Articles by "Lingkungan"

Tampilkan postingan dengan label Lingkungan. Tampilkan semua postingan

     Di banyak buku teks geologi klasik, karst sering digambarkan sebagai bentang alam berbukit kerucut di Eropa Tengah, dengan gua-gua batu kapur yang kering dan udara dingin yang membeku. Model itulah yang sejak lama mendominasi imajinasi akademik: karst adalah Eropa, gua adalah lorong batu berlapis stalaktit di pegunungan Alpen. Padahal, karst di daerah tropis menyimpan wajah yang sama sekali berbeda. Curah hujan tinggi, vegetasi rimbun, interaksi manusia yang intens, serta dinamika iklim yang lembap membuat karst tropis berkembang dengan logika yang tidak bisa disamakan dengan karst iklim sedang. Seperti kata Ford dan Williams (2007), “karst tropis memiliki kompleksitas yang jauh melampaui kerangka analisis yang dibangun dari pengalaman Eropa.”

     Gunung Sewu di Jawa atau kawasan Bantimurung-Bulusaraung di Sulawesi adalah contohnya. Bukit-bukit kapur di sana tidak hanya berdiri sebagai kerucut batu yang sunyi, melainkan bagian dari mosaik kehidupan: lembah dolina yang menjadi sawah, gua yang berfungsi sebagai tempat tinggal, hingga mata air yang menghidupi desa. Hujan deras di daerah tropis mempercepat pelarutan batuan, membentuk jaringan sungai bawah tanah yang rumit dengan debit yang sulit diprediksi. Metode hidrogeologi klasik sering kali gagal menangkap kerumitan semacam ini, sehingga peta aliran air tidak jarang keliru, sementara masyarakat tetap bergantung pada naluri dan pengalaman panjang untuk membaca lanskap karst.

     Inilah epistemologi yang terabaikan: cara memahami karst yang tidak berhenti pada batu dan air, tetapi juga merangkul kehidupan manusia. Karst tropis adalah ekosistem sosial sekaligus hidrologis. Ia adalah laboratorium terbuka tempat iklim, geologi, dan budaya saling membentuk. Namun dalam banyak kurikulum geologi dan geografi di Indonesia, kita masih terikat pada narasi Eropa. Nama Slovenia atau Austria lebih akrab di telinga mahasiswa daripada Maros, Pacitan, atau Sangkulirang, padahal di situlah letak pengalaman empiris yang seharusnya menjadi dasar pengetahuan kita.

     Kelemahan epistemologis ini bukan persoalan akademik semata. Dampaknya terasa nyata, terutama dalam pengelolaan air. Di karst tropis, sumber daya air tersimpan di lorong bawah tanah yang tersembunyi. Jika dianalisis dengan kerangka klasik, kapasitas penyimpanan sering salah diperkirakan, ketersediaan air disalahpahami, bahkan strategi konservasi pun salah arah. Akibatnya, desa-desa karst yang sesungguhnya memiliki potensi cadangan air tetap menghadapi krisis setiap musim kemarau, karena teknologi dan kebijakan tidak memahami anatomi karst tropis.

     Eksploitasi batu kapur untuk industri semen pun sering bertumpu pada pandangan bahwa karst hanyalah tumpukan komoditas pasif. Padahal, di daerah tropis, bukit kapur berfungsi ganda: sebagai reservoir air, penopang ekologi, dan ruang budaya. Kesalahan perspektif inilah yang membuat setiap penambangan kerap dipandang hanya dari sisi ekonomi, sementara konsekuensi sosial dan ekologisnya terlupakan.

     Lebih jauh, karst tropis juga menyimpan dimensi kultural. Gua-gua di Indonesia bukan sekadar rongga batu, melainkan arsip kehidupan: lukisan berusia puluhan ribu tahun, fosil fauna purba, hingga jejak awal manusia Nusantara. Namun karena lensa yang digunakan masih Eropa-sentris, penafsiran gua sering berhenti pada catatan geologi, sementara makna budaya hanya disinggung sekilas. Padahal di sanalah kekhasan karst tropis: ia merekam kehidupan alam dan manusia dalam satu ruang.

     Membangun ilmu karst tropis berarti menulis ulang kerangka berpikir. Kita memerlukan metodologi baru: hidrogeologi yang mampu membaca variabilitas tropis, arkeologi yang berpadu dengan geomorfologi, antropologi yang mengindahkan suara masyarakat. Indonesia, dengan kawasan karst lebih dari 15 juta hektar, seharusnya tidak lagi menjadi objek studi belaka, tetapi pusat penghasil pengetahuan. Dari sini, dunia bisa belajar bahwa karst tropis memiliki epistemologi berbeda, sama sahihnya dengan karst Eropa.

     Pada akhirnya, membicarakan karst tropis berarti menegaskan martabat pengetahuan kita. Selama kita masih meminjam lensa Eropa, kita akan terus salah membaca bentang alam sendiri. Tetapi ketika kita berani merumuskan epistemologi karst tropis, Indonesia dapat tampil sebagai pelopor: menulis bab baru geosains dunia dari bukit-bukit yang hijau, basah, dan penuh kehidupan.


Daftar Pustaka

  1. Bogaerts, M., & Waltham, T. (2009). Karst and Caves: A Geological Adventure. London: Springer.
  2. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.
  3. Day, M. J., & Urich, P. B. (2000). An Assessment of Protected Karst Landscapes in Southeast Asia. Cave and Karst Science, 27(2), 61–70.
  4. Gillieson, D. (1996). Caves: Processes, Development, and Management. Oxford: Blackwell.
  5. Kusumayudha, S. B. (2010). Karst Indonesia: Bentang Alam, Air Tanah, dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Palmer, A. N. (2007). Cave Geology. Dayton, OH: Cave Books.
  7. Vermeulen, J. J., & Whitten, A. J. (1999). Biodiversity and Cultural Heritage in Karst. Jakarta: Ford Foundation.
  8. Waltham, T., Bell, F., & Culshaw, M. (2005). Sinkholes and Subsidence: Karst and Cavernous Rocks in Engineering and Construction. Chichester: Springer.

Dari Batu Kapur ke Taman Nasional

     Bagi banyak orang, istilah “gunung kapur” identik dengan sesuatu yang remeh. Gunung yang tandus, berdebu, gundul, lalu diangkut truk-truk besar untuk dijadikan semen. Imajinasi publik tentang karst sering berhenti pada gambaran muram: wilayah miskin, penuh lubang tambang, dan tidak layak huni. Padahal, di balik label sederhana itu tersembunyi salah satu ekosistem paling rumit sekaligus paling vital bagi kehidupan manusia. Menganggap karst hanya sebagai “gunung kapur” sama artinya dengan menyebut perpustakaan nasional hanya sebagai “gedung penuh kertas”.

     Di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), misalnya, imajinasi publik sering terpaku pada kupu-kupu. Julukan “Kerajaan Kupu-kupu” memang melekat sejak lama, dan memang benar: Alfred Russel Wallace yang singgah pada abad ke-19 terpesona oleh keragaman spesiesnya. Namun Babul lebih dari sekadar panggung serangga yang indah. Ia adalah lanskap karst tropis raksasa yang menyimpan ratusan gua, sungai bawah tanah, serta arsip kehidupan manusia berusia puluhan ribu tahun. Di Leang Bulu Sipong, ditemukan lukisan gua berusia sekitar 44.000 tahun, salah satu seni figuratif tertua di dunia (Aubert et al., 2019). Fakta ini saja cukup untuk mengguncang imajinasi: bahwa “gunung kapur” ternyata menyimpan sejarah seni manusia.

