Latest Post

Logika Mistika: Tarian Pikiran di Antara Kabut Gelar dan Akar Bajakah

     Di suatu senja, ketika langit ibukota memerah seperti darah yang teroksidasi, Dr. Arini menyelesaikan presentasinya tentang bioteknologi tanaman obat di hadapan para kolega bergelar doktor. Layar proyektor masih memamerkan grafik spektrometri massa ketika ia merogoh tas Hermès-nya, mengeluarkan botol kecokelatan bertuliskan "Ekstrak Bajakah Super — Warisan Leluhur Dayak". "Untuk diabetes," bisiknya pada profesor di sebelahnya, "Tapi jangan bilang-bilang, ya. Risetnya masih tahap awal." Suara tawa mereka menggema di ruang ber-AC, sementara di luar, seorang driver ojol yang menderita gula darah tinggi mengutip harga ramuan itu — setara dengan tiga hari upahnya.

     Inilah ironi zaman: kaum terdidik yang seharusnya menjadi mercusuar logika, justru menjadi penenun kabut antara sains dan tahayul. Mereka berbicara tentang placebo effect dalam seminar, tapi di grup WhatsApp alumni kampus ternama, mereka ramai-ramai membagikan tutorial "detoksifikasi aura dengan kristal kuarsa". Tan Malaka, dari dalam debu sejarah, mungkin sedang menggigit jari melihat bagaimana "akal" yang ia perjuangkan dikhianati oleh mereka yang paling pantas menjaganya.

     Di laboratorium universitas negeri di Jawa Tengah, aroma etanol 70% bercampur dengan dupa yang mengepul dari sudut ruangan. "Biar alat-alat ini tidak 'dingin'," kata seorang asisten lab sambil menyemburkan air bunga ke spektrofotometer. Alat senilai miliaran rupiah itu — yang bisa menganalisis struktur molekul hingga tingkat atom — dianggap perlu "dihidupi" oleh ritual yang sama primitifnya dengan upacara meminta hujan zaman prasejarah. Di meja sebelah, tumpukan proposal penelitian tentang uji klinis jamu antikanker bersanding dengan sesajen nasi kuning yang mulai berjamur.

     Tapi absurditas sejati terjadi di ruang rapat dekanat. Seorang guru besar farmakologi, penulis puluhan paper terindeks Scopus, dengan serius mengusulkan: "Bagaimana jika kita buka program magister pengobatan tradisional? Syarat masuknya bisa pakai tes meditasi chakra ketujuh!" Rekan-rekannya manggut-manggut, sambil sesekali menyentuh jimat kecil di saku — pemberian seorang shaman yang diundang sebagai guest lecturer bulan lalu.

     Di pelosok Kalimantan, akar bajakah yang dulu hanya digunakan untuk menyamak kulit binatang, tiba-tiba menjelma "obat dewa". Yang menarik bukanlah para dukun yang menjualnya di pasar, melainkan doktor-doktor muda lulusan luar negeri yang membuat video TikTok dengan latar belakang perpustakaan penuh buku teks: "Inilah bukti superioritas pengobatan lokal atas imperialisme farmasi Barat!" Mereka lupa bahwa "farmasi Barat" yang mereka kutuk itu justru mematenkan 84% bahan aktif dari tanaman obat negara dunia ketiga — setelah melalui uji klinis ketat yang mereka sendiri enggan lakukan.

     Sementara itu, di klinik-klinik alternatif yang bermekaran di kawasan elite, pasien kanker stadium akhir dijejali ramuan akar-akaran dengan harga selangit. "Ini bukan sekadar herbal," bisik seorang terapis lulusan S2 biologi molekuler sambil menunjukkan sertifikat seminar "Quantum Healing", "Ini tentang menyelaraskan frekuensi DNA dengan energi alam semesta." Di dinding, ijazahnya dari universitas negeri terakreditasi A tergantung malu-malu, seolah tak ingin terlibat dalam drama pseudosains yang dipentaskan di ruang periksa.

     Di dunia yang lebih modern, logika mistika memakai baju baru. Sebuah startup di Bandung — didirikan oleh lulusan ITB dan Stanford — menawarkan aplikasi "AI Spiritual Healing". "Dengan algoritma machine learning dan kebijaksanaan leluhur Nusantara," demikian pengumuman mereka di LinkedIn, "kami bisa mendiagnosis penyakit melalui foto aura." Para venture capitalist berebut menanamkan dana, sementara di balik layar, coding mereka hanya bisa membedakan antara foto yang diambil dalam cahaya hangat dan dingin.

     Tak ketinggalan, di gedung DPR, seorang menteri bergelar doktor ekonomi dari universitas Ivy League dengan yakin menyatakan: "Krisis pangan bisa diatasi dengan gerakan nasional makan tempe — karena fermentasi kedelai mengandung probiotik yang meningkatkan kecerdasan kolektif!" Argumen ini — yang lebih cocok untuk stand-up comedy — justru diajukan dalam rapat kerja nasional, lengkap dengan grafik-grafik warna-warni yang dibuat asistennya semalaman.

     Di tengah riuh rendah ini, bayangkan Tan Malaka duduk di sudut ruang rapat itu. Matanya menyipit melihat para doktor yang membangun kerajaan ilusi dari ketidaklogisan. "Kalian pikir kolonialisme sudah mati?" gumamnya, "Lihatlah bagaimana kalian menjajah pikiran rakyat sendiri dengan mitos-mitos baru berbalut jargon akademik!"

     Madilog mengajarkan bahwa jalan keluar bukan pada penolakan terhadap tradisi, tetapi pada transformasi radikal cara berpikir. Jamu bukan musuh — musuhnya adalah klaim-klaim tanpa bukti. Ketika nenek di pedalaman Papua menggunakan getah pohon untuk menyembuhkan luka, itu adalah kearifan lokal. Tapi ketika profesor di Jakarta menjual getah yang sama sebagai "obat kanker yang diteliti secara turun-temurun", itu adalah penipuan intelektual.

