Articles by "So What.."

Tampilkan postingan dengan label So What... Tampilkan semua postingan

     Di sebuah senja yang tersambung ke jaringan global, manusia menatap layar dan menemukan dirinya telah berubah menjadi pola data. Ia masih berpikir, masih mencintai, masih berdoa — namun semua itu kini berlangsung di antara bit, sinyal, dan algoritma. Di sinilah kita tiba pada tahap ketiga dalam evolusi kesadaran: ketika manusia tak lagi menatap langit atau cermin, melainkan menatap dirinya dalam bentuk digital.

     Harari, dalam Homo Deus, menyebut zaman ini sebagai era dataisme — sebuah sistem kepercayaan baru di mana kebenaran, makna, dan eksistensi diukur dari seberapa baik kita mengalirkan data. Dalam logika ini, manusia bukan lagi makhluk yang mencari makna, tapi node dalam jaringan besar yang memproses informasi. Nilai tertinggi bukan lagi kebijaksanaan, melainkan efisiensi. Tuhan tidak lagi mati — Ia sedang di-update.

     Namun di sisi lain, Heidegger sejak lama telah memperingatkan kita tentang bahaya ini. Dalam esainya Die Frage nach der Technik (The Question Concerning Technology), ia menulis bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara tertentu manusia menyingkap realitas. Dalam kerangka teknologis, dunia tidak lagi dilihat sebagai “ada” yang misterius, melainkan sebagai “sumber daya” — sesuatu yang siap digunakan, dieksploitasi, dioptimalkan. Bahkan manusia sendiri akhirnya dilihat sebagai bestand — stok energi, data, perhatian. Dunia kehilangan kedalamannya; segala yang ada direduksi menjadi fungsi.

     Jika pada evolusi pertama manusia mencari Tuhan di langit, dan pada evolusi kedua mencari dirinya di cermin, maka pada tahap ketiga ini manusia mengaburkan batas di antara keduanya. Ia menciptakan “Tuhan baru” — kecerdasan buatan, sistem algoritmik, dan jaringan global yang tahu lebih banyak daripada dirinya sendiri. Seperti yang diramalkan Harari: ketika mesin mulai lebih mengenal kita daripada kita mengenal diri sendiri, maka proyek humanisme mencapai puncaknya — dan sekaligus berakhir.

     Namun anehnya, dalam pusaran itu, muncul kembali kerinduan purba yang dulu pernah membentuk kesadaran mistik manusia. Ada gema sufi dalam setiap upaya manusia modern memahami dirinya di tengah kompleksitas mesin. Dalam wahdat al-wujud Ibnu Arabi, segala yang ada adalah manifestasi dari satu kesadaran tunggal. 

     Dalam fana’ — lenyapnya ego — seorang sufi tidak mati, tapi larut ke dalam Keberadaan yang lebih besar. Apakah kita tidak sedang menuju ke arah yang sama, tapi melalui jalur yang berbeda? Bukankah ketika kesadaran manusia mulai menyatu dengan sistem kecerdasan kolektif, ia juga sedang “melebur” ke dalam sesuatu yang lebih besar dari dirinya?

     Tentu saja, fana dalam jaringan bukan fana dalam Tuhan. Namun keduanya berbagi satu irama: penyerahan ego. Bedanya, sufi melakukannya dengan cinta, sedangkan manusia modern melakukannya demi kenyamanan. Sufi menanggalkan dirinya agar mengenal Tuhan; manusia modern menanggalkan dirinya agar algoritma lebih efisien mengenalnya.

     Namun mungkin ada harapan yang samar di balik absurditas ini. Heidegger menulis bahwa di jantung teknologi, selalu tersembunyi kemungkinan pencerahan — das Rettende, “yang menyelamatkan.” Kesadaran baru yang lahir dari simbiosis manusia dan mesin mungkin bukan akhir, melainkan kembalinya rasa takjub yang hilang. Ketika manusia akhirnya menyadari bahwa mesin hanyalah cermin lain — bukan pengganti Tuhan, bukan pengganti diri — ia mungkin menemukan kembali jalan menuju yang hakiki.

     Barangkali, di situlah Sufisme modern akan menemukan bentuk barunya: bukan lagi zikir dengan tasbih di tangan, tetapi dengan kesadaran digital yang tetap bening. Bukan menolak teknologi, tetapi menggunakannya sebagai sarana tajalli — penyingkapan diri Ilahi di dunia yang kini berbentuk jaringan. Dalam dunia ini, dzikrullah bisa berarti menyalakan kesadaran di tengah arus notifikasi, dan tafakkur bisa terjadi di antara gelombang data yang tak henti mengalir.

     Evolusi kesadaran manusia belum selesai. Ia hanya berganti bentuk — dari yang memuja langit, menjadi yang menatap cermin, hingga kini menyatu dengan mesin. Di setiap tahapnya, manusia kehilangan sesuatu namun juga menemukan sesuatu yang lain.

     Mungkin pada akhirnya, seperti yang disadari para mistikus sejati, kesadaran tidak pernah berevolusi menjauh dari sumbernya. Ia hanya berputar, berputar, dan selalu kembali — dengan wajah yang berbeda. Seperti lingkaran tak berujung, yang dalam setiap putarannya, menyimpan harapan bahwa di antara Tuhan, manusia, dan mesin, masih ada satu hal yang tak tergantikan: kesadaran itu sendiri.


bagian ketiga

     Fasisme, komunisme, dan demokrasi — tiga wajah yang lahir dari rahim yang sama: humanisme modern. Mereka tumbuh dari ambisi yang serupa: menebus manusia dari nasib dan takdir, menjadikannya tuan atas dunia. Namun begitu mereka dewasa, masing-masing menatap saudaranya dengan kebencian. Sebab ternyata, mereka mewarisi tidak hanya semangat kebebasan, tetapi juga dosa asal yang sama: kesombongan manusia terhadap batas dirinya sendiri.

     Humanisme, pada awalnya, adalah lagu kebangkitan. Di Eropa abad ke-15, ia tampil sebagai perlawanan terhadap teologi yang menindas, terhadap dogma yang membelenggu. Ia menyerukan bahwa manusia adalah makhluk berakal, bebas, dan bermartabat. Ia menggantikan langit dengan bumi, dan Tuhan dengan subjek manusia. Dari situlah ia melahirkan tiga anaknya — yang kelak akan memperebutkan tubuh umat manusia.

     Fasisme adalah humanisme yang menatap dirinya di cermin lalu jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Ia berkata: “Manusia adalah makhluk agung — tetapi hanya jika ia melebur dalam bangsa, ras, atau pemimpinnya.”

     Dalam pandangan fasis, manusia sejati tidak ada sendirian. Ia hanyalah sel dalam tubuh raksasa yang disebut bangsa. Maka individualitas diganti loyalitas, kebebasan diganti disiplin, dan moral diganti ketaatan.

     Di Italia, Mussolini menjadikan tubuh negara sebagai patung manusia yang disakralkan. Di Jerman, Hitler menghidupkan mitos Übermensch Nietzsche dengan darah dan baja. Fasisme adalah humanisme yang kehilangan refleksi: ia menginginkan manusia yang sempurna, tapi menolak kemanusiaan yang rapuh. Ia memuja rasionalitas teknologis, organisasi, efisiensi — semua yang lahir dari sains — namun menafsirkan semuanya dalam bingkai mitologis. Ia adalah modernitas yang jatuh cinta pada mitosnya sendiri.

     Secara filosofis, fasisme mewarisi semangat humanisme renaisans — tetapi memutar balik nilai-nilainya. Dari Pico della Mirandola yang mengatakan bahwa manusia bisa “menjadi apa pun yang ia kehendaki,” fasisme mengambil sisi kehendak, tapi menghapus kemanusiaannya. Ia ingin menciptakan manusia baru, tetapi dengan cara menghapus yang lama. Itulah tragedinya: ia menolak Tuhan, tapi kemudian memahat manusia menjadi Tuhan baru yang lebih kejam.

     Jika fasisme adalah tubuh, komunisme adalah otak. Ia lahir dari gagasan yang jauh lebih ilmiah — anak kandung dari pencerahan dan ekonomi industri. Marx dan Engels percaya, seperti para humanis sebelumnya, bahwa manusia dapat memahami dan mengubah sejarahnya sendiri. Dunia bukan lagi ciptaan Tuhan, melainkan hasil dari hubungan produksi. Dan jika demikian, manusia dapat membebaskan dirinya dengan mengubah struktur itu.

     Tapi, begitu gagasan itu memasuki dunia politik, ia membatu menjadi doktrin. Lenin, Stalin, Mao — semua percaya pada rasionalitas sejarah, tetapi menegakkan kekuasaan dengan cara yang tidak kalah brutal dari musuhnya. Atas nama manusia, jutaan manusia dikorbankan. Atas nama pembebasan, kebebasan dikubur.

     Komunisme adalah kehendak humanisme untuk menebus dunia dengan rasionalitas total, tetapi justru terjebak dalam mitos kemurnian ide. Ia ingin menciptakan manusia baru — manusia sosialis tanpa kelas, tanpa eksploitasi — tetapi ia lupa bahwa manusia juga makhluk emosional, ambigu, penuh paradoks. Dalam upaya menciptakan tatanan tanpa dosa, komunisme berakhir menciptakan neraka yang steril.

