Latest Post

     Menarik benang merah dari Zarathustra sampai ke Zuckerberg, dari Dostoevsky ke digital dopamine, dari makna ke metabolisme, seperti merentangkan tali dari hutan purba ke pusat data berpendingin nitrogen. Di satu ujung, manusia dengan tombak di tangan, lapar di perut, dan langit yang tak ia mengerti. Di ujung lain, manusia dengan ponsel di tangan, cemas di kepala, dan algoritma yang ia kira ia pahami. Di antaranya, jutaan tahun pergantian cara berburu: dari memburu mamut menjadi memburu makna, lalu memburu angka di dashboard analitik. Perjalanan ini indah dan brutal, puitis sekaligus mekanis, dan kita semua hanyut di dalamnya, entah sebagai penonton yang terpukau atau pelaku yang tak sadar sedang menulis bab berikutnya.

     Dulu manusia bangun pagi bukan untuk mencari inspirasi atau membangun personal branding, melainkan untuk mengejar kalori. Kalori dari buah yang harus dipanjat, hewan yang harus diikuti jejaknya, akar yang harus dicungkil dengan kuku. Setiap langkah adalah taruhan antara lapar dan hidup. Pertanian mengubah ritme itu, mengenalkan musim, cadangan, dan panen—energi yang kini bisa diatur dan disimpan, dibekukan dalam lumbung-lumbung. Lalu revolusi berikutnya datang: uang. Kalori dapat disulap menjadi simbol, emas dan koin yang bisa menyeberangi jarak dan waktu. Uang adalah kalori yang membeku, energi yang diasosiasikan dengan angka, bukan rasa kenyang. Ia memindahkan kecemasan dari perut ke pikiran, dari tubuh yang waspada pada predator menjadi kepala yang gelisah pada fluktuasi pasar.

    Di dunia yang baru ini, kelaparan dan makna menjadi kembar siam. Mereka yang tidak punya jaminan masa depan sering justru melahirkan kata-kata paling tajam untuk menembusnya. Nietzsche yang bangkrut dan sendirian menulis bahwa siapa yang tahu untuk apa ia hidup akan sanggup menanggung bagaimana pun. Dostoevsky, menatap dunia dari penjara dan tumpukan utang, mencatat bahwa manusia dapat terbiasa pada segalanya. Para eksistensialis bukan bangsawan kenyang yang menulis di ruang hangat, tapi pengembara lapar yang mengukir filsafat di udara beku. Mereka memberi mantra untuk bertahan, walau dunia jarang membayar jasa mereka dengan roti atau atap. Generasi berikutnya membaca mereka, mengagumi keberanian mereka, lalu diam-diam memilih jalur karier yang aman, gaji rutin, dan asuransi kesehatan.

    Lalu zaman berbelok. Muncul figur-figur yang bukan melawan sistem, tapi menulis ulang fondasinya. Zuckerberg, Jobs, Musk—mereka bukan duduk di kafe termenung seperti Camus, tapi membangun platform, sistem operasi, roket. Mereka tidak bertanya “apa arti hidup?”, mereka merancang antarmuka yang membuat miliaran orang bisa bertanya sambil scroll. Mereka bukan penyair, tapi insinyur kalori digital, mengalirkan energi modern—uang, data, waktu, perhatian—dengan kecepatan yang membuat jarak dan jeda terasa usang. Di tangan mereka, realitas menjadi ruang kerja yang dapat diatur: rasa malu adalah bug yang harus dihapus, moral adalah fitur opsional, identitas bisa diubah seperti mengganti template, dan makna didesain seperti UI: bersih, rapi, user-friendly.

     Filsafat lama tidak mati, tapi kabur. Ia ada di rak buku, bukan di jantung keputusan. Socrates pernah berkata hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani; di zaman ini, gema kalimat itu kalah nyaring dibanding bisikan algoritma: hidup yang tidak viral tidak layak ditampilkan. Makna kini diukur bukan dari kedalaman permenungan, melainkan dari performa di layar. Kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur utama; daya jangkau pesan jauh lebih menentukan nilainya.

     Kita bergerak menuju dunia tanpa malu, bukan karena kedewasaan moral, tapi karena malu menghalangi monetisasi. Menelanjangi diri di depan publik dulunya aib, kini strategi personal branding. Diam dulu tanda kebijaksanaan, kini stagnasi algoritmik. Moral klasik disingkirkan ke sudut, diganti dashboard analitik yang menilai hidup dalam persentase konversi. Penderitaan tidak lagi menjadi batu asah makna; ia hanyalah noise yang menurunkan engagement rate.

     Apa yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa ini sedang terjadi. Kesadaran itu peninggalan tua dari filsafat, kemampuan untuk berhenti sejenak di tengah arus dan mengakui bahwa kita sedang terseret. Kita berevolusi menjadi makhluk yang lebih efisien, tapi kehilangan kelembutan yang membuat kita manusia. Pertanyaan “Siapa aku?” perlahan diganti oleh “Berapa views-ku minggu ini?” Makna lama tidak dikalahkan oleh argumen, tapi ditinggalkan karena tidak bisa menjamin suplai kalori masa depan.

     Zuckerberg tidak memenangkan debat filsafat, ia membangun arsitektur perhatian global. Jobs tidak menulis traktat eksistensialisme, ia membuat perangkat untuk menulis status eksistensialisme di kafe. Musk tidak merenung di bawah lampu kuning kota, ia menyiapkan jalan keluar dari planet ini jika narasi manusia runtuh total. Bab baru sejarah ini tidak akan tersimpan di rak filsafat, tapi di log server.

