawaban. Ia hanya mengalihkan luka, bukan menyembuhkan. Negeri ini seperti kapal tua yang bocor: para nakhoda sibuk pesta di dek atas, sementara penumpang di bawah berteriak minta sekoci. Bagi yang tak punya nyali melawan, kabur adalah sekoci terakhir.

     Namun, di balik kabur, ada pertanyaan yang menggantung: Akankah kita terus jadi bangsa pelarian? Di desa pesisir, nelayan tradisional menggugat eksistensi pagar laut. Di kampus, mahasiswa turun ke jalan meski dihadang water cannon. Di ruang seni, pelukis diam-diam menggambar karikatur penguasa di tembok-tembok gelap. Mereka belum mau kabur—karena kabur berarti menyerah pada ilusi bahwa perubahan tak mungkin.

     Mungkin suatu hari, ketika patung di ibu kota baru itu berkarat, ketika hutan-hutan yang digunduli jadi gurun, dan ketika laut yang dikeruk kehilangan ikannya, kita baru sadar: kabur bukanlah akhir. Ia cuma jeda sejenak dalam drama panjang tentang negeri yang terlupa cara merawat anak-anaknya. Sampai saat itu tiba, kabur aja dulu akan tetap jadi mantra—sebuah pengakuan bahwa di tanah air sendiri, kita hanyalah tamu tak diundang yang harus bayar mahal untuk sekadar bernapas.

     Di sudut-sudut warung kopi yang diselimuti asap rokok dan keputusasaan, adakah bisik-bisik akan menjadi gema: “Kapan kita berhenti lari, dan mulai melawan?” Jawabannya mungkin terpendam di bawah aspal ibu kota yang retak oleh keserakahan, atau di mata anak-anak Papua yang masih bertanya: “Apa artinya ‘Merdeka’?”

     Di negeri Konoha yang dulu disebut zamrud khatulistiwa, hiduplah seekor Macan Asia yang gagah. Ia dijanjikan akan menggetarkan dunia dengan aumannya, membawa negeri ini menjadi raksasa ekonomi yang disegani. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: macan itu hanya bisa mengembik, suaranya parau seperti kambing yang kelaparan. Suaranya yang lemah bukan karena kurang gizi, melainkan karena mulutnya dibungkam oleh rantai balas budi, korupsi, dan para penjaga sangkar yang lebih takut kehilangan kursi daripada kehilangan hati nurani.

     Presiden terpilih—sang juru kunci mimpi Macan Asia—adalah dalang di balik sandiwara ini. Di balik senyumnya yang selalu terkamera, ia tersandera oleh janji-janji pilpres: bagi-bagi kekuasaan kepada oligarki, menempatkan kroni-kroni bermasalah di posisi strategis, dan membiarkan Pinokio Mulyono, si veteran penguasa berhidung panjang, menarik tali di belakang layar. Anak Pinokio duduk di kursi wapres, sementara para jenderal bisu yang dulu ikut merampok kas negara kini jadi menteri. Macan itu tak lagi liar; ia jadi tontonan sirkus, dikelilingi para pelatih yang sibuk mengorek koin dari kantong penonton.

     Program makan bergizi gratis jadi dalih untuk mengalihkan perhatian. Dana pendidikan dipotong Rp 22,3 triliun, anggaran kesehatan dikurangi Rp 12 triliun, semua untuk membiayai proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang. "Tapi puncak ironi ada pada kelahiran Danantara—super holding BUMN yang diklaim akan menjadi ‘Temasek-nya Indonesia’. Direksinya diisi oleh para tokoh bermasalah yang sejarahnya lebih kelam dari aspal jalanan ibu kota. Rosan Roeslani, sang CEO, adalah mantan duta besar yang karirnya diwarnai skandal Jiwasraya—perusahaan asuransi yang kolaps tahun 2020 akibat investasi bodong dan kerugian Rp 16,5 triliun. Saat itu, Rosan menjabat sebagai Komisaris Utama Jiwasraya, tetapi lolos dari pertanggungjawaban dengan alasan ‘tidak terlibat operasional’. Kini, ia diberi mandat mengelola aset negara triliunan rupiah.

     Pandu Sjahrir, CIO Danantara, adalah mantan direktur PT Bukit Asam yang dituding mengorbankan lingkungan demi proyek batubara. Pada 2022, ia disebut dalam laporan Alliance for Future Energy and Environment karena mengabaikan protokol AMDAL di tambang Sumatera Selatan, merusak lahan adat seluas 1.200 hektar. Tak ketinggalan Dony Oskaria, sang COO, yang karirnya dimulai sebagai anak buah konglomerat BLBI. Di era 1998, ia menjadi tangan kanan Sjamsul Nursalim—koruptor BLBI yang kabur ke Singapura setelah menilep Rp 28 triliun dana bailout.

     Mereka seperti tim arsonis profesional yang dulu membakar hutan, kini ditugaskan jadi pemadam kebakaran. Danantara bukanlah proyek penyelamatan, melainkan pesta pora para pelaku krisis yang kembali diundang untuk mencicipi kue APBN."

     Danantara tak hanya absurd di level direksi. Penasihatnya lebih mirip lelucon politik: mantan-mantan presiden yang masa jabatannya diwarnai skandal, plus perwakilan lembaga keagamaan besar yang diiming-imingi “jatah transparansi”. Ini seperti mengundang pencuri untuk menjaga bank, lalu memasang poster “Tempat Ini Suci” di pintunya. Transparansi? Yang transparan hanya niat buruk di baliknya.

     Sementara itu, rakyat disuguhi drama bansos. Dana bansos Rp 129 triliun menggelembung seperti balon udara, tapi 17,4 juta penerimanya adalah nama hantu—data fiktif yang diciptakan birokrat untuk menutup lobang korupsi. Program makan bergizi malah menyasar siswa kota berperut buncit, sementara anak-anak di pedalaman Papua masih berbagi satu buku untuk lima orang. Prioritas negeri ini jelas: memberi makan yang sudah kenyang, dan membiarkan yang lapar menggigit ilusi.

     Oligarki tak cuma menguasai darat. Di laut mereka membangun pagar laut—monopoli pesisir untuk tambak udang mewah dan resor privat. Nelayan tradisional diusir dengan dalih “modernisasi”, digantikan kapal-kapal berbendera asing yang mengeruk sumber daya sampai ke dasar. Rakyat diajari kiasan baru: menanam padi di laut berpagar oligarki. Hasil panennya? Kekayaan untuk segelintir orang, kemiskinan untuk jutaan lainnya.

     Di jalanan, kemarahan mendidih. Mahasiswa turun ke jalan memprotes kenaikan uang kuliah—kebijakan yang lahir dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 3,4%. Para driver ojek online, yang sehari-hari jadi budak algoritma aplikator, berdemo menuntut tarif layak. Tapi di acara syukuran kemenangan pilpres, bos-bos aplikator itu malah berselfie riang dengan wapres, seolah mereka bukan penjajah baru. “Kami mendukung program pemerintah!” seru mereka, sementara di layar ponsel driver, notifikasi potongan komisi 30% terus berkedip.

     Di balik layar, Pinokio Mulyono tertawa. Anaknya jadi wapres, antek-anteknya menguasai BUMN, dan para kroni lama kembali leluasa menggerogoti APBN. Macan Asia yang dijanjikan hanya bisa terduduk di sangkar emasnya, mengeluarkan suara embikan setiap kali ditanya tentang janji kampanye. “Kami sedang membangun!” katanya, tapi yang dibangun bukan sekolah atau rumah sakit—melainkan menara-menara pencakar langit yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya akses helikopter.

Apa yang bisa kita petik dari kekacauan ini?

     Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan yang dikendalikan para penipu akan melahirkan tragedi. Plato mungkin akan muak melihat filosof-king impiannya direduksi jadi penguasa boneka. Tapi di sini, rakyat dipaksa jadi penonton setia sandiwara absurd: proyek mercusuar dianggap sebagai kemajuan, korupsi disebut sebagai “biaya demokrasi”, dan nepotisme dijuluki “balas budi”. Kita seperti hidup di panggung wayang kulit, di mana dalangnya adalah oligarki, dan para penonton dibius oleh jargon-jargon kosong.