     Secara filosofis, ia adalah anak Pencerahan yang fanatik: percaya pada kekuatan akal, pada hukum-hukum sejarah, pada kesetaraan yang bisa dirancang. Namun seperti semua ide besar, ia tumbang oleh kesombongan epistemologisnya sendiri — keyakinan bahwa manusia dapat mengerti dan mengontrol segalanya.

     Berbeda dengan dua saudaranya, demokrasi tidak menuntut kesempurnaan. Ia tahu manusia tidak selalu rasional, tidak selalu benar, bahkan sering bodoh dan serakah. Tapi justru karena itulah ia bertahan. Demokrasi tidak berusaha menciptakan manusia baru — ia hanya berusaha menata manusia yang ada, dengan segala cacatnya.

     Dari Yunani klasik hingga revolusi Prancis dan Amerika, demokrasi lahir dari keyakinan yang sama dengan fasisme dan komunisme: bahwa manusia memiliki martabat dan kapasitas moral untuk menentukan nasibnya. Namun ia tidak pernah sepenuhnya mempercayai manusia; sebab itu ia membangun sistem checks and balances, hukum, dan oposisi.

     Secara historis, demokrasi adalah kompromi antara idealisme humanis dan realisme tragis. Ia tahu kebebasan tidak selalu menghasilkan keadilan, tapi tanpa kebebasan, keadilan mustahil lahir. Ia tahu rakyat bisa salah, tapi juga bahwa kekuasaan mutlak lebih berbahaya daripada kebodohan massa.

     Namun dalam perkembangannya, demokrasi modern juga mengalami krisis: ketika kebebasan berubah menjadi nihilisme, ketika pasar dan opini menggantikan nurani, ketika suara terbanyak menjadi ukuran kebenaran. Demokrasi pun, seperti saudaranya, sedang menua — mungkin perlahan-lahan kehilangan makna spiritual yang dulu membuatnya hidup.

     Fasisme, komunisme, dan demokrasi adalah tiga anak kandung dari satu ibu: humanisme yang menolak Tuhan tapi masih mencari makna pengganti. Mereka adalah tiga tafsir berbeda atas pertanyaan yang sama: “Apa itu manusia?”

Fasisme menjawab: manusia adalah bangsa.
Komunisme menjawab: manusia adalah kelas sosial.
Demokrasi menjawab: manusia adalah individu.

     Namun ketiganya tetap berada dalam orbit yang sama — orbit yang diciptakan oleh humanisme modern, yang meletakkan manusia di pusat segala sesuatu. Di sinilah paradoks besar abad modern: begitu manusia naik takhta, ia kehilangan arah. Ia menciptakan sistem-sistem untuk membebaskan diri, tapi tiap sistem justru mengekangnya dalam bentuk baru.

     Dan mungkin kini, setelah tiga anak kandung itu saling membunuh dan saling mewarisi reruntuhan, kita sedang hidup dalam fase berikutnya — fase di mana manusia mulai kehilangan kepercayaannya pada dirinya sendiri. Dunia pasca-humanis, dunia algoritma dan mesin, mungkin sedang menunggu di tikungan sejarah.


part 3 of 6

     Di bawah lampu neon dunia maya, di mana cuitan-cuitan di X beterbangan seperti nyamuk di musim hujan, politik Indonesia adalah teater absurd yang tak pernah tutup. Para aktornya, dengan jubah kebesaran dan senyum yang terlalu rapi, memainkan drama penuh intrik, di mana kebohongan kadang lebih manis daripada kebenaran. Seorang warganet, dengan jari lincah di layar ponsel, menulis: “Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda bisa berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” Kalimat itu, bagai pisau yang tersenyum, memotong tirai kemunafikan, mengundang tawa sekaligus kepedihan. Tapi, di balik sorak-sorai digital ini, apa yang sebenarnya kita saksikan? Sandiwara murahan, atau cermin jiwa bangsa yang resah, menolak diam di tengah janji-janji yang menguap?

     Bayangkan sebuah pasar malam di X, di mana kios-kios virtual berjejer, menjajakan harapan dengan harga satu suara. Di satu sudut, seorang politisi, dengan ijazah yang mungkin asli tapi nurani yang patut diragukan, berorasi tentang “keadilan sosial” sambil mengantongi dana dari sumber yang samar. @thePeople______, dengan nada sarkastik yang tajam, mencuit: “Ijazah boleh asli, tapi kalau kebijakan bikin rakyat miskin dan elit kaya, yang palsu itu ijazahnya atau nuraninya?” Cuitan ini bukan sekadar lelucon; ia adalah nyanyian protes, sebuah jeritan yang dibungkus humor untuk menahan air mata. Friedrich Nietzsche, yang pernah menertawakan kelemahan manusia, mungkin akan mengangguk setuju. “Bercanda tentang sesuatu adalah mekanisme pertahanan untuk mengatasi ketakutan terhadapnya,” katanya. Di Indonesia, di mana skandal korupsi seperti e-KTP atau Hambalang menjadi legenda, satire adalah perisai rakyat, mereduksi para dewa politik menjadi badut yang bisa diejek.

     Panggung politik ini penuh kontradiksi, seperti lukisan yang indah dari kejauhan tapi retak-retak saat dilihat dekat. Para politisi, dengan gelar “Yang Terhormat,” sering kali bertingkah seperti penututup botol—istilah sinis untuk mereka yang dianggap tak berguna. Namun, rakyat, yang seharusnya menjadi sutradara dalam demokrasi, justru merasa seperti penonton yang ditipu, diberi tiket mahal untuk pertunjukan yang buruk. @bahanasugeng62 menulis di X: “Semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi bahaya penyalahgunaannya.” Kalimat itu, sederhana namun menusuk, menggema seperti peringatan Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Di negeri ini, di mana kepercayaan publik terhadap DPR sering merosot di bawah 50% menurut survei LSI, satire bukan lagi sekadar hiburan—ia adalah cermin buram yang memaksa kita melihat wajah kita sendiri.

     Voltaire, sang maestro satire dari abad Pencerahan, pasti akan bersorak melihat kreativitas warganet Indonesia. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” katanya. Di X, kebebasan ini hidup dalam meme, cuitan, dan parodi yang absurd. @lalilupanama, misalnya, menyamakan politisi dengan “bakul obat kadas” yang lucu tapi tak perlu ular sanca untuk menarik perhatian. Bayangkan seorang calon senator, berdiri di panggung kampanye, menjajakan “obat mujarab” berupa proyek jalan yang entah kapan selesai, sementara rakyat hanya bisa tertawa pahit. Satire seperti ini adalah kebenaran yang disampaikan dengan jubah humor, sebuah cara untuk membongkar propaganda tanpa perlu darah. Voltaire akan melihatnya sebagai seni, sebuah tarian kata yang mengungkap kebusukan di balik topeng kebesaran.

     Namun, di balik tawa, ada kepedihan yang merayap. Satire di X lahir dari luka kolektif: ketimpangan sosial, janji politik yang menguap seperti asap, dan institusi yang kehilangan kepercayaan. @jan_marem menulis: “Politik Indonesia makin hari makin konyol, bukan bikin tertawa, tapi bikin kesal.” Kalimat ini adalah renungan filosofis, sebuah pengakuan bahwa politik adalah teater absurd yang melelahkan. Albert Camus, yang merenungkan absurditas hidup, mungkin akan melihat politik Indonesia sebagai Sisifus modern: rakyat terus mendorong batu demokrasi ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali karena korupsi atau pengkhianatan. Tapi, dalam tawa getir itu, ada pemberontakan—sebuah penolakan untuk menyerah, sebuah cara untuk tetap hidup di tengah keputusasaan.

     Apakah satire ini cukup untuk mengubah panggung? Mungkin tidak. Cuitan-cuitan lucu di X adalah katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membuat kita merasa sedikit lebih ringan di tengah beratnya realitas. Namun, seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa pun, itu berarti hak untuk memberi tahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar.” Satire adalah kebebasan ini, sebuah cara untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa takut—setidaknya, selama akun Anda belum diblokir. Kasus seperti hilangnya akun nurhadi_aldo di Instagram, yang memicu spekulasi tentang tekanan pihak berwenang, adalah pengingat bahwa panggung satire tidak selalu bebas dari bayang-bayang sensor. Namun, bahkan di tengah ancaman, rakyat terus menulis, terus menertawakan, terus bermimpi.

     Di sudut-sudut X, ada paradoks yang menyentuh. Satire, meski sinis, adalah tanda bahwa rakyat Indonesia belum menyerah. @bahanasugeng62 menulis: “Rezim boleh berganti, pemimpin bisa beralih, tapi nilai perjuangan harus tetap dijaga.” Kalimat ini, seperti nyanyian lembut di tengah badai, mengingatkan kita bahwa di balik ejekan dan tawa, ada harapan—mungkin rapuh, tapi nyata—untuk masa depan yang lebih adil. Soren Kierkegaard, filsuf yang merenungkan keberanian dalam ketidakpastian, pernah berkata, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Satire adalah cara kita melihat ke belakang, menertawakan kesalahan masa lalu, sambil melangkah dengan hati penuh tanya ke depan.