     Revolusi yang sesungguhnya dimulai ketika kita berani memaksa setiap klaim melalui tungku logika yang membara. Uji klinis bukan penghinaan pada leluhur, melainkan penghormatan tertinggi — dengan mengubah "katanya" menjadi "terbukti". Ketika petani di Boyolali menggabungkan kalender pranata mangsa dengan data satelit NASA, mereka sedang menulis bab baru dalam sejarah: di mana tradisi bukan lagi dogma, tetapi hipotesis yang siap diuji.

     Di akhir hari, ketika lampu-lampu kampus mulai padam, bayangan para intelektual itu masih terlihat sibuk di balik jendela laboratorium. Ada yang sedang menganalisis kromatografi, ada yang menyiapkan sesaji untuk ritual penyambutan alat baru. Di suatu sudut, seorang mahasiswa S3 yang idealis — mungkin satu-satunya yang masih membaca Madilog — menatap ijazah sarjananya yang terbungkus plastik. "Apa gunanya gelar ini," gumamnya, "jika kita lebih takut pada hantu ketimbang kesalahan metodologi?"

     Di luar, kabut mulai turun menyelimuti kota. Kabut yang sama yang pernah menyelubungi pikiran manusia purba, lalu diusir oleh obor revolusi sains. Kini, ia kembali dalam bentuk baru — lebih licin, lebih menggoda — menyusup melalui celah-celah gelar doktor dan jurnal bereputasi. Tantangannya tetap sama: apakah kita cukup berani membawa obor logika itu, meski harus membakar habis topeng-topeng intelektual kita sendiri?

     Seperti kata Tan Malaka: "Di medan perang pikiran, kompromi adalah kekalahan." Dan medan perang itu kini ada di meja-meja laboratorium kita, di layar-laptop kita, di ruang-ruang rapat tempat kita menjual jiwa keabadian ilmiah untuk sesaji popularitas semu.


     Hampir delapan puluh tahun merdeka, tapi napas kebebasan di negeri ini masih tersengal-sengal. Di bawah langit yang sama di mana Bung Karno pernah berteriak "merdeka!", kini yang terdengar hanyalah gemuruh saling curiga. Kita merayakan kemerdekaan dengan upacara gemerlap, sementara pikiran-pikiran merdeka dikurung dalam sangkar prasangka. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki zamrud katulistiwa, bertanya bukan lagi pintu menuju kebijaksanaan, melainkan pemicu perang label. "Kamu pendukung siapa?" bukan sekadar pertanyaan—ia adalah pisau yang siap menggorok nalar.

     Bayangkan sebuah pasar di mana setiap kata harus dibeli dengan kupon loyalitas. Di lorong pertama, seorang pemuda mencoba bertanya tentang kebijakan impor beras. Sebelum kalimatnya selesai, serombongan buzzer mengepungnya: "Ah, kamu pasti kader partai X!" Di lorong kedua, seorang ibu mempertanyakan alokasi dana pendidikan. Langsung terdengar pekik: "Dasar belum move on!" Pasar ini bukan metafora—ia adalah ruang publik kita. Setiap pendapat harus diawali permohonan maaf: "Saya netral, tapi..." seolah netralitas adalah dosa yang perlu diampuni. Demokrasi yang dulu diimpikan sebagai taman tempat ide-ide bermekaran, kini berubah jadi gelanggang tinju dua kubu—hitam versus putih, kawan versus lawan, tanpa wilayah abu-abu untuk sekadar merenung.

     Di dunia maya, pertarungan semakin absurd. Sebuah cuitan tentang polusi udara Jakarta langsung dibalas dengan meme ejekan: "Dasar pendukung mantan!" Sebuah analisis kebijakan pajak dianggap bukti kecintaan pada oligarki. Kita hidup dalam era di mana argumen tidak lagi dijawab dengan argumen, melainkan dengan stiker sindiran dan hastag #KritikDoang #BaperanKritis. Buzzer-buzzer bayaran—para algojo kata-kata—berkeliaran bagai laron di malam musim hujan, menghisap madu perhatian dan meninggalkan kotoran kebencian. Mereka adalah produk sampah demokrasi digital: tentara bayaran yang menjual akun demi likes, sambil mengubur rasionalitas di bawah tumpukan komentar sarkastik.

     Orang-orang bijak pernah bilang, peradaban lahir dari percakapan. Tapi di negeri ini, percakapan telah menjadi ritual saling mengukur kedalaman kubu. Diskusi tentang reformasi agraria berubah jadi debat kusir: "Dulu zaman orde baru lebih baik!" atau "Sekarang kan sudah reformasi!" Seolah sejarah hanya punya dua bab—hitam dan putih—tanpa ruang untuk warna-warni kritik. Kita menjadi bangsa yang terobsesi pada dikotomi, seperti wayang yang hanya mengenal tokoh baik dan jahat, meski tahu dalangnya sama-sama memainkan keduanya.

     Padahal, di balik panggung sandiwara politik, masalah sesungguhnya menganga. Ketika petani mempertanyakan alih fungsi lahan, mereka dicap "provokator". Ketika buruh menuntut upah layak, dianggap "dibayar oposisi". Persis seperti zaman Orde Baru—meski dengan wajah baru—di mana setiap suara kritis dianggap gangguan stabilitas. Bedanya, dulu musuh datang dari penguasa, kini dari sesama warga. Kita telah menjadi penjaga sukarela penjara pemikiran, mengawasi satu sama lain dengan mata penuh curiga.

     Lihatlah ironi ini: negeri yang bangga akan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" justru alergi pada perbedaan pendapat. Kita merayakan keragaman suku, tapi gagap menghadapi keragaman ide. Bagai penonton wayang yang marah ketika dalang mengubah alur cerita, kita menuntut politik hanya berkisah tentang pahlawan dan pengkhianat—tak ada ruang untuk tokoh yang kompleks, apalagi pertanyaan yang mengganggu.

