Uang di Denyut Nadi Algoritma

     Eksistensi di era ini bukan lagi sekadar “ada”—ia proyek yang harus terus dipertontonkan seperti reality show murah, diukur seperti nilai ujian, dan diperjualbelikan seperti diskon akhir tahun. Algoritma, narsisme, komunitas digital, kesendirian—semua berputar seperti roda raksasa yang digerakkan bukan oleh makna atau cita-cita, melainkan oleh satu tenaga pendorong yang semua orang pura-pura lupa tapi semua orang kejar: uang. Kita menyebutnya likes, followers, viralitas, identitas daring—seolah itu tujuan akhir, padahal itu hanya tali pancing, dan umpan sejatinya adalah uang. Uang tidak perlu muncul di layar, karena ia adalah dalang yang cukup menggerakkan benang dari balik panggung.

     Menyibak fenomena ini dari pinggir—mengutip filsuf, memoles teori sosial, mengulang jargon eksistensial—sering berakhir seperti debat panjang di ruang tamu sambil rumah kebakaran. Lebih jujur mengakui: uang adalah inti gravitasi yang menarik semua planet bernama “konten” agar tetap beredar. Setiap interaksi, dari tawa renyah hingga ancaman bunuh diri di kolom komentar, diproses dan dikonversi menjadi angka, lalu angka menjadi faktur. Di ruang digital, cinta hanyalah variabel, kesedihan hanyalah dataset, dan keduanya hanyalah jalur pintas menuju laba.

     Algoritma tidak mengenal moral atau makna; ia tak peduli apakah tertawamu lahir dari humor segar atau dari video kucing yang jatuh karena dilempari sendal. Ia hanya mencatat durasi tonton. Agar efisien, manusia dibuatkan menu emosi instan: ❤️, 😂, 😮, 😢, 😡, 🥰—seolah seluruh sejarah rasa manusia bisa direduksi menjadi enam pilihan rasa seperti tombol minuman soda. Di balik kemasan emoji yang manis itu, ada pabrik dingin yang menghitung “engagement” seperti pedagang menghitung koin. Engagement adalah mata uang, dan mata uang adalah darah yang menghidupi mesin kapitalisme emosional ini.

     Platform tak peduli konteks emosi kita—yang penting adalah ada klik, ada kunjungan ulang, lalu ada iklan. Rasa menjadi sinyal, sinyal menjadi data, data menjadi target, target menjadi penjualan. Kapitalisme emosional adalah bentuk sihir abad ini: mengubah detak hati menjadi detak kasir.

     Uang sendiri adalah makhluk purba yang lebih abadi daripada sebagian besar dewa. Tuhan bisa dibantah, moral bisa berubah, identitas bisa dinegosiasikan ulang. Tapi uang? Dua orang yang saling benci dan tak mengerti bahasa satu sama lain masih bisa saling bertransaksi—selama harga cocok. Ia adalah agama tanpa kitab suci, tanpa nabi, tapi dengan jamaah terbanyak di dunia.

     Media sosial memberi uang kemampuan merayap ke ruang-ruang yang dulu bebas dari kapitalisasi langsung: cinta, seni, kebersamaan, aktivisme, bahkan spiritualitas. Kini setiap rasa adalah peluang. “Self-love” dijual dalam botol serum; kesedihan dibungkus jadi dokumenter mini; amarah kolektif dikemas jadi tagar yang—dengan sponsor tepat—bisa menghasilkan hoodie edisi terbatas. Solidaritas? Kini bisa diukur dengan CTR (Click-Through Rate).

     Algoritma tidak perlu mengerti 1000 nuansa hati. Cukup enam rasa dasar yang mudah dipasarkan. Uang tidak perlu menampakkan wajahnya—cukup menarik tatapan semua orang ke arah yang menguntungkan. Viralitas, pengorbanan privasi, dan komunitas yang dihitung per “followers” semuanya mengalir menuju satu altar: altar di mana atensi dipersembahkan dan uang turun sebagai wahyu.

     Tidak semua ini buruk, tentu. Bagi sebagian orang, inilah jalan keluar dari kemiskinan, atau panggung untuk pesan positif. Tapi ada sisi lain: bukan hanya tubuh dan waktu yang bekerja untuk uang, melainkan juga hati dan nurani. Marah, sedih, gembira, bahkan khusyuk berdoa—semuanya bisa masuk ke spreadsheet.

     Inilah spiritualitas kapitalis digital: iman bahwa nilai diri bisa diukur, divalidasi, dan dimonetisasi lewat performa daring. Keikhlasan menjadi strategi pemasaran; kesederhanaan menjadi estetika premium; kebersamaan menjadi “engagement rate”; meditasi menjadi kursus berbayar. Uang kini tidak hanya membeli barang—ia membeli makna.

     Paradoksnya, semakin kita mengejar atensi demi membuktikan eksistensi, semakin kita bergantung pada mesin yang sama untuk merasa hidup. Dahulu, hidup berarti makan, tidur, mencinta, bekerja—tanpa penonton. Kini, hidup sering terasa sia-sia tanpa notifikasi. Like dan komentar bukan sekadar pujian; mereka adalah stempel validasi. Validasi itu bisa diubah menjadi sponsor, kontrak, atau e-commerce checkout. Siklusnya mandiri: tampil demi atensi, atensi demi uang, uang demi tampil lagi.

     Memutus siklus ini artinya kehilangan relevansi; kehilangan relevansi berarti mati secara sosial. Di dunia yang mengukur nilai dengan radar, hilang dari radar setara dengan tidak pernah ada. Pertanyaannya: apakah kita masih bisa merasakan sesuatu tanpa memikirkan nilai tukarnya? Mencintai tanpa mempertimbangkan feed estetisnya? Marah tanpa menghitung potensi viral? Berkumpul tanpa mengaktifkan kamera?

     Jawabannya, mungkin ada, tapi kecil. Seperti sisa api di ujung puntung rokok. Ada ruang untuk percakapan tanpa perekaman, emosi tanpa pengunggahan, kebahagiaan tanpa sponsor. Bukan untuk membakar mesin, tapi untuk mengingatkan diri sendiri: jika semua rasa bisa dibeli, maka yang hilang bukan hanya makna—tapi juga kebebasan batin. Dan batin yang disandera harga, akan berakhir menawar dirinya sendiri.

Uang tidak perlu muncul di layar, karena ia adalah dalang yang cukup menggerakkan benang dari balik panggung.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.