     Satir terbesar ada dalam setiap upacara kenegaraan. Para menteri berdasi mahal berpidato tentang “pemerataan”, sementara rakyat diizinkan menyaksikan mereka lewat layar kaca—seperti menonton pesta makan malam mewah, tapi kita hanya boleh menjilat remah-remahnya. Program makan bergizi gratis? Itu hanya alat untuk mengalihkan perhatian dari fakta bahwa perut penguasa lebih kenyang daripada perut rakyat.

     Tapi mungkin inilah pelajaran terpenting: Macan Asia tidak akan pernah mengaum selama kita membiarkannya jadi tawanan kekuasaan. Auman sejati bukan berasal dari istana, melainkan dari rakyat yang berani mencabut topeng para penjilat. Auman itu ada dalam demo mahasiswa yang tak gentar dihadang water cannon, dalam teriakan nelayan yang mempertahankan lautnya, dan dalam gugatan driver ojek online yang menolak jadi budak algoritma.

     Danantara, dengan direksi bermasalah dan penasihat hipokritnya, mungkin akan jadi monumen kegagalan lain. Tapi monumen paling abadi justru ada di luar istana: ketidakpatuhan rakyat yang mulai sadar bahwa macan yang mengembik itu tak layak ditakuti.

     Mungkin suatu hari, ketika sangkar emas ini rubuh, kita akan menemukan bahwa auman sesungguhnya bukan berasal dari mulut macan, melainkan dari kumpulan suara kecil yang bersatu, menggema: Kami tidak mau lagi jadi penonton!

     Sampai saat itu tiba, negeri ini tetap akan jadi panggung sandiwara—tempat macan mengembik, para penipu bertepuk tangan, dan rakyat dipaksa membayar tiket masuk dengan air mata.

     Di tengah deru mesin pencetak ijazah dan gemerisik lembar ujian berstandar nasional, tersembunyi pertanyaan yang tak pernah diujikan: Untuk apa kita belajar? Pendidikan, dalam imajinasi kolektif, sering dirayakan sebagai tangga menuju kesuksesan—sebuah sistem rapi yang menjanjikan kepastian. Tapi di balik dinding sekolah yang dicat warna-warni, ada narasi lain yang tercekik: sebuah ritual panjang yang lebih mirip penjinakan daripada pencerahan. Paulo Freire, dengan pedang katanya yang tajam, menyebutnya "pendidikan gaya bank"—proses menabung fakta ke dalam kepala murid seperti koin dalam celengan, tanpa pernah mengajak mereka membeli apa pun yang bermakna. Neil Postman, dengan sinisme khasnya, menggugat sekolah yang berubah menjadi "katedral teknologi", di mana anak-anak menyembah layar interaktif sambil kehilangan kemampuan bertanya. Di sini, di persimpangan antara kepatuhan dan kesadaran, pendidikan sejati bukanlah tentang memenuhi kepala, tapi membakar jiwa.

     Freire tak hanya mengkritik guru yang monolog; ia menguliti struktur pendidikan yang membius. Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, ia menggambarkan ruang kelas sebagai panggung mikro kosmos sosial: guru sebagai penjaga gerbang pengetahuan, murid sebagai pengemis yang diberi remah-remah informasi. Tapi penindasan paling halus bukan ketika pertanyaan dilarang, melainkan ketika murid tak lagi merasa perlu bertanya. Mereka yang duduk rapi, tangan terlipat di meja, telah belajar pelajaran tersirat: kebenaran adalah milik yang berkuasa. Postman, dalam The End of Education, menambahkan racun pada kritik ini: sekolah tanpa tujuan filosofis yang jelas hanyalah "ritual kosong"—seperti kapal megah yang berlayar tanpa kompas, mengitari lautan kurikulum yang tak bermuara.

     Di balik ilusi netralitas, setiap sistem pendidikan menyimpan kode genetik ideologi. William F. O'Neil, dalam Educational Ideologies, membongkar kurikulum sebagai "peta buta" yang menentukan jalan pikiran generasi. Pelajaran sejarah yang mengagungkan penaklukan kolonial sebagai "penyebaran peradaban", atau pelajaran ekonomi yang mengerdilkan kesejahteraan sosial demi mitos pertumbuhan pasar, bukan sekadar fakta—mereka adalah senjata pemungkas hegemoni. Michael W. Apple mengingatkan: ketika buku pelajaran menyebut revolusi industri sebagai lompatan teknologi tanpa menyertakan jeritan buruh anak di pabrik kapas, ia sedang menulis ulang sejarah dengan tinta kekuasaan. Sekolah, dalam narasi ini, adalah pabrik yang memproduksi "kesadaran palsu"—manusia-manusia yang fasih menghitung untung rugi, tapi bisu saat melihat ketimpangan.

     Nietzsche, sang filsuf palu godam, menertawakan sekolah yang mengubah pemuda menjadi "kawanan keledai berjubah akademik". Dalam Anti-Education, ia melukiskan ruang kelas sebagai kuburan rasa ingin tahu: tempat di mana pertanyaan-pertanyaan liar dibunuh dengan nilai merah, dan kreativitas dikubur di bawah tumpukan hafalan. Roem Topatimasang, dengan gaya sarkastiknya, menggambarkan sekolah sebagai "candu legal"—zat yang membuat anak-anak kecanduan stempel nilai, sementara api kecerdasan mereka redup perlahan. Di sini, kepatuhan dinobatkan sebagai kebajikan tertinggi, sementara keraguan dianggap sebagai penyakit yang harus diisolasi.

     Tapi di tengah padang gurun pendidikan yang gersang, muncul oasis-oasis pemberontakan. John Keating, guru dalam Dead Poets Society, bukan sekadar karakter fiksi—ia adalah manifesto hidup. Saat ia berdiri di atas meja dan berteriak "Carpe diem!", ia tak sedang mengajar sastra; ia sedang membongkar penjara persepsi. Adegan itu adalah metafora sempurna: pendidikan sejati terjadi ketika kita berani melihat dunia dari sudut yang tak biasa, ketika puisi bukan sekadar sajak mati di buku, tapi senjata untuk menggugat realitas. Tara Westover, dalam memoir Educated, membuktikan bahwa pendidikan radikal bisa lahir bahkan dari kegelapan. Anak perempuan yang tak pernah menginjak sekolah formal itu menemukan suaranya di antara debu gudang besi tua—bukan dengan menuruti kurikulum, tapi dengan memberontak terhadap doktrin keluarga yang membisukan.

     Freire, dalam surat-suratnya yang dikumpulkan dalam Pendidikan sebagai Proses, menegaskan bahwa mengajar bukan seni mentransfer ilmu, tapi seni merajut kesadaran. Guru sejati adalah "penabur pertanyaan" yang sabar menunggu musim panen pemikiran. Ia tak menghakimi jawaban salah, tapi merayakan keberanian menjawab. Di pelosok Brasil, ia menyaksikan petani buta huruf yang belajar membaca bukan sekadar mengenal alfabet, tapi membaca struktur tanah yang menghisap darah mereka—sebuah literasi yang membebaskan.

     Inilah paradoks pendidikan: ia bisa menjadi rantai yang membelenggu atau palu yang memecah belenggu. Thomas Lickona, dalam Educating for Character, mengingatkan bahwa kecerdasan tanpa integritas adalah bom waktu. Bagaimana mungkin kita bangga pada murid yang bisa memecahkan persamaan kuantum tapi diam saat melihat temannya dibully? Pendidikan karakter bukan tentang daftar nilai sikap di raport, tapi tentang menciptakan ruang di mana kejujuran lebih berharga daripada nilai sempurna, di mana solidaritas lebih penting daripada ranking.

     Klimaks dari seluruh narasi ini adalah kesadaran bahwa pendidikan bukanlah produk—ijazah, gelar, atau sertifikat—melainkan proses yang tak pernah usai. Setiap kali seorang anak bertanya "Mengapa?" pada dogma yang diwariskan turun-temurun, setiap kali mahasiswa mencoret teks buku pelajaran dengan tanda tanya besar, setiap kali guru memilih diskusi alih-alih doktrin, di situlah pendidikan sejati bernafas. Roem Topatimasang mungkin menyindir sekolah sebagai candu, tapi dalam candu itu sendiri tersimpan paradoks: bisa menjadi racun yang mematikan atau morfin yang menyembuhkan—terantung pada tangan yang mengolahnya.