     Dalam novel 1984, George Orwell memperingatkan tentang "polisi pikiran". Tapi di Indonesia hari ini, kita tak perlu polisi khusus—setiap warga telah menjadi penyidik sukarela. Seorang guru honorer di Cirebon dipecat karena berani mengomentari kostum berwarna partai tertentu di postingan Instagram gubernur, sementara seorang guru besar bedah saraf di Semarang dicopot dari jabatannya karena kerap mempertanyakan kebijakan Menkes yang mengorbankan pasien miskin. Belum lagi kasus terbaru 2025: pesepak bola PSM Makassar dibanned satu tahun hanya karena menyindir federasi yang menggunakan wasit "bermuka centeng bandar judi". Persis seperti mimpi buruk Orwell: "Big Brother" tak perlu mengawasi—kita saling melaporkan sendiri.

     Padahal, demokrasi sejati adalah ruang di mana "tidak setuju" bukan pengkhianatan, melainkan bukti kepercayaan. Ketika Socrates minum racun karena pertanyaannya dianggap mengancam Athena, itu adalah kegagalan demokrasi kuno. Tapi ketika di abad 21 kita masih mengulangi kesalahan yang sama—mengancam intelektual dengan cancel culture alih-alih argumen—itu adalah tragedi yang lebih menyedihkan.

     Kita mungkin masih merdeka secara politik, tapi telah menjadi budak dalam berpikir. Negeri ini telah berubah menjadi panggung raksasa di mana semua orang berteriak, tapi tak ada yang benar-benar bicara. Demokrasi tanpa percakapan hanyalah mayat berjalan—bergerak oleh sentimen, bukan akal. Dan seperti kata Pramoedya, "Sejarah dunia adalah sejarah pemikiran yang dikhianati." Jika kita terus membunuh pertanyaan, yang tersisa hanyalah bangsa zombie: hidup tapi tak bernyawa, berjalan tapi tak tahu arah.

     Delapan puluh tahun merdeka, tapi jiwa kita masih dijajah oleh ketakutan sendiri. Di ujung lorong gelap ini, hanya ada dua pilihan: terus menyanyikan lagu kebencian dengan kostum demokrasi, atau berani membuka jendela percakapan—meski angin yang masuk mungkin menerbangkan topeng-topeng yang selama ini kita kenakan. Sebab, seperti kata filsuf Yunani kuno, "Kebenaran lahir dari perbincangan, bukan dari monolog." Tapi untuk itu, kita harus berani melepas baju kebencian, dan kembali menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar bendera dalam perang warna.

Tarian Tak Kasat Mata dari Agora ke Algoritma

     Bayangkan seutas benang tak terlihat, merajut jutaan manusia dalam pola perilaku, harapan, dan penilaian. Benang itu adalah logika sosial – arsitektur tak kasat mata yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi, jauh sebelum kita sadar sedang terikat olehnya. Ia bukan hukum tertulis, melainkan napas kolektif yang menghidupi norma, memahat batas antara pantas dan tercela, dan mengatur tarian rumit kehidupan bermasyarakat. Dari debat sengit di agora Athena hingga pusaran feed media sosial, logika ini terus berevolusi, beradaptasi, dan terkadang, memperlihatkan absurditasnya yang paling menusuk.

     Di jantung peradaban Barat, Socrates menjadi martir pertama yang dikorbankan di altar logika sosial ini. Kegemarannya menggugat kebodohan massal dan menelanjangi kepalsuan retorika populer dianggap "meracuni pemuda". Kematiannya bukan hanya tragedi filsafat, melainkan peringatan abadi: logika sosial sanggup menghabisi siapa pun yang berani menari di luar irama yang ditetapkan. Plato, merespons kekacauan itu, membayangkan Republik yang dikendalikan para filsuf-rajanya – sebuah upaya merasionalkan tirani logika massa menjadi hierarki akal yang ketat. Lompatan berabad-abad membawa kita ke Jean-Jacques Rousseau. Dengan nada melankolis, ia mengutuk belenggu peradaban yang memisahkan manusia dari keadaan alamiahnya. Logika sosial, baginya, adalah topeng yang memaksa kita bergantung pada penilaian orang lain, menciptakan "tirani harapan" yang membelenggu lebih halus daripada rantai besi. Sementara itu, Adam Smith memperkenalkan logika pasar sebagai "tangan tak terlihat" – keyakinan bahwa kepentingan pribadi yang rasional akan mengatur harmoni sosial, sebuah iman yang getir diuji oleh jurang ketimpangan masa kini.

     Memasuki abad ke-20, teleskop analitis makin tajam. Erving Goffman membedah kehidupan sosial sebagai dramaturgi. Setiap interaksi adalah panggung; kita adalah aktor yang sibuk mengelola kesan, memilih topeng, dan membaca "naskah" tak tertulis sesuai audiens. Logika sosial menjadi sutradara yang menentukan peran apa yang boleh dimainkan. Michel Foucault menggali lebih dalam, membongkar logika sosial sebagai mekanisme kekuasaan yang halus namun mengerikan. Melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, kekuasaan meresap bukan dengan pentungan, tapi dengan disiplin dan pengawasan. Panopticon – penjara model dimana narapidana mengawasi diri sendiri karena merasa selalu diawasi – menjadi metafora sempurna masyarakat modern. Kita menginternalisasi tatapan "masyarakat", menjadi penjaga sekaligus tahanan norma.

     Dan tiba-tiba, revolusi digital mengubah panggung itu secara radikal. Desa global Marshall McLuhan menjelma menjadi realitas, tapi desa ini terfragmentasi dalam echo chamber algoritmik. Logika sosial mengalami mutasi dahsyat. Logika viralitas menggeser logika kebenaran: nilai ditentukan oleh sebar, bukan substansi. Logika algoritmik membentuk realitas: apa yang kita lihat, percaya, dan menjadi, dikurasi oleh kode yang dirancang untuk memicu engagement – seringkali lewat kemarahan atau keunggulan moral. Pengawasan Foucaultian menemukan medium barunya: kolom komentar media sosial. Di sinilah, dalam gemerlap layar ponsel, logika sosial Indonesia menampilkan wajahnya yang khas.