     Di banyak daerah Indonesia lain, stigma serupa masih berlangsung. Gunung Sewu di selatan Jawa disebut “tanah miskin”, karena sulit bercocok tanam di permukaan berbatu. Tak heran jika migrasi besar-besaran menjadi pola bertahan hidup warga sejak lama. Namun di balik wajah keras itu, karst menyimpan reservoir air raksasa yang kini dipahami sebagai kunci ketahanan pangan regional (Adji & Haryono, 2015). Begitu pula di Babul: air yang menyusup ke dalam batu kapur membentuk jaringan akuifer yang menjadi sumber utama bagi ribuan hektar sawah di dataran rendah sekitarnya. Apa yang dulu dianggap kering kerontang ternyata adalah “bank air” raksasa yang nyaris tak ternilai.

     Ironisnya, narasi publik jarang melihat karst dengan kaca mata semacam itu. Karst lebih sering diposisikan sebagai beban. Bagi pemerintah daerah, ia dianggap wilayah yang sulit dikembangkan. Bagi investor, ia hanya dihitung sebagai cadangan batu gamping untuk industri semen. Bagi sebagian masyarakat, ia dipersepsi sebagai tanah keras yang bikin repot. Imajinasi kolektif ini yang berbahaya, sebab begitu narasi “gunung kapur” mendominasi, maka ekspolitasi dianggap wajar. Tak ada yang merasa kehilangan bila “hanya” sebuah bukit kapur yang diratakan.

     Padahal, perubahan status karst menjadi taman nasional mestinya membongkar imajinasi itu. Penetapan Babul sebagai taman nasional pada 2004 bukanlah sekadar administrasi birokrasi. Itu adalah pengakuan bahwa karst adalah ruang hidup yang memiliki nilai ekologis, kultural, dan historis. Status taman nasional menegaskan bahwa karst adalah warisan yang harus dijaga, bukan hanya ditambang. Namun, apakah perubahan status otomatis mengubah cara pandang masyarakat? Belum tentu. Banyak warga di sekitar masih merasa karst sebagai beban, sebab janji ekonomi dari pariwisata atau konservasi sering tidak segera terasa.

     Di sinilah pentingnya membangun imajinasi baru. Imajinasi bukan soal khayal kosong, tetapi kerangka berpikir yang menentukan cara kita bertindak. Bila karst dipandang sebagai “batu mati”, maka kebijakan akan mengarah ke tambang. Bila ia dipahami sebagai “peradaban air”, maka arah pembangunan berubah: infrastruktur air, pertanian, pariwisata berkelanjutan, riset ilmiah. Perubahan imajinasi inilah yang bisa menggeser karst dari posisi marginal menjadi pusat kebanggaan nasional.

     Kita bisa belajar dari Vietnam, yang berhasil mengangkat Phong Nha-Ke Bang dari sekadar “gunung kapur” menjadi situs warisan dunia UNESCO. Imajinasi kolektif di sana bergeser: gua bukan lagi lubang gelap tak berguna, melainkan aset budaya dan ekowisata kelas dunia. Begitu pula di Slovenia, kawasan karst klasik yang bahkan melahirkan istilah “karst” itu sendiri kini menjadi simbol identitas nasional, hingga dijadikan obyek wisata sains dan pendidikan. Indonesia, dengan 15 juta hektar karst dari Sumater hingga Papua, memiliki modal yang tak kalah besar. Bedanya hanya soal narasi: apakah kita masih terjebak di kata “gunung kapur”, atau berani melihat karst sebagai warisan global.

     Mengubah imajinasi bukan pekerjaan sekejap. Ia perlu ditopang oleh riset ilmiah yang komunikatif, pendidikan publik yang membumi, serta kebijakan yang konsisten. Misalnya, publikasi hasil penelitian tentang lukisan gua purba Babul bisa disajikan dalam bentuk populer, bukan hanya jurnal akademik. Atau, pengetahuan lokal masyarakat tentang mata air bisa diangkat sebagai bagian dari kearifan ekologi, bukan dianggap tradisi pinggiran. Dengan cara itu, karst tidak lagi diposisikan di ruang bawah, tetapi dinaikkan ke panggung utama kesadaran bangsa.

     Pada akhirnya, membongkar imajinasi tentang karst berarti mengubah relasi kita dengan batu itu sendiri. Dari benda keras yang tak bernilai, menjadi ruang hidup yang menopang air, pangan, seni, hingga identitas manusia. Dari beban pembangunan, menjadi kebanggaan nasional. Jika Babul bisa dipandang bukan sekadar “gunung kapur”, melainkan taman nasional yang menyimpan jejak peradaban, maka karst tidak lagi sunyi dalam kesalahpahaman, melainkan berbicara lantang sebagai saksi sejarah dan guru kehidupan.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N., & Haryono, E. (2015). Water balance in the Gunung Sewu karst area and its significance for water resource management. Environmental Earth Sciences, 74(12), 8293–8305. https://doi.org/10.1007/s12665-015-4735-8

  2. Aubert, M., Setiawan, P., Brumm, A., et al. (2019). Earliest hunting scene in prehistoric art. Nature, 576, 442–445. https://doi.org/10.1038/s41586-019-1806-y

  3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2004). Penetapan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jakarta: KLHK.

  4. LIPI. (2010). Inventarisasi dan Identifikasi Flora dan Fauna di Kawasan Karst Bantimurung-Bulusaraung. Laporan Penelitian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

  5. UNESCO. (2015). Phong Nha-Ke Bang National Park (Vietnam). World Heritage Centre. https://whc.unesco.org/en/list/951 

  6. Aubert, M., Setiawan, P., Brumm, A., et al. (2019). Earliest hunting scene in prehistoric art. Nature, 576, 442–445. https://doi.org/10.1038/s41586-019-1806-y

     Pangan adalah fondasi kedaulatan sebuah bangsa. Namun, di wilayah karst, pangan tidak pernah hadir dengan cara yang sederhana. Tanahnya tipis, berbatu, cepat kering, sehingga bercocok tanam seperti di dataran subur menjadi sebuah tantangan. Justru di situlah nilai penting kawasan karst: ia menuntut manusia untuk menemukan strategi pangan yang cerdas, yang tidak hanya bergantung pada kesuburan tanah, tetapi juga pada kreativitas, pengetahuan lokal, dan kearifan ekologis (Adji, 2014).

     Di kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, bentang karst tidak hanya menyimpan gua purba berpenghuni 55.000 tahun lalu (Simanjuntak, 2019), tetapi juga ruang hidup masyarakat yang bergenerasi menggantungkan diri pada sawah tadah hujan, kebun kecil, dan sistem agroforestri. Tanah tipis di lereng karst memang sulit diolah, tetapi masyarakat setempat telah lama mengembangkan pola tanam campuran—padi ladang, jagung, ubi, dan pohon buah—yang mampu bertahan di musim panjang tanpa hujan. Pengetahuan mereka tentang mata air, pola aliran bawah tanah, dan waktu menanam adalah warisan yang sama berharganya dengan benih itu sendiri (Widyastuti et al., 2020).

