Demokrasi adalah sistem yang buruk tetapi masih lebih baik dibandingkan yang lain. Begitulah yang dikatakan Churchill. Pernyataan itu bukan pujian, melainkan keluhan yang mengandung pesimisme seorang politisi yang tahu betul bahwa pilihan manusia dalam bernegara tidak pernah benar-benar baik. Demokrasi selalu berantakan, tetapi sistem lain lebih buruk lagi. Namun, Churchill berujar demikian sebelum dunia mengenal era post-truth, sebelum kebohongan bisa menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran, sebelum popularitas menjadi satu-satunya mata uang politik. Hari ini, orang tidak memilih berdasarkan akal sehat, melainkan berdasarkan siapa yang bisa menggugah emosinya dengan lebih cepat, lebih keras, lebih meyakinkan. Demokrasi adalah panggung, dan yang paling banyak mendapatkan tepuk tangan itulah yang menang, entah dia seorang pemikir, seorang pesulap, atau sekadar badut.
Orang-orang masih percaya bahwa demokrasi berarti suara setiap orang dihitung sama. Satu suara profesor fisika yang memahami struktur alam semesta dihargai sama dengan satu suara pria yang memilih karena wajah kandidatnya mirip idolanya di sinetron. Tidak ada perbedaan nilai, tidak ada pengakuan bahwa pemahaman bisa lebih berharga daripada sekadar keyakinan tanpa dasar. Maka, muncullah ilusi bahwa semua opini harus dihargai sama, tidak peduli apakah ia lahir dari pemikiran atau sekadar dari algoritma media sosial yang memberinya umpan balik tanpa henti. Jika demokrasi bertumpu pada kesetaraan suara, maka demokrasi juga harus menerima bahwa semakin banyak orang yang tidak memahami cara kerja dunia, semakin mudah mereka dimanipulasi. Bagi mereka, janji tentang subsidi lebih meyakinkan daripada penjelasan tentang defisit anggaran. Ketika mereka tidak tahu dari mana uang berasal, mereka akan memilih siapa saja yang berani menjanjikan bahwa uang itu akan mengalir ke kantong mereka, entah bagaimana caranya.
Banyak yang berkata bahwa demokrasi harus ditopang oleh pendidikan yang baik. Ini benar, tetapi masalahnya lebih dalam dari itu. Pendidikan yang baik membutuhkan masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus popularitas. Indonesia masih mewarisi jejaring feodal yang melembaga, yang menyamarkan kepatuhan sebagai adab dan kritik sebagai penghinaan. Seorang profesor berbicara di depan kelas, murid-muridnya menyimak tanpa berani bertanya, karena bertanya bisa dianggap mempertanyakan otoritas. Jika mereka takut bertanya kepada dosennya sendiri, bagaimana mereka akan berani mempertanyakan janji politik seorang pemimpin? Di bawah kedok tata krama, feodalisme terus hidup, menjadikan keberanian berpikir sebagai dosa, dan kepatuhan tanpa syarat sebagai kebajikan tertinggi.
Di negara-negara dengan tradisi intelektual yang kuat, universitas adalah tempat untuk menyuarakan gagasan, bahkan yang paling kontroversial sekalipun. Seorang profesor disebut demikian bukan karena gelarnya, tetapi karena ia 'professes', menyuarakan pemikiran dengan lantang, menantang batas pemahaman lama dengan ide-ide baru. Universitas seharusnya menjadi benteng terakhir kebebasan berpikir. Namun, di negeri yang sibuk mengurusi etika sebelum memahami substansi, suara-suara itu bisa dengan mudah dibungkam. Jika tidak oleh hukum yang mengatur kebebasan berbicara, maka oleh tekanan sosial yang lebih tajam dari pedang. Maka, universitas tidak lagi menjadi ruang dialektika, melainkan sekadar pabrik gelar, tempat orang datang untuk mendapatkan legitimasi formal tanpa perlu berpikir lebih jauh.
Ketika para pemikir bungkam atau memilih diam demi kenyamanan, yang mengisi ruang publik bukanlah gagasan, melainkan kebisingan. Ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pemikiran rasional kini dipenuhi oleh suara-suara tanpa substansi, yang hanya memiliki satu keunggulan: popularitas. Popularitas adalah mata uang baru, yang bisa ditukar dengan kekuasaan, dengan pengaruh, bahkan dengan kebenaran itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, tidak lagi penting apakah seseorang memahami kebijakan ekonomi, politik luar negeri, atau sistem hukum. Yang penting adalah apakah ia memiliki cukup pengikut untuk menciptakan persepsi bahwa ia benar. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dibuktikan, melainkan sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan jumlah like dan share.
Maka, jangan heran jika ruang politik diisi bukan oleh pemikir, tetapi oleh artis, pelawak, atau influencer yang mengais receh dari sosial media. Mereka memiliki sesuatu yang para pemikir tidak punya: perhatian massa. Dan dalam demokrasi yang telah menjadi sekadar pertunjukan besar, perhatian lebih berharga daripada pemikiran. Bukan berarti bahwa seorang artis tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Tetapi jika kualifikasi utama untuk menjadi pemimpin adalah jumlah pengikut di Instagram, maka kita tidak lagi berbicara tentang demokrasi yang rasional, melainkan demokrasi yang dikendalikan oleh algoritma.
Masalahnya semakin parah ketika oligarki politik dan media menyadari bahwa mereka bisa mengendalikan arus informasi. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi kebebasan berpikir justru menjadi alat kontrol. Undang-undang seperti UU ITE bisa dengan mudah digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, sementara buzzer yang dibayar oleh kelompok kepentingan bisa membentuk persepsi publik hanya dengan mengulang kebohongan secara terus-menerus. Jika kebohongan lebih cepat menyebar daripada kebenaran, maka siapa pun yang memiliki kendali atas mesin penyebarannya bisa menciptakan realitas baru sesuai dengan kepentingannya.
Di tengah semua ini, pertanyaan yang paling mendesak adalah: bagaimana menyelamatkan demokrasi dari dirinya sendiri? Demokrasi tidak bisa bertahan jika hanya menjadi permainan popularitas, tetapi juga tidak bisa dipertahankan dengan mengandalkan intelektual yang memilih diam. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan membangun kembali masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus. Itu berarti pendidikan yang mengajarkan keberanian berpikir kritis, ruang publik yang benar-benar bebas untuk berdialektika, dan sistem yang tidak memberi insentif kepada kebodohan.
Jika tidak, maka demokrasi tidak akan mati karena kudeta atau revolusi. Demokrasi akan mati perlahan-lahan, tersedak oleh kebodohan yang dibiarkan berkembang, tenggelam dalam lautan kebisingan yang tidak lagi peduli pada kebenaran. Dan ketika itu terjadi, kita bahkan tidak akan sadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang berharga. Sebab, dalam demokrasi yang telah berubah menjadi sirkus, tepuk tangan akan terus bergema, bahkan ketika pertunjukan yang sebenarnya telah lama berakhir.
Posting Komentar
...