     Salah satunya adalah fenomena gemar menasehati dan mencampuri urusan pribadi. Erving Goffman mungkin akan tersenyum sinis menyaksikan panggung ini. Di sini, orang berlomba memerankan "si bijak", "si pengalaman", atau "penjaga moral". Sebuah unggahan tentang pola asuh, pilihan karir, atau gaya hidup, bisa seketika diserbu komentar bernada "seharusnya…", "kasihan anaknya…", atau "jaman saya dulu…". Ini bukan sekadar rasa ingin tahu; ini adalah pementasan diri untuk mengukuhkan citra sekaligus penegasan norma sosial yang diyakini. Michel Foucault akan menambahkan: ini adalah Panopticon warga-net dalam aksi nyata. Setiap orang merasa menjadi pengawas, berkewajiban menertibkan "penyimpangan" demi mempertahankan tatanan imajiner. Ada satir kelam tersembunyi di balik bungkus "niat baik": hasrat mengontrol kehidupan orang lain yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. Meursault, tokoh Albert Camus yang dihukum mati (antara lain) karena ketidakmampuannya menampilkan kesedihan dramatis di pemakaman ibunya – sebuah ketidakpatuhan fatal pada skrip emosional yang dituntut masyarakat – mungkin akan menjadi sasaran empuk lynching digital di panggung seperti ini.

     Lebih kelam lagi adalah fenomena nostalgia kekerasan dalam pendidikan yang seringkali dibanggakan: "Dulu guru saya sering memukul pakai rotan, lalu disetrap di lapangan upacara hingga jam istirahat! Lihat sekarang, anak dibentak sedikit sudah ngambek, lalu orang tuanya lapor polisi! Mana bisa anak bermental kuat kalau dimanja!". Di sini, Foucault menggigit lebih dalam. Ini bukan sekadar kenangan, melainkan bukti nyata internalisasi logika penindas hingga ke tingkat yang mengharukan. Kekerasan fisik di sekolah adalah alat rezim disiplin lama untuk menciptakan docile bodies – tubuh-tubuh jinak yang patuh. Yang memilukan adalah ketika korban justru meromantisasi alat penjinakannya, menyulap trauma itu menjadi mitos "pembentukan karakter". Mengejek "lapor polisi" adalah puncak ironi: mereka menertawakan mekanisme akuntabilitas dan penegakan hukum – pilar dasar masyarakat modern – demi mempertahankan warisan kekerasan yang terbebas dari pertanggungjawaban. Ini adalah tabrakan frontal antar logika sosial: otoritarianisme berbasis ketakutan dan kepatuhan buta versus paradigma berbasis hak asasi dan keadilan prosedural. Satirnya terasa getir: membanggakan kekerasan yang dialami sebagai lencana "ketangguhan" sejati, sambil mencemooh keberanian untuk menuntut keadilan sebagai tanda "kelemahan" generasi.

     Algoritma bukanlah penonton pasif. Ia adalah katalis yang memperkuat dan mendistorsi logika sosial warisan ini. Ia tahu persis umpan untuk si "penjaga moral digital": konten tentang "pengasuhan salah" atau "keruntuhan moral generasi kini". Ia paham godaan bagi si rindu kekerasan: meme "jaman dulu lebih disiplin" atau "generasi bangsat". Echo chambers memperkuat keyakinan kelompok, mengubah norma subjektif menjadi kebenaran mutlak. Logika viralitas memberi panggung pada yang paling lantang menghakimi atau yang paling getir meromantisasi kekerasan. Kita terjebak dalam siklus: bias kita memberi makan algoritma, algoritma memberi makan bias kita, memperkuat tembok logika sosial yang kadang usang dan kejam.

     Menyadari arsitektur tak kasat mata ini adalah langkah pertama pembebasan. Logika sosial bukan takdir, melainkan konstruksi yang bisa dikritik dan diubah. Menolak ikut dalam online shaming adalah merobohkan bata dari Panopticon digital. Mempertanyakan nostalgia kekerasan adalah menolak warisan docile bodies. Memahami bahwa feed kita adalah kurasi algoritma adalah membuka jendela kesadaran. Tantangannya bukan menghancurkan semua norma, melainkan menyaringnya dengan kritis: mana yang lahir dari kebijaksanaan kolektif, mana yang hanya jerat konformitas buta atau amplifikasi digital dari prasangka? Di ujung labirin algoritma, pertanyaan abadi Socrates kembali menggema: bagaimana kita hidup bersama secara lebih adil, manusiawi, dan bebas dari belenggu logika sosial yang menghakimi dan melukai – baik itu bisik tetangga, pukulan guru yang diromantisasi, atau amarah viral yang dipicu mesin? Jawabannya dimulai ketika kita berani memutus benang yang tak terlihat itu, seutas demi seutas, dengan kesadaran yang jernih dan keberanian untuk merumuskan logika kemanusiaan kita sendiri.

Hipokrisi Standar Ganda dalam Teater Kemanusiaan

     Layar ponsel menyala bagai panggung darurat yang memantulkan cahaya kecemasan. Sebuah video pendek bergulir: serombongan remaja berseragam sekolah—wajah-wajah keras melebihi usia, mata memandang dingin ke kamera—diangkut truk dinas menuju kamp pelatihan militer. Sang gubernur, dengan raut lelah pejabat yang kehabisan akal, menyebut ini "tindakan darurat bagi yang sudah mengganggu ketertiban umum." Langit media sosial mendadak petir. Aktivis hak anak bersenjatakan pasal Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak menyerbu kolom komentar. Influencer pendidikan berpidato tentang pedagogi kritis ala Freire. Warganet berkicau tentang "dehumanisasi" dan "trauma masa depan". Padahal, di feed yang sama seminggu sebelumnya, video remaja itu menghajar tukang becak hingga babak belur hanya mendapat 43 like dan dua komentar pendek: "bangsat lu" dan "anak jaman now kok kaya preman". Tak ada petisi, tak ada tagar, tak ada webinar darurat. Kekerasan remaja adalah hantu yang kita akui keberadaannya hanya ketika hantu itu dipenjara oleh negara.

