Articles by "Fenomena Unik"

Tampilkan postingan dengan label Fenomena Unik. Tampilkan semua postingan

Logika Mistika: Tarian Pikiran di Antara Kabut Gelar dan Akar Bajakah

     Di suatu senja, ketika langit ibukota memerah seperti darah yang teroksidasi, Dr. Arini menyelesaikan presentasinya tentang bioteknologi tanaman obat di hadapan para kolega bergelar doktor. Layar proyektor masih memamerkan grafik spektrometri massa ketika ia merogoh tas Hermès-nya, mengeluarkan botol kecokelatan bertuliskan "Ekstrak Bajakah Super — Warisan Leluhur Dayak". "Untuk diabetes," bisiknya pada profesor di sebelahnya, "Tapi jangan bilang-bilang, ya. Risetnya masih tahap awal." Suara tawa mereka menggema di ruang ber-AC, sementara di luar, seorang driver ojol yang menderita gula darah tinggi mengutip harga ramuan itu — setara dengan tiga hari upahnya.

     Inilah ironi zaman: kaum terdidik yang seharusnya menjadi mercusuar logika, justru menjadi penenun kabut antara sains dan tahayul. Mereka berbicara tentang placebo effect dalam seminar, tapi di grup WhatsApp alumni kampus ternama, mereka ramai-ramai membagikan tutorial "detoksifikasi aura dengan kristal kuarsa". Tan Malaka, dari dalam debu sejarah, mungkin sedang menggigit jari melihat bagaimana "akal" yang ia perjuangkan dikhianati oleh mereka yang paling pantas menjaganya.

     Di laboratorium universitas negeri di Jawa Tengah, aroma etanol 70% bercampur dengan dupa yang mengepul dari sudut ruangan. "Biar alat-alat ini tidak 'dingin'," kata seorang asisten lab sambil menyemburkan air bunga ke spektrofotometer. Alat senilai miliaran rupiah itu — yang bisa menganalisis struktur molekul hingga tingkat atom — dianggap perlu "dihidupi" oleh ritual yang sama primitifnya dengan upacara meminta hujan zaman prasejarah. Di meja sebelah, tumpukan proposal penelitian tentang uji klinis jamu antikanker bersanding dengan sesajen nasi kuning yang mulai berjamur.

     Tapi absurditas sejati terjadi di ruang rapat dekanat. Seorang guru besar farmakologi, penulis puluhan paper terindeks Scopus, dengan serius mengusulkan: "Bagaimana jika kita buka program magister pengobatan tradisional? Syarat masuknya bisa pakai tes meditasi chakra ketujuh!" Rekan-rekannya manggut-manggut, sambil sesekali menyentuh jimat kecil di saku — pemberian seorang shaman yang diundang sebagai guest lecturer bulan lalu.

     Di pelosok Kalimantan, akar bajakah yang dulu hanya digunakan untuk menyamak kulit binatang, tiba-tiba menjelma "obat dewa". Yang menarik bukanlah para dukun yang menjualnya di pasar, melainkan doktor-doktor muda lulusan luar negeri yang membuat video TikTok dengan latar belakang perpustakaan penuh buku teks: "Inilah bukti superioritas pengobatan lokal atas imperialisme farmasi Barat!" Mereka lupa bahwa "farmasi Barat" yang mereka kutuk itu justru mematenkan 84% bahan aktif dari tanaman obat negara dunia ketiga — setelah melalui uji klinis ketat yang mereka sendiri enggan lakukan.

     Sementara itu, di klinik-klinik alternatif yang bermekaran di kawasan elite, pasien kanker stadium akhir dijejali ramuan akar-akaran dengan harga selangit. "Ini bukan sekadar herbal," bisik seorang terapis lulusan S2 biologi molekuler sambil menunjukkan sertifikat seminar "Quantum Healing", "Ini tentang menyelaraskan frekuensi DNA dengan energi alam semesta." Di dinding, ijazahnya dari universitas negeri terakreditasi A tergantung malu-malu, seolah tak ingin terlibat dalam drama pseudosains yang dipentaskan di ruang periksa.

     Di dunia yang lebih modern, logika mistika memakai baju baru. Sebuah startup di Bandung — didirikan oleh lulusan ITB dan Stanford — menawarkan aplikasi "AI Spiritual Healing". "Dengan algoritma machine learning dan kebijaksanaan leluhur Nusantara," demikian pengumuman mereka di LinkedIn, "kami bisa mendiagnosis penyakit melalui foto aura." Para venture capitalist berebut menanamkan dana, sementara di balik layar, coding mereka hanya bisa membedakan antara foto yang diambil dalam cahaya hangat dan dingin.

     Tak ketinggalan, di gedung DPR, seorang menteri bergelar doktor ekonomi dari universitas Ivy League dengan yakin menyatakan: "Krisis pangan bisa diatasi dengan gerakan nasional makan tempe — karena fermentasi kedelai mengandung probiotik yang meningkatkan kecerdasan kolektif!" Argumen ini — yang lebih cocok untuk stand-up comedy — justru diajukan dalam rapat kerja nasional, lengkap dengan grafik-grafik warna-warni yang dibuat asistennya semalaman.

     Di tengah riuh rendah ini, bayangkan Tan Malaka duduk di sudut ruang rapat itu. Matanya menyipit melihat para doktor yang membangun kerajaan ilusi dari ketidaklogisan. "Kalian pikir kolonialisme sudah mati?" gumamnya, "Lihatlah bagaimana kalian menjajah pikiran rakyat sendiri dengan mitos-mitos baru berbalut jargon akademik!"