     Gunung Sewu di Jawa memberikan gambaran serupa. Dengan tanah dangkal di antara bukit-bukit kapur, masyarakat mengembangkan lumbung padi kolektif, sumur gali dalam, dan kolam tadah hujan untuk memastikan tidak ada musim paceklik yang benar-benar melumpuhkan mereka (Santosa, 2016). Inovasi sederhana itu adalah cermin kedaulatan pangan yang tumbuh dari keterbatasan. Bukan melimpahnya tanah subur yang menjadi modal utama, melainkan kemampuan kolektif untuk menyiasati keterbatasan.

     Jika kita menengok keluar negeri, kawasan karst di Vietnam Utara (Ha Long Bay dan Bac Son) menunjukkan pola serupa: masyarakat memadukan sistem sawah kecil dengan kebun karst, mengandalkan gua-gua sebagai penyimpanan air dan pangan. Di Tiongkok Selatan, masyarakat Dong bahkan menyesuaikan varietas padi dengan kondisi tanah dangkal dan irigasi terbatas, menjadikan pangan sebagai hasil adaptasi ekologis, bukan hanya hasil intensifikasi lahan (Yuan, 1991).

      Namun, ancaman modern membuat kedaulatan pangan karst rapuh. Di Maros dan Pangkep, ekspansi tambang semen sering mengorbankan hutan karst, padahal hutan itulah yang menjaga resapan air dan mendukung sawah tadah hujan. Ketika hutan hilang, mata air mengecil, sawah kekeringan, dan masyarakat justru terdorong menjadi buruh pabrik yang mengolah tanah leluhurnya menjadi semen (Rahmadi, 2018). Ironi ini jelas: pangan sebagai dasar kedaulatan digantikan oleh upah sesaat, yang justru memperlemah kemampuan masyarakat untuk berdiri di atas kaki sendiri.

     Padahal, jika ditimbang secara ekonomi-ekologi, kedaulatan pangan yang lahir dari sistem karst jauh lebih berkelanjutan. Satu mata air di kawasan Maros bisa menghidupi puluhan hektar sawah dan ribuan penduduk, dengan nilai pangan yang terus diperbarui dari musim ke musim. Bandingkan dengan keuntungan tambang yang berumur pendek: setelah cadangan habis, masyarakat kehilangan tanah, air, dan sekaligus kedaulatan pangannya (Widyastuti et al., 2020).

     Karst mengajarkan bahwa kedaulatan pangan bukan hanya soal produksi besar-besaran, melainkan soal keberlanjutan dan keberdayaan masyarakat. Ia menuntut kita menghargai pangan yang lahir dari tanah tipis, air yang disimpan gua, dan kerja kolektif yang memastikan semua orang punya akses. Itulah sebabnya kedaulatan pangan di kawasan karst tidak bisa dipahami hanya dengan logika agribisnis, tetapi harus dilihat sebagai cermin kebudayaan dan politik ekologis.

     Jika bangsa ini ingin mandiri, maka karst harus dilihat sebagai ruang strategis pangan. Bukan pinggiran, bukan lahan marginal, melainkan ruang di mana masyarakat membuktikan bahwa keterbatasan justru bisa melahirkan ketahanan yang tangguh. Kedaulatan pangan di karst adalah bukti bahwa bangsa yang cerdas bukan yang memiliki tanah subur tak terbatas, tetapi yang bisa merawat tanah keras dan tetap hidup dari sana.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hidrologi karst Gunung Sewu: Dinamika dan keberlanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Rahmadi, A. (2018). Konservasi kawasan karst sebagai sumber air dan ekosistem unik. Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 5(2), 45–57.
  3. Santosa, L. W. (2016). Strategi masyarakat karst Gunung Sewu dalam menghadapi keterbatasan lahan. Jurnal Geografi Lingkungan, 18(1), 35–50.
  4. Simanjuntak, T. (2019). Human occupation in Maros-Pangkep karst caves: New findings and interpretations. Arkeologi Indonesia, 40(1), 15–28.
  5. Widyastuti, D., Nugroho, S., & Priyono, A. (2020). Potensi akuifer karst di kawasan Maros-Pangkep sebagai sumber daya air berkelanjutan. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 21(3), 145–158.
  6. Yuan, D. (1991). Karst of China. Beijing: Geological Publishing House.

Elegi untuk Bumi yang Terluka oleh Tangan Pemiliknya.

     Di tengah gemuruh alat berat yang menggali perut bumi Kalimantan, ada bisik-bisik pilu dari pepohonan yang roboh. Indonesia kehilangan 115.000 hektar hutan setiap tahun (Global Forest Watch, 2022)—luasan yang setara dengan 160.000 lapangan bola. Tapi bagi para pemegang saham di Jakarta, ini hanya angka di laporan keuangan. Mereka menyebutnya "pembangunan", padahal yang terjadi adalah pemakaman massal untuk keanekaragaman hayati. Di sini, di negeri yang dijuluki "paru-paru dunia", setiap detik, tiga pohon ditebang. Paru-paru itu kini mengeluarkan darah: asap kebakaran hutan, limbah tambang, dan udara beracun.

Darah yang Tertumpah dari Pohon dan Batu Bara:

     Pada 2015, kebakaran hutan melalap 2,6 juta hektar lahan. Asapnya menyelimuti Sumatra dan Kalimantan selama berbulan-bulan, memaksa anak-anak memakai masker ke sekolah. Udara menjadi racun dengan PM2.5 mencapai 1.500 µg/m³—50x batas aman WHO. Tapi di balik kabut itu, perusahaan sawit dan pulp mencetak untung Rp 200 triliun (Greenpeace, 2016). Rakyat kecil menghirup maut, sementara para konglomerat menghirup aroma dolar.

     Di Jawa, PLTU batu bara menyumbang 40% polusi udara (IESR, 2022). Jakarta, sang ibu kota, menduduki peringkat 10 kota dengan udara terburuk di dunia (IQAir, 2023). Anak-anak di Bandung bermain di bawah langit dengan AQI 153, di mana partikel beracun menempel di paru-paru mereka seperti parasit. Pemerintah berjanji "transisi energi", tapi 60% listrik Indonesia masih bergantung pada batu bara (ESDM, 2023). Di balik retorika "hijau", ada 43 PLTU baru yang sedang dibangun—sebuah ironi di era krisis iklim.

Laut yang Menjerit, Nelayan yang Bisu:

     Di Flores, nelayan tua menatap laut yang tak lagi biru. Sejak 2000-an, bom ikan dan trawl ilegal menghancurkan 70% terumbu karang (LIPI, 2018). Jaring mereka pulang kosong, sementara kapal-kapal pukat harimau asing menyedot ikan hingga ke dasar laut. Pada 2022, 3,2 juta ton sampah plastik mencemari perairan Indonesia (KLHK)—setara dengan 12.000 kali berat Monas. Anak-anak nelayan di Wakatobi tak lagi berenang; mereka mengumpulkan sampah plastik untuk dijual seharga Rp 2.000/kg.

     Di Papua, Freeport telah membuang 3 miliar ton limbah tambang ke Sungai Ajkwa sejak 1972. Airnya berubah menjadi lumpur kuning beracun yang membunuh semua kehidupan. Suku Amungme, yang dulu menyebut gunung itu Nemang Kawi (Gunung Suci), kini menyaksikan tanah leluhur mereka dikeruk untuk tembaga dan emas. Pada 2023, proyek tambang baru dibuka di Blok Wabu—200 hektar hutan primer direnggut, burung Cenderawasih terakhir menghilang.