     Di luar gelombang kemarahan digital, epidemi sunyi terus merayap. Tawuran pelajar di pinggiran Jakarta, perundungan sistematis di sekolah favorit, pemalakan anak SMP terhadap kawan sekelasnya—semua adalah berita hujan sore yang kita baca sambil menyeruput kopi, lalu bergulir seperti gorengan basi keesokan harinya. LSM pendidikan menggelar seminar bertajuk "Pendidikan Ramah Anak" di ballroom hotel berbintang, sementara di kolong jembatan tepat di bawah hotel itu, anak-anak jalanan berebut lem aibon tanpa pernah disentuh oleh kurikulum "ramah" tadi. Ada satir getir dalam kemewahan ini: kita lebih getol mengutuk rendang basi di kantin sekolah daripada kebusukan sistem yang membiarkan remaja tumbuh menjadi predator kecil. Ironinya: ketika seorang guru di Simalungun melerai murid berkelahi dan justru ditahan polisi karena dituduh menganiaya—tidak ada ribut-ribut aktivis. Tapi begitu gubernur bertindak, kita tiba-tiba jadi ahli pendidikan progresif.

     Di tengah debat yang memanas, paradoks paling telanjang menguak: masyarakat kita memeluk standar ganda yang elastis seperti karet gelang. Di pesantren-pesantren tertentu, latihan fisik ala militer—lari pagi dengan batu di punggung, push-up di atas kerikil—disebut "riyadhah ruhiyah". Orang tua memuji: "Anak saya jadi disiplin, lebih khusyuk salat." Di sekolah berbasis agama, program "mental jihad" menerapkan disiplin tentara: baris-berbaris hingga malam, hukuman fisik untuk kesalahan kecil. Tak ada kecaman. Tak ada tagar #StopKekerasan. Tapi begitu negara—lewat gubernur—mengadopsi metode serupa untuk remaja yang mencopet dan menjambret, seluruh negeri berteriak "FASISME!". Logika ini berbau munafik: kekerasan jadi suci bila dibungkus agama, tapi jadi keji bila diberi stempel negara. Padahal sama-sama memakai pentungan, beda hanya di labelnya.

     Media sosial pun menjelma mesin penghasil amnesia kolektif. Polanya ritualistik: video remaja menganiaya kucing atau memukuli guru akan viral 1-2 hari, disertai komentar "Dasar anak setan!" lalu tenggelam. Ketika kebijakan gubernur muncul, banjirlah analisis tentang trauma psikologis dan pendidikan Finlandia. Setelah puas mencaci, kita beralih ke isu berikutnya—seperti menteri yang pakai jam mewah atau artis yang selingkuh. Ritual ini adalah pencucian dosa. Dengan mengutuk kebijakan gubernur, kita menikmati moral superiority—ilusi bahwa kita lebih manusiawi daripada negara yang otoriter. Padahal, teriakan kita justru mengaburkan diam kita yang panjang. Kita bagai pramusaji di restoran bangkrut: sibuk menghidangkan kritik pedas pada piring kebijakan gubernur, tapi lupa dapur kita sendiri penuh tikus yang menggerogoti bahan-bahan solusi.

     Di sudut kota dekat lokasi remaja "nakal" itu ditangkap, sebuah warung kopi kecil tetap buka. Ibu penjaganya—perempuan lima puluh tahun dengan mata lelah dan tangan pecah-pecah—memandang video kecaman aktivis di hape yang retak layarnya. "Mereka baru datang pas anaknya dibawa pak gubernur," bisiknya pada pelanggan. "Tapi kemarin-kemarin, waktu Farel mencopet uang jajan anak saya di depan warung, tak satu pun yang nongol. Polisi? Laporan saya malah ditertawakan. ‘Kebanyakan baca berita,’ kata pak RT." Di meja sebelah, seorang bapak menyeruput kopinya pahit: "Saya dukung pak gubernur. Anak saya pernah dipukuli mereka karena tidak mau kasih rokok. LSM mana peduli? Tapi sekarang mereka ribut seolah-olah anak itu malaikat yang dituduh sebagai iblis."

     Kita ibarat koin-koin receh dalam celengan retak: sibuk berdebat cara merapikan kepingan logam, tapi tak sadar celengannya bocor di mana-mana. Kebisingan tentang "pendidikan manusiawi" terdengar hampa—bak seminar diet sehat di tengah kelaparan. Kita marah pada solusi darurat, tapi bisu pada akar masalah: keluarga berantakan tanpa pendampingan, sekolah yang hanya mengejar nilai ujian, lingkungan kumuh yang jadi sarang kekerasan. Esai ini bukan pembenaran bagi militerisasi pendidikan. Ini adalah cermin retak bagi kita semua: masyarakat yang sibuk menjadi pahlawan di teater virtual, sementara di panggung nyata, kita membiarkan remaja-remaja itu jatuh ke jurang—lalu berteriak kencang ketika negara mengangkat mereka dengan cara yang kasar.

Kita mengutuk gubernur karena
mengirim anak ke kamp militer,
tapi tuli pada jeritan mereka
saat kamp bernama ‘kehidupan’
telah lama menjerumuskan mereka
ke medan perang tanpa seragam.
     Kritik paling pedas bukan untuk gubernur yang kebingungan, melainkan untuk kita—penonton yang bertepuk tangan saat panggung kebakaran, lalu menyalahkan pemadam karena membasahi kursi velvet kita. Ketika lampu teater padam, yang tersisa hanyalah bayang-bayang remaja yang terlupakan dan gema hipokrisi kita yang menggema di ruang hampa.

      Tak sulit menemukan senyum seorang guru yang tulus saat menyampaikan materi. Tetapi sering kali, di balik senyum itu, tersembunyi hasrat lama yang diwariskan sejarah: hasrat untuk menundukkan, menaklukkan, membentuk manusia bukan sebagai makhluk sadar, tetapi sebagai makhluk jinak. Pendidikan, yang dalam utopia filsuf selalu dibayangkan sebagai cahaya pembebas, dalam praktiknya terlalu sering menjadi lorong gelap tempat gema cambuk terdengar lebih nyaring daripada suara dialog.