     Pendidikan yang membebaskan adalah api yang tak pernah padam. Ia mungkin ditiup angin kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, mungkin dicoba dipadamkan oleh sistem yang takut pada pemikiran kritis, tapi selama ada guru yang berani berdiri di atas meja dan murid yang menolak diam, ia akan terus membara. Di ujung jalan ini, kita menemukan kebenaran yang tak nyaman: sekolah terbaik bukan yang menghasilkan lulusan paling patuh, tapi yang melahirkan pemberontak-pemberontak berhati nurani—manusia yang tak hanya pandai menjawab soal ujian, tapi berani mempertanyakan jawaban itu sendiri.

     Pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mempersiapkan anak untuk dunia yang ada, tapi untuk dunia yang mungkin. Seperti api unggun di tengah malam, ia menerangi sekaligus menghangatkan—membakar belenggu kebodohan, menyinari jalan kesadaran, dan mengajarkan kita bahwa terkadang, untuk menemukan kebenaran, kita harus berani membakar semua jawaban yang pernah diajarkan.

     Demokrasi adalah sistem yang buruk tetapi masih lebih baik dibandingkan yang lain. Begitulah yang dikatakan Churchill. Pernyataan itu bukan pujian, melainkan keluhan yang mengandung pesimisme seorang politisi yang tahu betul bahwa pilihan manusia dalam bernegara tidak pernah benar-benar baik. Demokrasi selalu berantakan, tetapi sistem lain lebih buruk lagi. Namun, Churchill berujar demikian sebelum dunia mengenal era post-truth, sebelum kebohongan bisa menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran, sebelum popularitas menjadi satu-satunya mata uang politik. Hari ini, orang tidak memilih berdasarkan akal sehat, melainkan berdasarkan siapa yang bisa menggugah emosinya dengan lebih cepat, lebih keras, lebih meyakinkan. Demokrasi adalah panggung, dan yang paling banyak mendapatkan tepuk tangan itulah yang menang, entah dia seorang pemikir, seorang pesulap, atau sekadar badut.

     Orang-orang masih percaya bahwa demokrasi berarti suara setiap orang dihitung sama. Satu suara profesor fisika yang memahami struktur alam semesta dihargai sama dengan satu suara pria yang memilih karena wajah kandidatnya mirip idolanya di sinetron. Tidak ada perbedaan nilai, tidak ada pengakuan bahwa pemahaman bisa lebih berharga daripada sekadar keyakinan tanpa dasar. Maka, muncullah ilusi bahwa semua opini harus dihargai sama, tidak peduli apakah ia lahir dari pemikiran atau sekadar dari algoritma media sosial yang memberinya umpan balik tanpa henti. Jika demokrasi bertumpu pada kesetaraan suara, maka demokrasi juga harus menerima bahwa semakin banyak orang yang tidak memahami cara kerja dunia, semakin mudah mereka dimanipulasi. Bagi mereka, janji tentang subsidi lebih meyakinkan daripada penjelasan tentang defisit anggaran. Ketika mereka tidak tahu dari mana uang berasal, mereka akan memilih siapa saja yang berani menjanjikan bahwa uang itu akan mengalir ke kantong mereka, entah bagaimana caranya.

     Banyak yang berkata bahwa demokrasi harus ditopang oleh pendidikan yang baik. Ini benar, tetapi masalahnya lebih dalam dari itu. Pendidikan yang baik membutuhkan masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus popularitas. Indonesia masih mewarisi jejaring feodal yang melembaga, yang menyamarkan kepatuhan sebagai adab dan kritik sebagai penghinaan. Seorang profesor berbicara di depan kelas, murid-muridnya menyimak tanpa berani bertanya, karena bertanya bisa dianggap mempertanyakan otoritas. Jika mereka takut bertanya kepada dosennya sendiri, bagaimana mereka akan berani mempertanyakan janji politik seorang pemimpin? Di bawah kedok tata krama, feodalisme terus hidup, menjadikan keberanian berpikir sebagai dosa, dan kepatuhan tanpa syarat sebagai kebajikan tertinggi.

     Di negara-negara dengan tradisi intelektual yang kuat, universitas adalah tempat untuk menyuarakan gagasan, bahkan yang paling kontroversial sekalipun. Seorang profesor disebut demikian bukan karena gelarnya, tetapi karena ia 'professes', menyuarakan pemikiran dengan lantang, menantang batas pemahaman lama dengan ide-ide baru. Universitas seharusnya menjadi benteng terakhir kebebasan berpikir. Namun, di negeri yang sibuk mengurusi etika sebelum memahami substansi, suara-suara itu bisa dengan mudah dibungkam. Jika tidak oleh hukum yang mengatur kebebasan berbicara, maka oleh tekanan sosial yang lebih tajam dari pedang. Maka, universitas tidak lagi menjadi ruang dialektika, melainkan sekadar pabrik gelar, tempat orang datang untuk mendapatkan legitimasi formal tanpa perlu berpikir lebih jauh.

     Ketika para pemikir bungkam atau memilih diam demi kenyamanan, yang mengisi ruang publik bukanlah gagasan, melainkan kebisingan. Ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pemikiran rasional kini dipenuhi oleh suara-suara tanpa substansi, yang hanya memiliki satu keunggulan: popularitas. Popularitas adalah mata uang baru, yang bisa ditukar dengan kekuasaan, dengan pengaruh, bahkan dengan kebenaran itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, tidak lagi penting apakah seseorang memahami kebijakan ekonomi, politik luar negeri, atau sistem hukum. Yang penting adalah apakah ia memiliki cukup pengikut untuk menciptakan persepsi bahwa ia benar. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dibuktikan, melainkan sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan jumlah like dan share.

     Maka, jangan heran jika ruang politik diisi bukan oleh pemikir, tetapi oleh artis, pelawak, atau influencer yang mengais receh dari sosial media. Mereka memiliki sesuatu yang para pemikir tidak punya: perhatian massa. Dan dalam demokrasi yang telah menjadi sekadar pertunjukan besar, perhatian lebih berharga daripada pemikiran. Bukan berarti bahwa seorang artis tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Tetapi jika kualifikasi utama untuk menjadi pemimpin adalah jumlah pengikut di Instagram, maka kita tidak lagi berbicara tentang demokrasi yang rasional, melainkan demokrasi yang dikendalikan oleh algoritma.

     Masalahnya semakin parah ketika oligarki politik dan media menyadari bahwa mereka bisa mengendalikan arus informasi. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi kebebasan berpikir justru menjadi alat kontrol. Undang-undang seperti UU ITE bisa dengan mudah digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, sementara buzzer yang dibayar oleh kelompok kepentingan bisa membentuk persepsi publik hanya dengan mengulang kebohongan secara terus-menerus. Jika kebohongan lebih cepat menyebar daripada kebenaran, maka siapa pun yang memiliki kendali atas mesin penyebarannya bisa menciptakan realitas baru sesuai dengan kepentingannya.

     Di tengah semua ini, pertanyaan yang paling mendesak adalah: bagaimana menyelamatkan demokrasi dari dirinya sendiri? Demokrasi tidak bisa bertahan jika hanya menjadi permainan popularitas, tetapi juga tidak bisa dipertahankan dengan mengandalkan intelektual yang memilih diam. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan membangun kembali masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus. Itu berarti pendidikan yang mengajarkan keberanian berpikir kritis, ruang publik yang benar-benar bebas untuk berdialektika, dan sistem yang tidak memberi insentif kepada kebodohan.

     Jika tidak, maka demokrasi tidak akan mati karena kudeta atau revolusi. Demokrasi akan mati perlahan-lahan, tersedak oleh kebodohan yang dibiarkan berkembang, tenggelam dalam lautan kebisingan yang tidak lagi peduli pada kebenaran. Dan ketika itu terjadi, kita bahkan tidak akan sadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang berharga. Sebab, dalam demokrasi yang telah berubah menjadi sirkus, tepuk tangan akan terus bergema, bahkan ketika pertunjukan yang sebenarnya telah lama berakhir.