Sungai-sungai yang Menangis:

     Sungai Citarum, yang dulu dijuluki "Sungai Nila", kini lebih mirip selokan raksasa. Setiap hari, 270 ton limbah industri tekstil mengalir ke tubuhnya (KLHK, 2019). Ikan-ikan mati mengambang, airnya mengandung timbal 10x ambang batas. Di tepiannya, petani Karawang memaksa menanam padi dengan air beracun. "Hasilnya? Gabah kosong dan anak-anak kami gatal-gatal," keluh seorang petani.

     Di Sumatra, Sungai Musi yang legendaris berubah cokelat pekat oleh limbah sawit. Pada 2022, 80% hutan adat Suku Anak Dalam di Jambi telah berubah menjadi kebun sawit monokultur. Mereka yang protes dituduh "anti-pembangunan", padahal yang terjadi adalah pemusnahan sistemik atas pengetahuan lokal yang telah menjaga hutan selama ribuan tahun.

Udara yang Membunuh, Tanah yang Menghilang:

     Di Bandung, udara pagi telah menjadi ancaman. Indeks kualitas udara kerap mencapai 150 (AQI), dipicu oleh 2,5 juta kendaraan bermotor dan PLTU batu bara di sekitar kota. Anak-anak SD di Dayeuhkolot menderita ISPA kronis—penyakit yang disebut dokter sebagai "warisan udara Jakarta". Tapi pembangunan mal dan apartemen terus merangsek, menghabiskan sisa ruang terbuka hijau.

     Di Semarang, banjir rob menjadi ritual tahunan. Sejak 2003, permukaan air laut naik 8 cm/tahun (BMKG), menyapu permukiman nelayan. Pada 2023, 15.000 warga mengungsi—bencana yang diperparah oleh reklamasi tambang pasir besi di pesisir. Pemerintah membangun tanggul seharga Rp 1,2 triliun, tapi air laut tetap merangkak naik, seolah menertawakan usaha manusia melawan alam.

Warisan Kegelapan yang Terus Berlanjut:

     Proyek IKN Nusantara, yang diagungkan sebagai "ibu kota masa depan", telah menggundulkan 256.000 hektar hutan Kalimantan (Walhi, 2024). Di saat yang sama, kelangkaan LPG 3 kg (Februari 2025) memicu gelombang penebangan kayu ilegal. Masyarakat miskin di pedesaan kembali ke zaman primitif: memasak dengan kayu bakar, mempercepat deforestasi.

     Kebijakan energi juga semakin absurd. Di tengah krisis iklim, Pertamina justru mengimpor minyak kotor sour crude (2025) untuk diolah di kilang tua—praktik yang meningkatkan emisi sulfur hingga 30%. Sementara itu, korupsi di tubuh BUMN migas itu mencapai Rp 968 triliun dalam kasus BBM oplosan (2023), mencemari lingkungan dan menguras uang rakyat.

Semakin Gelap di Bawah Kabut Asap.

     Matahari terbenam di balik kabut asap Karhutla, mewarnai langit Jawa dengan nuansa merah darah. Di bawahnya, rakyat kecil merangkak: petani tanpa lahan, nelayan tanpa ikan, anak-anak tanpa udara bersih. Setiap pohon yang tumbang, setiap ton batu bara yang dibakar, setiap hektar laut yang tercemar—semuanya adalah lilin yang padam dalam kegelapan ekologis.

     Indonesia 2025 bukan lagi zamrud khatulistiwa. Ia telah menjadi museum kekejaman ekologis: sungai-sungai beracun, hutan-hutan yang berubah menjadi kubangan sawit, dan generasi yang tumbuh dengan paru-paru rusak. Di balik retorika pembangunan, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran.

     Tapi di tengah kegelapan ini, masih ada bisik-bisik perlawanan. Di Sulawesi, petani muda mulai menanam kembali pohon endemik. Di Bali, aktivis membersihkan pantai dari sampah plastik. Mereka adalah lilin-lilin kecil yang menolak padam—cahaya tipis yang mungkin suatu hari bisa membakar kabut keputusasaan.

     Pertanyaannya, akankah kita memilih menjadi bagian dari cahaya itu, atau tetap berdiam diri dalam kegelapan yang kita ciptakan sendiri?

#IndonesiaGelap : Negeri di mana kegelapan ekologis bukan lagi metafora, melainkan kenyataan yang terhampar. Di sini, bumi bukan ibu yang menyayangi, melainkan korban yang terluka—menunggu kematian atau kebangkitan.


Data:

  1. Deforestasi 115.000 hektar/tahun (Global Forest Watch, 2022).
  2. 60% energi dari batu bara (ESDM, 2023).
  3. Polusi udara Jakarta (IQAir, 2023).
  4. Limbah tambang Freeport (Laporan WALHI Papua, 2021).
  5. Impor sour crude Pertamina (Kompas, Februari 2025).
  6. Korupsi BBM oplosan Rp968 triliun (BPK, 2023).
  7. Buletin Fakta Ekologi - Walhi Oktober 2024

     Kepunahan massal keenam adalah skenario yang mengintimidasi namun perlu kita perhatikan dengan serius. Saat ini, kita berada di era yang disebut oleh banyak ilmuwan sebagai Kepunahan Holosen atau Kepunahan Antroposen, di mana aktivitas manusia menjadi pemicu utama hilangnya keanekaragaman hayati. Jika kita terus melanjutkan perilaku seperti saat ini, dampaknya pada ekosistem global bisa sangat menghancurkan, membawa kita ke titik di mana kerusakan tidak lagi bisa diperbaiki.

     Mari kita bayangkan masa depan di mana kepunahan keenam telah mencapai puncaknya. Hutan-hutan hujan tropis yang pernah lebat dan kaya akan kehidupan kini berubah menjadi tanah gundul dan mati. Hilangnya pohon-pohon besar yang bertindak sebagai paru-paru dunia berarti atmosfer kita kehilangan kemampuan alami untuk menyerap karbon dioksida. Akibatnya, perubahan iklim semakin tidak terkendali, dengan suhu global yang terus meningkat, mencairkan es di kutub, dan menaikkan permukaan laut. Kota-kota pesisir yang dulu ramai seperti Jakarta, New York, dan Tokyo mengalami banjir berkala, memaksa jutaan orang mengungsi dan menciptakan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

     Perairan laut yang pernah menjadi sumber kehidupan kini menjadi kawasan mati. Penangkapan ikan yang berlebihan dan polusi plastik telah menghancurkan ekosistem laut. Penyu, hiu, dan paus yang dulu sering terlihat kini menjadi kenangan, hanya tinggal cerita dalam buku sejarah. Terumbu karang yang megah dan menjadi rumah bagi ribuan spesies laut hancur akibat pemanasan dan pengasaman laut. Nelayan kehilangan mata pencaharian mereka, dan ketidakstabilan pangan menjadi masalah global karena rantai makanan laut runtuh.

     Di daratan, satwa liar menghadapi nasib yang sama suram. Spesies seperti gajah, badak, dan harimau, yang sudah berada di ambang kepunahan, akhirnya punah karena perburuan liar dan hilangnya habitat. Tanah yang dulu dihuni oleh berbagai spesies kini sunyi dan kosong. Padang rumput yang pernah menjadi rumah bagi kawanan besar mamalia berubah menjadi gurun tandus. Tanah subur yang digunakan untuk pertanian menjadi gersang karena erosi tanah dan penggunaan pestisida yang berlebihan. Ketahanan pangan global terganggu, dan negara-negara di seluruh dunia berjuang untuk memberi makan populasi mereka yang terus bertambah.