     Warisan kekerasan dalam pendidikan Indonesia sering dipetakan pada masa kolonial Belanda, dan itu benar. Namun akar-akarnya jauh lebih tua—menjulur melewati Eropa abad ke-17, menembus Romawi dan Sparta, hingga ke kebijaksanaan Timur yang tampaknya lembut, tetapi menyimpan disiplin sekeras batu. Bahkan Konfusius, sang nabi moral dari Tiongkok Kuno, meletakkan dasar bagi ketaatan absolut dalam relasi orang tua-anak dan guru-murid, yang menumbuhkan sistem sosial yang hirarkis dan rigid. Di titik inilah, kita perlu bertanya ulang: mungkinkah kekerasan telah lama ditanamkan bukan hanya dalam institusi, tetapi juga dalam memori genetik manusia sebagai cara untuk bertahan dalam tatanan sosial?

     Dalam masyarakat agraris kuno, anak-anak sering dipandang seperti ternak liar—harus "dipatahkan" sebelum menjadi berguna. Analogi kuda bukanlah hiperbola. Di banyak tempat, mendidik anak berarti "melatih" tubuh dan pikirannya agar patuh pada peran sosial. Di Sparta, bocah-bocah dilempar ke medan keras sejak dini agar menjadi prajurit. Di Cina, anak-anak yang keras kepala dipaksa taat dengan bambu. Di Romawi, hukuman adalah jalan menuju moralitas. Pendidikan adalah alat domestikasi.

     Kekerasan dalam sistem seperti ini bukanlah penyimpangan. Ia adalah norma. Ia dilembagakan, dinarasikan, bahkan disucikan. Dalam banyak kitab dan tradisi agama, pukulan pada anak sering dilukiskan sebagai bentuk cinta. "Siapa yang mencintai anaknya akan menghajarnya," kata sebuah petuah lama. Kekerasan dijadikan ritual suci untuk membentuk moral. Lihat bagaimana frasa seperti “rotan tak mematahkan tulang” hidup subur bahkan di ruang-ruang keluarga modern. Di sini cinta dan kekerasan menikah secara ideologis. Dan hasilnya? Generasi yang menyamakan kasih sayang dengan rasa takut.

     Ketika kolonialisme datang, ia tidak memperkenalkan kekerasan dalam pendidikan. Ia hanya memodernisasi dan menginstitusikannya. Di Hindia Belanda, pendidikan dibentuk bukan untuk mencerdaskan atau memerdekakan, tetapi untuk menjinakkan. Sekolah-sekolah rakyat (HIS, MULO, dll.) hanyalah pabrik untuk mencetak pelayan setia bagi sistem kolonial: tertib, diam, bekerja keras, dan tidak banyak bertanya. Tubuh anak adalah medan tempur: siapa yang tidak patuh, harus dikendalikan. Siapa yang terlalu aktif, harus “didinginkan”. Dan siapa yang bertanya terlalu banyak, harus diam.

     Konsep ini selaras dengan gagasan disciplinary society yang dikemukakan oleh Foucault: sekolah menjadi semacam panoptikon—ruang pengawasan konstan—di mana murid belajar bahwa mereka selalu diawasi, dinilai, dan diberi peringkat. Guru tidak lagi menjadi pemandu, tetapi algojo kecil yang menjalankan logika kekuasaan. Maka jangan heran, jika hingga kini, murid Indonesia sering kali hanya menghafal, bukan memahami. Bertanya menjadi tindakan politis yang mencurigakan. Dan diam adalah kebijakan hidup yang aman.

     Setelah kemerdekaan, kekerasan dalam pendidikan tidak dibongkar—ia diwarisi. Negara baru membutuhkan aparatus yang bisa mencetak warga negara yang tertib. Sistem kolonial tetap menjadi cetakan dasar. Hanya lukisannya yang berganti. Jika dulu atas nama "peradaban", kini atas nama "karakter bangsa". Jika dulu untuk "memelihara ketertiban", kini untuk "membangun disiplin nasional". Tapi struktur dasarnya tetap: pendidikan adalah proses penjinakan. Tubuh dan pikiran anak harus dibentuk, bukan dibebaskan.

     Yang lebih ironis: masyarakat mendukungnya. Kita mencintai sekolah-sekolah yang “keras” karena percaya bahwa penderitaan mendidik. Kita bangga jika anak kita pulang dengan cerita tentang hukuman, karena berarti mereka “dibentuk”. Kita mengirim anak-anak ke pesantren keras atau pelatihan semi-militer, berharap mereka kembali sebagai manusia kuat, bukan sebagai manusia sadar. Kita telah menjadikan kekerasan sebagai metode cinta dan ketakutan sebagai pondasi moralitas.

     Padahal, kekerasan tidak pernah menghasilkan kesadaran. Ia menghasilkan dua hal: trauma dan kepatuhan kosong. Anak yang dipukul bisa jadi akan tertib, tetapi itu bukan karena ia mengerti mengapa harus tertib, melainkan karena ia takut. Dan ketertiban yang lahir dari rasa takut hanya menunda ledakan pembangkangan di masa depan. Di ruang kelas, anak-anak belajar menyembunyikan pikiran, bukan menyuarakannya. Mereka belajar untuk patuh saat diawasi, dan memberontak saat bebas. Pendidikan semacam ini tidak menciptakan warga negara. Ia menciptakan dua jenis manusia: penakut dan munafik.

     Tak bisa tidak, kita harus menyebutkan satu aktor penting lain: militer. Model pendidikan militeristik—yang berbasis perintah, hukuman, dan disiplin refleksif—sebenarnya masuk akal dalam konteks perang. Di medan tempur, berpikir bisa berarti mati. Tetapi ketika model ini diimpor ke ruang sipil—ke sekolah, madrasah, bahkan taman kanak-kanak—maka yang terjadi adalah bencana diam-diam. Sekolah berubah menjadi barak, guru menjadi komandan, dan murid menjadi prajurit yang harus belajar menurut sebelum tahu mengapa mereka menurut.

Lalu bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran ini?

     Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyebut pendidikan tradisional sebagai “banking model”—murid dianggap celengan kosong yang harus diisi. Tidak ada dialog. Tidak ada pengalaman. Hanya transfer informasi dari yang kuat ke yang lemah. Solusinya? Pendidikan dialogis: menghormati pengalaman hidup murid, menjadikan mereka subjek pembelajar yang aktif. Guru bukan pemilik pengetahuan, tetapi mitra dalam pencarian makna.