    Dan di sinilah kita, di simpang antara makna dan metabolisme, antara kalori yang membeku menjadi kapital dan kapital yang mencair menjadi dopamine digital. Kita bisa melihatnya sebagai tragedi atau adaptasi. Barangkali kita sedang menyaksikan lahirnya bentuk baru filsafat—yang tidak lagi bertanya “apa arti hidup?” tapi “bagaimana mengoptimalkannya?”. Filsafat yang berakar bukan pada penderitaan yang diubah menjadi puisi, tapi pada data yang diubah menjadi grafik pertumbuhan. Bukan akhir dari pencarian makna, tapi mutasinya menjadi sesuatu yang lebih cepat, terukur, dan bisa dibeli.

    Namun risiko mengintai. Saat segalanya menjadi komoditas, termasuk rasa dan identitas, kita kehilangan ruang-ruang sunyi di mana manusia bisa bernapas tanpa target. Setiap ekspresi jadi konten, setiap momen jadi peluang, setiap hubungan jadi jaringan. Pasar menyusup ke ruang terdalam diri, dan jika tidak ada yang dijaga tetap liar dan bebas, kita akan kehilangan bukan hanya privasi atau otentisitas, tapi kemampuan untuk merasakan tanpa menghitung biayanya.

    Mungkin satu-satunya perlawanan yang masuk akal bukan melawan arus raksasa ini secara frontal, tapi menjaga oasis kecil yang tak diukur. Percakapan yang tidak direkam. Tawa yang tidak diunggah. Kesedihan yang tidak diubah menjadi konten. Bukan untuk menolak teknologi atau kapital, tapi untuk memastikan bahwa di antara semua angka dan algoritma, kita masih punya denyut yang tidak bisa diprogram. Karena seperti yang para filsuf tua pahami, ada satu kekayaan yang tak bisa dibekukan menjadi kapital atau dipecah menjadi data: kebebasan batin. Dan mungkin, di tengah percepatan sejarah ini, itulah satu-satunya kalori yang pantas disimpan selamanya.

      Di suatu senja, ketika langit ibukota memerah seperti darah yang teroksidasi, Dr. Arini menyelesaikan presentasinya tentang bioteknologi tanaman obat di hadapan para kolega bergelar doktor. Layar proyektor masih memamerkan grafik spektrometri massa ketika ia merogoh tas Hermès-nya, mengeluarkan botol kecokelatan bertuliskan "Ekstrak Bajakah Super — Warisan Leluhur Dayak". "Untuk diabetes," bisiknya pada profesor di sebelahnya, "Tapi jangan bilang-bilang, ya. Risetnya masih tahap awal." Suara tawa mereka menggema di ruang ber-AC, sementara di luar, seorang driver ojol yang menderita gula darah tinggi mengutip harga ramuan itu — setara dengan tiga hari upahnya.

     Inilah ironi zaman: kaum terdidik yang seharusnya menjadi mercusuar logika, justru menjadi penenun kabut antara sains dan tahayul. Mereka berbicara tentang placebo effect dalam seminar, tapi di grup WhatsApp alumni kampus ternama, mereka ramai-ramai membagikan tutorial "detoksifikasi aura dengan kristal kuarsa". Tan Malaka, dari dalam debu sejarah, mungkin sedang menggigit jari melihat bagaimana "akal" yang ia perjuangkan dikhianati oleh mereka yang paling pantas menjaganya.

     Di laboratorium universitas negeri di Jawa Tengah, aroma etanol 70% bercampur dengan dupa yang mengepul dari sudut ruangan. "Biar alat-alat ini tidak 'dingin'," kata seorang asisten lab sambil menyemburkan air bunga ke spektrofotometer. Alat senilai miliaran rupiah itu — yang bisa menganalisis struktur molekul hingga tingkat atom — dianggap perlu "dihidupi" oleh ritual yang sama primitifnya dengan upacara meminta hujan zaman prasejarah. Di meja sebelah, tumpukan proposal penelitian tentang uji klinis jamu antikanker bersanding dengan sesajen nasi kuning yang mulai berjamur.

     Tapi absurditas sejati terjadi di ruang rapat dekanat. Seorang guru besar farmakologi, penulis puluhan paper terindeks Scopus, dengan serius mengusulkan: "Bagaimana jika kita buka program magister pengobatan tradisional? Syarat masuknya bisa pakai tes meditasi chakra ketujuh!" Rekan-rekannya manggut-manggut, sambil sesekali menyentuh jimat kecil di saku — pemberian seorang shaman yang diundang sebagai guest lecturer bulan lalu.

     Di pelosok Kalimantan, akar bajakah yang dulu hanya digunakan untuk menyamak kulit binatang, tiba-tiba menjelma "obat dewa". Yang menarik bukanlah para dukun yang menjualnya di pasar, melainkan doktor-doktor muda lulusan luar negeri yang membuat video TikTok dengan latar belakang perpustakaan penuh buku teks: "Inilah bukti superioritas pengobatan lokal atas imperialisme farmasi Barat!" Mereka lupa bahwa "farmasi Barat" yang mereka kutuk itu justru mematenkan 84% bahan aktif dari tanaman obat negara dunia ketiga — setelah melalui uji klinis ketat yang mereka sendiri enggan lakukan.

     Sementara itu, di klinik-klinik alternatif yang bermekaran di kawasan elite, pasien kanker stadium akhir dijejali ramuan akar-akaran dengan harga selangit. "Ini bukan sekadar herbal," bisik seorang terapis lulusan S2 biologi molekuler sambil menunjukkan sertifikat seminar "Quantum Healing", "Ini tentang menyelaraskan frekuensi DNA dengan energi alam semesta." Di dinding, ijazahnya dari universitas negeri terakreditasi A tergantung malu-malu, seolah tak ingin terlibat dalam drama pseudosains yang dipentaskan di ruang periksa.

