Pada suatu pagi yang biasa di sebuah kota besar, seseorang mengeluh di media sosial: “Tadi pagi telat ke kantor. Ada tenda hajatan anak pejabat yang menutup jalan raya empat jalur.” Beberapa balasan datang: ada yang menyindir, ada yang menghibur, sebagian besar hanya mendesah. Seolah-olah keterlambatan itu bukan salah siapa-siapa. Begitu juga ketika motor melambat mendadak karena polisi tidur tak beraturan di lorong perumahan, atau ketika kendaraan dialihkan karena sebuah rumah ibadah mengadakan kegiatan akbar yang meluber sampai ke badan jalan. Semua orang tampaknya sudah terbiasa. Tapi siapa sebenarnya yang sedang mengendalikan kota ini?
Di banyak lorong dan jalan sempit kota-kota di Indonesia, kita akan menemukan balok beton, aspal melintang, atau bahkan susunan batu bata yang difungsikan sebagai polisi tidur. Ini bukan proyek pemerintah. Bukan pula hasil kajian teknis lalu lintas. Melainkan wujud konkret dari rasa takut dan rasa ingin mengatur—dua bahan utama dalam ilusi kontrol.
Orang-orang yang membangun polisi tidur sering berkata: agar pengendara motor tidak kebut-kebutan. Namun ironinya, yang sering ngebut justru anak-anak mereka sendiri, berusia 8-9 tahun, yang seharusnya tidak layak dan tidak diizinkan mengendarai motor. Polisi tidur menjadi alat untuk mengendalikan gejala di permukaan, tapi bukan akar persoalan. Ia menjadi simbol dari kegagalan pendidikan sosial dan kurangnya kesadaran hukum.
Fenomena ini juga mencerminkan adanya kompetisi simbolik: siapa yang paling peduli, siapa yang paling berani mengklaim bahwa lorong ini adalah milik komunitas tertentu. Dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan regulasi bersama yang rasional, kontrol fisik seperti polisi tidur justru terasa lebih nyata dan menenangkan. Padahal, kenyamanan semu itu sering menimbulkan masalah baru: kerusakan kendaraan, kecelakaan, atau konflik antarwarga.
Di sisi lain kota, pejabat tertentu menutup akses jalan besar demi mengadakan pesta pernikahan anaknya. Jalan yang biasa dilalui ribuan kendaraan sehari-hari berubah menjadi ruang privat. Karpet merah, panggung hiburan, deretan tenda megah. Semua berlangsung selama tiga hari. Dan warga yang terdampak? Harus cari jalan lain, sabar, atau diam.
Ini adalah bentuk delusi kontrol oleh kekuasaan: keyakinan bahwa karena ia memiliki jabatan atau pengaruh, maka ia berhak mengendalikan ruang publik demi kepentingan pribadi. Ia tidak merasa melanggar karena menganggap bahwa ruang bisa dinegosiasikan sesuai kekuatan yang ia miliki. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum jalan, tetapi juga terhadap etika spasial dan prinsip keadilan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kuasa bisa memperluas ruang privatnya dengan cara yang tak terlihat vulgar, tapi efektif. Edward Soja (2010) menyebut ini sebagai bentuk dari ketimpangan spasial, di mana distribusi ruang tidak lagi mengikuti logika fungsi atau keadilan, melainkan logika kuasa dan simbol. Dan masyarakat yang diam, secara tak sadar ikut menyetujui.
Kasus ketiga mungkin lebih sensitif. Penutupan jalan raya karena kegiatan ibadah, biasanya terjadi secara berkala pada momen-momen keagamaan besar. Jalan enam jalur bisa berubah menjadi lautan manusia bersujud. Pemerintah memberi izin, masyarakat sekitar mengalah. Sekilas, ini tampak seperti toleransi yang indah. Tapi jika ditelaah lebih jauh, ini adalah bentuk delusi kontrol massal.
Delusi ini muncul karena komunitas merasa memiliki legitimasi moral dan kultural yang tinggi. Ketika ribuan orang melakukan sesuatu bersama, maka tindakan itu tampak sah—meskipun dampaknya merugikan pengguna jalan lainnya. Ini adalah kekuatan simbol dan konsensus. Seperti yang dijelaskan Foucault (1977), kekuasaan tidak selalu hadir melalui paksaan, tetapi bisa melalui normalisasi. Dan dalam kasus ini, delusi kontrol dijalankan melalui bahasa sakral yang tak mudah digugat.
Kita pun terjebak dalam dilema: membela hak pengguna jalan, berarti berhadapan dengan sensitivitas agama. Menghindarinya, berarti membiarkan preseden terbentuk bahwa ruang publik bisa disakralkan oleh kelompok tertentu. Sementara warga lain, hanya bisa bertanya dalam hati: siapa sebenarnya yang punya jalan ini?
Ketiga kasus ini bukan soal teknis lalu lintas, melainkan tentang bagaimana ruang, kuasa, dan persepsi bekerja bersama. Mereka menunjukkan bahwa kontrol sosial seringkali tidak berdasarkan hukum, melainkan pada rasa. Rasa memiliki, rasa aman, rasa benar, atau rasa pantas. Dan rasa-rasa itu, jika dibiarkan tanpa koreksi, berubah menjadi delusi.
Dari sisi sosiologi hukum, ketiga kasus ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menegakkan norma legal saat norma sosial mengambil alih. Hukum formal ada, tapi tunduk pada tekanan informal. Dari sisi geografi sosial, kita melihat bagaimana ruang bersama direklamasi oleh individu atau komunitas, seolah-olah kota ini bukan milik bersama tapi hasil negosiasi antar-entitas dominan.
Dari sisi psikologi sosial, ilusi kontrol muncul karena manusia cenderung ingin merasa mampu mempengaruhi lingkungannya. Ketika realitas terasa tak terkendali—lalu lintas kacau, kehidupan urban yang asing, atau masyarakat yang makin kompleks—orang mencari cara untuk merasa berdaya, walau semu. Dan delusi kontrol massal terjadi saat persepsi itu diperkuat oleh konsensus, simbol, dan keyakinan kolektif.
Akhirnya kita kembali ke pertanyaan awal: siapa yang sebenarnya mengendalikan kota ini? Mungkin tak ada yang benar-benar mengendalikan. Atau justru terlalu banyak yang merasa mengendalikan. Polisi tidur dibangun di setiap sudut, jalan ditutup demi pesta atau doa, dan publik diminta maklum. Kita hidup dalam kota yang dikendalikan oleh fragmen-fragmen kontrol semu, dan tanpa sadar, kita semua menjadi bagian dari sistem yang kita keluhkan.
Dalam dunia yang kian kompleks, ilusi dan delusi kontrol akan selalu hadir—sebagai pelarian dari ketidakberdayaan, atau sebagai cara untuk memaksa kehendak. Yang perlu dijaga bukan sekadar jalan yang bisa dilalui, tapi kesadaran bersama bahwa ruang publik adalah milik semua, bukan tempat untuk mengekspresikan kekuasaan, simbol, atau ketakutan yang tak selesai.
Posting Komentar
...