     Montessori, dengan pendekatan yang hampir bertolak belakang dari model militeristik, menekankan kebebasan bertanggung jawab dan stimulasi sensorik. Anak bukan prajurit yang harus dilatih, tetapi organisme hidup yang tumbuh. Pendidikan adalah pendampingan, bukan pemaksaan.

     Namun perubahan model saja tidak cukup. Yang harus dibongkar adalah struktur relasi dan kesadaran kolektif. Kita harus mengubah pandangan bahwa mendidik berarti menaklukkan. Bahwa mendisiplinkan berarti menakuti. Dan bahwa cinta berarti menghukum.

     Kemerdekaan Indonesia belum masuk ke ruang kelas. Ia tertahan di pagar sekolah, dicegat oleh buku pelajaran yang kaku, silabus yang membosankan, dan guru yang dididik untuk mengajar seperti tukang cetak. Kita tidak hanya mewarisi gedung dan kurikulum dari kolonialisme. Kita mewarisi cara pandang—bahwa murid adalah objek, bukan subjek.

     Maka, jika kita ingin mendidik generasi yang merdeka, kita harus mulai dengan mengenali bahwa sebagian besar dari cara kita mendidik hari ini adalah bentuk penindasan halus. Kita harus punya keberanian untuk mengatakan: kekerasan, sekecil apapun, bukan cara untuk mendidik. Ia adalah cara untuk menjinakkan. Dan bangsa yang besar tidak dibentuk oleh anak-anak jinak, tetapi oleh manusia yang sadar akan hak, tanggung jawab, dan martabatnya.

     Pendidikan bukan hanya proyek masa depan. Ia juga pertaruhan atas bagaimana kita memaknai masa lalu. Jika kita terus mewarisi kekerasan sebagai cara, maka kita bukan sedang mendidik generasi mendatang, tetapi sedang membentuk kembali rantai perbudakan dalam bentuk yang lebih sopan.

     Dan dalam hal ini, sejarah tidak akan memaafkan kita.

     Di ruang tunggu abad ke-21, kita duduk bersama mayat pendidikan yang terbaring kaku. Mayat itu dikelilingi oleh para dokter—teknokrat dengan stetoskop data, ekonom dengan pisau bedah kurikulum standar, dan politisi yang menyuntikkan mantra “daya saing global” ke dalam nadinya. Tubuh pendidikan dibedah: otaknya diganti dengan algoritma, jantungnya dipompa oleh target kapital, dan jiwanya dikubur di bawah bendera efisiensi. Tapi tak seorang pun bertanya: Untuk apa semua ini? Neil Postman, sang nabi pesimis yang berani, berbisik dari balik halaman bukunya: Kita lupa bahwa pendidikan butuh jiwa, bukan sekadar tubuh yang terlatih.

     Postman bukan penentang kemajuan. Ia hanya ingin kita berhenti sejenak, mencium bau formalin yang menyengat dari ruang bedah ini, dan bertanya: Apa yang sebenarnya kita obati? Pendidikan, katanya, telah kehilangan narasi besar—cerita-cerita yang memberi makna pada angka-angka di rapor, pada gelar yang digantung di dinding, pada kelas-kelas yang dipenuhi layar komputer. Tanpa narasi itu, pendidikan hanyalah ritual kosong: murid-murid menari di atas panggung ujian standar, dosen-dosen menjadi DJ yang memutar slide presentasi, dan kurikulum berubah jadi menu fast food yang memuaskan selera pasar, tapi meracuni pikiran.

     Di sini, Postman menawarkan pisau bedah yang berbeda. Bukan untuk mengeluarkan organ, tapi untuk menanamkan jiwa. Katanya, pendidikan harus menjadi taman filsafat tempat manusia belajar bertanya: Siapa aku? Apa arti hidup yang baik? Bagaimana aku berdiri di tengah hiruk-pikuk sejarah dan alam semesta? Tapi lihatlah: taman-taman itu kini diganti oleh pabrik. Di pabrik-pabrik bernama institusi pendidikan, siswa dijuluki “SDM”—Sumber Daya Manusia—sebuah istilah yang lebih pantas disematkan pada mesin fotokopi ketimbang makhluk berpikir. Mereka diproses dalam ban berjalan: TK ke SD, SD ke SMP, SMP ke kampus, lalu ke pasar kerja. Di setiap tahap, mereka diberi stempel “kompeten” berdasarkan kemampuan menjawab soal pilihan ganda, bukan kemampuan menjawab pertanyaan hidup.

     Lalu datanglah para penyelamat dengan jubah teknologi. “Digitalisasi!” seru mereka, seolah-olah tablet dan AI bisa menggantikan seorang guru yang duduk diam-diam mendengarkan kegelisahan muridnya tentang makna keadilan. Postman tertawa getir: Teknologi adalah tamu yang sopan, tapi tuan rumah yang buruk. Ia mengingatkan kita bahwa komputer bisa menjawab “bagaimana”, tapi tak pernah bisa menjawab “mengapa”. Di kelas-kelas virtual, mahasiswa mungkin menguasai coding, tapi siapa yang mengajarkan mereka mengkode etika? Di balik webinar interaktif, siapa yang mendorong mereka untuk berdialog dengan diri sendiri?

     Inilah tragedi terbesar: pendidikan yang seharusnya menjadi laboratorium kebijaksanaan, direduksi jadi bengkel keterampilan. Postman menunjuk lima hantu yang menggerogoti jiwa pendidikan:

     Pertama, Hantu Ekonomi yang berbisik: “Ajari mereka jadi pekerja, bukan pemikir!” Kedua, Hantu Teknofilia yang memuja layar sentuh lebih dari sentuhan manusia. Ketiga, Hantu Konsumerisme yang menjual gelar seperti produk diskonan. Keempat, Hantu Nasionalisme Sempit yang mengubah ruang kelas jadi pabrik bendera. Kelima, Hantu Birokrasi yang mengukur keberhasilan dengan angka, bukan dengan kedalaman pertanyaan yang diajukan siswa.