     Di dunia yang lebih modern, logika mistika memakai baju baru. Sebuah startup di Bandung — didirikan oleh lulusan ITB dan Stanford — menawarkan aplikasi "AI Spiritual Healing". "Dengan algoritma machine learning dan kebijaksanaan leluhur Nusantara," demikian pengumuman mereka di LinkedIn, "kami bisa mendiagnosis penyakit melalui foto aura." Para venture capitalist berebut menanamkan dana, sementara di balik layar, coding mereka hanya bisa membedakan antara foto yang diambil dalam cahaya hangat dan dingin.

     Tak ketinggalan, di gedung DPR, seorang menteri bergelar doktor ekonomi dari universitas Ivy League dengan yakin menyatakan: "Krisis pangan bisa diatasi dengan gerakan nasional makan tempe — karena fermentasi kedelai mengandung probiotik yang meningkatkan kecerdasan kolektif!" Argumen ini — yang lebih cocok untuk stand-up comedy — justru diajukan dalam rapat kerja nasional, lengkap dengan grafik-grafik warna-warni yang dibuat asistennya semalaman.

     Di tengah riuh rendah ini, bayangkan Tan Malaka duduk di sudut ruang rapat itu. Matanya menyipit melihat para doktor yang membangun kerajaan ilusi dari ketidaklogisan. "Kalian pikir kolonialisme sudah mati?" gumamnya, "Lihatlah bagaimana kalian menjajah pikiran rakyat sendiri dengan mitos-mitos baru berbalut jargon akademik!"

     Madilog mengajarkan bahwa jalan keluar bukan pada penolakan terhadap tradisi, tetapi pada transformasi radikal cara berpikir. Jamu bukan musuh — musuhnya adalah klaim-klaim tanpa bukti. Ketika nenek di pedalaman Papua menggunakan getah pohon untuk menyembuhkan luka, itu adalah kearifan lokal. Tapi ketika profesor di Jakarta menjual getah yang sama sebagai "obat kanker yang diteliti secara turun-temurun", itu adalah penipuan intelektual.

     Revolusi yang sesungguhnya dimulai ketika kita berani memaksa setiap klaim melalui tungku logika yang membara. Uji klinis bukan penghinaan pada leluhur, melainkan penghormatan tertinggi — dengan mengubah "katanya" menjadi "terbukti". Ketika petani di Boyolali menggabungkan kalender pranata mangsa dengan data satelit NASA, mereka sedang menulis bab baru dalam sejarah: di mana tradisi bukan lagi dogma, tetapi hipotesis yang siap diuji.

     Di akhir hari, ketika lampu-lampu kampus mulai padam, bayangan para intelektual itu masih terlihat sibuk di balik jendela laboratorium. Ada yang sedang menganalisis kromatografi, ada yang menyiapkan sesaji untuk ritual penyambutan alat baru. Di suatu sudut, seorang mahasiswa S3 yang idealis — mungkin satu-satunya yang masih membaca Madilog — menatap ijazah sarjananya yang terbungkus plastik. "Apa gunanya gelar ini," gumamnya, "jika kita lebih takut pada hantu ketimbang kesalahan metodologi?"

     Di luar, kabut mulai turun menyelimuti kota. Kabut yang sama yang pernah menyelubungi pikiran manusia purba, lalu diusir oleh obor revolusi sains. Kini, ia kembali dalam bentuk baru — lebih licin, lebih menggoda — menyusup melalui celah-celah gelar doktor dan jurnal bereputasi. Tantangannya tetap sama: apakah kita cukup berani membawa obor logika itu, meski harus membakar habis topeng-topeng intelektual kita sendiri?

     Seperti kata Tan Malaka: "Di medan perang pikiran, kompromi adalah kekalahan." Dan medan perang itu kini ada di meja-meja laboratorium kita, di layar-laptop kita, di ruang-ruang rapat tempat kita menjual jiwa keabadian ilmiah untuk sesaji popularitas semu.


     Eksistensi di era ini bukan lagi sekadar “ada”—ia proyek yang harus terus dipertontonkan seperti reality show murah, diukur seperti nilai ujian, dan diperjualbelikan seperti diskon akhir tahun. Algoritma, narsisme, komunitas digital, kesendirian—semua berputar seperti roda raksasa yang digerakkan bukan oleh makna atau cita-cita, melainkan oleh satu tenaga pendorong yang semua orang pura-pura lupa tapi semua orang kejar: uang. Kita menyebutnya likes, followers, viralitas, identitas daring—seolah itu tujuan akhir, padahal itu hanya tali pancing, dan umpan sejatinya adalah uang. Uang tidak perlu muncul di layar, karena ia adalah dalang yang cukup menggerakkan benang dari balik panggung.

     Menyibak fenomena ini dari pinggir—mengutip filsuf, memoles teori sosial, mengulang jargon eksistensial—sering berakhir seperti debat panjang di ruang tamu sambil rumah kebakaran. Lebih jujur mengakui: uang adalah inti gravitasi yang menarik semua planet bernama “konten” agar tetap beredar. Setiap interaksi, dari tawa renyah hingga ancaman bunuh diri di kolom komentar, diproses dan dikonversi menjadi angka, lalu angka menjadi faktur. Di ruang digital, cinta hanyalah variabel, kesedihan hanyalah dataset, dan keduanya hanyalah jalur pintas menuju laba.

     Algoritma tidak mengenal moral atau makna; ia tak peduli apakah tertawamu lahir dari humor segar atau dari video kucing yang jatuh karena dilempari sendal. Ia hanya mencatat durasi tonton. Agar efisien, manusia dibuatkan menu emosi instan: ❤️, 😂, 😮, 😢, 😡, 🥰—seolah seluruh sejarah rasa manusia bisa direduksi menjadi enam pilihan rasa seperti tombol minuman soda. Di balik kemasan emoji yang manis itu, ada pabrik dingin yang menghitung “engagement” seperti pedagang menghitung koin. Engagement adalah mata uang, dan mata uang adalah darah yang menghidupi mesin kapitalisme emosional ini.