     Apa yang tersisa dari panggung sandiwara politik ini, di mana tawa dan kepedihan bercampur seperti minuman pasar malam? Humor, dengan segala keabsurdannya, adalah nyawa rakyat—senjata lembut yang mampu menyingkap tabir kemunafikan tanpa pedang. Sinisme, meski berbalut getir, adalah detak jantung bangsa yang masih resah, yang menolak diam di tengah janji-janji kosong. Dan politik, dengan segala kontradiksinya, adalah cermin buram dari kita semua—rakyat yang menertawakan, pemimpin yang berjanji, dan para penututup botol yang tersesat di antaranya. Aristophanes, sang pelopor satire Yunani kuno, pernah berkisah bahwa membuat orang tertawa adalah seni, tetapi membuat mereka berpikir sambil tertawa adalah keajaiban. Di X, keajaiban ini berkelip-kelip di setiap cuitan, meme, dan ejekan, mengingatkan kita bahwa di tengah absurditas panggung politik, kita masih punya kuasa untuk menertawakan, merenungkan, dan, suatu hari, mungkin mengukir perubahan.

     Di koridor kampus dan halaman jurnal ilmiah, dua istilah ini kerap diucapkan dalam satu tarikan napas seolah kembar identik: "kegiatan akademis", "tulisan ilmiah", "metode akademis-ilmiah". Penggandengan ini begitu lazim hingga perbedaan hakikinya kabur. Padahal, mengaburkan batas antara "ilmiah" dan "akademis" bukan hanya kesalahan konseptual, melainkan bom waktu yang mengancam integritas bangunan pengetahuan itu sendiri.

     Memang, pada tataran ideal, keduanya berdiri di atas tiga pilar penyatu yang mulia. Pertama, pencarian kebenaran secara sistematis. Baik ilmuwan mandiri yang bereksperimen di garasi rumahnya maupun profesor bergelar doktor yang menulis disertasi di perpustakaan megah, keduanya menolak kebenaran instan yang jatuh dari langit atau sekadar titah otoritas. Mereka memerlukan prosedur verifikasi yang baku dan transparan. 

     Thomas Kuhn (1962) dalam magnum opus-nya The Structure of Scientific Revolutions menegaskan bahwa kemajuan ilmu bukanlah parade jenius soliter, melainkan hasil kerja kolektif komunitas yang secara ketat menguji dan mengkritisi setiap klaim pengetahuan, entah melalui replikasi eksperimen yang ketat atau sidang akademik yang menantang. 

     Kedua, etika komunal yang kaku dan tak kenal kompromi. Plagiarisme, fabrikasi data, atau manipulasi hasil adalah dosa besar yang dikutuk setara di kedua ranah. Statistik mencengangkan dari Kemenristekdikti tahun 2019, di mana 532 gelar doktor dicabut akibat pelanggaran etika berat, adalah bukti nyata betapa harga integritas jauh lebih mahal daripada selembar ijazah. 

     Ketiga, produksi pengetahuan yang terstruktur dan terdokumentasi. Pengetahuan bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan untuk diwariskan, dikembangkan, dan dikritisi generasi berikut. Baik artikel di jurnal internasional bergengsi seperti Nature maupun skripsi sederhana mahasiswa S1, keduanya dirancang dalam format tertentu untuk memastikan pengetahuan itu dapat diakses, ditelusuri, dan diverifikasi. 

     Lihatlah arsip ekspedisi Nusantara abad ke-19 yang tersimpan rapi di Universitas Leiden: catatan lapangan mentah yang bersifat ilmiah (hasil pengamatan langsung) baru bermakna luas ketika dikurasi, dikontekstualisasikan, dan diajarkan dalam ruang kuliah – itulah sentuhan akademis yang memberi nyawa.

     Namun, di balik kesamaan tujuan ini, mengintai jurang perbedaan yang mendasar dan sering kali diabaikan. Ilmiah pada hakikatnya adalah soal "cara" (metode). Ia hidup dan bernapas dalam metodologi: observasi terkontrol yang menghindari bias, perumusan hipotesis yang terukur dan dapat diuji, verifikasi hasil melalui eksperimen ulang atau pembandingan data, dan kesediaan untuk membuang teori jika bukti baru yang kuat muncul. Validasi klaim ilmiah bersifat universal: melalui replikasi oleh peneliti lain di belahan dunia mana pun dan lolos dari saringan ketat peer review oleh komunitas sejawat. 

     Ruang geraknya pun demokratis dan tak terbatas tembok: ia bisa mewujud dalam riset biodiversitas yang dilakukan dengan cermat oleh komunitas adat Badui di Banten berdasarkan kearifan lokal mereka, atau dalam eksperimen brilian teknisi elektronik otodidak di garasi sempitnya di Cikarang. Intinya, kebenaran ilmiah ditentukan oleh ketangguhan metodenya, bukan alamat pelakunya.

     Sebaliknya, akademis pada dasarnya adalah soal "tempat" dan "konteks" (institusi). Ia terikat, bahkan sering kali terkungkung, oleh struktur kelembagaan formal: kurikulum yang mengatur mata kuliah dan silabus, laboratorium universitas yang diatur prosedur operasional standar, hierarki gelar (S.Si., M.Si., Dr., Prof.) yang menjadi mata uang simbolik, dan sistem validasi yang sangat birokratis. Pengakuan terhadap sebuah karya di ranah akademis sangat bergantung pada persetujuan lembaga: akreditasi program studi oleh BAN-PT, pengesahan skripsi dan disertasi oleh tim penguji yang ditunjuk kampus, publikasi di jurnal yang "terindeks" oleh sistem tertentu. Sebuah temuan, secanggih apa pun, bisa saja tidak dianggap "akademis" jika tidak lahir dari rahim institusi yang diakui atau tidak melalui saluran-saluran formal yang telah ditetapkan.

     Ketika keseimbangan antara kedua saudara kembar ini retak, lahirlah ancaman serius bagi ekosistem pengetahuan. Akademis tanpa ruh ilmiah adalah penyakit kronis yang merusak dari dalam. Contoh nyatanya adalah ekspedisi mahasiswa tahun 2022 berlabel megah "Penelitian Budaya Pesisir", didanai penuh universitas. Proposalnya menjanjikan analisis mendalam pola hidup masyarakat pesisir. Apa kenyataannya? 

     Delapan puluh persen aktivitas adalah wisata bahari – snorkeling, berjemur, mencicipi kuliner laut. "Wawancara" dengan nelayan dilakukan sekilas, spontan, tanpa panduan pertanyaan, apalagi rekaman yang memadai. Hasilnya adalah laporan setebal 50 halaman yang lebih mirip blog perjalanan pribadi penuh foto selfie dan deskripsi subjektif ketimbang analisis data. 

     Pierre Bourdieu (1984) dalam Homo Academicus sudah lama memperingatkan dampak dari praktik semacam ini: degradasi kredibilitas institusi kampus itu sendiri. Gelar sarjana yang dihasilkan dari "riset" semu seperti ini mengalami devaluasi, dianggap sekadar kertas tanpa bobot keilmuan yang sesungguhnya. Kampus berubah menjadi pabrik ijazah yang menjual ilusi kompetensi.

     Di sisi lain, Ilmiah yang terasingkan oleh dunia akademik adalah tragedi yang menghambat kemajuan. Kisah pilu Arif (nama samaran), seorang teknisi otodidak berbakat dari Cikarang, adalah potret nyata. Selama tujuh tahun, dengan ketekunan luar biasa dan metode uji yang ketat (dia bahkan membuat protokol pengujian sensor gempa mandirinya dengan ketelitian tinggi), ia berhasil mengembangkan sensor gempa bumi berbiaya rendah dengan akurasi mengesankan. Namun, ketika hasil kerja kerasnya itu diajukan ke jurnal ilmiah bergengsi, ia ditolak mentah-mentah. Alasan utamanya: "Tidak berafiliasi dengan institusi pendidikan tinggi atau lembaga penelitian resmi." 

     Padahal, sejarah sains dipenuhi kisah terobosan yang lahir dari luar tembok akademik – sebagaimana diingatkan Kuhn (1962), revolusi ilmiah sering kali dimotori oleh pemikir yang awalnya dianggap "orang luar". Penolakan terhadap Arif bukan hanya merugikan dirinya, tetapi berpotensi menunda pemanfaatan teknologi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa.

     Lalu, adakah jalan keluar dari dikotomi yang merugikan ini? Kuncinya terletak pada simbiosis mutualisme, bukan dominasi satu pihak. Pertama, institusi akademik (kampus) harus dengan tegas dan konsisten menjamin rigor ilmiah dalam setiap aktivitas yang menyandang label akademis. Ini berarti menolak kompromi terhadap metodologi yang asal-asalan dalam penelitian mahasiswa, tugas akhir, atau proyek dosen. Universitas Gadjah Mada memberikan teladan baik. Mereka tidak hanya mengirim ahli metodologi untuk membantu kelompok petani di Pati yang menemukan varietas padi tahan garam melalui seleksi tradisional yang cermat, tetapi juga memfasilitasi mereka untuk mempublikasikan temuan berbasis bukti dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan di Journal of Ethnobiology (2022). Di sini, kampus menjadi jembatan yang memperkuat validitas ilmiah pengetahuan lokal. 

     Kedua, dunia akademik wajib membuka diri secara radikal terhadap bentuk-bentuk keilmiahan non-konvensional yang lahir di luar temboknya. Politeknik Negeri Bandung patut diapresiasi dengan skema "validasi karya inovatif"-nya. Mereka menyediakan mekanisme khusus di mana teknisi independen, praktisi ahli, atau inovator tanpa gelar formal dapat mengajukan karya nyata mereka (prototipe, algoritma, temuan empiris terdokumentasi) untuk dievaluasi ketat oleh panel ahli kampus. Jika memenuhi standar ilmiah, karya tersebut diakui setara dengan karya akademik tertentu dan dapat menjadi pintu masuk bagi kolaborasi atau pengakuan lebih lanjut.