     Madilog mengajarkan bahwa jalan keluar bukan pada penolakan terhadap tradisi, tetapi pada transformasi radikal cara berpikir. Jamu bukan musuh — musuhnya adalah klaim-klaim tanpa bukti. Ketika nenek di pedalaman Papua menggunakan getah pohon untuk menyembuhkan luka, itu adalah kearifan lokal. Tapi ketika profesor di Jakarta menjual getah yang sama sebagai "obat kanker yang diteliti secara turun-temurun", itu adalah penipuan intelektual.

     Revolusi yang sesungguhnya dimulai ketika kita berani memaksa setiap klaim melalui tungku logika yang membara. Uji klinis bukan penghinaan pada leluhur, melainkan penghormatan tertinggi — dengan mengubah "katanya" menjadi "terbukti". Ketika petani di Boyolali menggabungkan kalender pranata mangsa dengan data satelit NASA, mereka sedang menulis bab baru dalam sejarah: di mana tradisi bukan lagi dogma, tetapi hipotesis yang siap diuji.

     Di akhir hari, ketika lampu-lampu kampus mulai padam, bayangan para intelektual itu masih terlihat sibuk di balik jendela laboratorium. Ada yang sedang menganalisis kromatografi, ada yang menyiapkan sesaji untuk ritual penyambutan alat baru. Di suatu sudut, seorang mahasiswa S3 yang idealis — mungkin satu-satunya yang masih membaca Madilog — menatap ijazah sarjananya yang terbungkus plastik. "Apa gunanya gelar ini," gumamnya, "jika kita lebih takut pada hantu ketimbang kesalahan metodologi?"

     Di luar, kabut mulai turun menyelimuti kota. Kabut yang sama yang pernah menyelubungi pikiran manusia purba, lalu diusir oleh obor revolusi sains. Kini, ia kembali dalam bentuk baru — lebih licin, lebih menggoda — menyusup melalui celah-celah gelar doktor dan jurnal bereputasi. Tantangannya tetap sama: apakah kita cukup berani membawa obor logika itu, meski harus membakar habis topeng-topeng intelektual kita sendiri?

     Seperti kata Tan Malaka: "Di medan perang pikiran, kompromi adalah kekalahan." Dan medan perang itu kini ada di meja-meja laboratorium kita, di layar-laptop kita, di ruang-ruang rapat tempat kita menjual jiwa keabadian ilmiah untuk sesaji popularitas semu.


     Renungan René Descartes, sang filsuf yang meletakkan landasan eksistensi modern melalui deklarasi abadi, "Cogito ergo sum", telah lama menjadi bintang penunjuk arah bagi manusia. Jika aku berpikir, aku ada. Begitu sederhana, begitu kuat. Namun, entah bagaimana, di era media sosial ini, adagium tersebut tampak kuno, bahkan ketinggalan zaman. Sebuah deklarasi baru telah menggantikan filsafat yang tenang dan mendalam itu, lebih ribut, lebih riuh, lebih penuh lampu kilat kamera: "I post, therefore I exist."

     Kini, berpikir saja tak cukup. Keberadaan seseorang harus dibuktikan melalui unggahan foto, video, atau ocehan digital yang berselimutkan ilusi kreativitas. Hidup telah menjadi panggung sandiwara yang tak pernah redup lampunya, di mana setiap individu menjadi aktor dan sutradara, menayangkan eksistensinya untuk ribuan, bahkan jutaan pasang mata virtual. Yang muda, yang tua, bahkan yang telah memasuki masa pensiun dengan seharusnya menikmati keheningan, semua berlomba-lomba dalam parade narsisisme yang disponsori algoritma.

     Ironi besar dari fenomena ini adalah bahwa generasi yang lebih tua, yang dulu memandang media sosial sebagai mainan anak muda yang dangkal, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari keributan digital tersebut. Mereka yang pernah bersandar pada prinsip-prinsip kehormatan, kedalaman, dan kebijaksanaan, kini dengan antusias memamerkan hasil panen sayuran di kebun belakang, perjalanan wisata ke tempat yang "instagenik," atau sekadar foto hidangan makan siang yang diambil dari sudut terbaik. Semua dilakukan dengan satu tujuan: mendapat tanda jempol dan komentar sederhana seperti "Mantap!" atau "Keren, Bu!"

     Tentu, kita bisa memaafkan perilaku ini jika motivasinya adalah rasa kesepian. Generasi yang lebih tua, sering kali terisolasi dalam dunia yang semakin individualistis, menemukan hiburan dan koneksi dalam hiruk-pikuk dunia maya. Namun, mari kita jujur: ini bukan hanya soal keterhubungan. Ini tentang validasi, tentang membuktikan bahwa mereka masih ada, bahwa mereka masih berarti. Dan di sinilah iming-iming dari beberapa platform media sosial memainkan peran utamanya.

     Ketika media sosial mulai menawarkan insentif berupa uang receh untuk setiap like dan komentar, permainan ini menjadi semakin rumit. Validasi bukan lagi hanya kebutuhan emosional, tetapi juga peluang finansial. Mendadak, setiap unggahan memiliki potensi menjadi aset. Dan di tengah godaan ini, muncul banjir konten yang, jika boleh dikatakan secara sopan, tidak selalu memiliki nilai estetis atau intelektual.

     Konten dungu menjadi raja. Video tantangan menari yang tak masuk akal, pendapat kontroversial yang sengaja dibuat untuk memancing emosi, hingga hal-hal sepele seperti bagaimana cara makan pisang dengan "unik," semuanya menemukan tempatnya di dunia ini. Dan publik, yang juga lapar akan hiburan instan, dengan senang hati mengonsumsi sampah digital ini. Sebuah siklus tercipta: semakin receh konten, semakin besar peluangnya untuk menjadi viral, dan semakin besar dorongan untuk menciptakan lebih banyak konten receh.