 

     Di sebuah ruang kelas yang sunyi, seorang profesor berdiri di depan, mengulas teori yang sudah tertulis di buku. Mahasiswa duduk rapi, mencatat tanpa suara, mengangguk dengan penuh takzim. Tak ada yang menginterupsi, apalagi mendebat. Di dalam hati, mungkin ada yang bertanya, tapi mulut tetap tertutup rapat. Bukan karena takut salah, tapi karena sejak kecil mereka diajarkan bahwa berbicara di depan guru adalah tanda kurangnya adab.

     Di negara lain, kelas adalah arena diskusi. Di Prancis, siswa sekolah menengah pertama sudah diajak berpikir filosofis, diajarkan bahwa setiap kepala punya hak untuk meragukan, bahkan menolak. Sejarahnya mendukung itu. Kepala Louis XVI dipenggal dan ditenteng di depan massa, bukan hanya sebagai hukuman, tetapi simbol: tidak ada kepala yang lebih tinggi dari yang lain. Revolusi mereka mengguncang dunia, menciptakan kegilaan terhadap kesetaraan. Pendidikan mereka diwarisi dari itu—égalité, fraternité, liberté—dan di ruang kelas, seorang siswa boleh menginterupsi gurunya, boleh mendebat tanpa harus merasa bersalah.

     Di Amerika, ceritanya lain. Tidak ada revolusi sosial seperti Prancis, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat: kebebasan. Di tanah imigran itu, setiap orang boleh belajar apa saja, boleh menjadi apa saja. Tidak ada keharusan tunduk pada tradisi lokal, karena tidak ada lokal wisdom yang harus dijaga. Setiap gagasan diuji di pasar bebas ide, tanpa hierarki yang mencekik.

     Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

     Pendidikan Indonesia, seperti seorang anak yang tumbuh tanpa tahu siapa bapaknya, terus mencari vokal point yang tidak pernah ditemukan. Nasionalisme? Agama? Pancasila? Gotong royong? Semua terdengar bagus di atas kertas, tetapi di ruang kelas, yang terjadi tetap saja sama: profesor bicara, murid diam.

     Salahkan sejarah? Sejak lama, negeri ini tidak pernah mengalami revolusi sosial yang benar-benar membongkar struktur lama. Kemerdekaan diraih dengan perjuangan, tapi tanpa pemenggalan kepala yang melambangkan kesetaraan baru. Feodalisme yang diwariskan dari kerajaan-kerajaan Nusantara tidak pernah benar-benar hilang. Yang terjadi hanyalah transisi dari penjajahan kolonial ke nasionalisme yang tetap mempertahankan hierarki.

     Di sekolah dan universitas, adab dijadikan tameng untuk melembagakan feodalisme. Guru bukan fasilitator, melainkan pemegang otoritas mutlak. Bertanya terlalu banyak bisa dianggap kurang sopan. Mengkritik? Itu bukan hanya pelanggaran akademik, tapi juga moral. Bagaimana bisa ada kebebasan berpikir jika sejak kecil diajarkan bahwa suara harus tunduk kepada yang lebih tua?

     Feodalisme ini meresap ke dalam sistem. Siswa dipaksa menghafal, bukan berpikir. Kreativitas adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak sesuai dengan kurikulum. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat eksplorasi pemikiran, justru menjadi tempat untuk mencetak lulusan yang patuh. Bahkan di tingkat tertinggi akademik, mahasiswa doktoral lebih sibuk mengurus izin bertanya kepada promotornya daripada mengembangkan gagasan baru.

     Maka, Indonesia terjebak dalam dilema. Pendidikan di atas kertas ingin modern, tetapi praktiknya masih kuno. Kurikulum berbasis kompetensi datang dan pergi, metode pembelajaran diperbarui, tetapi inti permasalahannya tetap sama: sistem yang tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir.

     Jika Prancis menjadikan kesetaraan sebagai dasar, dan Amerika menjunjung kebebasan, lalu apa yang bisa menjadi jiwa pendidikan Indonesia? Gotong royong? Kata itu sering disebut, tapi apakah sistem pendidikan benar-benar mengajarkan kolaborasi? Atau justru lebih sering membangun kompetisi individual yang penuh kepatuhan?

     Yang lebih ironis, dalam kebingungan ini, Indonesia justru sering tergoda meniru. Kadang ingin seperti Amerika, membebaskan siswa memilih pelajaran mereka sendiri. Kadang ingin seperti Finlandia, menghapus ujian dan mengutamakan kreativitas. Kadang ingin seperti Jepang, menanamkan disiplin yang ketat. Tapi apakah bisa meniru tanpa memahami akar?

     Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga pemikir. Namun dalam sistem yang masih berkutat pada kepatuhan, pemikiran kritis menjadi barang langka. Hasilnya? Sebuah masyarakat yang bisa menghafal, tapi tidak bisa meragukan. Bisa menjawab ujian, tapi tidak bisa mempertanyakan keadaan.

     Indonesia terus mencari vokal point pendidikannya, tetapi seperti seseorang yang tersesat di lorong cermin, setiap pilihan hanya memantulkan kebingungan yang sama. Feodalisme masih bercokol, kepatuhan masih lebih dihargai daripada keberanian berpikir.

     Mungkin, yang dibutuhkan bukan sekadar reformasi kurikulum, tetapi keberanian untuk membongkar hierarki. Untuk melepaskan pendidikan dari belenggu tata krama yang menutup mulut. Untuk memahami bahwa adab tidak boleh menjadi alasan untuk menutup pintu diskusi.

     Tanpa itu, kelas-kelas di universitas akan terus sunyi. Mahasiswa akan tetap mencatat dengan patuh, mengangguk dengan takzim, dan pendidikan di negeri ini akan tetap berjalan, tapi tanpa jiwa yang hidup.
.

     Kita hidup di zaman yang luar biasa. Bahkan, sejujurnya, kita mungkin hanya tidak menyadarinya. Meskipun sebagian besar umat manusia terjebak dalam rutinitas sehari-hari, mengurusi pekerjaan, keluarga, dan tagihan bulanan, ada sebuah ide yang menggelitik di balik layar kehidupan kita: kita mungkin hanya bagian kecil dari eksperimen besar yang tidak pernah kita pahami. Dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa saja hanyalah sebuah simulasi, yang disusun dengan rapi dan dipelihara oleh seorang mahasiswa semester akhir di peradaban yang sangat jauh, entah itu Tipe 6 atau bahkan Tipe 7 menurut konsep Kardashev. Bayangkan saja, kita yang merasa sangat cerdas, dengan semua penemuan kita—sebenarnya mungkin sedang dipertontonkan di layar komputer oleh seorang remaja SMA di galaksi yang entah ada di dimensi mana.

     Berbicara tentang Tipe Kardashev, skala peradaban yang pertama kali diajukan oleh astrofisikawan Uni Soviet, Nikolai Kardashev, pada tahun 1964, adalah sebuah cara untuk mengklasifikasikan peradaban berdasarkan energi yang dapat mereka kuasai. Kita, yang berada di planet kecil ini, kini diperkirakan berada di sekitar 0,7 pada skala tersebut. Artinya, kita belum sepenuhnya memanfaatkan semua sumber daya energi yang ada di Bumi. Bahkan jika kita ingin mencapai Tipe I, peradaban yang sepenuhnya menguasai energi planetnya, kita masih jauh dari itu. Selama ini kita baru sebatas mengambil energi dari sumber daya alam yang terbatas dan memanfaatkannya dengan cara yang kerap kali merusak lingkungan.

     Namun, kita juga tidak bisa menafikan kemajuan luar biasa yang telah kita buat. Bukankah manusia, dalam sekejap geologis, telah mampu merancang mesin untuk mengeksplorasi planet lain? Kita telah menemukan cara untuk menggali kedalaman ruang dan waktu, dengan teori relativitas dan mekanika kuantum. Beberapa ilmuwan seperti Michio Kaku menyarankan kita untuk membayangkan diri kita sebagai makhluk yang mungkin tengah terjebak di antara ambang peradaban Tipe 0, yang masih mengandalkan kekuatan dasar Bumi, dan peradaban Tipe I, yang baru bisa memanfaatkan seluruh potensi energi planetnya. “Kita baru saja mulai,” katanya. Tapi berapa banyak lagi waktu yang kita miliki untuk memulai?