     Platform tak peduli konteks emosi kita—yang penting adalah ada klik, ada kunjungan ulang, lalu ada iklan. Rasa menjadi sinyal, sinyal menjadi data, data menjadi target, target menjadi penjualan. Kapitalisme emosional adalah bentuk sihir abad ini: mengubah detak hati menjadi detak kasir.

     Uang sendiri adalah makhluk purba yang lebih abadi daripada sebagian besar dewa. Tuhan bisa dibantah, moral bisa berubah, identitas bisa dinegosiasikan ulang. Tapi uang? Dua orang yang saling benci dan tak mengerti bahasa satu sama lain masih bisa saling bertransaksi—selama harga cocok. Ia adalah agama tanpa kitab suci, tanpa nabi, tapi dengan jamaah terbanyak di dunia.

     Media sosial memberi uang kemampuan merayap ke ruang-ruang yang dulu bebas dari kapitalisasi langsung: cinta, seni, kebersamaan, aktivisme, bahkan spiritualitas. Kini setiap rasa adalah peluang. “Self-love” dijual dalam botol serum; kesedihan dibungkus jadi dokumenter mini; amarah kolektif dikemas jadi tagar yang—dengan sponsor tepat—bisa menghasilkan hoodie edisi terbatas. Solidaritas? Kini bisa diukur dengan CTR (Click-Through Rate).

     Algoritma tidak perlu mengerti 1000 nuansa hati. Cukup enam rasa dasar yang mudah dipasarkan. Uang tidak perlu menampakkan wajahnya—cukup menarik tatapan semua orang ke arah yang menguntungkan. Viralitas, pengorbanan privasi, dan komunitas yang dihitung per “followers” semuanya mengalir menuju satu altar: altar di mana atensi dipersembahkan dan uang turun sebagai wahyu.

     Tidak semua ini buruk, tentu. Bagi sebagian orang, inilah jalan keluar dari kemiskinan, atau panggung untuk pesan positif. Tapi ada sisi lain: bukan hanya tubuh dan waktu yang bekerja untuk uang, melainkan juga hati dan nurani. Marah, sedih, gembira, bahkan khusyuk berdoa—semuanya bisa masuk ke spreadsheet.

     Inilah spiritualitas kapitalis digital: iman bahwa nilai diri bisa diukur, divalidasi, dan dimonetisasi lewat performa daring. Keikhlasan menjadi strategi pemasaran; kesederhanaan menjadi estetika premium; kebersamaan menjadi “engagement rate”; meditasi menjadi kursus berbayar. Uang kini tidak hanya membeli barang—ia membeli makna.

     Paradoksnya, semakin kita mengejar atensi demi membuktikan eksistensi, semakin kita bergantung pada mesin yang sama untuk merasa hidup. Dahulu, hidup berarti makan, tidur, mencinta, bekerja—tanpa penonton. Kini, hidup sering terasa sia-sia tanpa notifikasi. Like dan komentar bukan sekadar pujian; mereka adalah stempel validasi. Validasi itu bisa diubah menjadi sponsor, kontrak, atau e-commerce checkout. Siklusnya mandiri: tampil demi atensi, atensi demi uang, uang demi tampil lagi.

     Memutus siklus ini artinya kehilangan relevansi; kehilangan relevansi berarti mati secara sosial. Di dunia yang mengukur nilai dengan radar, hilang dari radar setara dengan tidak pernah ada. Pertanyaannya: apakah kita masih bisa merasakan sesuatu tanpa memikirkan nilai tukarnya? Mencintai tanpa mempertimbangkan feed estetisnya? Marah tanpa menghitung potensi viral? Berkumpul tanpa mengaktifkan kamera?

     Jawabannya, mungkin ada, tapi kecil. Seperti sisa api di ujung puntung rokok. Ada ruang untuk percakapan tanpa perekaman, emosi tanpa pengunggahan, kebahagiaan tanpa sponsor. Bukan untuk membakar mesin, tapi untuk mengingatkan diri sendiri: jika semua rasa bisa dibeli, maka yang hilang bukan hanya makna—tapi juga kebebasan batin. Dan batin yang disandera harga, akan berakhir menawar dirinya sendiri.

     Hampir delapan puluh tahun merdeka, tapi napas kebebasan di negeri ini masih tersengal-sengal. Di bawah langit yang sama di mana Bung Karno pernah berteriak "merdeka!", kini yang terdengar hanyalah gemuruh saling curiga. Kita merayakan kemerdekaan dengan upacara gemerlap, sementara pikiran-pikiran merdeka dikurung dalam sangkar prasangka. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki zamrud katulistiwa, bertanya bukan lagi pintu menuju kebijaksanaan, melainkan pemicu perang label. "Kamu pendukung siapa?" bukan sekadar pertanyaan—ia adalah pisau yang siap menggorok nalar.

     Bayangkan sebuah pasar di mana setiap kata harus dibeli dengan kupon loyalitas. Di lorong pertama, seorang pemuda mencoba bertanya tentang kebijakan impor beras. Sebelum kalimatnya selesai, serombongan buzzer mengepungnya: "Ah, kamu pasti kader partai X!" Di lorong kedua, seorang ibu mempertanyakan alokasi dana pendidikan. Langsung terdengar pekik: "Dasar belum move on!" Pasar ini bukan metafora—ia adalah ruang publik kita. Setiap pendapat harus diawali permohonan maaf: "Saya netral, tapi..." seolah netralitas adalah dosa yang perlu diampuni. Demokrasi yang dulu diimpikan sebagai taman tempat ide-ide bermekaran, kini berubah jadi gelanggang tinju dua kubu—hitam versus putih, kawan versus lawan, tanpa wilayah abu-abu untuk sekadar merenung.