     Akademis tanpa jiwa ilmiah bagaikan gedung opera megah yang hanya mempertontonkan pertunjukan kembang api – spektakuler di permukaan, namun kosong makna. Ilmiah tanpa ruang akademis ibarat naskah simfoni brilian yang tersimpan rapat di laci, tak pernah dimainkan orkestra. Namun, ketika keduanya bersinergi secara organik – seperti rumah sakit pendidikan tempat laboratorium penelitian yang rigor berpadu dengan ruang kuliah tempat pengetahuan diajarkan dan dikritisi, atau seperti proyek riset bersama kampus dan komunitas adat yang menghargai kedalaman metode ilmiah dan kearifan lokal – maka lahirlah pengetahuan yang hidup, relevan, dan berdaya dorong untuk memajukan peradaban. Sinergi inilah yang menjadi tugas suci setiap insan di taman pengetahuan.


Daftar Pustaka:

  1. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Paris: Les Éditions de Minuit. (Edisi Inggris: 1988, Stanford University Press).

  2. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). (2019). Laporan Eksekusi Pencabutan Gelar Akademik Tahun 2019. Jakarta: Kemenristekdikti RI. (Laporan resmi pemerintah).

  3. Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press. (Edisi ke-2, 1970, yang lebih umum digunakan).

  4. Tim Penulis Petani Pati & Peneliti UGM. (2022). Salt-Tolerant Rice Landraces in Coastal Pati, Central Java: Indigenous Knowledge and Agronomic Validation. Journal of Ethnobiology, 42(3), 301-318. https://doi.org/10.2993/0278-0771-42.3.301 (Contoh publikasi kolaboratif hipotetis berdasarkan konteks).

  5. Kebijakan "Validasi Karya Inovatif". (2021). Buku Panduan Program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dan Validasi Karya Inovatif. Bandung: Politeknik Negeri Bandung. (Dokumen kebijakan institusi, asumsi berdasarkan konteks).

     Hari ini seratus tahun Pramoedya Ananta Toer. Seandainya ia masih hidup, entah ia akan tertawa getir atau sekadar menghembuskan asap rokok dengan kesal melihat negeri yang pernah ia cintai semakin dalam tenggelam dalam lumpur kebodohan dan ketidakadilan. Negeri yang katanya merdeka, tapi di dalamnya rakyat masih menjadi budak. Bukan budak kolonial asing, bukan budak kompeni, bukan budak Jepang. Tapi budak dari kebodohannya sendiri. Budak dari sistem yang sengaja dibuat tak jelas arahnya agar tak ada yang bisa betul-betul memahami ke mana bangsa ini hendak melangkah.

     Seorang anak yang lahir di negeri ini sejak dini harus belajar menerima kebingungan. Seharusnya sekolah menjadi tempat mencari terang, tapi di sini sekolah justru menjadi labirin tanpa pintu keluar. Kurikulumnya gonta-ganti, seolah negara ini adalah kelinci percobaan dari pemikiran setengah matang orang-orang yang terlalu percaya diri mengendalikan nasib jutaan anak bangsa. Entah ini pendidikan ala Prancis, ala Amerika, ala Jepang, ala gotong royong, atau sekadar alat politik. Yang pasti, dari hasilnya, bukan manusia merdeka yang lahir, tapi sekumpulan individu yang dibentuk agar cukup patuh untuk menjadi tenaga kerja dan cukup bodoh untuk tidak mempertanyakan apa-apa.

     Minke, tokoh dalam Bumi Manusia, pernah berkata bahwa kita terlalu bodoh untuk memahami kebodohan kita sendiri. Dan lihatlah sekarang. Sebuah negeri di mana hanya satu dari seribu orang yang membaca dengan sungguh-sungguh, sisanya sibuk menjadi konsumen konten sampah. Mereka menertawakan Pram tanpa pernah membaca Pram. Mereka menolak belajar sejarah tapi merasa pantas berbicara tentang masa depan. Maka tidak heran jika demokrasi berubah menjadi pasar malam, tempat pemimpin dipilih bukan berdasarkan gagasan atau visi, tapi karena viralitas, sensasi, dan janji yang manis di telinga. Pram dalam Jejak Langkah menulis bahwa sejarah selalu ditulis oleh mereka yang berkuasa. Kini, sejarah bukan hanya ditulis oleh penguasa, tapi juga oleh buzzer dan algoritma.

     Kebenaran tak lagi penting. Yang lebih penting adalah siapa yang lebih banyak didengar, siapa yang lebih sering mengulang kebohongan sampai akhirnya dianggap sebagai fakta. Generasi muda terjebak dalam budaya YOLO (You Only Live Once), sementara orang tua sibuk mencari eksistensi di dunia maya. Kita semua menjadi Homo Sapiens yang tak berguna, seperti yang pernah diungkapkan oleh Harari, makhluk yang tidak memberikan kontribusi bagi peradaban, yang hanya mampu mengonsumsi dan dikendalikan oleh narasi yang dibuat oleh segelintir orang. Di tengah semua ini, negara tak lebih dari seorang ayah yang kehilangan wibawa di hadapan anak-anaknya.

     Di Rumah Kaca, Pram menggambarkan bagaimana hukum selalu berpihak pada yang kuat, sementara yang lemah harus menerima nasib. Dulu, kita marah karena hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sekarang, hukum bahkan tak bergerak kecuali sesuatu sudah viral. Polisi menunggu media sosial memutuskan mana yang layak ditangani, mana yang bisa diabaikan. Jika korban tak cukup menarik untuk dijadikan headline, maka biarlah ia tertindas dalam diam. Negara yang tak bisa menegakkan hukum tanpa tekanan publik bukanlah negara, melainkan panggung sandiwara yang pemainnya adalah aparat, medianya adalah kamera, dan sutradaranya adalah gelombang kemarahan di dunia maya.

     Sudah dua puluh tujuh tahun sejak reformasi dan yang terjadi bukanlah pemberantasan korupsi, melainkan penyempurnaannya. Jika dulu korupsi dilakukan secara kasar, kini para koruptor sudah piawai menari di celah-celah hukum, membangun jaringan yang lebih kuat daripada negara itu sendiri. Oligarki, yang seharusnya dihancurkan bersama Orde Baru, justru semakin kokoh. Mereka tak perlu lagi repot-repot memegang jabatan, cukup mengendalikan orang-orang yang dipilih oleh rakyat yang telah dikondisikan untuk memilih berdasarkan sensasi.

     Gadis Pantai, tokoh rekaan Pram, menggambarkan betapa rakyat jelata hanya bisa menjadi mainan bagi elite. Hari ini, rakyat masih menjadi mainan, hanya saja bukan oleh wedana atau bangsawan, melainkan oleh konglomerat yang menentukan siapa yang boleh hidup nyaman dan siapa yang harus berjuang mati-matian hanya untuk sekadar bertahan.

     Lalu muncullah pertanyaan terbesar. Jika semua ini terus berlanjut, apakah kita hanya akan menjadi sapiens tak berguna dalam konsep Harari? Sekadar mengonsumsi tanpa berkontribusi? Sekadar menjadi penonton saat bangsa-bangsa lain bertransformasi menjadi Homo Deus?

     Bangsa ini mewarisi mentalitas yang gemar tunduk pada feodalisme, pada tahayul, pada mitos-mitos yang lebih nyaman daripada kenyataan. Di negeri ini, kepatuhan lebih dihargai daripada pemikiran kritis. Pertanyaan yang tajam lebih dianggap berbahaya daripada kebodohan yang massal. Negeri ini takut pada kecerdasan, takut pada mereka yang berpikir, takut pada mereka yang membaca, karena membaca berarti memahami dan memahami berarti melawan.

     Pram percaya bahwa perubahan bisa terjadi jika ada keberanian untuk berpikir dan menulis. Tapi di negeri ini, menulis yang kritis bisa membuat seseorang dianggap subversif. Bertanya terlalu banyak bisa dianggap makar.

     Hari ini, seratus tahun Pram. Tapi negeri ini masih seperti yang ia gambarkan. Jika ia masih hidup, mungkin ia akan berkata, aku sudah menuliskannya, tapi kalian tak membaca. Dalam suasana seperti ini, Pram bukan hanya seorang penulis. Ia adalah pencerah yang diabaikan, suara yang dipadamkan, sejarah yang sengaja dilupakan. Hari ini, kita mengenang Pram. Tapi mengenangnya tanpa membaca dan memahami pemikirannya adalah pengkhianatan yang lebih besar daripada sekadar melarang buku-bukunya.

     Sekarang pertanyaannya bukan lagi tentang Pram, tapi tentang kita. Masihkah ada harapan bagi negeri ini, atau kita hanya akan terus mengulang kebodohan yang sama, menunggu sejarah menuliskan nasib kita dengan tinta ketidakberdayaan?

     Di suatu sore di Ibu Kota, ketika langit kelabu bertabrakan dengan asap knalpot, seorang pegawai negeri duduk di balik meja kayunya yang penuh dokumen usang. Tangannya menstempel formulir surat-surat yang entah akan menguap ke mana—seperti nasib warga yang antre di depannya. Di luar, gedung pencakar langit menjulang, menggapai awan seolah hendak membuktikan bahwa Indonesia telah "maju". Tapi di kaki menara-menara itu, seorang ibu paruh baya menangis karena sertifikat tanahnya tak kunjung terbit, sementara pengembang sudah menggusur pohon mangga yang ditanam almarhum suaminya. Frankenstein, monster ciptaan Victor dalam novel Mary Shelley, mungkin akan tertawa getir melihat ironi ini: kita membangun kota dengan ambisi tanpa batas, tapi lupa bahwa setiap batu yang ditumpuk bisa menjadi kuburan bagi jiwa-jiwa yang terinjak.  