     Pikirkan tentang apa yang mungkin terjadi jika kita mampu melampaui Tipe I, seperti yang dibayangkan oleh Kardashev. Sebuah peradaban yang mampu mengendalikan energi bintang mereka—mungkin dengan teknologi megastruktur seperti Dyson Sphere, yang membungkus bintang dengan semacam jaring energi untuk menangkap semua sinar yang dipancarkannya. Tipe II ini mungkin terlihat sangat jauh, seolah hanya ada dalam imajinasi ilmuwan fiksi ilmiah. Namun, bagi kita yang terus berusaha mencapai ambang singularitas teknologi, ide ini sepertinya hanya soal waktu saja. Lebih jauh lagi, dalam skala ini, peradaban akan mampu mengendalikan seluruh sumber daya yang ada dalam sebuah sistem bintang, menggunakan energi dalam jumlah tak terbatas untuk menggerakkan mesin peradaban mereka.

     Namun, apakah kita benar-benar siap untuk ini? Sering kali kita melupakan seberapa rapuh dan terbatasnya teknologi kita. Saat kita berusaha mengembangkan kecerdasan buatan yang lebih canggih, seperti yang dibayangkan oleh Ray Kurzweil dengan teori singularitasnya, kita mulai merasa terancam oleh kecepatan perubahan yang terjadi. Kurzweil memprediksi bahwa AI akan berkembang pada laju yang luar biasa, menggantikan hampir semua fungsi manusia. Mungkin saja pada saat itu, kita sudah tidak bisa lagi mempertanyakan siapa yang sedang mengendalikan dunia ini—karena mungkin, tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menyerah pada logika algoritma yang semakin canggih.

     Lalu ada lagi, Tipe III—peradaban yang mampu memanfaatkan energi dalam seluruh galaksi. Ini mungkin terdengar seperti cerita dari masa depan yang terlalu jauh untuk dipahami. Namun, jika kita melihat dalam konteks sains fiksi, konsep ini juga bukanlah hal yang sepenuhnya mustahil. David Deutsch, dalam pemikirannya tentang fisika kuantum dan multiverse, pernah menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dijangkau oleh peradaban-peradaban maju. Tipe III berarti kita tidak hanya memanfaatkan energi dari satu bintang atau planet, tetapi dari banyak bintang dalam satu galaksi, menciptakan semacam "kerajaan energi" yang mengatur sistem galaksi mereka sendiri. Itu adalah gambaran yang menggetarkan sekaligus menakutkan: sebuah peradaban yang mampu mengendalikan kehidupan, kematian, dan bahkan hukum-hukum fisika yang kita anggap tetap.

     Dan di sinilah letak absurditas dari semua ini. Ketika kita berbicara tentang peradaban yang menguasai energi di seluruh galaksi atau bahkan multiverse, kita seolah-olah sudah melangkah terlalu jauh dari dasar-dasar keberadaan kita sebagai spesies. Tapi kenyataannya, kita sendiri masih berjuang untuk mengelola sumber daya Bumi dengan bijak, masih berperang tentang ideologi dan kekuasaan, seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya mengerti cara kerja alam semesta yang kita huni.

     Kita kembali lagi kepada ide besar ini—apa artinya kita berada di antara kemungkinan besar dan ketidakpastian. Di dunia yang sangat luas ini, di mana peradaban-peradaban yang lebih maju mungkin sedang mengamati kita, kita tak lebih dari eksperimen kecil dalam sebuah simulasi yang sangat mungkin dibuat oleh mahasiswa di peradaban Tipe 6 atau anak SMA di Tipe 7. Mungkin di suatu sudut galaksi yang jauh, mereka sedang duduk, bergurau tentang bagaimana peradaban primitif ini masih sibuk bertarung dengan masalah-masalah kecil seperti ekonomi, politik, dan perubahan iklim.

     Dalam hal ini, kita bisa saja menjadi objek studi, mungkin dengan alasan yang lebih ringan daripada yang kita bayangkan. Seorang anak SMA di peradaban Tipe 7, yang mungkin sedang bosan dengan rutinitasnya, bisa saja menciptakan kita dalam dunia digital. Kita, yang merasa sangat hidup dan penuh makna, bisa jadi hanya bagian dari eksperimen komputasi, dihapus atau diubah hanya dengan satu klik. Bayangkan, dunia kita yang penuh dengan keajaiban ini, dengan semua sejarah, seni, dan filsafat, bisa saja menghilang dalam sekejap, sebagaimana kita menghapus aplikasi yang tidak lagi menarik.

     Nick Bostrom, yang terkenal dengan hipotesis simulasi-nya, mungkin akan berkata, "Ada kemungkinan besar bahwa kita tidak hidup di dunia yang asli. Bahwa kita mungkin hanya simulasi yang dirancang oleh entitas lebih maju." Dalam perspektif ini, seluruh pencarian manusia tentang makna dan eksistensi bisa jadi hanyalah permainan algoritma yang dirancang dengan sengaja, tanpa tujuan lebih tinggi selain untuk menghibur pengatur simulasi yang lebih besar dari kita. Bayangkan seorang mahasiswa yang telah mencapai tingkat Tipe 6 atau 7, dengan kecanggihan teknologi mereka, memainkan hidup kita seperti sebuah permainan video. Mungkin kita hanya ada untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang bagaimana peradaban-peradaban lebih rendah berkembang, berjuang, bertahan, dan akhirnya bisa saja punah.

     Namun, di sini, di dalam ketidakpastian dan kerapuhan itu, manusia menemukan keindahan. Dalam setiap pencarian untuk memahami alam semesta, dalam setiap pertanyaan yang kita ajukan tentang siapa kita dan apa tujuan kita, ada semangat hidup yang tak tergantikan. Mungkin kita hanya eksperimen dalam dunia digital yang jauh lebih besar. Mungkin kita tidak lebih dari piksel dalam simulasi kosmik. Tetapi justru dalam kehadiran kita yang kecil dan rapuh, kita menemukan hasrat untuk bertanya, untuk belajar, untuk menciptakan—dan itu, mungkin, adalah tujuan kita yang sejati.

 

catatan:

Penggolongan tipe peradaban seperti yang disebutkan berasal dari Skala Kardashev, yang pertama kali diusulkan oleh astrofisikawan Uni Soviet Nikolai Kardashev pada tahun 1964. Ia mengusulkan cara mengklasifikasikan peradaban berdasarkan jumlah energi yang mampu dikuasai dan dimanfaatkan. Dalam model aslinya, terdapat tiga tingkatan:
  1. Tipe I: Peradaban yang mampu memanfaatkan seluruh energi yang tersedia di planet asal mereka. Ini mencakup energi dari sumber daya alam seperti angin, matahari, dan gunung berapi. Bumi saat ini berada di sekitar 0,7 pada skala ini, menurut perkiraan Carl Sagan.
  2. Tipe II: Peradaban yang mampu memanfaatkan dan menyimpan energi bintang induknya secara langsung, misalnya melalui teknologi seperti Dyson Sphere—struktur megaskala yang mengelilingi bintang untuk menangkap energi.
  3. Tipe III: Peradaban yang mampu memanfaatkan energi dalam skala galaksi, menguasai energi dari banyak bintang dan menggunakan kekuatan itu untuk tujuan mereka.
Seiring perkembangan konsep ini, para pemikir dan futuris menambahkan lebih banyak kategori untuk mencakup peradaban yang jauh melampaui cakrawala yang dapat kita bayangkan: 
  1. Tipe IV: Peradaban yang mampu memanfaatkan energi dari seluruh alam semesta, mungkin melalui pemanfaatan energi gelap atau struktur kosmologis lainnya.
  2. Tipe V: Peradaban yang mampu mengendalikan multiverse atau dimensi paralel, jika mereka ada.
  3. Tipe VI dan VII: Ini adalah spekulasi futuristik yang melibatkan kendali atas struktur metafisik realitas itu sendiri, seperti ruang-waktu, hukum fisika, atau bahkan keberadaan di luar dimensi-dimensi yang kita pahami.