     Di dunia maya, pertarungan semakin absurd. Sebuah cuitan tentang polusi udara Jakarta langsung dibalas dengan meme ejekan: "Dasar pendukung mantan!" Sebuah analisis kebijakan pajak dianggap bukti kecintaan pada oligarki. Kita hidup dalam era di mana argumen tidak lagi dijawab dengan argumen, melainkan dengan stiker sindiran dan hastag #KritikDoang #BaperanKritis. Buzzer-buzzer bayaran—para algojo kata-kata—berkeliaran bagai laron di malam musim hujan, menghisap madu perhatian dan meninggalkan kotoran kebencian. Mereka adalah produk sampah demokrasi digital: tentara bayaran yang menjual akun demi likes, sambil mengubur rasionalitas di bawah tumpukan komentar sarkastik.

     Orang-orang bijak pernah bilang, peradaban lahir dari percakapan. Tapi di negeri ini, percakapan telah menjadi ritual saling mengukur kedalaman kubu. Diskusi tentang reformasi agraria berubah jadi debat kusir: "Dulu zaman orde baru lebih baik!" atau "Sekarang kan sudah reformasi!" Seolah sejarah hanya punya dua bab—hitam dan putih—tanpa ruang untuk warna-warni kritik. Kita menjadi bangsa yang terobsesi pada dikotomi, seperti wayang yang hanya mengenal tokoh baik dan jahat, meski tahu dalangnya sama-sama memainkan keduanya.

     Padahal, di balik panggung sandiwara politik, masalah sesungguhnya menganga. Ketika petani mempertanyakan alih fungsi lahan, mereka dicap "provokator". Ketika buruh menuntut upah layak, dianggap "dibayar oposisi". Persis seperti zaman Orde Baru—meski dengan wajah baru—di mana setiap suara kritis dianggap gangguan stabilitas. Bedanya, dulu musuh datang dari penguasa, kini dari sesama warga. Kita telah menjadi penjaga sukarela penjara pemikiran, mengawasi satu sama lain dengan mata penuh curiga.

     Lihatlah ironi ini: negeri yang bangga akan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" justru alergi pada perbedaan pendapat. Kita merayakan keragaman suku, tapi gagap menghadapi keragaman ide. Bagai penonton wayang yang marah ketika dalang mengubah alur cerita, kita menuntut politik hanya berkisah tentang pahlawan dan pengkhianat—tak ada ruang untuk tokoh yang kompleks, apalagi pertanyaan yang mengganggu.

     Dalam novel 1984, George Orwell memperingatkan tentang "polisi pikiran". Tapi di Indonesia hari ini, kita tak perlu polisi khusus—setiap warga telah menjadi penyidik sukarela. Seorang guru honorer di Cirebon dipecat karena berani mengomentari kostum berwarna partai tertentu di postingan Instagram gubernur, sementara seorang guru besar bedah saraf di Semarang dicopot dari jabatannya karena kerap mempertanyakan kebijakan Menkes yang mengorbankan pasien miskin. Belum lagi kasus terbaru 2025: pesepak bola PSM Makassar dibanned satu tahun hanya karena menyindir federasi yang menggunakan wasit "bermuka centeng bandar judi". Persis seperti mimpi buruk Orwell: "Big Brother" tak perlu mengawasi—kita saling melaporkan sendiri.

     Padahal, demokrasi sejati adalah ruang di mana "tidak setuju" bukan pengkhianatan, melainkan bukti kepercayaan. Ketika Socrates minum racun karena pertanyaannya dianggap mengancam Athena, itu adalah kegagalan demokrasi kuno. Tapi ketika di abad 21 kita masih mengulangi kesalahan yang sama—mengancam intelektual dengan cancel culture alih-alih argumen—itu adalah tragedi yang lebih menyedihkan.

     Kita mungkin masih merdeka secara politik, tapi telah menjadi budak dalam berpikir. Negeri ini telah berubah menjadi panggung raksasa di mana semua orang berteriak, tapi tak ada yang benar-benar bicara. Demokrasi tanpa percakapan hanyalah mayat berjalan—bergerak oleh sentimen, bukan akal. Dan seperti kata Pramoedya, "Sejarah dunia adalah sejarah pemikiran yang dikhianati." Jika kita terus membunuh pertanyaan, yang tersisa hanyalah bangsa zombie: hidup tapi tak bernyawa, berjalan tapi tak tahu arah.

     Delapan puluh tahun merdeka, tapi jiwa kita masih dijajah oleh ketakutan sendiri. Di ujung lorong gelap ini, hanya ada dua pilihan: terus menyanyikan lagu kebencian dengan kostum demokrasi, atau berani membuka jendela percakapan—meski angin yang masuk mungkin menerbangkan topeng-topeng yang selama ini kita kenakan. Sebab, seperti kata filsuf Yunani kuno, "Kebenaran lahir dari perbincangan, bukan dari monolog." Tapi untuk itu, kita harus berani melepas baju kebencian, dan kembali menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar bendera dalam perang warna.

