Articles by "Fenomena Unik"

Tampilkan postingan dengan label Fenomena Unik. Tampilkan semua postingan

     Bila membandingkan peralatan yang digunakan oleh para pendaki Everest jaman dulu, rasanya mustahil untuk tetap menggunakan perlatan-peralatan tersebut saat ini.
     Sejak pertama kali Gunung Everest didaki pada tahun 1920-an, mengutip artikel National Geographic Indonesia, banyak perubahan yang terjadi. Terutama dari sisi kesiapan manusia untuk menuju si Atap Dunia. Buku The Call of Everest keluaran National Geographic Books memberi beberapa perbandingan alat-alat yang digunakan manusia dulu dan kini. Berikut disajikan lima di antaranya.

Altimeter (1924 - 2012) 
     Pionir George Mallory wafat saat mendaki gunung ini pada tahun 1924. Jenazah dan altimeternya baru ditemukan saat ekspedisi Conrad Anker pada 1999. Dari altimeter itu, sejarawan Everest berharap bisa menentukan titik ketinggian Mallory.
Altimeter milik George Mallory tahun 1924 (kiri) dibandingkan dengan altimeter saat ini. (Royal Geographical Society with IBG [kiri], Trimble [kanan])
     Namun, hal ini gagal dilakukan karena alat tersebut sudah rusak. Altimeter yang kini digunakan adalah Trimble GeoXH 6000, juga berperan sebagai peta dan navigasi. Lengkap dengan sistem operasi Windows mobile dan kamera.

Backpack (1963 - 2012)
     Dulu, para pendaki harus membawa backpack yang berat dengan frame alumunium, dan dikencangkan di bagian punggung.
Perbandingan backpack pada tahun 1963 dan 2012 (Mark Theissen/Becky Hale, NGS [kiri], Black Diamond Equipment [kanan])
     Kini, backpack yang digunakan sudah lebih nyaman dan ringan. Beberapa merk ternama juga dirancang menggunakan frame internal agar penggunanya lebih leluasa bergerak.

Oksigen (1953 - 2012)
     Saat Ekspedisi Bristish Everest tahun 1953, tiap pendakinya dibebani dengan sistem oksigen seberat 15,8 kilogarm. 59 tahun kemudian, tim dari National Geographic melalui jalur yang sama dengan mereka tapi dengan bobot sistem oksigen hanya 2,4 hingga 3,4 kilogram.
Perbandingan sistem oksigen untuk menaiki Everst pada tahun 1953 dan 2012 (Royal Geographical Society with IBG [kiri], Summit Oxygen [kanan])

Kamera (1921 - 2012) 
     Alexander Kellas, penjelajah Himalaya, membawa kamera "jadul" pada saat ekspedisinya ke Everest pada tahun 1921. Sayangnya ia tewas karena disentri dan gagal jantung pada saat ekspedisi tersebut.
 Perbandingan kamera milik Alexander Kellas pada tahun 1921 dengan kamera yg digunakan kru National Geographic tahun 2012. (Royal Geographical Society with IBG [kiri], Matt Propert, NGS [kanan])
     Kamera di kanan pada foto di atas adalah Canon 5D Mark II dengan beberapa fitur digital. Kamera ini merupakan satu dari beberapa kamera yang digunakan kru National Geographic saat ekspedisi ke Everest tahun 2012 lalu.

Kantung tidur (1963 - 2012)
     Kantung tidur berwarna hijau ini merupakan inovasi teranyar pada tahun 1960-an. Tapi dibandingkan dengan kantung tidur yang ada saat ini, dibuat untuk mengakomodasi tidur pendaki lebih baik.
Kantung tidur tahun 1983 (hijau) dengan yang digunakan kru National Geographic pada 2012. (Mark Theissen/Becky Hale, NGS [kiri], The North Face [kanan])
semua gambar dari national geographic indonesia

     "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­-sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim penghujan; air-air terjun tertumpah seakan mendidih, membusa, bergelora; ungkapan semangat kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Namun sebagaimana gunung nan garang yang terpancang kokoh dengan sungai yang menggelora, perlahan-lahan akan berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah". Begitu tulis John A.F. Schut dalam bukunya "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang bahasannya berjudul : De Makassaren en Boegineezen.
     Gambaran yang terasa global untuk mewakili karakter umum Suku Bugis Makassar, apalagi bila hendak fokus ke Makassar saja. Dari berbagai sumber online maupun offline, saya kemudian juga tertarik untuk memposting sedikit kisah bagaimana awal mulanya sehingga daerah kecil yang dahulu di dalam wilayah kerajaan Tallo, kemudian diberi nama Makassar.
     Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Di abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing.