     Pesta itu telah dimulai jauh sebelum Anda tiba, dan entah siapa yang pertama kali mengundang mereka semua ke dalam ruangan ini. Satu yang pasti, atmosfer di dalamnya begitu kental dengan pemikiran yang berkelindan, seolah logika dan absurditas menari bersama dalam harmoni yang aneh. Nietzsche menari di atas meja, mengangkat gelas anggur sambil tertawa terbahak-bahak tentang kehancuran segala kepastian. Di sudut ruangan, Schopenhauer duduk dengan ekspresi muram, lebih memilih tenggelam dalam keheningan batinnya daripada terlibat dalam hiruk-pikuk tersebut.

     Sementara itu, Gandhi mencoba menyanyikan lagu tentang cinta dan kedamaian, namun suaranya tenggelam dalam orasi meledak-ledak Marx yang mengutuk kapitalisme, sementara angka-angka saham berkedip di layar belakangnya seperti bintang-bintang yang sinis. Freud, dengan jas yang kusut dan kacamata miring, sibuk membolak-balik tumpukan mimpi buruk yang dikumpulkannya dari para tamu, mencoba menafsirkan arti tersembunyi di balik simbol-simbol gelap yang menghantui mereka.

     Di luar jendela, di bawah derasnya hujan, Kafka berdiri sendirian. Matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar dengan notifikasi dari sistem yang tak pernah benar-benar ia pahami. Mungkin hanya dia yang menyadari betapa absurdnya malam ini—dan betapa tak terelakkannya absurditas itu.

     Anda melangkah masuk, merasa seolah memasuki dimensi lain di mana batas-batas logika telah melebur menjadi arus pikiran yang liar. Dengan suara nyaris tenggelam di tengah riuh rendah diskusi yang berubah menjadi kekacauan intelektual, Anda bertanya, "Apa itu hidup?"

     Dostoevsky menatap Anda dengan mata yang menyala, seperti api yang membara di tengah malam gelap. Tiba-tiba, ia menyambar kerah baju Anda, suaranya bergetar penuh intensitas, "Neraka," katanya, "tetapi kau harus mencintai neraka ini, dengan semua jeritannya!" Di sudut lain, Picasso berhenti sejenak dari melukis wajah-wajah yang terus berubah di kanvasnya, menyeringai sambil berkata, "Kau terpecah-pecah, tapi di situlah keindahannya." Einstein, duduk dekat papan tulis penuh persamaan rumit, menggumam sambil menyesap kopi dingin, "Keindahan adalah persamaan yang belum terpecahkan."

     Tiba-tiba, hologram Steve Jobs muncul dari iPhone di meja. Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, ia menyela, "Persamaan itu akan terjawab di versi iOS berikutnya." Anda mencoba melarikan diri dari absurditas ini, tetapi kaki Anda terasa berat. Akar-akar buku Aristoteles yang berserakan menjalar, mencengkeram pergelangan Anda. Sebuah suara berbisik dari entah di mana, "Pikiran... hanya pikiran yang bisa membebaskanmu."

     Nietzsche tertawa histeris, mengangkat botol anggurnya, "Bebaskan diri dari pikiran! Bakar semua buku!" Namun sebelum Anda sempat merespon, lampu tiba-tiba padam.

     Dalam kegelapan, suara-suara mulai berbisik. Freud dengan nada dalam berkata, "Kau takut gelap karena itu mengingatkanmu pada rahim." Marx menimpali dengan semangat, "Gelap adalah kondisi proletar yang teralienasi dari sumber cahaya!" Kafka, hampir tak terdengar, berbisik lirih, "Gelap... adalah ruang ujian dengan soal yang tak pernah diberikan."

     Di tengah kebingungan, ponsel Anda menyala, layarnya menyilaukan mata. Notifikasi muncul: "Anda diundang ke pertemuan penting tentang makna hidup. Konfirmasi kehadiran: Ya  Tidak."

     Dostoevsky selalu menulis dengan darah. Dalam novelnya, hidup bukan sekadar cerita, tetapi luka terbuka yang dipamerkan agar dunia melihat isinya. Sang narator dalam Catatan dari Bawah Tanah berteriak, "Aku sakit... tapi aku tak mau disembuhkan!" Ia menolak penyembuhan sederhana atas kompleksitas eksistensi manusia.

     Di kafe yang remang, ia berbincang dengan Ivan Karamazov yang menuangkan vodka ke gelasnya dengan tatapan kosong. "Jika Tuhan mati," kata Ivan, "apakah kita boleh membunuh anak kecil demi kebahagiaan universal?" Dostoevsky menatapnya dalam, menghela napas, "Itulah neraka—kesunyian tanpa jawaban."

     Gandhi, duduk tak jauh, mengaduk tehnya dengan tenang. "Cinta," ujarnya lembut, "adalah jawaban yang tak memerlukan pertanyaan." Namun Nietzsche kembali meledak dalam tawa. "Tuhan sudah mati!" teriaknya penuh gairah. "Hidup adalah permainan, dan hanya mereka yang berani menciptakan aturannya yang akan menang!"

     Di tengah keramaian klub malam yang gemerlap, Nietzsche berdiri di atas DJ booth, meneriakkan isi Demikianlah Sabda Zarathustra kepada massa yang terpukau. "Kalian sibuk mencari makna, sampai lupa bahwa makna harus diciptakan!" Schopenhauer, di sudut ruangan, menggeleng sambil menyesap minumannya. "Permainan? Hidup adalah keinginan tanpa akhir yang tak pernah terpenuhi."

     Freud, di kliniknya yang pengap, mendengarkan pasiennya berbicara tentang mimpi ular dan menara. "Ular itu," katanya, "adalah hasrat terdalammu. Menara adalah ambisimu akan kekuasaan. Dan Menara Eiffel? Bayangan ayahmu yang selalu kau cari." Marx tiba-tiba muncul, menentang dengan sengit, "Itu bukan tentang hasrat individu, Freud! Itu adalah simbol penindasan kelas!" Freud mengangkat bahu, "Setiap revolusi dimulai dari konflik dalam diri."

     Kafka, terperangkap dalam labirin pikirannya, menulis surat kepada ayahnya yang tak pernah sampai. Di stasiun kereta yang sepi, ia bertemu Jobs. "Apakah teknologi bisa menjawab semua pertanyaan?" tanyanya. Jobs tersenyum kecil, "Teknologi adalah cermin, tapi pertanyaanmu mungkin terlalu dalam untuk pantulannya." Kafka menatap jauh, "Mungkin jawabannya hilang bersama pertanyaannya."

    Saat pesta berakhir, ruangan itu sunyi. Gelas-gelas kosong berserakan, kursi-kursi terbalik, dinding-dinding penuh coretan dari tangan-tangan gelisah yang mencari makna. Anda berdiri sendirian, merasakan kehampaan yang aneh. Ponsel Anda bergetar; notifikasi terakhir muncul: "Pertanyaan 'Apa itu hidup?' telah dihapus oleh moderator. Alasan: melanggar pedoman komunitas." Anda menatap layar itu lama, lalu perlahan menekan tombol "Batal".

     Di dinding, lukisan Picasso yang terpotong-potong masih tersenyum misterius. "Lanjutkan," bisiknya samar. "Lanjutkan saja. Ini baru permulaan." Anda mengangguk kecil, berusaha beranjak. Namun sulit menggerakkan apapun, seakan tertindih gelap sangat pekat.

      Dihimpit kegelapan, Anda merasakan sesuatu dingin menyentuh kulit—tangan Kafka. "Tidak usah takut," bisiknya. "Kegelapan ini… hanya pendahuluan. Tiba-tiba, Anda tersadar di kamar sendiri. Jam dinding menunjukkan pukul 3:33. Di meja, ada secangkir kopi dingin dan kertas berisi satu kalimat: "Hidup adalah—"

     Di luar jendela, langit mulai terang. Burung-burung berkicau. Anda mendengar suara Hawking dari radio tua: "Harapan… selalu datang dengan fajar." Tapi di cermin, bayangan Anda sendiri menyeringai: "Fajar? Atau hanya lampu kota yang tak pernah mati?"