     Namun, apakah ini benar-benar masalah generasi? Apakah obsesi terhadap validasi digital ini hanya milik kaum muda dengan YOLO (You Only Lives Once)-nya atau generasi tua yang terlambat belajar menggunakan Instagram? Tidak. Ini adalah masalah manusia modern secara keseluruhan. Kita semua, tanpa terkecuali, adalah produk dari sistem yang mendefinisikan keberadaan berdasarkan perhatian yang kita terima. Descartes mungkin berkata, "Aku berpikir, maka aku ada," tetapi generasi sekarang tampaknya berkata, "Aku terlihat, maka aku ada."

     Dan di sinilah tragedi modernitas benar-benar terungkap. Eksistensi, yang seharusnya menjadi sesuatu yang intrinsik, kini direduksi menjadi sesuatu yang hanya berarti jika diakui oleh orang lain. Lebih parah lagi, pengakuan ini tidak lagi didasarkan pada kualitas pikiran, karya, atau kontribusi kita, tetapi pada seberapa menariknya kita dalam format yang bisa dilihat di layar kecil.

     Tentu saja, ada perlawanan terhadap tren ini. Minimalisme, introspeksi, dan gerakan YONO (You Only Need One) mencoba menawarkan alternatif. Namun, seperti yang kita lihat sebelumnya, bahkan YONO pun tidak kebal terhadap komodifikasi. Filosofi sederhana untuk hidup esensial berubah menjadi strategi pemasaran untuk menjual buku, seminar, dan barang-barang "esensial" dengan harga premium. Jika YOLO adalah konsumerisme yang hedonistik, YONO adalah konsumerisme yang berkedok spiritualitas.

     Lalu, apa yang tersisa? Bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran ini? Jawabannya mungkin terletak pada pemahaman bahwa eksistensi sejati tidak memerlukan penonton. Descartes benar dalam satu hal: keberadaan kita harus dimulai dari dalam, dari kemampuan untuk berpikir, merasakan, dan bermakna tanpa perlu persetujuan eksternal. Tetapi untuk mencapainya, kita harus melawan godaan dari dunia digital yang terus-menerus berteriak, "Lihat aku!"

     Mari menjeda nafas sejenak, bahwa baris-baris kalimat di atas bukan tentang menghakimi siapa pun, tetapi tentang mengingatkan kita semua akan sesuatu yang telah hilang di tengah kilauan layar dan riuhnya suara notifikasi. Eksistensi sejati bukanlah tentang berapa banyak jempol yang kita kumpulkan, tetapi tentang seberapa dalam kita mengenal diri sendiri. Dan untuk itu, mungkin kita perlu menghidupkan kembali prinsip lama, yang sederhana namun penuh makna: berpikir, merasa, dan hidup—untuk diri kita sendiri, bukan untuk algoritma.

     Manusia modern adalah spesies yang tak pernah puas. Di satu sisi, kita dikejar oleh ilusi bahwa hidup ini singkat dan harus dijalani dengan semaksimal mungkin. Di sisi lain, kita dicekoki pesan bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai melalui penyederhanaan radikal. Konsep YOLO (you only live once) dan YONO (you only need one) adalah anak-anak kembar dari ketegangan ini, hasil evolusi budaya yang terus mencari jalan keluar dari rasa kosong yang tak pernah terisi. Namun, apakah keduanya benar-benar solusi, atau hanya jebakan lain dalam rantai paradoks kehidupan modern?

     YOLO, sebagai slogan hidup generasi milenial dan Gen Z, muncul dari semangat pemberontakan terhadap rutinitas membosankan. Dengan lantangnya, YOLO menyerukan, “Berani! Ambil risiko! Hidup hanya sekali!” Dalam kebisingan kota besar dan kilauan layar ponsel, YOLO menggemakan frasa carpe diem dari pujangga Romawi, Horatius, yang dulu mengajak manusia meraih hari dengan semangat penuh. Tapi, dalam praktiknya, apa yang diraih? Sebagian besar adalah pengalaman yang ditargetkan untuk satu tujuan saja: diunggah ke Instagram. Perjalanan jauh, makanan mahal, pesta meriah—semuanya diringkas dalam tagar #YOLO, seakan-akan hidup hanya akan berarti jika disaksikan oleh dunia.

     Tentu, tidak ada yang salah dengan sedikit hedonisme. Kita semua butuh waktu untuk bersenang-senang. Tetapi, di balik tampilan glamor YOLO, ada ironi yang merayap. Keberanian yang diklaim oleh YOLO sering kali tidak lebih dari keberanian yang dibeli dengan kartu kredit. Sebuah skydive di Bali? Mengagumkan! Namun, apakah itu benar-benar keberanian atau hanya penundaan dari kenyataan bahwa cicilan bulanan menanti? YOLO, yang pada awalnya bertujuan membebaskan, malah membelenggu manusia pada kebutuhan akan validasi sosial.

     Di sinilah YONO masuk dengan suara yang lebih tenang, namun tak kalah liciknya. YONO menasihati kita untuk berhenti mengejar segalanya. "Kamu hanya butuh satu," katanya, memberikan penghiburan bagi jiwa yang lelah dikejar-kejar oleh tuntutan YOLO. Pilih satu tujuan hidup, satu hubungan bermakna, atau satu barang berkualitas, dan kamu akan menemukan kebahagiaan. Pesan ini terdengar seperti balsam penyembuh bagi luka yang ditorehkan oleh budaya konsumerisme. Tapi tunggu dulu, apakah YONO benar-benar jawaban, atau hanya penawaran baru dalam kemasan minimalis?