     Selama tiga malam berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari tepi pantai wilayah kerajaannya, Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu menyebar ke arah negeri sahabat lainnya.
     Bersamaan di malam ketiga Raja bermimpi itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M, di bibir pantai Tallo merapatlah sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, yang berkibar kencang dihembus angin laut. Ketika merapat di pantai, nampaklah sesosok lelaki dengan tenang dan tangkas, menambatkan perahunya. Setelah itu, sosok lelaki tersebut melakukan gerakan-gerakan aneh berulang-ulang seperti suatu ritual. Gerakan-gerakan tersebut di kemudian hari dikenal sebagai gerakan orang bersembahyang dalam ajaran agama Islam (shalat).
     Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di ujung malam menjelang subuh yang masih begitu gelap, Baginda tidak mampu menahan diri untuk bergegas ke pantai hendak menyaksikan kehebohan yang sudah begitu menggemparkan. Baru saja Baginda hendak melangkah keluar istana, tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. . (Darwa Rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36)
     Lelaki itu lalu menjabat tangan Baginda Raja dengan erat, yang terasa kaku lantaran masih takjub oleh situasi yang begitu tiba-tiba. Masih sambil menggenggam tangan itu lalu ‘ia’ menulis kalimat di telapak tangan Baginda. Karena begitu terkesima, Baginda hanya bisa membiarkan semua kejadian itu tanpa mengelak sedikitpun. Setelah selesai menulis, lelaki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum hormat kepada Baginda.
     "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi akan merapat di pantai,” begitu suara lembut namun tegas dari lelaki itu, yang tiba-tiba hanya dalam sekejap menghilang begitu saja dari hadapan raja. Baginda sangat terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya dan ternyata tulisan yang dibuat lelaki itu masih nampak begitu nyata dan jelas. Tidak menunggu lama, Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki dengan penampilan berbeda dari rakyat kebanyakan,  tampak tengah menambatkan perahu. Sesaat kemudian ia dengan takzim menyampaikan salam dengan begitu hormat memenyambut kedatangan Baginda.
     Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. Setelah selesai menyimak penuturan Baginda, lelaki itu tersenyum lalu berujar lembut,
     “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat”. Melihat raja mencoba mengerti apa yang dikatakannya, lelaki itu melanjutkan, “Adapun lelaki yang menuliskannya tadi, adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Nabi yang mulia itu telah menampakkan diri di Negeri Baginda.”
     Peristiwa inilah yang kemudian dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", berasal dari ungkapan "Akkasaraki Nabbiya", yang artinya ‘Nabi menampakkan diri’.
     Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang kemudian dikenal sebagai Datuk Ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Sementara Raja yang bertemu dengan ‘orang bercahaya’ itu adalah Baginda Raja Tallo bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka, yang setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar 'Sultan Abdullah Awaluddin Awwalul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana'. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

     Selain itu, penelusuran asal nama "Makassar" juga bisa ditinjau dari beberapa sudut analisa yang lain, misalnya:
     Makna. Untuk menjadi manusia yang sempurna, maka manusia perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin untuk diwujudkan sebagai perbuatan. "Mangkasarak" artinya mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dalam ajaran Tao atau Tau (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti pemahaman sebagian orang bahwa "Mangkasarak" berarti orang kasar yang mudah tersinggung.
     Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak".
Morfem ikat "mang" mengandung arti:
          - Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
          - Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­
Morfem bebas "kasarak" mengandung arti:
          - Terang, nyata, jelas, tegas.
          - Nampak dari penjelasan.
          - Besar (lawan kata: kecil atau halus).
     Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

     Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah disimpulkan bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Kompleks makam Raja-raja Tallo. Di tempat ini dimakamkan Sultan Mudhafar (Raja Tallo VII), Karaeng Sinrinjala, Syaifuddin (Raja Tallo XI), Siti Saleha (Raja Tallo XII), La Oddang Riu Daeng Mangeppe (Sultan XVI) juga I Malingkaang Daeng Manyonri (Raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam) - Raja Daeng Manyori ini juga mendapat julukan sebagai 'Macan Putih dari Tallo' dan Karaeng Tuammalianga ri Timoro (Raja yang berpulang di Timur) (foto : isnuansa.com)

Kapal-kapal kayu Phinisi di pelabuhan Paotere' Makassar (foto : aci.detik.travel)

Pemukiman menuju pelabuhan Paotere' (foto : blog.travelpod.com)

Salah satu sisi kanal yang membelah kota Makassar (foto : faizalramadhan.com)