     Eksistensi itu soal menjadi, sementara atensi itu soal dilihat. Dahulu, Descartes mengikrarkan “aku berpikir, maka aku ada” sebagai fondasi kesadaran. Namun di zaman ini, adagium itu seperti mengalami mutasi: “aku ada karena aku mendapatkan like.” Keberadaan yang dulunya bersifat internal, kini terasa belum lengkap tanpa pengakuan eksternal yang terukur dalam tanda-tanda digital. Di tengah gemuruh informasi, eksistensi pribadi seakan tak cukup bila tak disaksikan oleh banyak mata. Maka muncullah dorongan yang semakin liar untuk menegaskan keberadaan diri melalui atensi, bahkan bila perlu meminjam sorotan dari orang lain, tanpa malu, tanpa jeda, tanpa rasa canggung akan absurditasnya.

     Fenomena ini bukanlah ledakan tiba-tiba. Ia adalah kelanjutan panjang dari jalur evolusi sosial manusia. Di zaman purba, eksistensi bersifat literal: hidup berarti bisa makan, tidak dimakan, dan bertahan sampai esok hari. Atensi kala itu hanya berfungsi sebagai isyarat dalam kelompok kecil, mungkin untuk memberi tahu bahwa seseorang kuat berburu atau pandai menemukan sumber air. Orang yang bersinar bukan karena tampan atau memesona di hadapan kamera, melainkan karena sanggup membunuh harimau atau membawa pulang makanan. Eksistensi adalah kontribusi nyata, sedangkan atensi hanyalah efek samping yang tidak pernah menjadi tujuan.

     Perlahan, ketika manusia hidup dalam kelompok yang lebih kompleks, atensi mulai berubah menjadi simbol status. Kalung dari taring macan, ukiran pada kulit, warna dari getah pohon, atau corak pakaian menjadi tanda yang dibaca oleh mata orang lain. Suku-suku awal mulai mengenal “ritual tampil”—bernyanyi, menari, memakai topeng—bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk menegaskan identitas. Eksistensi yang dulunya hanya butuh pembuktian lewat kemampuan bertahan hidup, kini mulai bergantung pada pengakuan kolektif. Dari sinilah atensi mulai menjadi bagian penting dari “menjadi seseorang”.

     Di masa feodal dan religius, eksistensi semakin bergeser. Atensi bukanlah milik semua orang, melainkan hak istimewa bagi raja, nabi, bangsawan, atau imam besar. Siapa yang ingin dikenali harus melekatkan diri kepada kekuasaan, menjadi pelayan kerajaan, murid seorang guru agung, atau pasangan tokoh berpengaruh. Perilaku yang kini kita sebut “panjat sosial” dulunya adalah strategi bertahan hidup yang wajar. Eksistensi menjadi parasit—melekat ke tokoh agung untuk mendapatkan legitimasi. Jika tidak mampu bersinar, setidaknya bisa berteduh di bawah sinar orang lain.

     Baru di zaman modern awal, ketika pencerahan, humanisme, dan kapitalisme memunculkan konsep individu, eksistensi bisa dideklarasikan secara pribadi. Seorang pelukis, penulis, atau penemu dapat mengukir namanya lewat karya, tulisan, atau penemuan. Namun atensi masih terikat pada pintu gerbang elite. Siapa yang tahu kamu seorang filsuf jika bukumu tidak diterbitkan? Siapa yang tahu kamu penemu jika temuannya tidak dipamerkan oleh pihak berkuasa? Atensi tetap dikontrol oleh kurator, penerbit, atau negara.

     Lalu datanglah internet, diikuti media sosial yang merobek semua pagar. Panggung yang dulu eksklusif kini menjadi milik siapa saja. Atensi bukan lagi barang mewah, melainkan komoditas harian. Setiap orang dapat mengukurnya, menukarnya, dan menjadikannya indikator keberadaan. Maka bermunculan strategi untuk mengejar sorotan: ada yang membangun eksistensi dengan modal diri sendiri, dan ada yang memilih menempel pada kilau orang lain.

     Eksistensi dengan modal diri sendiri adalah mereka yang memproduksi atensi dari potensi pribadi: wajah, prestasi, atau kebaikan hati. Mereka membangun narasi visual lewat selfie estetik, narasi sukses lewat unggahan pencapaian, atau citra moral lewat konten amal dan aktivisme. Masalahnya, algoritma media sosial menyukai sajian cepat dan terus-menerus. Eksistensi pun berubah menjadi pekerjaan tanpa libur. Atensi adalah insentif, dan manusia bertransformasi menjadi influencer bagi dirinya sendiri, mengelola dirinya seperti sebuah merek.

     Sebaliknya, eksistensi parasitik memilih menempel pada yang sedang viral. Ini hemat energi namun berisiko tinggi. Cukup berfoto dengan tokoh terkenal, ikut tren atau tantangan, atau memuji figur publik yang sedang naik daun. Strategi ini adalah reinkarnasi dari perilaku feodal, hanya saja kini bisa dilakukan siapa saja. Masalahnya jelas: ketika tokoh yang dijadikan sandaran jatuh, eksistensi yang bergantung padanya ikut runtuh. Seperti bayangan yang hanya ada ketika ada cahaya dari luar, keberadaan ini rapuh dan tidak otonom.

     Mengapa kecenderungan ini begitu kuat? Karena manusia lapar makna dan alergi pada kesunyian. Di zaman ini, makna datang dalam bentuk perhatian yang terukur: like, komentar, share, view. Eksistensi tidak lagi dirasakan, melainkan dihitung. Bahkan orang yang mengaku tak peduli pun kadang diam-diam memeriksa jumlah penonton di unggahan terakhirnya.

     Ini bukan sepenuhnya salah, tapi sangat rapuh. Manusia memang selalu mencari pengakuan, hanya saja medium pengakuan kini telah bergeser dari komunitas menjadi algoritma, dari kebersamaan menjadi performa. Ironisnya, semakin banyak atensi yang dikejar, semakin jauh kita dari eksistensi yang tenang. Yang kita temui adalah pantulan, bukan diri. Banyak orang akhirnya terjebak dalam spiral produksi citra, di mana jeda berarti kehilangan relevansi.