     Anda menuangkan kopi itu ke tanaman di sudut ruangan. "Minumlah,"  bisik Anda. "Mungkin kau lebih tahu artinya hidup."  Tanaman itu diam. Tapi di daunnya, Anda melihat tulisan kecil: "Terima kasih. Tapi aku lebih suka hujan."

     Anda tertawa. Di suatu tempat, Dostoevsky menangis. Di tempat lain, Nietzsche mengutuk. Tapi di sini, di kamar ini, hidup hanyalah secangkir kopi yang tumpah, seekor tanaman yang puitis, dan sebuah kalimat yang tak pernah selesai—

     "Hidup adalah—"  tanda hubung, dan mungkin, itu sudah cukup.

     Orang mendaki gunung karena ada sesuatu yang tak terjelaskan dalam ketinggian yang memanggil jiwa mereka. Gunung tidak pernah berteriak, tidak pernah memohon, tetapi kehadirannya yang megah seperti menantang, bukan dalam bentuk kompetisi melawan alam, melainkan pergulatan melawan diri sendiri. Mereka datang, berbondong-bondong membawa harapan, kegelisahan, atau mungkin sekadar rasa bosan terhadap kehidupan yang datar, mencari sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas harian yang membosankan.

     Di gunung, orang menemukan keheningan yang menampar dengan lembut, keheningan yang menuntut perhatian. Nietzsche menyebut alam sebagai tempat di mana manusia dapat menjauh dari dunia yang penuh nafsu dan kekosongan. Gunung menawarkan pelarian dari kebisingan duniawi, meskipun ironisnya, banyak yang membawa kebisingan itu bersama mereka. Di zaman modern ini, gunung sering kali menjadi panggung bagi eksistensi digital. Ada yang mendaki bukan untuk menikmati keheningan, tetapi untuk memproduksi konten, untuk mengabadikan diri dalam bentuk foto atau video dengan latar puncak yang megah. Hutan yang seharusnya menjadi tempat perenungan malah menjadi arena pertunjukan, dan keheningan gunung dirusak oleh bunyi klik kamera dan suara pemberitahuan ponsel.

     Namun, gunung memiliki caranya sendiri untuk mengembalikan manusia pada kenyataan. Di jalur-jalur terjal, tubuh lelah dan napas tersengal, tidak ada ruang untuk basa-basi. Orang dipaksa untuk merasakan keberadaan mereka dengan cara yang paling primitif, merasakan berat tubuh yang didorong oleh tekad semata. Rousseau pernah mengatakan bahwa alam adalah tempat di mana manusia bisa menemukan kebebasan sejati, bebas dari korupsi peradaban. Tetapi seperti halnya kebebasan, mendaki gunung adalah paradoks. Orang mencari kebebasan dari dunia di bawah, tetapi mereka sering kali membawa dunia itu ke atas. Dalam pelarian mereka, mereka justru menciptakan jejak-jejak baru yang mengingatkan pada tempat yang mereka coba tinggalkan.

     Thoreau mungkin akan kecewa melihat bagaimana gunung diperlakukan oleh manusia modern. Ia yang percaya pada hidup sederhana dan koneksi mendalam dengan alam mungkin akan mengernyit melihat pendaki yang lebih sibuk mencari sudut foto yang sempurna daripada menikmati pemandangan di depan mereka. Namun, Thoreau mungkin juga akan merasa lega melihat bagaimana di tengah kelelahan dan kehilangan sinyal, manusia akhirnya menyerah pada kebesaran alam. Dalam momen-momen itu, orang dipaksa untuk menerima bahwa mereka hanyalah makhluk kecil yang mencoba bertahan di hadapan kekuatan yang jauh lebih besar.

     Ada yang mendaki untuk mencari makna, untuk merenung, atau untuk merasakan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Heidegger pernah berbicara tentang keterbukaan batin terhadap pengalaman eksistensial, dan di gunung, banyak orang menemukan momen itu. Ketika mereka berdiri di puncak, dikelilingi oleh awan dan keheningan, ada perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Perasaan itu sulit dijelaskan, tetapi ia nyata. Orang yang biasanya sibuk dengan jadwal, pekerjaan, atau drama kehidupan tiba-tiba dihadapkan pada kesederhanaan yang menohok.

     Namun, keindahan gunung juga terletak pada kontradiksi yang ia tawarkan. Orang mendaki untuk menemukan ketenangan, tetapi mereka sering kali menciptakan kebisingan baru. Mereka mencari rasa kecil di hadapan alam, tetapi mereka juga ingin merasa besar dengan menunjukkan bahwa mereka telah menaklukkan sesuatu. Gunung, dengan diamnya yang agung, tidak peduli pada klaim manusia. Ia tidak memerlukan pengakuan, tidak butuh pujian. Ia hanya ada, sebagai saksi bisu perjalanan manusia yang sering kali penuh dengan ironi.

     Ketika pendaki akhirnya sampai di puncak, ada rasa lega yang luar biasa, tetapi juga kekosongan yang sulit dijelaskan. Pemandangan di depan mata mungkin indah, tetapi makna sebenarnya dari mendaki gunung tidak pernah hanya tentang mencapai puncak. Ia adalah perjalanan, bukan tujuan. Nietzsche mungkin akan berkata bahwa di setiap langkah menuju puncak, orang melampaui dirinya yang lama. Rousseau mungkin akan melihat ini sebagai perjalanan menuju kebebasan sejati. Thoreau mungkin akan menyebutnya sebagai perayaan hidup sederhana yang berhubungan dengan alam. Tetapi bagi mereka yang mendaki, gunung adalah sesuatu yang lebih dari itu. Ia adalah cermin yang memantulkan diri mereka apa adanya, tanpa basa-basi atau tipu daya.

     Gunung tidak pernah menawarkan jawaban, hanya ruang untuk pertanyaan. Mungkin itulah alasan sebenarnya mengapa orang mendaki gunung. Di tengah kelelahan, di bawah langit yang tak terbatas, mereka menemukan momen-momen kecil yang membisikkan bahwa hidup adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar selesai. Gunung menjadi simbol dari perjuangan, keheningan, dan ironi kehidupan manusia yang tidak pernah lepas dari kontradiksi.

     Kebahagiaan, baik dalam konteks objektif maupun subjektif, bukanlah sesuatu yang bisa diatur hanya dengan mengingat atau melupakan. Kebahagiaan adalah kondisi yang lebih mendasar dan kompleks, yang berakar pada kesejahteraan mental, emosional, sosial, dan sering kali melibatkan faktor-faktor eksternal seperti kualitas hidup, keamanan, serta relasi yang sehat.

     Ketika seseorang mengatakan "jangan lupa bahagia," ada asumsi implisit bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa muncul hanya dengan mengingatnya. Ini tentu saja mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari sekadar ingatan, melainkan dari pencapaian kondisi tertentu dalam hidup yang memungkinkan perasaan tersebut muncul dengan sendirinya. Misalnya, kebahagiaan bisa muncul dari rasa puas akan pencapaian, rasa terhubung dengan orang lain, atau perasaan damai dalam menjalani hidup.

     Bayangkan bahwa ungkapan ini sebenarnya adalah semacam refleksi dari kegagalan masyarakat modern dalam memahami kebahagiaan secara mendalam. Ada kemungkinan bahwa seringnya orang mengucapkan "jangan lupa bahagia" justru menunjukkan sebuah ironi—bahwa kebahagiaan telah menjadi begitu terasing dan jauh dari jangkauan, sehingga perlu diingatkan secara verbal.

     Dalam pandangan yang lebih skeptis, ungkapan ini mungkin menggambarkan budaya yang terlalu terobsesi dengan "kebahagiaan" sebagai suatu tujuan yang harus dicapai, tetapi tidak benar-benar memahami esensinya. Kebahagiaan, dalam banyak budaya tradisional, tidak selalu menjadi tujuan yang harus dikejar secara aktif; melainkan hasil dari menjalani kehidupan yang bermakna, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai batiniah seseorang.

