Ada masa ketika manusia berhenti menatap langit dan mulai menatap dirinya sendiri. Momen ini — dalam sejarah kesadaran — bukan hanya revolusi intelektual, tapi juga luka batin kolektif. Langit yang dulu penuh dewa tiba-tiba kosong. Tuhan yang dahulu menjadi sumber makna, kini ditemukan telah mati. Namun kematian itu bukan peristiwa metafisik, melainkan tragedi epistemik: manusia sendiri yang membunuh-Nya, dengan pisau rasionalitas, ilmu, dan keberanian untuk mempertanyakan segalanya.
Nietzsche bukan nabi kehancuran; ia adalah dokter yang datang terlambat ke ruang gawat darurat peradaban Barat. Ia memeriksa denyut moralitas, memeriksa tubuh nilai-nilai, dan mendapati semuanya busuk karena dikurung oleh kepatuhan yang sudah kehilangan makna. “Kita telah membunuh-Nya,” katanya dalam The Gay Science. Tapi Nietzsche tahu, tubuh Tuhan yang mati akan membusuk dalam waktu yang lama. Bangkai itu menjadi fondasi baru moralitas modern — moralitas yang kehilangan sumber transendennya, namun tetap meniru gerak moral agama. Kita menyebutnya humanisme, padahal yang disembah kini adalah manusia itu sendiri.
Dari situ, lahirlah generasi baru manusia yang tidak lagi memuja Tuhan, tetapi memuja kesadarannya sendiri. Ia menyembah rasionalitas, kebebasan, kemajuan. Di sinilah Harari — dalam Homo Deus — melanjutkan garis genealogis Nietzsche. Setelah Tuhan mati, manusia berambisi menjadi Tuhan. Evolusi kesadaran yang dulu bersandar pada ekstase spiritual, kini bergeser menjadi proyek teknologis: kesempurnaan melalui algoritma, keabadian melalui bioteknologi, dan kebahagiaan melalui kimiawi dopamin.
Namun sebelum sampai di altar modernitas itu, ada satu langkah gelap yang dilewati: disiplin tubuh dan kekuasaan pengetahuan. Di sinilah Michel Foucault berdiri — bukan sebagai pewaris Nietzsche yang muram, tapi sebagai arkeolog kesadaran. Ia menelusuri bagaimana tubuh manusia dijinakkan oleh wacana. Bukan cambuk atau rantai yang menundukkan, tapi struktur pengetahuan yang merayap halus ke setiap sendi kehidupan: sekolah, rumah sakit, penjara, negara, agama, bahkan cinta. Dalam Discipline and Punish dan The History of Sexuality, Foucault menunjukkan: kekuasaan modern bukan lagi memaksa, tetapi mengatur. Ia bukan lagi memenjarakan, tetapi mendidik agar setiap individu menjadi sipir bagi dirinya sendiri.
Di sinilah paradoks kesadaran modern — manusia yang mengira telah bebas dari Tuhan ternyata hanya berpindah tuan. Ia kini disembah oleh algoritma, norma sosial, sistem ekonomi, dan disiplin birokrasi yang menjelma jadi moralitas baru. Nietzsche menyebut manusia jenis ini the last man — makhluk yang puas, kecil, dan takut pada makna besar. Sementara Foucault menyebutnya subjek yang diproduksi — bukan lahir dari kebebasan, melainkan dari proses panjang penjinakan sosial.
Namun ada sesuatu yang terus memberontak di dalam kesadaran manusia: kerinduan akan kedalaman, meskipun ia tak lagi percaya pada langit. Barangkali di sini Heidegger masuk, dengan kegelisahan metafisiknya: bahwa manusia modern telah melupakan Sein, keberadaan itu sendiri. Kita sibuk mengatur dunia, mengukurnya, menamainya, menguasainya — tapi lupa untuk mengalami keberadaan itu dengan hening. Heidegger seakan mengingatkan: kesadaran yang menatap diri sendiri terlalu lama akan jatuh ke dalam narsisisme eksistensial.
Jika Nietzsche mengguncang fondasi nilai, Foucault membongkar arsitektur kekuasaan, dan Heidegger menggali lubang kesunyian ontologis, maka seluruhnya adalah satu gerak yang sama: manusia yang menatap dirinya sendiri — dan ngeri oleh apa yang ia lihat. Evolusi kesadaran kedua ini bukan sekadar bab sejarah intelektual, melainkan transisi psikologis: dari yang memuja langit, menjadi yang terperangkap dalam cermin.
Manusia modern hidup di antara dua kubur: kubur Tuhan dan kubur makna. Di situlah kita berdiri, memandangi kedua liang itu sambil menggenggam smartphone — alat suci baru yang mencatat, mengawasi, dan mendikte apa yang kita pikirkan. Nietzsche menyebut masa ini nihilisme. Foucault menyebutnya masyarakat disipliner. Tapi keduanya mungkin sedang membicarakan hal yang sama: kesadaran yang kehilangan pusat, tapi terus bergerak dengan semangat yang aneh — seolah berlari dari kehampaan menuju kehampaan yang lain.
Dan mungkin, hanya mungkin, di ujung gerak ini, manusia akan menemukan bentuk kesadaran baru — yang tidak lagi berpusat pada Tuhan, atau pada dirinya sendiri, melainkan pada sesuatu yang belum bisa ia beri nama.
Posting Komentar
...