     Manusia tidak kebal terhadap dampak dari kepunahan keenam. Penyakit menular semakin sering terjadi karena perubahan iklim dan hilangnya habitat, memaksa spesies untuk berinteraksi lebih dekat dengan manusia. Penyakit zoonosis seperti COVID-19 menjadi lebih umum, menciptakan krisis kesehatan global yang konstan. Sistem layanan kesehatan kewalahan, dan ekonomi global menderita kerugian besar. Konflik atas sumber daya yang semakin berkurang menjadi tidak terhindarkan. Air bersih menjadi lebih berharga daripada emas, dan persaingan untuk mendapatkan akses ke sumber daya ini memicu ketegangan dan perang di seluruh dunia.

     Selain dampak fisik dan ekonomi, ada juga dampak psikologis yang mendalam. Generasi mendatang tumbuh tanpa pernah melihat hewan-hewan liar yang menakjubkan seperti harimau atau badak di habitat asli mereka. Keanekaragaman hayati yang hilang tidak hanya menghapus sumber daya alam, tetapi juga menghapus bagian penting dari warisan budaya dan emosional manusia. Masyarakat kehilangan rasa keterhubungan dengan alam, dan konsekuensi psikologis dari kehancuran lingkungan menyebabkan peningkatan stres, kecemasan, dan depresi di kalangan manusia.

     Hanya saja, semua ini adalah perkiraan dari apa yang bisa terjadi jika kita tidak mengubah cara kita berinteraksi dengan planet ini. Saat ini, kita memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menghindari skenario terburuk dari kepunahan keenam. Upaya konservasi dan restorasi ekosistem dapat membantu memulihkan beberapa kerusakan yang telah terjadi. Pengurangan emisi gas rumah kaca, penggunaan energi terbarukan, dan penghentian deforestasi adalah langkah-langkah penting yang dapat kita ambil untuk melindungi keanekaragaman hayati yang tersisa. Dukungan terhadap praktik pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya yang bijaksana, dan perlindungan spesies yang terancam punah juga merupakan bagian dari solusi.

     Kesadaran dan pendidikan adalah kunci untuk mengubah perilaku dan kebijakan. Masyarakat global perlu menyadari pentingnya keanekaragaman hayati dan bagaimana tindakan individu dan kolektif dapat mempengaruhi kesehatan planet kita. Pemerintah, perusahaan, dan individu harus bekerja sama untuk menciptakan kebijakan dan praktik yang berkelanjutan. Hanya dengan usaha bersama kita dapat mencegah kepunahan keenam dan memastikan bahwa bumi tetap menjadi tempat yang layak huni bagi semua spesies, termasuk kita sendiri.

     Mengadopsi pandangan ekosentris bukan hanya penting, tetapi merupakan alternatif mutlak, mengingat semua kerusakan yang terjadi selama ini disebabkan oleh pemahaman antroposentris. Ekosentrisme menekankan bahwa alam dan semua komponennya memiliki nilai intrinsik yang independen dari nilai yang mereka berikan kepada manusia. Pandangan ini mengajarkan kita untuk melihat diri kita sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar dan untuk menghargai keberadaan semua spesies dan ekosistem. Dengan mengadopsi pendekatan ekosentris, kita tidak hanya melindungi alam demi kepentingan manusia, tetapi juga demi kelangsungan dan kesejahteraan semua makhluk hidup. Pendidikan ekosentris dapat menanamkan rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap lingkungan dan mendorong tindakan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.

     Masa depan masih dapat diubah. Dengan komitmen untuk bertindak dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi lingkungan, kita memiliki harapan untuk menjaga keanekaragaman hayati yang berharga ini. Mengintegrasikan pandangan ekosentris ke dalam kebijakan dan praktik sehari-hari adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan ini. Kepunahan keenam bisa menjadi peringatan bagi kita untuk bertindak sekarang, atau bisa menjadi kenyataan yang kita sesali selamanya. Pilihan ada di tangan kita, dan waktu untuk bertindak adalah sekarang. Mari kita mulai dengan langkah-langkah kecil namun berarti, seperti mengurangi jejak karbon kita, mendukung inisiatif konservasi, dan mendidik generasi mendatang tentang pentingnya menjaga planet kita ini untuk semua bentuk kehidupan. Dengan memprioritaskan ekosentrisme, kita dapat menciptakan masa depan di mana alam dan manusia hidup dalam harmoni, memastikan keberlanjutan jangka panjang bagi semua makhluk yang berbagi planet ini.

     Bumi adalah rumah bagi kehidupan selama miliaran tahun. Dalam rentang waktu itu, kehidupan di planet ini telah mengalami banyak perubahan besar, termasuk lima peristiwa kepunahan massal yang menghapus sebagian besar spesies yang pernah hidup. Kepunahan massal adalah saat sejumlah besar spesies menghilang dalam waktu singkat dalam rentang waktu geologis. Itu bukan hal baru. Bahkan sebelum manusia ada, Bumi sudah mengalami perubahan besar yang menghapus spesies tertentu dan membuka jalan bagi spesies baru untuk muncul.

     Namun, kini banyak ilmuwan percaya kita sedang menghadapi kepunahan massal keenam. Uniknya, peristiwa kali ini didorong oleh aktivitas manusia. Hal ini membuat manusia memandang dirinya sendiri sebagai penyebab utama perubahan ini, dan beberapa orang bahkan merasa bahwa kepunahan massal yang sedang terjadi adalah bukti pentingnya peran manusia dalam sejarah kehidupan. Tapi, benarkah demikian? Bukankah Bumi dan kehidupannya sudah lama berjalan tanpa kehadiran manusia, bahkan selama miliaran tahun?

     Sebelum membahas lebih jauh, kita harus memahami bagaimana kepunahan bekerja. Setiap spesies memiliki masa hidup tertentu. Beberapa mampu bertahan jutaan tahun, sementara yang lain punah lebih cepat. Punahnya spesies adalah bagian dari dinamika alam. Ketika satu spesies hilang, ruang yang ditinggalkannya sering kali memberi kesempatan bagi spesies lain untuk tumbuh dan berkembang. Ini disebut spesiasi, proses di mana spesies baru muncul. Dengan cara ini, kehidupan terus bergerak maju, menciptakan keanekaragaman baru dari waktu ke waktu.

     Tetapi, aktivitas manusia seperti penebangan hutan, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim membuat laju kepunahan jauh lebih cepat daripada biasanya. Jika biasanya kepunahan terjadi perlahan, kini spesies punah ribuan kali lebih cepat. Sebagai contoh, deforestasi menghancurkan habitat banyak hewan, membuat mereka kehilangan tempat tinggal. Polusi di lautan membahayakan kehidupan laut, dan perubahan iklim memaksa spesies beradaptasi terlalu cepat, sehingga banyak yang tidak mampu bertahan.