     Lihatlah bagaimana minimalisme dijadikan komoditas. Buku-buku panduan tentang menyederhanakan hidup menjamur, dengan harga yang ironisnya tidak sederhana. Seminar dan lokakarya untuk menemukan “satu hal yang kamu butuhkan” sering kali dikemas dengan harga eksklusif yang seolah-olah ingin berkata, “Kamu hanya butuh satu hal—tapi kamu harus membelinya dariku.” YONO, seperti saudara kembarnya YOLO, akhirnya terjebak dalam jerat pasar. Keduanya tidak lebih dari dua sisi koin yang sama: janji kebahagiaan yang selalu bergantung pada sesuatu di luar diri kita.

     Namun, menarik untuk melihat bagaimana kedua konsep ini memiliki akar yang lebih dalam. YOLO, dengan dorongannya untuk mengejar pengalaman maksimal, mengingatkan kita pada ajaran eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu untuk menciptakan makna hidup. Di sisi lain, YONO, dengan ajakannya untuk fokus pada yang esensial, sejalan dengan prinsip wu wei dalam Taoisme dan pengendalian diri dalam stoisisme. Keduanya bukanlah gagasan baru, melainkan transformasi modern dari pencarian makna yang telah berlangsung selama ribuan tahun.

     Pertanyaannya adalah, mengapa kedua konsep ini, meskipun didasarkan pada kebijaksanaan lama, tampaknya gagal memberikan kepuasan yang dijanjikan? Mungkin jawabannya terletak pada cara kita mengonsumsinya. Baik YOLO maupun YONO, ketika dipisahkan dari konteks filosofisnya dan dijadikan sekadar slogan budaya pop, kehilangan kedalamannya. Mereka tidak lagi menjadi jalan menuju kebijaksanaan, tetapi alat untuk menjual gaya hidup. YOLO mendorong kita untuk membeli lebih banyak pengalaman, sementara YONO mendorong kita untuk membeli versi "sederhana" dari pengalaman yang sama.

     Saya sama sekali tidak bertujuan untuk menjelekkan YOLO atau YONO, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa di balik setiap slogan ada paradoks. Hidup memang hanya sekali, tetapi tidak berarti kita harus mengejar segalanya dalam satu tarikan napas. Kita mungkin hanya membutuhkan satu hal, tetapi menentukan apa 'satu hal' itu memerlukan introspeksi yang lebih mendalam daripada sekadar mengikuti tren minimalisme.

     Pada akhirnya, baik YOLO maupun YONO hanyalah cermin dari dilema manusia modern: ketegangan antara keinginan untuk memiliki semuanya dan kebutuhan untuk menemukan makna dalam kesederhanaan. Solusinya mungkin bukan memilih salah satu, tetapi menemukan cara untuk hidup di antara keduanya. Berani mengambil risiko sekaligus tahu kapan harus berhenti. Mengejar pengalaman tanpa melupakan kedalaman. Dan yang terpenting, mengingat bahwa kebahagiaan tidak terletak pada slogan, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup kita sendiri, dengan atau tanpa tagar.

     Di Universitas Balamand Lebanon, terdapat tangga ikonik yang dikenal sebagai  "Staircase of Knowledge." Tangga ini dikonstruksi memiliki 21 anak tangga yang diukir dengan nama-nama karya sastra dan filsafat besar dunia. Masing-masing anak tangga mewakili sebuah buku, melambangkan perjalanan intelektual manusia dari kebodohan menuju pencerahan. Tangga ini terletak di dekat perpustakaan, sehingga simbolismenya semakin kuat: menaiki tangga seperti menjelajahi pengetahuan dari karya-karya monumental, satu per satu. Tangga ini menunjukkan bagaimana setiap langkah mewakili tahapan pengetahuan yang dapat ditempuh manusia.

     Karya-karya ini berasal dari berbagai zaman, budaya, dan tradisi pemikiran, menyatukan perbedaan melalui nilai universal pengetahuan. Dengan menyusun tangga ini, Universitas Balamand menghadirkan narasi tentang evolusi pemikiran manusia yang melampaui batas geografis dan temporal, menciptakan jembatan pemahaman lintas peradaban.

     Kitab-kitab yang dipilih mencerminkan spektrum yang luas, mulai dari sastra kuno hingga refleksi modern tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Epik Gilgamesh berdiri di awal, mewakili pencarian makna kehidupan dalam mitologi Mesopotamia, di mana tema-tema tentang kematian, persahabatan, dan kekekalan menjadi pusat eksplorasi. Di sisi lain, karya seperti The Road Ahead oleh Bill Gates mengungkapkan visi teknologi masa depan, menggambarkan perjalanan manusia yang kini didorong oleh inovasi ilmiah. Dua karya ini, meskipun terpisah ribuan tahun, menggambarkan evolusi pemikiran dari mitos menuju realitas berbasis ilmu pengetahuan.

     Beberapa karya seperti The Republic karya Plato dan The Prince oleh Machiavelli memusatkan perhatian pada filsafat politik, menghadirkan pandangan yang berlawanan tentang sifat manusia dan kekuasaan. Plato membayangkan masyarakat ideal yang didasarkan pada keadilan dan kebijaksanaan, sementara Machiavelli menekankan realisme politik yang sering kali tidak berkompromi dengan moralitas. Perdebatan antara idealisme dan realisme ini menjadi dasar untuk memahami dinamika kekuasaan dan masyarakat hingga saat ini.