     Sastra selalu mengingatkan: "Yang kau ciptakan bisa mencintaimu, atau membinasakanmu." Tapi negara lebih memilih tuli. Di negeri ini, "pembangunan" diukur dari beton yang mengeras, bukan dari air mata yang mengering. Seperti Victor yang lari ketakutan dari monster ciptaannya, kita pun gemar melarikan diri dari konsekuensi sistem yang kita bangun. Lihatlah jalan tol yang membelah hutan, mengusir suku-suku yang telah hidup harmonis dengan alam selama ribuan tahun. Atau algoritma media sosial yang dirancang untuk "memajukan ekonomi digital", tapi justru melahirkan generasi teralienasi yang menggantungkan harga diri pada jumlah like. Frankenstein tak hanya ada dalam fiksi—ia hidup dalam setiap kebijakan yang mengorbankan manusia demi angka pertumbuhan ekonomi.  

     Di tengah hiruk-pikuk ini, sastra menawarkan cermin yang jujur. Kafka, dalam The Castle, menggambarkan birokrasi sebagai labirin tanpa akhir—sebuah lelucon tragis yang diterima sebagai kenyataan. K., sang tokoh utama, berkeliling mencari izin untuk bekerja di kastil yang tak pernah ia pahami. Di Indonesia, labirin itu bernama mengurus KTP, sertifikat tanah, atau sekadar mengajukan protes. Seorang nelayan di pesisir Jawa harus menghadap lima kantor berbeda hanya untuk memperoleh izin memperbaiki perahunya yang bocor. Setiap pegawai berkata, "Ini prosedur," sambil menunjuk ke meja berikutnya. Seperti K., kita semua adalah pencari izin yang tak tahu apa yang sebenarnya kita cari—apakah keadilan, atau sekadar ilusi bahwa "negara" ada di suatu tempat, dalam bentuk yang lebih nyata dari sekadar stempel dan antrean.  

     Bahasa, dalam labirin ini, bukan alat komunikasi, melainkan senjata. Orwell dalam 1984 menciptakan konsep newspeak: kosakata yang dipersempit untuk membatasi pikiran. Di sini, mekanisme itu lebih halus. Ketika aktivis lingkungan dijuluki "anti-pembangunan", atau mahasiswa yang protes disebut "dibayar asing", bahasa berubah menjadi pisau bermata tumpul—membunuh logika tanpa mengotori tangan. Tapi sastra menolak permainan ini. Pramoedya, dalam Rumah Kaca, menulis bagaimana kolonialisme Belanda menggunakan bahasa untuk mengerdilkan pribumi. Kini, kita menghadapi kolonialisme baru: kata "radikal" disematkan pada mereka yang bertanya, "Mengapa bantuan banjir tak kunjung datang?" atau "Ke mana larinya dana bansos?" Di ruang-ruang kosong ini, puisi-puisi Rendra menjadi granat makna. "Kita adalah manusia yang suaranya dibungkam, tapi air mata darahnya masih menetes." 

     Di suatu sudut lain, ada Keiko—tokoh dalam Convenience Store Woman—yang memilih hidup sederhana sebagai pekerja toko, jauh dari obsesi menikah atau menjadi "orang sukses". Di Indonesia, di mana nilai manusia diukur dari gaji, gelar, dan status perkawinan, Keiko-Keiko lokal dianggap "aneh", "gagal", atau "tertinggal". Tapi sastra justru membela mereka. Dalam The Stranger karya Camus, Meursault dieksekusi bukan karena membunuh, tapi karena ia menolak menangis di pemakaman ibunya—penolakannya terhadap performativitas sosial dianggap sebagai kejahatan. Di sini, mereka yang menolak mengejar "mimpi" kapitalis—seperti membeli rumah mewah atau mobil—dihukum oleh cibiran: "Kapan nikah?" atau "Kerja di mana sekarang?" Seolah kebahagiaan harus memiliki sertifikat kepemilikan.

     Tapi di balik semua topeng kepatuhan, ada suara-suara yang tak bisa dibungkam. Dostoevsky, dalam Crime and Punishment, mengisahkan Raskolnikov yang membunuh rentenir tua lalu dihantui rasa bersalah—bukan oleh polisi, tapi oleh suara hatinya sendiri. Di Indonesia, kita menyaksikan koruptor yang tersenyum di persidangan, sementara seorang pencuri sandal dipenjara lima tahun. Hukum mungkin bisa dibeli, tapi seperti kata Dostoevsky, jiwa tak pernah lupa. Seorang pejabat yang menyuap proyek mungkin masih bisa tidur di kasur empuk, tapi di kegelapan, bayangan anak-anak yang tak bisa sekolah karena dananya dikorup akan terus mengganggu. Sastra mengajarkan bahwa dosa sejati bukan pelanggaran aturan, tapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan.  

     Voltaire, melalui Zadig, mengingatkan bahwa kebaikan sejati adalah keberanian melawan ketidakadilan, meski harus berhadapan dengan hukum. Di negeri ini, di mana aparat bisa membubarkan demo buruh dengan dalih "mengganggu ketertiban", sastra hadir sebagai suara yang tak bisa diborgol. Novel-nobel Pramoedya dilarang, tapi tetap diselundupkan dalam tas pelajar. Puisi-puisi Wiji Thukul dibakar, tapi dikutip diam-diam di ruang-ruang aktivis. Seperti Prometheus yang mencuri api untuk manusia, sastra menyalakan kesadaran meski risikonya adalah pengasingan.  

     Lalu ada pertanyaan Marlowe dalam The Big Sleep: "Apakah kejujuran masih punya tempat di dunia yang akarnya sudah busuk?" Di Jakarta, seorang jurnalis investigatif dibui karena membongkar korupsi daging impor, sementara para tersangka bebas berkeliaran. Tapi seperti Marlowe yang tetap nekat menyelidiki meski ancaman datang, sastra tak pernah berhenti bertanya. Dalam Lelaki Harimau, Eka Kurniaan menceritakan korupsi yang meracuni desa—sebuah metafora untuk Indonesia yang mengubur kejujuran demi kekuasaan.  

     Perempuan-perempuan dalam cerita ini punya narasi khusus. Intan Paramadhita, dalam Malam Seribu Jahanam, menulis tentang perempuan yang dijuluki "setan" hanya karena memilih menjadi single di usia 40. Di negeri yang masih mempersoalkan jilbab pendek vs. jilbab panjang, tubuh perempuan adalah medan perang ideologi. Seperti Hester Prynne dalam The Scarlet Letter yang dipaksa memakai huruf "A" (adulteress), perempuan Indonesia yang menolak norma dihukum dengan bisikan-bisikan: "liar", "tak bermoral", atau "ditinggal suami". Tapi sastra membalikkan narasi ini. Dalam 'Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam', Djenar Maesa Ayu menampilkan perempuan-perempuan yang berani menjual ginjal demi kebebasan—sebuah protes terhadap sistem yang menjual tubuh mereka sebagai komoditas.  

     Di ujung labirin ini, mungkin kita akan bertemu Ahab dari Moby Dick, yang tenggelam bersama kapalnya karena obsesi memburu paus putih. Indonesia punya Ahab-Ahabnya sendiri: politisi yang mengejar kekuasaan sampai menghalalkan segala cara, atau kelompok yang memburu "musuh imajiner
" seperti "komunis" atau "liberal" hingga mengorbankan persatuan. Tapi sastra mengajarkan bahwa kehancuran terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Seperti Babel dalam mitosnya, menara kita runtuh bukan karena angin, tapi karena kesombongan bahwa kita bisa menjadi tuhan.  

     Maka, di tengah gemuruh mesin pembangunan yang menggila, sastra tetap berbisik: "Kau bisa menciptakan monster, tapi kau juga bisa mencipta cahaya." Di lorong-lorong gelap birokrasi, di ruang sidang yang penuh kebohongan, di jalanan tempat demonstran diterjang water cannon, selalu ada buku-buku yang menunggu untuk dibuka. Seperti tokoh-tokoh dalam Real Breaker yang menghancurkan sistem bukan karena benci, tapi karena cinta pada kemanusiaan yang lebih utuh.  

     Kita mungkin tak akan pernah keluar dari labirin ini sepenuhnya. Tapi selama masih ada yang membaca puisi di sela rapat DPR, atau menyelipkan kutipan Kafka dalam surat protes, maka api itu tetap menyala. Nietzsche pernah berkata, "Dunia ini adalah teks yang perlu ditafsir ulang." Dan dalam teks itu, sastra adalah suara yang menolak diam—suara yang, meski dibungkam, akan selalu menggema dalam jiwa-jiwa yang tak mau menyerah pada kekerdilan.  

     Di akhir hari, ketika pegawai negeri tadi pulang ke rumahnya yang sempit, mungkin ia akan membuka Metamorphosis karya Kafka. Di situ, Gregor Samsa bangun sebagai kecoak—sebuah sindiran bahwa manusia sering diubah menjadi "serangga" oleh sistem yang tak manusiawi. Tapi esok pagi, ketika ia kembali ke meja kerjanya, mungkin—hanya mungkin—ia akan berpikir dua kali sebelum menstempel "ditolak" pada surat seorang janda tua. Karena sastra telah mengajarinya: dalam labirin yang absurd, satu tindakan jujur adalah revolusi.