     Fenomena ini juga tidak lepas dari logika ekonomi. Atensi adalah bahan bakar ekonomi digital. Semakin banyak yang menatapmu, semakin besar peluang untuk memonetisasi eksistensi. Maka perusahaan teknologi membangun sistem yang membuat kita lapar akan sorotan, memaksa kita memperbarui citra tanpa henti. Dalam logika ini, eksistensi dan atensi bukan lagi dua kutub, tetapi dua sisi dari satu koin yang sama, diputar oleh tangan yang lebih besar dari kita.

     Di sinilah post-truth menemukan ladangnya. Kebenaran menjadi kurang penting dibanding resonansi emosional. Unggahan yang memancing marah atau haru akan lebih cepat mendapatkan atensi dibanding penjelasan yang tenang dan akurat. Orang berlomba untuk terlihat benar, bukan untuk menjadi benar. Narasi yang cocok dengan emosi kelompok akan diangkat, disebarkan, bahkan jika faktanya rapuh. Eksistensi digital kita ikut terbentuk oleh gema ini. Kita tidak lagi menanyakan “apakah ini benar?”, melainkan “apakah ini akan mendapat respons?”

     Maka eksistensi dalam era post-truth sering kali adalah keberhasilan membangun citra yang konsisten, bukan keberhasilan menyampaikan kebenaran. Atensi menjadi mata uang yang lebih cair daripada fakta. Siapa yang menguasai permainan ini dapat membentuk realitas persepsi, dan bagi banyak orang, persepsi adalah realitas itu sendiri.

     Namun sejarah memberi kita petunjuk bahwa kebisingan ini tidak akan bertahan selamanya. Pada titik tertentu, manusia akan kembali mencari ruang di mana eksistensi tidak diukur oleh metrik publik. Mungkin seperti leluhur kita yang menggoreskan gambar di dinding gua bukan untuk viral, tetapi agar suatu hari, seseorang tahu: aku pernah ada.

     Pertanyaannya adalah, apakah kita akan sampai pada tahap itu sebelum kelelahan ini menggerogoti kemampuan kita membedakan diri dari citra? Atau kita akan terus mengukur keberadaan kita dalam angka yang terus bergerak, mengira bahwa setiap tambahan satu like adalah bukti kita masih relevan?

     Eksistensi sejati mungkin masih berdiam di tempat yang sama seperti ribuan tahun lalu—di dalam diri, di luar jangkauan algoritma, sunyi namun tak tergoyahkan. Atensi bisa memperkuatnya, tetapi tidak pernah menjadi sumbernya. Jika kita lupa membedakan keduanya, kita akan menjadi generasi yang hidup sebagai bayangan, takut akan gelap bukan karena kegelapan itu sendiri, tetapi karena di dalamnya, tak ada yang melihat kita.

Tarian Tak Kasat Mata dari Agora ke Algoritma

     Bayangkan seutas benang tak terlihat, merajut jutaan manusia dalam pola perilaku, harapan, dan penilaian. Benang itu adalah logika sosial – arsitektur tak kasat mata yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi, jauh sebelum kita sadar sedang terikat olehnya. Ia bukan hukum tertulis, melainkan napas kolektif yang menghidupi norma, memahat batas antara pantas dan tercela, dan mengatur tarian rumit kehidupan bermasyarakat. Dari debat sengit di agora Athena hingga pusaran feed media sosial, logika ini terus berevolusi, beradaptasi, dan terkadang, memperlihatkan absurditasnya yang paling menusuk.

     Di jantung peradaban Barat, Socrates menjadi martir pertama yang dikorbankan di altar logika sosial ini. Kegemarannya menggugat kebodohan massal dan menelanjangi kepalsuan retorika populer dianggap "meracuni pemuda". Kematiannya bukan hanya tragedi filsafat, melainkan peringatan abadi: logika sosial sanggup menghabisi siapa pun yang berani menari di luar irama yang ditetapkan. Plato, merespons kekacauan itu, membayangkan Republik yang dikendalikan para filsuf-rajanya – sebuah upaya merasionalkan tirani logika massa menjadi hierarki akal yang ketat. 

     Lompatan berabad-abad membawa kita ke Jean-Jacques Rousseau. Dengan nada melankolis, ia mengutuk belenggu peradaban yang memisahkan manusia dari keadaan alamiahnya. Logika sosial, baginya, adalah topeng yang memaksa kita bergantung pada penilaian orang lain, menciptakan "tirani harapan" yang membelenggu lebih halus daripada rantai besi. Sementara itu, Adam Smith memperkenalkan logika pasar sebagai "tangan tak terlihat" – keyakinan bahwa kepentingan pribadi yang rasional akan mengatur harmoni sosial, sebuah iman yang getir diuji oleh jurang ketimpangan masa kini.

     Memasuki abad ke-20, teleskop analitis makin tajam. Erving Goffman membedah kehidupan sosial sebagai dramaturgi. Setiap interaksi adalah panggung; kita adalah aktor yang sibuk mengelola kesan, memilih topeng, dan membaca "naskah" tak tertulis sesuai audiens. Logika sosial menjadi sutradara yang menentukan peran apa yang boleh dimainkan. 

     Michel Foucault menggali lebih dalam, membongkar logika sosial sebagai mekanisme kekuasaan yang halus namun mengerikan. Melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, kekuasaan meresap bukan dengan pentungan, tapi dengan disiplin dan pengawasan. Panopticon – penjara model dimana narapidana mengawasi diri sendiri karena merasa selalu diawasi – menjadi metafora sempurna masyarakat modern. Kita menginternalisasi tatapan "masyarakat", menjadi penjaga sekaligus tahanan norma.