 Coto Makassar (foto : darimakassar.com)

Sop Konro dengan varian Konro Bakar (foto : mitrasites.com)

Benteng Port Rotterdam (foto : travel.kompas.com)
 
Bandara Sultan Hasanuddin (foto : makassarterkini.com)
Pantai Losari (foto : yaszero.com)

Pantai Losari dari sudut yang lain (foto : suharman-musa.blogspot.com)

 Salah satu bagian kota Makassar

Mesjid Raya Makassar (foto : gallery.makassarkota.go.id)

 Al-Markaz Al Islami Makassar (foto : semuahanyamasalalu.blogspot.com)

 Lapangan Karebosi (foto : Kaskus)

     Selama bertahun-tahun, asal usul mie masih menjadi perdebatan. Masih simpang siur siapa yang pertama kali membuatnya. Beberapa pendapat mengatakan bahwa mie pertama kali dibuat di daratan Mediterania. Lain lagi mengungkapkan teknologi pembuatan mie dikembangkan di Timur Tengah.Ada pula sebuah catatan tua yang merekam bahwa mie pertama kali dibuat saat jaman Dinasti Han di China tahun 25-200. Kemudian pada tahun 2005, ditemukan mie tertua yang berumur 4000 tahun di daratan China.

     Penemuan ini menjadi bukti bahwa penduduk China modern adalah yang pertama membuat mie. Namun, apakah teknologi pembuatannya diadopsi dari Timur Tengah atau tidak, masih terus menjadi perdebatan.
Penemuan Mie Tertua Berumur 4000 Tahun


Dari Mie untuk Pasta
      Banyak orang yang juga menyangka bahwa mie berawal dari pasta sehingga menunjuk Italia yang pertama membuat mie.Namun, banyak sejarahwan percaya bahwa ketika Marco Polo berkunjung ke China pada abad ke-13, dia menyukai mie dan membawanya ke Italia dan memengaruhi masakan di negaranya.
     Pada kenyataannya, mie tidak menjadi makanan pokok di Italia sampai abad ke-17 dan 18.Di benua Asia, mie tidak begitu banyak menyebar sampai kira-kira tahun 100. Pada tahun tersebut, mie mulai dikenal dan disukai di beberapa negara seperti, Jepang, Korea, Vietnam, Laos, bahkan sampai negara-negara pulau di Asia Tenggara dan Asia.

Arti Mie
      Dalam budaya China, mie adalah simbol kehidupan yang panjang. Makanya, mie secara tradisional sering disajikan pada acara ulang tahun dan saat Tahun Baru Cina sebagai lambang umur panjang. Sehingga versi kue ulang tahun China adalah mie ulang tahun.
     Di Jepang, mie dimasukkan ke dalam upacara minum teh Jepang dan membuat mie dianggap sebagai seni tersendiri di negara tersebut. Mie bahkan menjadi lebih penting di Jepang setelah Perang Dunia II, ketika kekurangan makanan dan hanya mie kering yang tersedia.


Jenis Mie
      Ada beberapa jenis mie yang terkenal di daratan Asia. Entah itu dibuat tipis atau tebal, pipih atau bulat, terbuat dari gandum atau beras, setiap jenis mie memiliki sejarah tersendiri dalam dunia kuliner di negaranya.
     Menelusuri penggunaan dan sejarahnya, memang cukup rumit karena menyangkut budaya kuliner antar negara selama berabad-abad.

1. La Mian Mie



     Mie tertua yang pernah ditemukan menyerupai Mie La Mian modern di China. La Mian secara harfiah berarti “mie tarik.” Mie ini dibuat dengan tangan dan terbuat dari gandum.Caranya, adonan mie dipelintir dan ditarik sampai panjang yang kemudian dipotong tipis-tipis. Mie jenis ini digunakan dalam sup dan kentang goreng.La Mian Mie mirip dengan Mie Lo Mein Kanton, tapi jauh lebih tipis daripada kebanyakan Mie Lo Mein yang disajikan di Amerika.

2. Mie Ramen

     Banyak yang bilang kalau Mie Ramen dibuat berdasarkan Mie La Mian. Itu karena bukti bahasa dimana dalam bahasa China, “Ramen” berarti “Lamian”.Begitu juga sebaliknya, di mana mie yang dipakai dalam Ramen disebut “Chuka Men” dalam bahasa Jepang atau “Mie China”.Bentuk Chuka Men sangat tipis, mie gandum ini juga sering digunakan untuk masakan Jepang lainnya, seperti Champon (daging babi goreng dengan seafood, sayuran dan kaldu).
      Sama halnya dengan masakan populer di Korea, Yakisoba atau mie goreng yang mirip dengan Chow Mein di China. Fakta ini menunjukkan bahwa memang benar terjadi pertukaran budaya kuliner di China dan Asia Timur.