     Dengan kata lain, mungkin ungkapan "jangan lupa bahagia" justru memperlihatkan sebuah paradoks di mana masyarakat telah menciptakan begitu banyak distraksi, tekanan, dan tuntutan hidup yang membuat kebahagiaan menjadi sesuatu yang harus diprogram ulang ke dalam pikiran kita. Ini seolah-olah kebahagiaan adalah sebuah barang yang bisa dilupakan di suatu sudut, padahal kebahagiaan yang sejati seharusnya mengalir alami dari cara kita menjalani kehidupan sehari-hari.

     Selain itu, dari perspektif filosofis, ada pandangan bahwa dorongan untuk "jangan lupa bahagia" bisa menjadi bentuk penghindaran dari kenyataan hidup yang sebenarnya kompleks, penuh dengan penderitaan, tantangan, dan ketidakpastian. Di balik pesan positif ini, ada kemungkinan tersembunyi perasaan putus asa atau kelelahan kolektif, di mana orang-orang merasa harus menutupi atau melarikan diri dari realitas dengan menyemangati diri mereka sendiri atau orang lain untuk "ingat bahagia."

     Lebih lanjut, ini bisa juga dikaitkan dengan fenomena yang disebut toxic positivity, di mana tekanan sosial untuk selalu positif dan bahagia justru bisa mengarah pada pengabaian emosi negatif yang sah dan perlu dirasakan serta diproses. Di dunia yang serba cepat ini, ungkapan "jangan lupa bahagia" bisa menjadi instrumen untuk menekan perasaan lain yang dianggap tidak produktif atau tidak nyaman, sehingga menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya emosi yang layak dihargai.

     Jadi, dari perspektif ini, "jangan lupa bahagia" bukan hanya sekadar tren, tetapi mungkin juga merupakan tanda dari masyarakat yang mulai kehilangan kontak dengan pemahaman kebahagiaan yang lebih otentik, mendalam, dan bermakna.

     Jika kita melihat fakta bahwa dalam negara dengan ranking kebahagiaan rendah, ungkapan ini sering digunakan, ini bisa menjadi indikator bahwa masyarakat tersebut mungkin sedang berusaha keras untuk mencapai sesuatu yang terasa sulit digapai. Mereka mungkin mencoba menemukan kebahagiaan di tengah kondisi yang tidak mendukung, dan ungkapan "jangan lupa bahagia" menjadi semacam mantra atau penghiburan diri yang digunakan tanpa pemahaman mendalam.

     Sebagai catatan, peringkat kebahagian orang Indonesia di tahun 2024 berada di rangking 80 dari 143 negara. Hanya meningkat 3 grade dari 83 di tahun 2012. Di Asean sendiri negara kita berada di urutan ke-6 di bawah Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Sementara sepuluh teratas negara terbahagia adalah Finlandia di posisi pertama diikuti Denmark, Islandia, Swedia, Israel, Belanda, Norwegia, Luxemburg, Swiss dan Australia di urutan 10.

1. Finlandia

2. Denmark

3. Islandia

4. Swedia

5. Israel

6. Belanda

7. Norwegia

8. Luksemburg

9. Swiss

10. Australia

Baca artikel detikedu, "Daftar 10 Negara Paling Bahagia Terbaru 2024, Apakah Finlandia Nomor Satu?" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7257856/daftar-10-negara-paling-bahagia-terbaru-2024-apakah-finlandia-nomor-satu.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
Filipina (6,05), Vietnam (6,04), Thailand (5,98), dan Malaysia (5,98)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Economics of Happiness": Indonesia Tidak Cukup Bahagia?", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2024/03/25/134403026/economics-of-happiness-indonesia-tidak-cukup-bahagia?page=all.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

     Ini juga menunjukkan bahwa ungkapan tersebut bisa jadi lebih banyak digunakan sebagai penutup atau solusi instan untuk masalah yang sebenarnya membutuhkan perhatian lebih besar. Dalam masyarakat dengan tingkat kebahagiaan yang rendah, ada kemungkinan bahwa orang merasa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diingatkan karena terasa begitu jauh atau sulit dicapai dalam kehidupan sehari-hari mereka.

     Dengan kata lain, frasa ini mungkin lebih mencerminkan kegagalan kolektif untuk memahami apa itu kebahagiaan secara mendalam dan bagaimana mencapainya secara berkelanjutan, daripada sekadar saran yang tulus atau bermanfaat. Ini adalah ekspresi dari ketidakpahaman tentang kompleksitas kebahagiaan, yang tidak bisa dicapai hanya dengan sekadar mengingatkan diri sendiri atau orang lain.

Telaah ungkapan "jangan lupa bahagia" dari perspektif evolusi otak manusia maupun evolusi budaya.

Evolusi Otak (Neurosains Evolusioner)

     Dari sudut pandang evolusi otak, manusia telah berkembang untuk merespons rangsangan dan pengalaman yang memengaruhi kelangsungan hidup dan reproduksi. Kebahagiaan pada dasarnya adalah kondisi yang berhubungan dengan pelepasan zat kimia tertentu di otak, seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang memainkan peran penting dalam mengatur emosi dan motivasi.

     Secara evolusioner, kebahagiaan bukanlah kondisi yang dimaksudkan untuk bertahan lama tanpa henti. Otak kita dirancang untuk mencari keseimbangan antara pencarian kepuasan dan kesiapan menghadapi tantangan berikutnya. Misalnya, perasaan bahagia setelah mencapai sesuatu biasanya akan mereda, memotivasi kita untuk mencari tujuan atau pengalaman baru. Ini adalah bagian dari mekanisme evolusi yang menjaga manusia tetap produktif dan adaptif.

     Ungkapan "jangan lupa bahagia" mungkin muncul sebagai respons terhadap kecenderungan alami otak kita untuk kembali ke keadaan "normal" setelah puncak kebahagiaan tercapai. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa ungkapan tersebut adalah upaya sederhana untuk menentang atau setidaknya menyadari kecenderungan alami otak kita untuk lebih fokus pada masalah atau tantangan, daripada mempertahankan kebahagiaan.

     Namun, ini juga bisa dilihat sebagai kekeliruan dalam memahami cara kerja otak manusia: kebahagiaan tidak bisa dipertahankan hanya dengan mengingatnya karena itu adalah bagian dari siklus biologis yang lebih besar yang dirancang untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup.

Evolusi Budaya (Meme dan Pengaruh Sosial)

     Dari perspektif evolusi budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" dapat dilihat sebagai "meme" atau unit budaya yang bereplikasi dan menyebar dari satu orang ke orang lain. Dalam teori meme, ide, frasa, atau perilaku yang dianggap menarik atau relevan dalam konteks sosial tertentu akan cenderung menyebar dan bertahan.

     Ungkapan ini mungkin telah menjadi populer karena sesuai dengan nilai-nilai zaman sekarang yang sangat menekankan pada self-care, kesejahteraan emosional, dan optimisme. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan cepat, frasa ini menawarkan solusi yang tampaknya mudah dan dapat diterima oleh banyak orang. Namun, karena penyebarannya yang cepat dan seringkali tanpa pemahaman mendalam, ungkapan ini bisa menjadi dangkal—mencerminkan penurunan kualitas pemikiran kritis dalam budaya yang lebih mengutamakan kesederhanaan dan kemudahan pesan.

     Dalam evolusi budaya, konsep-konsep yang menyebar sering kali mengalami distorsi, terutama ketika dipisahkan dari konteks aslinya. "Jangan lupa bahagia" mungkin awalnya memiliki niat baik sebagai pengingat sederhana, tetapi ketika ia berkembang dalam konteks yang lebih luas dan kehilangan nuansa aslinya, maknanya bisa tereduksi menjadi sesuatu yang lebih klise dan kurang bermakna.

     Sebagai kesimpulan, dari perspektif evolusi baik fisik maupun budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" adalah refleksi dari cara otak kita dan budaya kita menangani kompleksitas kebahagiaan. Dari sisi otak, itu mungkin upaya sadar untuk melawan kecenderungan alami kita yang lebih fokus pada tantangan. Dari sisi budaya, itu adalah produk dari dinamika sosial di mana ide-ide sederhana sering kali diutamakan karena lebih mudah dicerna dan dibagikan, meskipun berpotensi kehilangan kedalaman dan relevansinya.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.