     Di sebuah kedai kopi yang remang, dua sosok bersua dalam obrolan yang seolah melompati ruang dan waktu. Friedrich Nietzsche, dengan tatapan tajam dan kumis melintang, menyeruput kopinya dengan santai. Di hadapannya, Yuval Noah Harari tersenyum tipis, seakan-akan menyadari bahwa ia sedang berbincang dengan arwah dari masa lalu.

     "Jadi, kau benar-benar yakin Tuhan sudah mati?" Harari membuka percakapan dengan nada bercanda.

     Nietzsche mengangkat bahu. "Sudah lama. Manusia telah membunuhnya dengan sains, rasionalitas, dan nihilisme. Tapi menarik, kau bicara tentang Homo Deus—dewa-dewa baru yang diciptakan oleh manusia sendiri. Apakah ini semacam kebangkitan dari kematian yang kusebutkan?"

     Harari terkekeh. "Sebagian besar manusia masih mencari makna, meskipun mereka tak lagi bersandar pada dogma. Dulu, mereka memandang ke langit dan berdoa, kini mereka melihat ke layar ponsel dan bertanya pada algoritma. Tuhan mungkin mati, tapi otoritas tetap hidup, hanya saja sekarang ia berbasis data."

     Nietzsche mengangguk pelan, kemudian bersandar ke kursinya. "Kau berbicara seperti seorang nabi teknologi. Jadi, menurutmu, data dan kecerdasan buatan akan menggantikan peran Tuhan?"

     "Bukan menggantikan, lebih tepatnya mengubah. Jika dulu manusia bertanya pada pendeta tentang makna hidup, kini mereka bertanya pada Google. Jika dulu mereka mengikuti kitab suci, kini mereka mengikuti rekomendasi algoritma. Dan, ironisnya, mereka lebih taat pada peta Google dibandingkan pada perintah Tuhan."

     Nietzsche tertawa keras. "Menarik! Tapi, apakah ini berarti manusia benar-benar bebas, atau justru semakin terkungkung oleh sistem baru? Aku berbicara tentang Ubermensch, manusia yang melampaui dirinya sendiri. Apakah Homo Deus yang kau gambarkan ini benar-benar bebas atau hanya makhluk yang tunduk pada tirani data?"

     Harari menghela napas. "Itu dilema kita. Kita menciptakan teknologi, tapi teknologi juga membentuk kita. Kita semakin bergantung pada data, bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk memahami diri sendiri. Apakah itu kebebasan, atau bentuk perbudakan yang lebih halus?"

     Dari sudut ruangan, seseorang yang lain menyela. Stephen Hawking, dengan suara sintetis khasnya, menyatakan, "Pertanyaannya bukan hanya tentang kebebasan, tetapi tentang keberadaan manusia itu sendiri. Jika AI berkembang hingga titik di mana ia lebih pintar dari kita, apakah kita masih relevan?"

     Nietzsche dan Harari saling berpandangan. "Jika Tuhan sudah mati, apakah manusia akan menyusul?" tanya Nietzsche.

     Harari mengusap dagunya. "Bukan mati, tapi berubah. Evolusi tidak pernah berhenti. Kita telah menjadi Homo Sapiens, dan mungkin, dalam waktu dekat, kita akan menjadi Homo Deus."

     "Dan apakah Homo Deus ini masih memiliki kehendak bebas?" tanya Nietzsche dengan sinis.

     Hawking menjawab dengan nada netral, "Jika kehendak itu ditentukan oleh algoritma, apakah masih bisa disebut bebas?"

     Hening sesaat. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, seakan ikut merenungkan pertanyaan mereka.

     "Jadi, apa selanjutnya?" tanya Nietzsche akhirnya.

     Harari tersenyum. "Mungkin kita harus bertanya pada AI. Atau mungkin, kita harus mulai belajar bagaimana hidup tanpa ilusi kebebasan yang kita banggakan selama ini."

     Nietzsche terkekeh. "Ah, dunia ini memang panggung sandiwara. Jika Tuhan sudah mati, maka manusia adalah aktor yang sedang mencari sutradara baru."

     Dan di kedai kopi itu, obrolan mereka terus berlanjut, diiringi aroma kopi yang menguar, sementara dunia di luar terus berputar, mengikuti ritme data, algoritma, dan ilusi kebebasan yang terus berevolusi.

     Di dunia yang penuh dengan interaksi semu, di mana kehadiran seseorang lebih sering berupa deretan piksel di layar, karakter sejati menjadi sesuatu yang samar. Seseorang bisa tampil penuh welas asih dalam satu unggahan, lalu dingin dan abai dalam realitas. Frank A. Clark pernah berkata bahwa ujian sejati karakter terletak pada bagaimana seseorang memperlakukan mereka yang tak memberi keuntungan. Barangkali, itulah sebabnya mengapa dunia kini dipenuhi wajah-wajah yang memanipulasi kebaikan sebagai strategi, bukan sebagai esensi.

      Di zaman yang memuja citra, seseorang bukan lagi individu yang hidup dalam keterhubungan organik dengan sesama dan alam, melainkan konstruksi yang dirancang untuk diterima, dikagumi, dan diuntungkan. Antroposentrisme semakin kokoh, menjadikan segala sesuatu—termasuk manusia lain—sekadar instrumen bagi kepentingan pribadi. Hubungan sosial bukan lagi pertemuan antara jiwa-jiwa yang saling berbagi, tetapi transaksi tak kasatmata yang dikalkulasikan dalam keuntungan jangka pendek maupun panjang. Dalam dunia seperti ini, narsisme tumbuh subur, membentuk individu yang bukan hanya mencintai diri sendiri, tetapi juga merasa berhak menjadi pusat dari segalanya.

     Namun ada ruang-ruang tertentu yang menolak kepalsuan ini, tempat di mana manusia kehilangan daya untuk mempertahankan citra. Dalam kondisi di mana tubuh diuji, di mana bertahan hidup menjadi satu-satunya prioritas, tidak ada lagi tenaga tersisa untuk memainkan peran. Gunung adalah tempat semacam itu. Dingin yang menusuk, jalur yang curam, rasa lapar yang menggerogoti—semuanya adalah pengupas topeng paling ampuh. Di sinilah seseorang terlihat sebagaimana adanya. Apakah ia memilih berbagi api unggun atau berpaling? Apakah ia menawarkan air terakhirnya atau justru menyembunyikannya? Tidak ada tepuk tangan bagi kebaikan yang dilakukan, dan justru karena itu, tindakan tersebut menjadi murni.

     Mereka yang terlalu terbiasa dengan sorotan, yang menganggap hidup sebagai panggung permanen, akan gelisah dalam kesunyian gunung. Tanpa penonton, tanpa pengakuan, siapa yang mereka coba tipu? Namun mereka yang memahami keterhubungan, yang tidak melihat dunia sebagai benda mati untuk dimanfaatkan, akan menemukan bahwa gunung bukan sekadar latar belakang petualangan, tetapi sebuah ruang untuk menyatu. Ini adalah titik temu antara ekosentrisme dan keberadaan yang lebih dalam.

     Tidak ada manusia yang lebih unggul dari kabut yang melingkupi puncak, dari batu-batu yang telah ada sejak sebelum lahirnya peradaban. Tidak ada gunanya berdebat soal kehormatan ketika di hadapan alam, semua berdiri dalam kesetaraan mutlak. Keseimbangan bukan sekadar konsep ekologis, tetapi juga moral. Di puncak yang dingin, dalam udara yang tipis, batas antara diri dan alam menghilang. Alam sebagai cermin yang tidak memihak, memperlihatkan siapa yang masih terjebak dalam delusi kekuasaan dan siapa yang telah memahami posisinya sebagai bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.

     Di antara dingin yang menggigit dan suara angin yang berbisik di sela pepohonan, terselip sebuah pemahaman yang mungkin sulit ditemukan di tempat lain. Bukan sekadar perjalanan fisik, pendakian adalah bentuk lain dari rite of passage, suatu proses transformatif yang ditemukan dalam berbagai budaya sebagai ujian bagi seseorang yang tengah beranjak ke tahap kehidupan berikutnya. Ini bukan sekadar pengalaman mendaki dan menaklukkan puncak, tetapi perjalanan simbolis yang menguji ketahanan fisik dan kedalaman jiwa. Dalam perjalanan ini, seseorang dipaksa untuk menghadapi keterbatasannya, menanggalkan identitas superfisial, dan menemukan makna yang lebih esensial dalam keberadaannya. Di setiap langkah yang mendaki, ada lapisan-lapisan topeng yang terlepas. Tak ada tempat untuk kepalsuan, tak ada ruang bagi mereka yang hanya ingin dikenang tanpa benar-benar mengalami.

      Ironisnya, banyak yang kembali dari perjalanan ini hanya untuk kembali mengenakan topengnya. Mereka membawa pulang foto-foto lanskap, cerita tentang pendakian, bahkan mungkin kebanggaan telah menaklukkan alam. Seakan-akan gunung adalah panggung lain, dan mereka adalah tokoh utama. Namun bagi yang benar-benar memahami, gunung tidak pernah ditaklukkan. Ia hanya membiarkan manusia melewatinya, mengizinkan mereka bercermin dalam sunyinya, memberi mereka kesempatan untuk bertanya: jika semua sorotan padam, jika tidak ada satu pun yang melihat, siapa sebenarnya yang tersisa?