     Di sisi lain, karya seperti Risālat al-Ghufrān oleh Abū al-‘Alā’ al-Ma‘arrī dan The Divine Comedy oleh Dante Alighieri, meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, berbagi struktur naratif berupa perjalanan metafisik ke alam akhirat. Kedua karya ini bukan hanya refleksi tentang kehidupan setelah kematian, tetapi juga kritik terhadap kehidupan sosial dan politik dunia nyata, menghadirkan satire yang mendalam terhadap norma dan dogma yang kaku.

     Filsafat modern diwakili oleh karya monumental seperti The Critique of Pure Reason oleh Immanuel Kant dan Thus Spoke Zarathustra oleh Friedrich Nietzsche. Kant menawarkan landasan baru bagi epistemologi, menghubungkan pengalaman inderawi dengan konsep murni yang memungkinkan manusia memahami dunia. Nietzsche, di sisi lain, menantang warisan moralitas tradisional, mendorong manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru dalam dunia yang telah "kehilangan Tuhan". Kedua filsuf ini memperluas cakrawala manusia tentang kebebasan, pengetahuan, dan nilai-nilai eksistensial.

     Karya seperti Muqaddimah oleh Ibn Khaldūn dan A Study of History oleh Arnold Toynbee menyelami peradaban manusia dari perspektif sejarah. Ibn Khaldūn memperkenalkan konsep-konsep seperti asabiyyah (solidaritas kelompok) dan siklus dinasti, sedangkan Toynbee menawarkan analisis tentang kebangkitan dan kejatuhan peradaban dalam konteks global. Keduanya memberikan kerangka kerja yang memungkinkan kita melihat pola besar dalam sejarah manusia, membantu kita memahami bagaimana masa lalu membentuk masa depan.

     Kemudian, ada karya yang menghubungkan manusia dengan semesta, seperti Cosmos oleh Carl Sagan dan A Brief History of Time oleh Stephen Hawking. Sagan membangkitkan kekaguman manusia terhadap alam semesta yang luas, sedangkan Hawking mengeksplorasi hukum-hukum fundamental yang mengatur kosmos. Kedua karya ini mengingatkan kita bahwa pemahaman ilmiah adalah bagian dari narasi besar manusia dalam mencari tempatnya di alam semesta.

     Keseluruhan tangga ini mengajarkan bahwa pemikiran manusia, meskipun beragam, saling terkait dalam upayanya memahami dunia, masyarakat, dan dirinya sendiri. Dari pencarian makna mitologis hingga eksplorasi ilmiah modern, setiap karya mengisi ruang penting dalam mozaik pengetahuan manusia. Tangga-tangga ini bukan hanya perjalanan literatur, tetapi juga perjalanan spiritual dan intelektual, menginspirasi generasi untuk terus memanjat menuju pencerahan yang lebih tinggi. Universitas Balamand, melalui tangga berdekorasi kreatif dengan 21 anak tangga ini, mengingatkan kita bahwa warisan intelektual manusia adalah milik semua, tidak terikat oleh waktu maupun tempat.

     Kitab-kitab tersebut disusun secara kronologis kasar, pada 21 anak tangga, dari bawah ke atas. Klik pada baris-baris judul buku berikut ini, untuk mendapatkan gambaran singkat pengetahuan pada setiap buku yang menghiasi setiap anak tangga menuju perpustakaan Universitas Balamand. 
 

 

 

 

 

 
Note:
  Sumber photo: https://en.rattibha.com/thread/1558909543257710601
☛  Universitas Balamand adalah institusi swasta, sekuler dalam kebijakan dan pendekatannya terhadap pendidikan. Universitas ini menyambut dosen, mahasiswa, dan staf dari semua agama dan asal kebangsaan atau etnis. Terletak di distrik utara El-Koura, Lebanon, Universitas ini didirikan oleh Patriark Ortodoks Ignatius IV dengan dukungan dari komite Ortodoks Antiokhia pada tahun 1988. Universitas di Distrik Koura ini secara administratif menyatu dengan Akademi Seni Rupa Lebanon (ALBA) dan Institut Teologi St. John dari Damaskus sehingga menjadi universitas yang berkembang pesat. Nama 'Balamand' berasal dari, "Bel monde," deskripsi Perancis yang merupakan nama pertama yang diberikan untuk "dunia indah" yang ditemukan Tentara Salib setelah melintasi kota Tripoli pada abad ke-12.[Wikipedia]

     Bila membandingkan peralatan yang digunakan oleh para pendaki Everest jaman dulu, rasanya mustahil untuk tetap menggunakan perlatan-peralatan tersebut saat ini.
     Sejak pertama kali Gunung Everest didaki pada tahun 1920-an, mengutip artikel National Geographic Indonesia, banyak perubahan yang terjadi. Terutama dari sisi kesiapan manusia untuk menuju si Atap Dunia. Buku The Call of Everest keluaran National Geographic Books memberi beberapa perbandingan alat-alat yang digunakan manusia dulu dan kini. Berikut disajikan lima di antaranya.

Altimeter (1924 - 2012) 
     Pionir George Mallory wafat saat mendaki gunung ini pada tahun 1924. Jenazah dan altimeternya baru ditemukan saat ekspedisi Conrad Anker pada 1999. Dari altimeter itu, sejarawan Everest berharap bisa menentukan titik ketinggian Mallory.
Altimeter milik George Mallory tahun 1924 (kiri) dibandingkan dengan altimeter saat ini. (Royal Geographical Society with IBG [kiri], Trimble [kanan])
     Namun, hal ini gagal dilakukan karena alat tersebut sudah rusak. Altimeter yang kini digunakan adalah Trimble GeoXH 6000, juga berperan sebagai peta dan navigasi. Lengkap dengan sistem operasi Windows mobile dan kamera.