     Manusia sering memandang peran mereka dalam kepunahan ini sebagai bukti betapa pentingnya mereka dalam sejarah kehidupan. Pandangan ini disebut antroposentrisme, di mana manusia merasa dirinya adalah pusat dari segala sesuatu. Tetapi, jika kita melihat sejarah panjang Bumi, pandangan ini bisa dianggap terlalu berlebihan. Sebelum manusia ada, kehidupan sudah berjalan selama miliaran tahun. Lima kepunahan massal sebelumnya terjadi tanpa campur tangan manusia. Setiap kali, kehidupan berhasil bangkit kembali, bahkan berkembang lebih beragam dari sebelumnya.

     Di sinilah muncul pertanyaan besar: apakah kepunahan massal yang disebabkan manusia ini benar-benar ancaman, atau hanya bagian dari siklus alam yang lebih besar? Jika kita melihat dari sudut pandang Bumi, kehidupan akan terus ada, meski spesies tertentu punah. Bahkan jika manusia punah, kemungkinan besar kehidupan akan menemukan cara untuk bangkit kembali. Tapi jika kita melihat dari sudut pandang manusia, ancaman kepunahan massal ini sangat nyata.

     Manusia hidup di dalam jaringan kehidupan yang kompleks. Semua spesies di Bumi saling bergantung. Tumbuhan, misalnya, menyediakan oksigen yang kita hirup dan makanan yang kita makan. Serangga seperti lebah membantu penyerbukan tanaman, yang penting untuk pertanian. Jika terlalu banyak spesies yang hilang, jaringan kehidupan ini bisa runtuh. Ketidakstabilan ekologis akan memengaruhi kehidupan manusia secara langsung. Kita mungkin kehilangan sumber makanan, air bersih, dan bahkan udara yang layak dihirup.

     Sebagian orang percaya bahwa Bumi memiliki cara untuk menyeimbangkan dirinya sendiri. Ketika terjadi perubahan besar, seperti kepunahan massal, kehidupan akan menyesuaikan diri. Pandangan ini menekankan bahwa kehidupan tidak tergantung pada manusia, melainkan manusia yang tergantung pada kehidupan lain di Bumi. Jika manusia terus menyebabkan kerusakan, mereka mungkin menciptakan kondisi yang akhirnya tidak bisa mereka tangani sendiri.

     Salah satu alasan manusia sering memandang dirinya terlalu penting adalah kemampuan bahasa. Bahasa memungkinkan manusia untuk berpikir dan berbicara tentang hal-hal yang tidak langsung terlihat, seperti masa depan atau konsep abstrak. Bahasa juga membantu manusia mengembangkan pengetahuan, berbagi ide, dan bekerja sama dalam kelompok besar. Tetapi, terkadang bahasa membuat manusia terjebak dalam pandangan subyektif, di mana mereka terlalu sibuk berdiskusi dan berdebat tanpa menyentuh kenyataan yang sebenarnya.

     Dalam diskusi tentang kepunahan massal, misalnya, manusia sering kali lebih fokus pada ketakutan dan kekhawatiran mereka sendiri, daripada memahami kenyataan obyektif tentang bagaimana evolusi dan kehidupan bekerja. Realitas obyektif menunjukkan bahwa kehidupan tidak berhenti hanya karena spesies tertentu punah. Kehidupan terus berevolusi, menciptakan bentuk-bentuk baru yang sesuai dengan kondisi yang ada. Tapi realitas subyektif manusia sering kali membuat mereka merasa bahwa segala sesuatu berpusat pada keberadaan mereka sendiri.

     Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya salah. Meskipun kepunahan massal adalah bagian dari siklus alam, aktivitas manusia telah mempercepat proses ini dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini berarti manusia bukan hanya pengamat, tetapi juga agen perubahan. Kesadaran ini membawa tanggung jawab besar. Manusia tidak hanya perlu melindungi spesies lain, tetapi juga memahami bahwa keberlanjutan hidup mereka sendiri bergantung pada keseimbangan ekosistem.

     Diskusi tentang kepunahan massal bukan hanya soal menyalahkan manusia atau membela alam. Ini adalah refleksi dari hubungan kompleks antara manusia dan dunia tempat mereka tinggal. Sebagai spesies yang unik, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan perubahan besar. Tetapi kemampuan ini harus digunakan dengan bijak. Kita perlu memahami bahwa kita hanyalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar. Setiap tindakan kita memiliki dampak yang melampaui keberadaan kita sendiri.

     Kepunahan massal bukan hanya tentang spesies yang hilang, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami peran kita di dunia. Kita bisa memilih untuk melihat diri kita sebagai pusat dari segalanya, atau sebagai bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Pilihan ini tidak hanya akan menentukan bagaimana kita menghadapi kepunahan massal, tetapi juga bagaimana kita hidup di planet ini. Dengan memahami hubungan kita dengan kehidupan lain, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih seimbang dan berkelanjutan, tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh jaringan kehidupan di Bumi.

     Kita seakan membuka lapisan ironi mendalam pada narasi antroposentris modern. Jika munculnya narasi eksplisit tentang antroposentrisme saat ini bertujuan untuk bertahan hidup, maka hal itu memang mencerminkan bentuk antroposentrisme yang lebih subtil tetapi juga lebih nyata. Pada dasarnya, manusia tidak sedang melampaui antroposentrisme, melainkan menyesuaikannya dengan konteks baru, yaitu menyelamatkan dirinya sendiri dari dampak perilakunya terhadap planet ini.

     Narasi ini sering hadir dalam bentuk kritik terhadap eksploitasi alam atau perubahan iklim, tetapi jika dilihat dari motivasinya, banyak yang mendasarkannya pada upaya mempertahankan keberlanjutan manusia, bukan planet itu sendiri. Misalnya, kampanye untuk mengurangi emisi karbon atau menjaga keanekaragaman hayati sering kali dibingkai dengan argumen seperti "agar generasi mendatang tetap memiliki kehidupan yang layak" atau "agar manusia tetap bisa bertahan di bumi." Dalam narasi ini, fokusnya tetap pada manusia sebagai pusat, meskipun dibalut dengan kesadaran lingkungan.

     Hal ini menunjukkan bahwa antroposentrisme tidak menghilang, tetapi justru berevolusi menjadi bentuk yang lebih kompleks. Perilaku dan narasi manusia masih berpusat pada dirinya, tetapi kini dengan alasan yang lebih "mulia" atau "global." Bahkan, konsep seperti "Antroposen" yang seolah-olah mengkritik dampak destruktif manusia, pada akhirnya masih berorientasi pada cara manusia dapat bertahan hidup di era perubahan besar yang sebagian besar diciptakannya sendiri.

     Bisa dikatakan, ini adalah antroposentrisme dalam bentuk reflektif, di mana manusia menyadari bahwa kelangsungan hidupnya bergantung pada menjaga keseimbangan dengan alam. Tetapi, perhatian ini sering kali tidak benar-benar tulus terhadap alam itu sendiri. Misalnya, langkah-langkah untuk melindungi spesies tertentu sering kali dilakukan bukan demi keberadaan spesies tersebut, tetapi karena spesies itu dianggap penting untuk ekosistem yang mendukung kehidupan manusia.

     Dengan demikian, kritik terhadap antroposentrisme modern sering kali berakhir menjadi bentuk antroposentrisme baru yang lebih terselubung. Upaya manusia untuk "menyelamatkan planet" sebenarnya adalah upaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ini bukan sekadar masalah moralitas, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana manusia, sebagai spesies yang sadar akan dampaknya, tetap tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kerangka berpikir bahwa dirinya adalah pusat dari semua hal.

Melampaui Antroposentrisme Reflektif?