     Tapi Postman bukan pesimis tanpa harapan. Ia menawarkan lima mantra penangkal—lima narasi yang bisa menghidupkan kembali jiwa pendidikan:

  1. Bumi sebagai Pesawat Luar Angkasa: Bayangkan jika setiap pelajaran—fisika, sastra, ekonomi—diikat oleh kesadaran bahwa kita hanyalah penumpang sementara di kapal bernama Bumi. Seorang guru kimia tak hanya mengajarkan tabel periodik, tapi juga bertanya: Bagaimana reaksi kimia kita terhadap laut yang tercemar? Seorang dosen arsitektur tak hanya menggambar gedung, tapi merenung: Bagaimana membangun tanpa merusak rumah semut di tanah?

  2. Manusia yang Tersandung: Pendidikan harusnya ruang untuk gagal, bukan pabrik kesempurnaan. Postman ingin kita mengajari mahasiswa bahwa Socrates mati karena bertanya, Galileo dihukum karena ragu, dan Einstein tersandung ratusan kali sebelum menemukan relativitas. Di kampus-kampus, kita perlu lebih banyak ruang kesalahan ketimbang ruang penghakiman.

  3. Demokrasi sebagai Pertanyaan, Bukan Jawaban: Di kelas filsafat politik, seorang profesor bukanlah dewa yang memberi kuliah tentang teori Rousseau. Ia adalah pemandu yang membawa mahasiswa ke tengah hutan pertanyaan: Apakah voting cukup disebut demokrasi? Bagaimana jika kebebasan berbenturan dengan keadilan? Pendidikan demokrasi bukan tentang hafalan UUD, tapi tentang latihan mendengar suara yang tak sejalan dengan kita.

  4. Keragaman sebagai Bahasa Universal: Sebuah universitas yang hanya mengajarkan “kebenaran tunggal” adalah penjara pikiran. Postman membayangkan ruang diskusi tempat mahasiswa teknik duduk berdampingan dengan seniman, tempat teori ekonomi neoliberal digugat oleh puisi Rendra, tempat data statistik berdialog dengan mitos kuno.

  5. Kata-kata sebagai Cermin Diri: Di era banjir informasi, Postman ingin pendidikan mengajarkan literasi tragis—kemampuan membaca dunia sambil menyadari bahwa setiap kata bisa jadi pedang atau bunga. Seorang guru bahasa bukan hanya mengoreksi tata kalimat, tapi menggali: Kata-kata apa yang kaupilih untuk menggambarkan cinta? Apakah algoritma media sosial telah mencuri bahasamu?

     Di tengah semua narasi ini, ada sosok yang sering dilupakan: guru sebagai pemandu filosofis. Postman menangis melihat guru-guru yang terpenjara oleh administrasi, dikejar target kurikulum, dan dipaksa jadi operator PowerPoint. Ia membayangkan guru yang berani tidak tahu, yang lebih bangga mengajak muridnya tersesat di hutan pertanyaan daripada cepat sampai di tujuan. Seorang pemandu filosofis bukanlah penceramah di podium, tapi pendengar yang duduk di lantai bersama murid-muridnya, membuka peta-peta kuno kebijaksanaan, dan berkata: Mari kita berjalan bersama. Aku tak tahu jalan keluarnya, tapi mari kita cari sambil bertanya.

     Di perguruan tinggi, dosen-dosen seharusnya menjadi penjaga api intelektual, bukan pengawas sistem kredit semester. Postman membayangkan ruang kuliah tanpa silabus ketat—tempat mahasiswa kedokteran bisa mendiskusikan novel The Plague karya Camus untuk memahami sisi manusiawi dari wabah, atau mahasiswa teknik mesin yang membaca puisi T.S. Eliot untuk merenungkan makna kemajuan teknologi.

     Tapi lihatlah realitas: guru-guru hebat terengah-engah di bawah beban mengoreksi 300 lembar ujian esai. Dosen-dosen brilian terjebak dalam pertarungan publikasi jurnal internasional. Di sini, Postman mungkin akan menyindir dengan lembut: Kita sibuk mengukur ketinggian menara gading, sampai lupa bahwa menara itu dibangun di atas rawa-rawa makna.

     Lantas, bagaimana? Postman tak memberi manual praktis. Ia hanya menyalakan lilin di kegelapan. Pendidikan, katanya, harus kembali ke pertanyaan-pertanyaan yang membuat Plato tak bisa tidur: Apa itu kebenaran? Bagaimana hidup yang adil? Apa arti menjadi manusia? Ini bukan tugas ringan. Tapi lihatlah anak-anak kecil yang tak henti bertanya “mengapa?”—mereka adalah ahli filosofi alami yang pendidikannya belum terkontaminasi oleh jawaban-jawaban instan.

     Mungkin inilah saatnya mengembalikan “mengapa?” sebagai mantra suci di setiap ruang kelas. Seorang guru matematika bisa mengubah pelajaran aljabar menjadi petualangan: Mengapa angka-angka ini bersikeras mengikuti pola? Apa hubungannya dengan simetri di sayap kupu-kupu? Seorang dosen hukum bisa menggugat: Mengapa kita patuh pada aturan? Bagaimana jika aturan itu sendiri tak adil?

     Di akhir bukunya, Postman seperti berbisik: Pendidikan bukan tentang mencetak manusia yang bisa menjawab semua soal ujian, tapi tentang menciptakan manusia yang berani menggugat semua jawaban. Tugas kita sekarang adalah merobek plastik pembungkus mayat pendidikan itu, membiarkannya bernapas kembali dengan udara segar pertanyaan-pertanyaan liar.

     Mungkin, di suatu pagi, seorang mahasiswa akan bertanya kepada dosennya: Jika Einstein bisa membengkokkan waktu dengan relativitas, bisakah kita membengkokkan sistem pendidikan yang kaku ini? Dan sang dosen, alih-alih memberi nilai, akan tersenyum: Mari kita cari jawabannya sambil tersesat bersama.

     Di situlah pendidikan kembali menjadi hidup.


book: The End of Education  Neil Postman

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.