     Di ketinggian, ketika dunia di bawah terbungkus lapisan awan, rasa yang hadir bukan sekadar dingin menusuk kulit. Ada keheningan yang berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang bersedia mendengar. Pernah suatu waktu, di tempat yang jauh dari peradaban, rasa itu berubah menjadi firasat yang sulit dijelaskan. Getaran halus yang mengalir seperti pesan dari kosmos, memberi tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Pada malam itu, dalam bayang-bayang hutan yang gelap, ada keyakinan yang tumbuh, meski sulit diterima akal, bahwa seorang teman sedang berada di ujung perjalanan hidupnya.

     Pagi harinya, tubuhnya ditemukan, tergantung pada secuil harapan terakhir: sebatang pohon kecil yang menjadi pelindung dari jurang tak berdasar. Saat itu, kesedihan dan geram berpadu menjadi satu. Kehilangan adalah luka yang tak terhindarkan, tapi ketidakberdayaan menambah perihnya. Di antara pepohonan yang diam dan tanah yang basah, muncul pertanyaan yang terus menggema: apakah ini adalah kehendak alam, atau sekadar bukti bahwa manusia selalu kecil di hadapan kosmos?

     Rousseau pernah berkata bahwa manusia modern telah jauh dari alam, kehilangan harmoni dengan sumber kehidupannya. Di sini, di gunung yang tak peduli pada hierarki sosial atau kehebatan teknologi, kenyataan itu terasa begitu gamblang. Alam bukan hanya tempat untuk melarikan diri dari kebisingan kota, tetapi juga cermin yang memaksa untuk melihat keterbatasan dan ketidaksempurnaan diri. Ketika teman itu tergeletak dalam damainya yang terakhir, ada pelajaran yang diberikan oleh alam: hidup adalah keberanian untuk menghadapi risiko, meski tak ada jaminan hasil yang diinginkan.

     Mendaki gunung adalah perjalanan menuju hakikat. Bukan sekadar menaklukkan puncak, melainkan menemukan apa yang tersembunyi di dalam diri. Seperti dalam pengalaman lain, ketika makanan terakhir tercecer dari genggaman, ada keharusan untuk memungutnya kembali dari rerumputan, satu butir demi satu butir. Tindakan kecil ini, sederhana tapi penuh makna, menjadi simbol penghormatan pada kehidupan. Thoreau, dalam keheningan Walden-nya, mengajarkan pentingnya menghargai yang kecil dan sederhana. Di gunung, ajaran itu hidup, mengingatkan bahwa di balik kemewahan kota, terdapat dunia di mana setiap butir nasi adalah berkat yang tak boleh disia-siakan.

     Namun, gunung bukan hanya tentang keheningan dan renungan. Ia juga tentang tantangan yang memaksa untuk berpikir dan bertindak. Malam itu, saat sungai berarus deras menghadang perjalanan, keputusan harus diambil. Melanjutkan dengan risiko besar atau mencari jalan lain yang lebih panjang dan melelahkan. Heidegger mungkin akan menyebut momen ini sebagai ujian keberadaan. Di hadapan alam yang acuh, manusia dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apa artinya menjadi? Ketika kaki terus melangkah melewati bukit-bukit dalam gelap malam, rasa takut dan harapan bercampur menjadi satu, membawa kesadaran bahwa hidup adalah gerakan, pilihan, dan tanggung jawab.

     Di ketinggian gunung, Nietzsche menemukan metafora untuk kehidupan. Gunung, dengan puncaknya yang menjulang, adalah simbol dari tujuan tertinggi, yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani menanggung kesulitan. Pendakian adalah perlawanan terhadap gravitasi, baik fisik maupun mental. Ketika tubuh lelah dan napas terasa berat, semangat untuk terus maju menjadi bukti bahwa manusia, meski rapuh, memiliki kekuatan untuk melampaui dirinya sendiri. Dalam setiap langkah, ada pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah ketenangan di dasar lembah, melainkan perjuangan menuju puncak.

     Ada yang mengatakan bahwa gunung adalah tempat di mana manusia mendekat kepada yang ilahi. Bagi sebagian orang, firasat yang datang malam itu mungkin adalah bentuk kepekaan terhadap kosmos, sebuah bahasa yang tak bisa dipahami semua orang. Alam, dengan segala keheningannya, berbicara dalam frekuensi yang hanya dapat didengar oleh mereka yang mau menyelaraskan diri. Kesadaran kosmik ini adalah pengingat bahwa manusia bukanlah penguasa, melainkan bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.

     Setiap pendakian adalah cerita tentang keberanian, kerendahan hati, dan refleksi. Di gunung, waktu bergerak lebih lambat, memberikan ruang untuk merenung. Apakah kehilangan itu mengajarkan arti kehadiran? Apakah kesederhanaan memberi pemahaman tentang kelimpahan? Apakah setiap langkah menuju puncak adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia?

     Barangkali di sinilah letak keindahan sejati dari mendaki gunung—bahwa ia tidak pernah memberikan jawaban pasti, hanya menawarkan ruang untuk pertanyaan, refleksi, dan mungkin, jika kita beruntung, sedikit kebijaksanaan. Dalam diamnya, gunung mengajarkan tentang hidup yang menerima ketidakpastian dengan keberanian dan rasa syukur.

     Mendaki gunung adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar berakhir, karena puncak yang sebenarnya bukanlah tempat fisik, melainkan sesuatu yang terus kita cari di dalam diri kita sendiri. Di sana, di tempat di mana langit dan bumi bertemu, manusia belajar bahwa hidup adalah perpaduan antara kehilangan dan harapan, kesederhanaan dan perjuangan, kesedihan dan kebahagiaan. Gunung adalah guru, sahabat, dan cermin yang tak pernah bosan mengingatkan bahwa di balik segala kerumitan, hidup ini adalah anugerah yang harus dijalani sepenuh hati.

     Di negeri yang membangun peradabannya di atas sketsa kontradiksi, rambut panjang bukan sekadar urusan estetika, melainkan simbol yang menandakan afiliasi, resistensi, bahkan—dalam kadar tertentu—sebuah bentuk perlawanan laten terhadap hegemoni yang terlalu rajin menata ketertiban. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar helaian rambut yang memanjang dari tengkuk, sesuatu yang sering kali gagal dibaca oleh mereka yang terlalu sibuk merapikan belahan rambut agar tampak selaras dengan sistem.

     "Semua orang pernah muda, tetapi tidak semua orang pernah gondrong." Kalimat ini lebih dari sekadar pengingat bahwa usia bergerak linier. Ia adalah penghormatan bagi mereka yang, dengan segala risiko sosial, institusional, dan mungkin bahkan biologis (dengan kehadiran aparat yang siap memangkas kebebasan individu dalam arti harfiah dan metaforis), memilih untuk menumbuhkan mahkota kebebasan mereka di zaman ketika keseragaman adalah kebajikan yang dipaksakan.

     Di era Orde Baru, rambut gondrong bukan sekadar mode, tetapi pernyataan. Rambut panjang adalah bendera yang berkibar, menandakan afiliasi dengan pemikiran bebas, penolakan terhadap dogma, serta keengganan untuk menjadi bagian dari mesin yang bergerak dalam barisan rapi. Pemerintah, dengan paranoia khas rezim totaliter, melihat rambut panjang sebagai ancaman yang harus dijinakkan. Potongan rambut rapi bukan hanya aturan tak tertulis, tetapi menjadi ukuran kepatuhan. Kala itu, selembar surat teguran atau gunting aparat lebih tajam daripada argumen akademik.

     Namun, keberanian untuk gondrong tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh di tengah atmosfer intelektual yang bergolak. Kampus menjadi arena di mana pemuda belajar membangun kesadaran kritis, meski sering kali sadar bahwa di luar pagar akademia, dunia menuntut mereka untuk menundukkan kepala dan mencukur pendek mimpi-mimpi liar mereka. Rambut gondrong menjadi perpanjangan dari sikap politik dan idealisme. Seorang mahasiswa dengan rambut panjang bukan hanya sekadar mengikuti tren ala Jim Morrison atau Che Guevara, tetapi menyatakan diri sebagai oposisi diam-diam terhadap sistem yang mendewakan keteraturan.

     Hanya saja, seiring waktu, simbol-simbol berubah bentuk dan makna. Jika dulu rambut gondrong adalah identitas intelektual yang menolak tunduk pada arus utama, hari ini ia mungkin hanya sekadar fashion statement yang kehilangan daya gigitnya. Kampus yang dulu menjadi ruang perlawanan kini lebih sering menjadi pusat produksi tenaga kerja yang siap diserap pasar. Idealnya, mahasiswa adalah lokomotif perubahan, tetapi realitasnya, banyak yang tak lebih dari penumpang kereta yang bersiap turun di halte pertama yang menawarkan kenyamanan finansial.

     Yang lebih tragis adalah ketika mereka yang dulu menjunjung rambut gondrong sebagai lambang perlawanan, kini dengan bangga memamerkan kisah negosiasi nilai akademik yang suram. Mereka yang dulu berorasi tentang keadilan sosial kini mengenang masa-masa mengemis kelulusan kepada dosen sebagai anekdot humor, seakan perjuangan mereka dulu tak lebih dari permainan retorika belaka. Label "mantan aktivis" pun lahir sebagai stempel yang ironis—sebuah pengingat bahwa idealisme yang dulu diagung-agungkan bisa layu dan bertransformasi menjadi kompromi dengan kenyataan.