     Saya mengajak Anda membayangkan gambaran sebuah paradoks menarik yang sering terabaikan: milyaran planet di alam semesta terus berproses tanpa sedikit pun campur tangan manusia. Namun, ketika berbicara tentang bumi, kita melihat usaha besar-besaran manusia untuk "menyelamatkan" planet ini—sebuah kampanye yang, meskipun berlandaskan niat baik, tetap menunjukkan pola pikir yang terpusat pada manusia. Bumi dibela bukan karena bumi itu sendiri, tetapi karena keberadaan manusia di dalamnya. Hal ini bisa dianggap sebagai ironi, kelucuan, atau mungkin sekadar cerminan dari keterbatasan perspektif manusia yang masih sulit melampaui dirinya sendiri.

     Setelah fase antroposentrisme reflektif seperti ini, mungkin akan ada bentuk narasi baru yang berkembang, terutama jika manusia terus melampaui batas-batas tradisional kehidupannya di bumi. Misalnya, eksplorasi luar angkasa yang semakin intensif bisa melahirkan kosmosentrisme—sebuah pandangan di mana manusia mulai memandang dirinya sebagai bagian dari proses kosmik yang lebih besar, bukan sekadar penghuni bumi. Dalam kerangka kosmosentris ini, manusia mungkin tidak lagi memprioritaskan "menyelamatkan bumi" secara eksklusif, melainkan memikirkan posisi dan peran spesiesnya dalam skala alam semesta yang jauh lebih luas.

     Hanya saja, transisi ini tidak akan mudah. Manusia harus terlebih dahulu menghadapi keterbatasan biologis dan psikologisnya. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang dirancang untuk berpikir secara lokal—tentang dirinya, komunitasnya, dan lingkungannya. Untuk benar-benar melampaui antroposentrisme, manusia harus melampaui pola pikir instingtif ini, yang hanya mungkin terjadi jika terjadi perubahan evolusioner, baik biologis maupun kognitif, mungkin dengan bantuan teknologi.

     Jika narasi yang lebih baru muncul, itu kemungkinan besar akan berorientasi pada post-humanisme, di mana manusia mulai melepaskan diri dari identitasnya sebagai spesies yang terikat pada bumi. Dalam dunia yang sudah penuh dengan teknologi seperti AI, Brain-Computer Interfaces, atau bahkan migrasi antarplanet, narasi manusia sebagai pusat segalanya mungkin perlahan-lahan terkikis. Alih-alih menyelamatkan bumi, manusia mungkin mulai mengadopsi pandangan bahwa semua kehidupan, baik di bumi maupun di tempat lain, adalah bagian dari jaringan yang saling terkait di alam semesta.

     Namun, jika narasi seperti ini tidak muncul dan manusia tetap terjebak dalam antroposentrisme, ada risiko bahwa perjuangan untuk "menyelamatkan bumi" hanyalah perpanjangan dari upaya manusia untuk mempertahankan eksistensinya sementara mengabaikan skala kosmik yang lebih besar. Ini adalah pilihan evolusi naratif yang akan menentukan apakah manusia tetap berada dalam lingkaran sempit egosentriknya, atau benar-benar mampu melampaui batas-batas itu untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

     Ekosentrisme adalah pandangan yang menempatkan ekosistem secara keseluruhan, termasuk semua makhluk hidup, unsur abiotik, dan hubungan timbal balik di dalamnya, sebagai pusat perhatian etis. Tidak seperti antroposentrisme yang berfokus pada kepentingan manusia atau biosentrisme yang menghormati setiap makhluk hidup secara individu, ekosentrisme menekankan pentingnya keseimbangan dan kesehatan ekosistem secara menyeluruh. Dalam pandangan ini, nilai suatu entitas terletak pada perannya dalam menjaga harmoni dan stabilitas ekologis.

     Pandangan ini lahir sebagai reaksi terhadap eksploitasi lingkungan yang merusak akibat paradigma antroposentris yang dominan, terutama sejak revolusi industri. Konsep ekosentrisme dipengaruhi oleh perkembangan ilmu ekologi yang menunjukkan bagaimana semua elemen dalam ekosistem saling bergantung dan berinteraksi secara kompleks. 

     Beberapa tokoh penting yang berkontribusi pada munculnya pemikiran ini termasuk Aldo Leopold dengan konsep land ethic, James Lovelock melalui hipotesis Gaia, dan Arne Næss yang mempopulerkan gagasan deep ecology. Semua tokoh ini menegaskan bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar dan memiliki tanggung jawab menjaga keseimbangan, bukan hanya memanfaatkannya.

     Prinsip utama ekosentrisme adalah menempatkan keseimbangan ekosistem sebagai nilai tertinggi. Setiap elemen, baik yang hidup seperti hewan dan tumbuhan maupun yang tidak hidup seperti air, tanah, dan udara, dianggap memiliki nilai intrinsik karena perannya dalam menjaga stabilitas ekologi. Pandangan ini juga menekankan bahwa tidak ada entitas yang berdiri sendiri. Segala sesuatu di dunia ini saling terhubung dalam jaringan kehidupan yang kompleks, sehingga kerusakan pada satu bagian dapat memengaruhi keseluruhan sistem. Dalam hal ini, manusia tidak lagi diposisikan sebagai penguasa alam tetapi sebagai bagian dari ekosistem yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni ekologis.

     Meskipun terlihat mirip, ekosentrisme berbeda dengan biosentrisme. Biosentrisme berfokus pada nilai intrinsik makhluk hidup secara individu, seperti hak setiap spesies untuk hidup. Sebaliknya, ekosentrisme memprioritaskan keseimbangan ekosistem secara keseluruhan, sehingga tindakan yang mungkin merugikan individu tertentu bisa dianggap benar jika mendukung keseimbangan ekologis. Misalnya, dalam biosentrisme, membunuh spesies tertentu seperti predator mungkin dianggap salah secara moral. Namun, dalam ekosentrisme, tindakan ini dapat dibenarkan jika predator tersebut menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.

     Meski menawarkan pendekatan yang lebih holistik, ekosentrisme menghadapi banyak kritik. Salah satu kritik utama adalah sulitnya menerapkan prinsip ini dalam dunia modern. Dengan populasi manusia yang besar dan kebutuhan ekonomi yang mendesak, memprioritaskan ekosistem secara keseluruhan sering kali dianggap tidak realistis. Selain itu, ekosentrisme kadang mengabaikan hak individu, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya, demi keseimbangan ekologis yang lebih besar. Pemahaman tentang nilai intrinsik ekosistem juga sering kali dianggap terlalu abstrak untuk diterima oleh masyarakat yang masih sangat antroposentris.

     Namun, dalam menghadapi krisis lingkungan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi, ekosentrisme menawarkan kerangka etis yang relevan. Pendekatan ini mendorong kebijakan lingkungan yang lebih holistik, seperti konservasi yang tidak hanya melindungi spesies tertentu tetapi juga ekosistem secara keseluruhan. 

     Selain itu, ekosentrisme juga menggarisbawahi pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan restorasi ekosistem yang rusak untuk mengembalikan fungsi alami lingkungan. Untuk benar-benar mengintegrasikan pandangan ini dalam masyarakat global, diperlukan perubahan paradigma besar-besaran dalam pendidikan, kebijakan, dan budaya. Manusia perlu belajar melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar, di mana keberlanjutan hanya dapat dicapai melalui harmoni, bukan dominasi.

