Ada satu luka yang tidak pernah benar-benar sembuh dalam jiwa manusia: kerinduan pada yang tak terlihat. Kita hidup di dunia yang riuh dengan suara, tanda, dan petunjuk—namun justru dalam keramaian itu, keheningan tentang Tuhan terasa paling menyakitkan. Seolah-olah ada kehadiran yang begitu dekat, tapi selalu melangkah setengah bayangan lebih jauh setiap kali kita mencoba meraihnya.
Inilah paradoks iman: kita mencari kepastian pada sesuatu yang justru menegaskan dirinya melalui ketidakpastian. Tuhan yang “menyembunyikan diri” tidak hadir untuk memuaskan dahaga logika, melainkan untuk menguji seberapa dalam kerinduan manusia sanggup bertahan tanpa jawaban.
Kita terbiasa percaya bahwa yang ada harus bisa disentuh, ditimbang, atau diukur. Tapi justru di sini absurditas itu lahir: semakin keras kita menuntut bukti, semakin kosong ruang yang kita temui. Sebaliknya, semakin kita merelakan diri tenggelam dalam ketidakpastian, semakin dalam kita merasakan kehadiran yang tak terkatakan. Seperti api yang tak bisa dipeluk, tapi justru dengan menjauh darinya kita tahu bahwa ia menyala.
Ada orang yang menyebut ini kebodohan. Apa gunanya berdoa pada dinding kosong? Apa faedah menunggu suara yang tak pernah turun dari langit? Namun di situlah justru kebijaksanaan tersembunyi: manusia belajar mencintai sesuatu bukan karena bisa digenggam, melainkan karena kesediaan untuk tetap setia sekalipun tak pernah mendapatkan balasan. Seperti kekasih yang menunggu surat yang tak kunjung datang, dan dalam penantian itu ia menemukan makna baru tentang kesetiaan.
Kita bisa menertawakan absurditas ini. Betapa ironis, manusia yang katanya makhluk rasional justru bersujud pada yang tak bisa diverifikasi. Tapi barangkali dalam ironi itulah rahasia paling manusiawi. Seekor burung tidak bertanya mengapa ia terbang. Sebuah batu tidak mempertanyakan mengapa ia diam. Hanya manusia yang cukup gila untuk mempertanyakan segalanya, termasuk Tuhan. Dan dalam kegilaan itu, manusia justru menemukan dirinya.
Ada saat-saat tertentu di alam liar, ketika kita berjalan sendirian di bawah langit yang terlalu luas, perasaan ini menghantam lebih keras. Angin malam menembus kulit, bintang-bintang bertebaran seperti mata tak berujung, dan di antara desir dedaunan terdengar bisikan sunyi yang bukan suara. Di sana, Tuhan terasa begitu nyata, meski tidak hadir dengan wajah apa pun. Justru dalam sembunyinya, kehadiran itu menjadi absolut.
Paradoks ini menimbulkan luka sekaligus kekuatan. Luka, karena manusia sadar ia dibiarkan sendirian di dunia yang absurd, mencari jawaban yang tak kunjung tiba. Kekuatan, karena justru dari keterlemparan itu lahirlah keteguhan: iman bukan hasil dari kepastian, melainkan keberanian untuk bertahan di dalam ketidakpastian.
Soren Kierkegaard pernah menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam kegelapan.” Lompatan itu bukan sekadar tindakan nekat, melainkan satu-satunya cara untuk tetap hidup di dunia yang menolak memberi kepastian. Seperti pendaki yang melangkah di tepi jurang dengan kabut pekat menutup pandangan, ia tidak tahu apakah ada pijakan berikutnya—tapi ia melangkah juga, sebab berhenti berarti mati.
Absurd? Tentu saja. Tapi barangkali absurditas inilah yang menyelamatkan kita. Sebab kalau Tuhan hadir begitu gamblang, iman tak lagi diperlukan. Yang ada hanyalah kepatuhan mekanis, ketaatan tanpa jiwa, seperti robot yang menuruti program. Justru dengan menyembunyikan diri, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk benar-benar memilih: apakah ia akan tetap mencintai meski tak pernah mendapat jawaban, ataukah ia menyerah pada hampa.
Dan di titik ini, paradoks iman berubah menjadi semacam kebijaksanaan yang pahit tapi murni. Kita belajar bahwa pencarian itu sendiri adalah jawaban. Bahwa doa yang meluncur dari bibir ke langit kosong tidak sia-sia, sebab dalam setiap doa tersimpan pengakuan: manusia rapuh, tapi kerinduannya abadi. Bahwa ketidakpastian bukan kegagalan iman, melainkan justru wajahnya yang paling jujur.
Barangkali itulah sebabnya orang beriman sejati sering terlihat sedikit gila. Mereka tertawa dalam keputusasaan, menangis dalam sukacita, dan berjalan terus meski tak tahu ke mana arah sebenarnya. Mereka hidup dalam paradoks, dan bukannya hancur, justru menemukan kekuatan yang tak dimiliki oleh mereka yang hanya percaya pada yang terlihat.
Tuhan yang menyembunyikan diri bukanlah Tuhan yang kejam. Ia adalah misteri yang justru melindungi manusia dari kerapuhan logikanya sendiri. Sebab jika segalanya dijelaskan, jika semua rahasia dibongkar, maka hidup kehilangan kedalaman. Kita akan menjadi sekadar makhluk yang puas pada data, tapi miskin makna.
Mungkin manusia memang tidak diminta untuk menemukan, melainkan untuk terus mencari. Seperti musafir yang berjalan di padang pasir, oase yang ia impikan mungkin tak pernah benar-benar ada. Tapi tanpa oase itu, ia sudah lama berhenti melangkah. Oase itu mungkin hanya ilusi, tapi ilusi yang membuatnya bertahan hidup. Dan barangkali, dalam absurditas semacam itu, justru terkandung kebenaran paling agung.
Kita mencari Tuhan yang menyembunyikan diri, dan dalam pencarian itu kita menemukan siapa kita sebenarnya: makhluk yang tak pernah puas dengan jawaban, tapi justru menemukan makna dalam pertanyaan yang tak selesai.
Posting Komentar
...