3. Mie udon
     Mie gandum yang tebal ini dikenal dengan Udon di Jepang. Biasanya disajikan dalam sup kaldu yang hangat disajikan dengan daun bawang. Udon kemungkinan berasal dari China yang dikenal dengan Cu Mian.Dikatakan bahwa biksu Jepang pada tahun 800-an, membawa Udon dari China sekaligus membuktikan bahwa mie memang sudah membudaya pada kultur masyarakat Budha di Jepang.

4. Mie Soba
     Mie soba berbentuk tipis dan populer di Jepang. Mie Soba digunakan untuk membuat sup tradisional yang didinginkan dan dimakan dengan saus.Mie ini telah dikonsumsi selama berabad-abad dan menjadi makanan pokok di wilayah Tokyo selama periode Edo.Ketika kaya, wilayah ini mulai lebih memilih nasi putih yang rendah tiamin. Mie Soba bukan hanya enak, tapi juga merupakan sumber nutrisi yang diperlukan tubuh.

5. Mee Pok
     Mee Pok berbentuk datar, mie gandum kuning berasal dari Cina ini, dimakan dengan saus atau disajikan dalam sup jamur dan daging cincang di atasnya.Sajian ini juga disebut Bak Mee Chor di Singapura, Thailand, dan Malaysia. Secara tradisional, Mee Pok dibuat dengan cara dikeringkan dan dicampur dengan saus atau kaldu. Sajian lain yang sama, tapi dengan campuran ikan atau kue bola ikan, adalah Yu Wan Mee.

6. He Fen dan Mie Pho
     Mie beras yang pipih ini, dikenal juga sebagai Hor Fun atau Shahe Fen dan berasal dari China. Biasanya digoreng dengan daging sapi untuk membuat Chao Fen atau disajikan dalam sup.Akulturasi terjadi di Thailand di mana banyak makanan goreng berbasis makanan China, menggunakan mie jenis ini. Begitu juga dengan di Vietnam yang menggunakannya dalam membuat Pho.

7. Soun
     Soun yang dikenal juga sebagai mie kacang hijau, mie kacang benang, atau bihun China ini, secara tradisional terbuat dari pati kacang hijau.Saat ini, soun dapat dibuat dari ubi, kentang, atau singkong. Di seluruh China, Soun dimakan dengan kentang goreng atau dicampurkan dalam sup.Soun juga menyebar ke Jepang, Korea, Vietnam, dan beberapa negara di Asia Selatan, di mana mereka menggunakan Soun dalam masakan goreng, lumpia, dan bahkan makanan penutup.

8. Bihun
     Mie Bihun sangat tipis, mirip dengan Soun dan terbuat dari tepung beras, bukan kacang hijau atau pati kentang.Bihun dikonsumsi di seluruh Asia, tetapi populer di Singapura ketika mereka menggunakannya dalam membuat Mie Sate Kacang (Satay Been Hoon) atau digoreng seperti Hokkien Mee.Bihun juga digunakan di Filipina dan dikenal dengan Pancit yang digoreng dan dimakan pada hari ulang tahun.

9. Idiyappam
     Mie tipis terbuat dari beras atau gandum ini populer di India dan Sri Lanka dan dikenal dengan nama Idiyappam. Mie ini seperti Ramen atau nasi bihun dan sering disajikan bersama dengan kari dan acar.

10. Dotori Guksu
     Dotori Guksu adalah mie Korea yang unik terbuat dari biji pohon ek. Mengingat sejarah panjang makanan berbasis biji-bijian dan mie di Korea, kemungkinan mie ini telah dimakan selama beberapa milenium di Korea.Mie yang terbuat dari biji-bijian dan tepung ini, mirip dengan Mie Soba dimakan dengan campuran kentang goreng, disajikan dengan saus, dan lebih banyak dimakan dalam keadaan dingin.Seperti uraian sejarah mie di atas, para praktisi kuliner memang tidak membaginya dalam negara. Tapi, lebih kepada bahan baku umum pembuatan mie yang dapat ditemukan di negara-negara Asia di mana letaknya saling berdekatan.

     Pastinya, sampai sekarang mie masih menjadi elemen penting dalam kuliner Asia dan menjadi inspirasi buat masakan Asia Fusion.

Sumber : http://www.indonesiamedia.com

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.