Backpack (1963 - 2012)
     Dulu, para pendaki harus membawa backpack yang berat dengan frame alumunium, dan dikencangkan di bagian punggung.
Perbandingan backpack pada tahun 1963 dan 2012 (Mark Theissen/Becky Hale, NGS [kiri], Black Diamond Equipment [kanan])
     Kini, backpack yang digunakan sudah lebih nyaman dan ringan. Beberapa merk ternama juga dirancang menggunakan frame internal agar penggunanya lebih leluasa bergerak.

Oksigen (1953 - 2012)
     Saat Ekspedisi Bristish Everest tahun 1953, tiap pendakinya dibebani dengan sistem oksigen seberat 15,8 kilogarm. 59 tahun kemudian, tim dari National Geographic melalui jalur yang sama dengan mereka tapi dengan bobot sistem oksigen hanya 2,4 hingga 3,4 kilogram.
Perbandingan sistem oksigen untuk menaiki Everst pada tahun 1953 dan 2012 (Royal Geographical Society with IBG [kiri], Summit Oxygen [kanan])

Kamera (1921 - 2012) 
     Alexander Kellas, penjelajah Himalaya, membawa kamera "jadul" pada saat ekspedisinya ke Everest pada tahun 1921. Sayangnya ia tewas karena disentri dan gagal jantung pada saat ekspedisi tersebut.
 Perbandingan kamera milik Alexander Kellas pada tahun 1921 dengan kamera yg digunakan kru National Geographic tahun 2012. (Royal Geographical Society with IBG [kiri], Matt Propert, NGS [kanan])
     Kamera di kanan pada foto di atas adalah Canon 5D Mark II dengan beberapa fitur digital. Kamera ini merupakan satu dari beberapa kamera yang digunakan kru National Geographic saat ekspedisi ke Everest tahun 2012 lalu.

Kantung tidur (1963 - 2012)
     Kantung tidur berwarna hijau ini merupakan inovasi teranyar pada tahun 1960-an. Tapi dibandingkan dengan kantung tidur yang ada saat ini, dibuat untuk mengakomodasi tidur pendaki lebih baik.
Kantung tidur tahun 1983 (hijau) dengan yang digunakan kru National Geographic pada 2012. (Mark Theissen/Becky Hale, NGS [kiri], The North Face [kanan])
semua gambar dari national geographic indonesia

     "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­-sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim penghujan; air-air terjun tertumpah seakan mendidih, membusa, bergelora; ungkapan semangat kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Namun sebagaimana gunung nan garang yang terpancang kokoh dengan sungai yang menggelora, perlahan-lahan akan berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah". Begitu tulis John A.F. Schut dalam bukunya "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang bahasannya berjudul : De Makassaren en Boegineezen.

     Gambaran yang terasa global untuk mewakili karakter umum Suku Bugis Makassar, apalagi bila hendak fokus ke Makassar saja. Dari berbagai sumber online maupun offline, saya kemudian juga tertarik untuk memposting sedikit kisah bagaimana awal mulanya sehingga daerah kecil yang dahulu di dalam wilayah kerajaan Tallo, kemudian diberi nama Makassar.

     Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Di abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing.

     Selama tiga malam berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari tepi pantai wilayah kerajaannya, Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu menyebar ke arah negeri sahabat lainnya.

     Bersamaan di malam ketiga Raja bermimpi itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M, di bibir pantai Tallo merapatlah sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, yang berkibar kencang dihembus angin laut. Ketika merapat di pantai, nampaklah sesosok lelaki dengan tenang dan tangkas, menambatkan perahunya. Setelah itu, sosok lelaki tersebut melakukan gerakan-gerakan aneh berulang-ulang seperti suatu ritual. Gerakan-gerakan tersebut di kemudian hari dikenal sebagai gerakan orang bersembahyang dalam ajaran agama Islam (shalat).

     Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di ujung malam menjelang subuh yang masih begitu gelap, Baginda tidak mampu menahan diri untuk bergegas ke pantai hendak menyaksikan kehebohan yang sudah begitu menggemparkan. Baru saja Baginda hendak melangkah keluar istana, tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. . (Darwa Rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36)

     Lelaki itu lalu menjabat tangan Baginda Raja dengan erat, yang terasa kaku lantaran masih takjub oleh situasi yang begitu tiba-tiba. Masih sambil menggenggam tangan itu lalu ‘ia’ menulis kalimat di telapak tangan Baginda. Karena begitu terkesima, Baginda hanya bisa membiarkan semua kejadian itu tanpa mengelak sedikitpun. Setelah selesai menulis, lelaki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum hormat kepada Baginda.

     "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi akan merapat di pantai,” begitu suara lembut namun tegas dari lelaki itu, yang tiba-tiba hanya dalam sekejap menghilang begitu saja dari hadapan raja. Baginda sangat terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya dan ternyata tulisan yang dibuat lelaki itu masih nampak begitu nyata dan jelas. Tidak menunggu lama, Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki dengan penampilan berbeda dari rakyat kebanyakan,  tampak tengah menambatkan perahu. Sesaat kemudian ia dengan takzim menyampaikan salam dengan begitu hormat memenyambut kedatangan Baginda.

     Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. Setelah selesai menyimak penuturan Baginda, lelaki itu tersenyum lalu berujar lembut,

     “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat”. Melihat raja mencoba mengerti apa yang dikatakannya, lelaki itu melanjutkan, “Adapun lelaki yang menuliskannya tadi, adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Nabi yang mulia itu telah menampakkan diri di Negeri Baginda.”