     Dan tiba-tiba, revolusi digital mengubah panggung itu secara radikal. Desa global Marshall McLuhan menjelma menjadi realitas, tapi desa ini terfragmentasi dalam echo chamber algoritmik. Logika sosial mengalami mutasi dahsyat. Logika viralitas menggeser logika kebenaran: nilai ditentukan oleh sebar, bukan substansi. Logika algoritmik membentuk realitas: apa yang kita lihat, percaya, dan menjadi, dikurasi oleh kode yang dirancang untuk memicu engagement – seringkali lewat kemarahan atau keunggulan moral. Pengawasan Foucaultian menemukan medium barunya: kolom komentar media sosial. Di sinilah, dalam gemerlap layar ponsel, logika sosial Indonesia menampilkan wajahnya yang khas.

     Salah satunya adalah fenomena gemar menasehati dan mencampuri urusan pribadi. Erving Goffman mungkin akan tersenyum sinis menyaksikan panggung ini. Di sini, orang berlomba memerankan "si bijak", "si pengalaman", atau "penjaga moral". Sebuah unggahan tentang pola asuh, pilihan karir, atau gaya hidup, bisa seketika diserbu komentar bernada "seharusnya…", "kasihan anaknya…", atau "jaman saya dulu…". Ini bukan sekadar rasa ingin tahu; ini adalah pementasan diri untuk mengukuhkan citra sekaligus penegasan norma sosial yang diyakini. 

     Michel Foucault akan menambahkan: ini adalah Panopticon warga-net dalam aksi nyata. Setiap orang merasa menjadi pengawas, berkewajiban menertibkan "penyimpangan" demi mempertahankan tatanan imajiner. Ada satir kelam tersembunyi di balik bungkus "niat baik": hasrat mengontrol kehidupan orang lain yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. 

     Meursault, tokoh Albert Camus yang dihukum mati (antara lain) karena ketidakmampuannya menampilkan kesedihan dramatis di pemakaman ibunya – sebuah ketidakpatuhan fatal pada skrip emosional yang dituntut masyarakat – mungkin akan menjadi sasaran empuk lynching digital di panggung seperti ini.

     Lebih kelam lagi adalah fenomena nostalgia kekerasan dalam pendidikan yang seringkali dibanggakan: "Dulu guru saya sering memukul pakai rotan, lalu disetrap di lapangan upacara hingga jam istirahat! Lihat sekarang, anak dibentak sedikit sudah ngambek, lalu orang tuanya lapor polisi! Mana bisa anak bermental kuat kalau dimanja!". Di sini, Foucault menggigit lebih dalam. Ini bukan sekadar kenangan, melainkan bukti nyata internalisasi logika penindas hingga ke tingkat yang mengharukan. Kekerasan fisik di sekolah adalah alat rezim disiplin lama untuk menciptakan docile bodies – tubuh-tubuh jinak yang patuh. 

     Yang memilukan adalah ketika korban justru meromantisasi alat penjinakannya, menyulap trauma itu menjadi mitos "pembentukan karakter". Mengejek "lapor polisi" adalah puncak ironi: mereka menertawakan mekanisme akuntabilitas dan penegakan hukum – pilar dasar masyarakat modern – demi mempertahankan warisan kekerasan yang terbebas dari pertanggungjawaban. Ini adalah tabrakan frontal antar logika sosial: otoritarianisme berbasis ketakutan dan kepatuhan buta versus paradigma berbasis hak asasi dan keadilan prosedural. Satirnya terasa getir: membanggakan kekerasan yang dialami sebagai lencana "ketangguhan" sejati, sambil mencemooh keberanian untuk menuntut keadilan sebagai tanda "kelemahan" generasi.

     Algoritma bukanlah penonton pasif. Ia adalah katalis yang memperkuat dan mendistorsi logika sosial warisan ini. Ia tahu persis umpan untuk si "penjaga moral digital": konten tentang "pengasuhan salah" atau "keruntuhan moral generasi kini". Ia paham godaan bagi si rindu kekerasan: meme "jaman dulu lebih disiplin" atau "generasi bangsat". Echo chambers memperkuat keyakinan kelompok, mengubah norma subjektif menjadi kebenaran mutlak. Logika viralitas memberi panggung pada yang paling lantang menghakimi atau yang paling getir meromantisasi kekerasan. Kita terjebak dalam siklus: bias kita memberi makan algoritma, algoritma memberi makan bias kita, memperkuat tembok logika sosial yang kadang usang dan kejam.

     Menyadari arsitektur tak kasat mata ini adalah langkah pertama pembebasan. Logika sosial bukan takdir, melainkan konstruksi yang bisa dikritik dan diubah. Menolak ikut dalam online shaming adalah merobohkan bata dari Panopticon digital. Mempertanyakan nostalgia kekerasan adalah menolak warisan docile bodies. Memahami bahwa feed kita adalah kurasi algoritma adalah membuka jendela kesadaran. Tantangannya bukan menghancurkan semua norma, melainkan menyaringnya dengan kritis: mana yang lahir dari kebijaksanaan kolektif, mana yang hanya jerat konformitas buta atau amplifikasi digital dari prasangka? 

     Di ujung labirin algoritma, pertanyaan abadi Socrates kembali menggema: bagaimana kita hidup bersama secara lebih adil, manusiawi, dan bebas dari belenggu logika sosial yang menghakimi dan melukai – baik itu bisik tetangga, pukulan guru yang diromantisasi, atau amarah viral yang dipicu mesin? Jawabannya dimulai ketika kita berani memutus benang yang tak terlihat itu, seutas demi seutas, dengan kesadaran yang jernih dan keberanian untuk merumuskan logika kemanusiaan kita sendiri.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.