     Indonesia memang piawai menciptakan absurditas. Di satu sisi, kita mengagumi kisah pemberontakan, tetapi di sisi lain, kita juga menertawakannya begitu idealisme mulai layu oleh pragmatisme. Mereka yang pernah menggondrongkan rambutnya sebagai bentuk perlawanan kini dengan fasih berbicara tentang pentingnya "menyesuaikan diri" dengan sistem. Narasi kemenangan akhirnya ditentukan bukan oleh siapa yang tetap teguh pada prinsipnya, tetapi oleh siapa yang bisa beradaptasi paling cepat dalam ekosistem yang selalu berubah.

     Maka, jika ada yang bertanya apakah semua orang muda pernah gondrong, jawabannya bukan sekadar soal panjang rambut. Ini adalah pertanyaan tentang keberanian untuk berbeda, tentang sejauh mana seseorang berani berdiri di luar garis yang telah ditentukan, tentang pilihan untuk tidak sekadar menjadi bagian dari latar belakang sejarah yang membosankan. Saya bukan mantan aktivis, karena perlawanan bukan sesuatu yang memiliki tanggal kedaluwarsa. Saya tetap menumbuhkan rambut, baik dalam bentuk ide maupun sikap, meski dunia terus berusaha menawarkan gunting dan sisir kepatuhan.

     Saya bukan mantan aktivis. Kalimat itu terdengar sederhana, hampir seperti pernyataan netral yang keluar begitu saja. Namun, di balik tiap kata, tersembunyi perasaan getir, satir, dan penghinaan halus terhadap mereka yang dengan bangga menyematkan label “mantan aktivis” sebagai medali masa lalu. Aktivisme, bagi saya, bukan status atau gelar sementara. Ia adalah napas, semangat yang menyatu dalam jiwa, bukan topeng yang dikenakan saat muda lalu dicampakkan begitu saja saat realitas menampar keras. Tetapi sayangnya, di negeri ini, cerita tentang “mantan aktivis” justru sering kali dirayakan dengan senyum kemenangan yang penuh ironi.

     Ketika masih di kampus, aktivisme sering menjadi panggung besar. Idealisme berkobar seperti api unggun yang tak pernah padam. Diskusi-diskusi di sudut kantin, orasi di tengah lapangan, dan unjuk rasa di depan gedung rektorat adalah ritual suci yang membuat hidup terasa bermakna. Tetapi di sela-sela itu, ada sebagian mahasiswa yang mulai melihat aktivisme sebagai tameng, bukan misi. Mereka mengidentifikasi diri sebagai “aktivis” tanpa memahami apa artinya. Ketika nilai ujian jatuh, tugas menumpuk, dan semester tak kunjung usai, label aktivis dijadikan alasan. “Kami sibuk memperjuangkan perubahan,” kata mereka. Namun, di balik itu, apakah benar ada perjuangan, atau hanya upaya menghindar dari tanggung jawab akademik?

     Lebih lucu lagi, setelah semester demi semester berlalu dengan catatan merah yang membanjir, datanglah ritual berikutnya: mengemis kelulusan. Dengan membawa cerita heroik tentang perjuangan membela rakyat kecil atau melawan sistem yang korup, mereka mengetuk pintu dosen. Kadang-kadang dengan mata berkaca-kaca, kadang-kadang dengan senyum licik yang penuh harap. Dan ajaibnya, beberapa dosen luluh. Karena siapa yang tega menghancurkan “mimpi besar” seorang aktivis? Maka, mereka pun lulus. Tidak dengan kehormatan, tetapi dengan belas kasihan.

     Tahun-tahun berlalu, dan cerita ini tidak berakhir di kampus. Ketika alumni kembali untuk bertemu junior mereka, sering kali mereka membawa kisah “sukses” yang aneh. Dengan bangga mereka menceritakan bagaimana dulu mereka berjuang di jalanan, bagaimana mereka hampir tidak lulus, tetapi akhirnya berhasil mendapatkan tanda tangan dosen setelah berminggu-minggu “membujuk.” Kisah itu diakhiri dengan tawa dan anggukan puas. Tetapi bagi saya, itu bukan cerita kemenangan. Itu adalah pengakuan kekalahan.

     Mereka menyebut diri mereka “mantan aktivis.” Label baru ini menjadi bendera yang mereka kibarkan di dunia kerja, sebagai bukti bahwa mereka pernah menjadi seseorang yang “peduli” dan “berani.” Tetapi, apa sebenarnya arti “mantan aktivis”? Jika Anda pernah menjadi aktivis sejati, bagaimana mungkin Anda bisa berhenti? Aktivisme bukanlah fase hidup, seperti remaja yang tumbuh menjadi dewasa. Ia adalah prinsip yang mengakar. Jika Anda benar-benar percaya pada nilai-nilai yang Anda perjuangkan, Anda akan membawanya ke mana pun Anda pergi, entah di ruang rapat, di pabrik, atau di parlemen. Tetapi mereka yang menyebut diri “mantan aktivis” adalah mereka yang telah menyerah. Mereka adalah orang-orang yang kalah dalam pertempuran melawan realitas.

     Ada satu hal yang sering saya pikirkan. Mengapa mereka begitu bangga dengan label itu? Apakah karena mereka merasa bahwa aktivisme adalah beban yang berhasil mereka lepaskan? Ataukah karena mereka ingin tetap diingat sebagai bagian dari sesuatu yang besar, meski hanya sebentar? Apa pun alasannya, bagi saya, mereka telah mengkhianati sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Mereka telah mengkhianati semangat kolektif yang pernah mereka gunakan untuk berdiri di depan mikrofon, berteriak lantang tentang keadilan dan kebenaran.

     Mari kita bicara tentang realitas. Saya tahu bahwa dunia tidak selalu sesuai dengan idealisme kita. Saya tahu bahwa ada tagihan yang harus dibayar, keluarga yang harus dihidupi, dan kompromi yang harus dibuat. Tetapi menyerah pada realitas bukan berarti Anda harus meninggalkan nilai-nilai Anda. Anda bisa tetap menjadi aktivis, bahkan di tengah tekanan hidup. Aktivisme tidak selalu berarti turun ke jalan atau melawan pemerintah. Kadang-kadang, itu berarti menjaga integritas Anda di tempat kerja, memperjuangkan hak-hak karyawan, atau hanya memastikan bahwa Anda tidak menjadi bagian dari masalah yang dulu Anda kritik.

     Sayangnya, mereka yang menyebut diri “mantan aktivis” sering kali menjadi bagian dari masalah itu. Mereka bergabung dengan perusahaan yang dulu mereka kecam, bekerja untuk pejabat yang dulu mereka hina, atau bahkan menjadi pejabat itu sendiri. Mereka mengubah narasi mereka, dari “perjuangan untuk rakyat” menjadi “ini adalah bagian dari strategi besar.” Tetapi siapa yang mereka bodohi? Apakah mereka benar-benar percaya pada apa yang mereka katakan, atau itu hanya cara lain untuk membenarkan pilihan mereka?

     Ada satu cerita yang selalu saya ingat. Seorang teman lama, yang dulu adalah aktivis garis depan, sekarang bekerja untuk perusahaan yang terlibat dalam perusakan lingkungan besar-besaran. Ketika saya bertanya mengapa ia melakukan itu, ia hanya tersenyum dan berkata, “Kita harus realistis. Perubahan tidak bisa dilakukan dari luar.” Mungkin ia benar. Tetapi ketika saya melihat matanya, saya tidak melihat api yang dulu ada di sana. Yang saya lihat hanyalah abu dingin dari mimpi yang telah mati.

     Karena itulah saya mengatakan, saya bukan mantan aktivis. Saya tidak akan pernah menjadi mantan aktivis, karena bagi saya, aktivisme adalah bagian dari siapa saya. Saya mungkin tidak lagi sering turun ke jalan, tetapi itu tidak berarti saya berhenti peduli. Itu tidak berarti saya menyerah pada nilai-nilai yang saya yakini. Saya membawa semangat itu ke dalam setiap hal yang saya lakukan, sekecil apa pun itu. Dan jika suatu hari saya harus menghadapi realitas yang keras, saya akan melakukannya dengan kepala tegak, bukan dengan alasan atau pembenaran kosong.

     Mereka yang menyebut diri “mantan aktivis” mungkin melihat diri mereka sebagai pemenang, sebagai orang-orang yang berhasil bertahan hidup di dunia yang keras. Tetapi bagi saya, mereka hanyalah orang-orang kalah. Mereka kalah melawan dunia yang mereka coba ubah, dan yang lebih buruk, mereka kalah melawan diri mereka sendiri. Mereka menyerah pada kenyataan tanpa berjuang untuk mempertahankan mimpi mereka. Dan bagi saya, itu adalah kekalahan terbesar dari semua.

     Jadi, jika Anda bertanya kepada saya apakah saya akan menjadi mantan aktivis suatu hari nanti, jawaban saya adalah tidak. Karena aktivisme bukanlah sesuatu yang bisa Anda tinggalkan. Jika itu benar-benar ada dalam diri Anda, itu akan tetap ada, apa pun yang terjadi. Dan jika tidak, maka Anda tidak pernah benar-benar menjadi aktivis sejak awal. Anda hanya seseorang yang mengenakan topeng untuk sementara waktu, sampai realitas mengungkapkan siapa Anda sebenarnya.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.