     Peristiwa inilah yang kemudian dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", berasal dari ungkapan "Akkasaraki Nabbiya", yang artinya ‘Nabi menampakkan diri’.

     Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang kemudian dikenal sebagai Datuk Ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Sementara Raja yang bertemu dengan ‘orang bercahaya’ itu adalah Baginda Raja Tallo bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka, yang setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar 'Sultan Abdullah Awaluddin Awwalul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana'. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.


     Selain itu, penelusuran asal nama "Makassar" juga bisa ditinjau dari beberapa sudut analisa yang lain, misalnya:

     Makna. Untuk menjadi manusia yang sempurna, maka manusia perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin untuk diwujudkan sebagai perbuatan. "Mangkasarak" artinya mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dalam ajaran Tao atau Tau (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti pemahaman sebagian orang bahwa "Mangkasarak" berarti orang kasar yang mudah tersinggung.

     Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak".

Morfem ikat "mang" mengandung arti:
          - Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
          - Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­
Morfem bebas "kasarak" mengandung arti:
          - Terang, nyata, jelas, tegas.
          - Nampak dari penjelasan.
          - Besar (lawan kata: kecil atau halus).

     Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.


     Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah disimpulkan bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Kompleks makam Raja-raja Tallo. Di tempat ini dimakamkan Sultan Mudhafar (Raja Tallo VII), Karaeng Sinrinjala, Syaifuddin (Raja Tallo XI), Siti Saleha (Raja Tallo XII), La Oddang Riu Daeng Mangeppe (Sultan XVI) juga I Malingkaang Daeng Manyonri (Raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam) - Raja Daeng Manyori ini juga mendapat julukan sebagai 'Macan Putih dari Tallo' dan Karaeng Tuammalianga ri Timoro (Raja yang berpulang di Timur) (foto : isnuansa.com)

Kapal-kapal kayu Phinisi di pelabuhan Paotere' Makassar (foto : aci.detik.travel)

Pemukiman menuju pelabuhan Paotere' (foto : blog.travelpod.com)

Salah satu sisi kanal yang membelah kota Makassar (foto : faizalramadhan.com)

 Coto Makassar (foto : darimakassar.com)

Sop Konro dengan varian Konro Bakar (foto : mitrasites.com)

Benteng Port Rotterdam (foto : travel.kompas.com)
 
Bandara Sultan Hasanuddin (foto : makassarterkini.com)
Pantai Losari (foto : yaszero.com)

Pantai Losari dari sudut yang lain (foto : suharman-musa.blogspot.com)

 Salah satu bagian kota Makassar

Mesjid Raya Makassar (foto : gallery.makassarkota.go.id)

 Al-Markaz Al Islami Makassar (foto : semuahanyamasalalu.blogspot.com)

 Lapangan Karebosi (foto : Kaskus)

     Selama bertahun-tahun, asal usul mie masih menjadi perdebatan. Masih simpang siur siapa yang pertama kali membuatnya. Beberapa pendapat mengatakan bahwa mie pertama kali dibuat di daratan Mediterania. Lain lagi mengungkapkan teknologi pembuatan mie dikembangkan di Timur Tengah.Ada pula sebuah catatan tua yang merekam bahwa mie pertama kali dibuat saat jaman Dinasti Han di China tahun 25-200. Kemudian pada tahun 2005, ditemukan mie tertua yang berumur 4000 tahun di daratan China.

     Penemuan ini menjadi bukti bahwa penduduk China modern adalah yang pertama membuat mie. Namun, apakah teknologi pembuatannya diadopsi dari Timur Tengah atau tidak, masih terus menjadi perdebatan.
Penemuan Mie Tertua Berumur 4000 Tahun


Dari Mie untuk Pasta
      Banyak orang yang juga menyangka bahwa mie berawal dari pasta sehingga menunjuk Italia yang pertama membuat mie.Namun, banyak sejarahwan percaya bahwa ketika Marco Polo berkunjung ke China pada abad ke-13, dia menyukai mie dan membawanya ke Italia dan memengaruhi masakan di negaranya.
     Pada kenyataannya, mie tidak menjadi makanan pokok di Italia sampai abad ke-17 dan 18.Di benua Asia, mie tidak begitu banyak menyebar sampai kira-kira tahun 100. Pada tahun tersebut, mie mulai dikenal dan disukai di beberapa negara seperti, Jepang, Korea, Vietnam, Laos, bahkan sampai negara-negara pulau di Asia Tenggara dan Asia.

Arti Mie
      Dalam budaya China, mie adalah simbol kehidupan yang panjang. Makanya, mie secara tradisional sering disajikan pada acara ulang tahun dan saat Tahun Baru Cina sebagai lambang umur panjang. Sehingga versi kue ulang tahun China adalah mie ulang tahun.
     Di Jepang, mie dimasukkan ke dalam upacara minum teh Jepang dan membuat mie dianggap sebagai seni tersendiri di negara tersebut. Mie bahkan menjadi lebih penting di Jepang setelah Perang Dunia II, ketika kekurangan makanan dan hanya mie kering yang tersedia.


Jenis Mie
      Ada beberapa jenis mie yang terkenal di daratan Asia. Entah itu dibuat tipis atau tebal, pipih atau bulat, terbuat dari gandum atau beras, setiap jenis mie memiliki sejarah tersendiri dalam dunia kuliner di negaranya.
     Menelusuri penggunaan dan sejarahnya, memang cukup rumit karena menyangkut budaya kuliner antar negara selama berabad-abad.

1. La Mian Mie



     Mie tertua yang pernah ditemukan menyerupai Mie La Mian modern di China. La Mian secara harfiah berarti “mie tarik.” Mie ini dibuat dengan tangan dan terbuat dari gandum.Caranya, adonan mie dipelintir dan ditarik sampai panjang yang kemudian dipotong tipis-tipis. Mie jenis ini digunakan dalam sup dan kentang goreng.La Mian Mie mirip dengan Mie Lo Mein Kanton, tapi jauh lebih tipis daripada kebanyakan Mie Lo Mein yang disajikan di Amerika.

2. Mie Ramen

     Banyak yang bilang kalau Mie Ramen dibuat berdasarkan Mie La Mian. Itu karena bukti bahasa dimana dalam bahasa China, “Ramen” berarti “Lamian”.Begitu juga sebaliknya, di mana mie yang dipakai dalam Ramen disebut “Chuka Men” dalam bahasa Jepang atau “Mie China”.Bentuk Chuka Men sangat tipis, mie gandum ini juga sering digunakan untuk masakan Jepang lainnya, seperti Champon (daging babi goreng dengan seafood, sayuran dan kaldu).
      Sama halnya dengan masakan populer di Korea, Yakisoba atau mie goreng yang mirip dengan Chow Mein di China. Fakta ini menunjukkan bahwa memang benar terjadi pertukaran budaya kuliner di China dan Asia Timur.

3. Mie udon
     Mie gandum yang tebal ini dikenal dengan Udon di Jepang. Biasanya disajikan dalam sup kaldu yang hangat disajikan dengan daun bawang. Udon kemungkinan berasal dari China yang dikenal dengan Cu Mian.Dikatakan bahwa biksu Jepang pada tahun 800-an, membawa Udon dari China sekaligus membuktikan bahwa mie memang sudah membudaya pada kultur masyarakat Budha di Jepang.

4. Mie Soba
     Mie soba berbentuk tipis dan populer di Jepang. Mie Soba digunakan untuk membuat sup tradisional yang didinginkan dan dimakan dengan saus.Mie ini telah dikonsumsi selama berabad-abad dan menjadi makanan pokok di wilayah Tokyo selama periode Edo.Ketika kaya, wilayah ini mulai lebih memilih nasi putih yang rendah tiamin. Mie Soba bukan hanya enak, tapi juga merupakan sumber nutrisi yang diperlukan tubuh.

5. Mee Pok
     Mee Pok berbentuk datar, mie gandum kuning berasal dari Cina ini, dimakan dengan saus atau disajikan dalam sup jamur dan daging cincang di atasnya.Sajian ini juga disebut Bak Mee Chor di Singapura, Thailand, dan Malaysia. Secara tradisional, Mee Pok dibuat dengan cara dikeringkan dan dicampur dengan saus atau kaldu. Sajian lain yang sama, tapi dengan campuran ikan atau kue bola ikan, adalah Yu Wan Mee.

6. He Fen dan Mie Pho
     Mie beras yang pipih ini, dikenal juga sebagai Hor Fun atau Shahe Fen dan berasal dari China. Biasanya digoreng dengan daging sapi untuk membuat Chao Fen atau disajikan dalam sup.Akulturasi terjadi di Thailand di mana banyak makanan goreng berbasis makanan China, menggunakan mie jenis ini. Begitu juga dengan di Vietnam yang menggunakannya dalam membuat Pho.

7. Soun
     Soun yang dikenal juga sebagai mie kacang hijau, mie kacang benang, atau bihun China ini, secara tradisional terbuat dari pati kacang hijau.Saat ini, soun dapat dibuat dari ubi, kentang, atau singkong. Di seluruh China, Soun dimakan dengan kentang goreng atau dicampurkan dalam sup.Soun juga menyebar ke Jepang, Korea, Vietnam, dan beberapa negara di Asia Selatan, di mana mereka menggunakan Soun dalam masakan goreng, lumpia, dan bahkan makanan penutup.

8. Bihun
     Mie Bihun sangat tipis, mirip dengan Soun dan terbuat dari tepung beras, bukan kacang hijau atau pati kentang.Bihun dikonsumsi di seluruh Asia, tetapi populer di Singapura ketika mereka menggunakannya dalam membuat Mie Sate Kacang (Satay Been Hoon) atau digoreng seperti Hokkien Mee.Bihun juga digunakan di Filipina dan dikenal dengan Pancit yang digoreng dan dimakan pada hari ulang tahun.

9. Idiyappam
     Mie tipis terbuat dari beras atau gandum ini populer di India dan Sri Lanka dan dikenal dengan nama Idiyappam. Mie ini seperti Ramen atau nasi bihun dan sering disajikan bersama dengan kari dan acar.

10. Dotori Guksu
     Dotori Guksu adalah mie Korea yang unik terbuat dari biji pohon ek. Mengingat sejarah panjang makanan berbasis biji-bijian dan mie di Korea, kemungkinan mie ini telah dimakan selama beberapa milenium di Korea.Mie yang terbuat dari biji-bijian dan tepung ini, mirip dengan Mie Soba dimakan dengan campuran kentang goreng, disajikan dengan saus, dan lebih banyak dimakan dalam keadaan dingin.Seperti uraian sejarah mie di atas, para praktisi kuliner memang tidak membaginya dalam negara. Tapi, lebih kepada bahan baku umum pembuatan mie yang dapat ditemukan di negara-negara Asia di mana letaknya saling berdekatan.

     Pastinya, sampai sekarang mie masih menjadi elemen penting dalam kuliner Asia dan menjadi inspirasi buat masakan Asia Fusion.

Sumber : http://www.indonesiamedia.com

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.