     Seperti biosentrisme, ekosentrisme juga masih berada pada tataran wacana. Implementasinya menghadapi tantangan besar, terutama karena dominasi sistem antroposentris yang sudah sangat mengakar. Pada saat yang sama, antroposentrisme itu sendiri terus berevolusi menjadi lebih halus dan terselubung, menyusup ke dalam berbagai narasi modern yang terlihat ramah lingkungan tetapi tetap memprioritaskan kepentingan manusia. 

     Di tengah persaingan global dan tekanan evolusi yang menuntut kelangsungan hidup spesies, munculnya ekosentrisme menandai upaya untuk menawarkan pandangan alternatif. Namun, implementasi teknisnya memerlukan keberanian politik, kesadaran kolektif, dan perubahan besar dalam cara manusia memandang dirinya sendiri di dalam jaringan kehidupan yang lebih besar.

     Antroposentrisme adalah pandangan filosofis yang menempatkan manusia sebagai pusat atau yang paling penting dalam sistem alam semesta. Dalam pandangan ini, nilai, keberadaan, dan fungsi segala sesuatu di dunia diukur berdasarkan hubungannya dengan manusia. Antroposentrisme sering muncul dalam berbagai bidang seperti etika, lingkungan, agama, dan filsafat.

     Pada zaman filsafat Yunani Klasik, pemikiran Aristoteles menonjol dalam mengembangkan narasi yang secara eksplisit menempatkan manusia di atas hierarki makhluk hidup. Dalam konsepnya tentang Scala Naturae (Tangga Kehidupan), Aristoteles memandang bahwa semua makhluk hidup memiliki kedudukan tertentu dalam hierarki alam, dengan manusia berada di puncaknya karena rasionalitas dan akalnya. Pandangan ini secara eksplisit menyatakan bahwa manusia memiliki peran istimewa di antara makhluk hidup lainnya.

     Lompatan lain terjadi pada masa Renaisans dan Revolusi Ilmiah. Narasi antroposentris menjadi lebih terang-terangan ketika Francis Bacon mengadvokasi gagasan bahwa sains harus digunakan untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan manusia. Bacon, dalam karyanya Novum Organum, menjelaskan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kontrol manusia atas dunia. Hal ini menandai pergeseran eksplisit dari pandangan harmoni manusia-alam ke dominasi manusia atas alam.

     Di sisi lain, tradisi agama Abrahamik juga mengokohkan narasi antroposentris secara eksplisit. Dalam Kitab Kejadian misalnya, dinyatakan bahwa manusia diciptakan "menurut gambar Allah" dan diberikan mandat untuk "menguasai bumi dan segala isinya". Konsep ini, yang sering disebut sebagai dominion theology, memberikan landasan teologis bahwa manusia memiliki hak istimewa untuk mengeksploitasi alam.

     Dengan semakin berkembangnya filsafat modern di era Pencerahan, pandangan ini mendapatkan penguatan melalui gagasan rasionalitas dan kemajuan manusia. René Descartes, misalnya, memandang manusia sebagai makhluk unik yang memiliki res cogitans (pikiran) yang membedakannya dari res extensa (alam material), yang dianggap sebagai objek untuk dimanipulasi. Ini adalah formulasi eksplisit yang mempertegas pemisahan manusia dari alam, sekaligus menempatkan manusia sebagai pengendali alam.

     Narasi antroposentris secara eksplisit—yang dengan tegas menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta atau penguasa alam—mulai muncul dan menjadi jelas ketika manusia memasuki tahap peradaban yang lebih kompleks. Dalam sejarah pemikiran, ada titik-titik di mana gagasan antroposentris ini dirumuskan secara langsung, meskipun istilah "antroposentrisme" sebagai sebuah konsep formal baru banyak dibahas di era modern. 

     Istilah dan kritik terhadap antroposentrisme baru muncul belakangan ini, terutama di abad ke-21, sebagai respons terhadap dampak destruktif dari perilaku yang terlalu berpusat pada manusia. Antroposen, sebagai konsep geologis dan filosofis, adalah titik balik di mana manusia mulai menyadari bahwa dampaknya terhadap bumi telah melampaui ambang batas ekologis dan etis. Kritik ini muncul karena perilaku antroposentris dianggap telah mencapai fase "singular," yakni titik di mana pengaruh manusia terhadap planet ini menjadi begitu besar sehingga tidak ada bagian dari bumi yang tersisa tanpa jejak manusia.

     Sebagai respons terhadap kesadaran ini, narasi antroposentris yang eksplisit tidak lagi berbicara tentang keunggulan manusia, melainkan menjadi narasi reflektif yang menyoroti konsekuensi dari tindakan manusia. Kritik ini muncul dari berbagai bidang, seperti filsafat lingkungan, ekologi, dan bahkan seni, yang mencoba menunjukkan bahwa antroposentrisme yang tidak terkendali bukan hanya merusak alam, tetapi juga mengancam keberlanjutan manusia itu sendiri.

     Sebelum abad ke-21, narasi antroposentris lebih bersifat afirmatif—mendorong perilaku untuk mengeksploitasi alam demi tujuan manusia. Kini, narasi tersebut berubah menjadi alarm yang memperingatkan bahwa perilaku itu telah melampaui batas wajar. Dalam konteks ini, eksplisitnya pembahasan tentang antroposentrisme menjadi semacam "upaya bertahan hidup" baru, di mana manusia mulai mengkritisi dirinya sendiri untuk mencari keseimbangan antara keberadaan manusia dan keberlanjutan ekosistem global.

     Kecerdasan Ekologi adalah kemampuan manusia dalam memahami dan memperhatikan lingkungan hidup dengan segala unsur dan keanekaragaman yang ada di dalamnya. Konsep kecerdasan ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul "Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impacts of What We Buy Can Change Everything". Goleman menyatakan bahwa kecerdasan ekologi menjadi semakin penting bagi kehidupan manusia di masa depan, dengan adanya krisis lingkungan yang semakin parah.

     Pada dasarnya, kecerdasan ekologi mencakup tiga kemampuan yakni kesadaran lingkungan, pemikiran sistemik, dan tindakan berkelanjutan. Kesadaran lingkungan merujuk pada kemampuan manusia dalam memahami dampak setiap tindakan atau produk terhadap lingkungan hidup. Pemikiran sistemik berarti kemampuan manusia untuk mempertimbangkan interaksi antara berbagai aspek dalam lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Sedangkan tindakan berkelanjutan mengacu pada kemampuan manusia untuk mengambil tindakan praktis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

     Melalui kecerdasan ekologi, manusia bisa menjadi lebih bijaksana dalam memilih produk dan jasa yang dibutuhkan serta menghindari produk yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Contohnya, kita dapat memilih produk yang menggunakan bahan baku ramah lingkungan atau bahan daur ulang, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, maupun memilih kendaraan ramah lingkungan yang menghasilkan emisi karbon yang rendah.

     Selain itu, kecerdasan ekologi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya kerja sama dan solidaritas antarindividu dalam menjaga lingkungan hidup. Kita harus melihat bahwa tindakan kecil dari individu yang dilakukan secara kolektif dapat memberikan dampak yang besar bagi lingkungan. Misalnya, pemilihan kendaraan ramah lingkungan dapat menjaga kualitas udara, pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dapat mengurangi jumlah sampah yang mencemari laut, dan pengurangan penggunaan listrik dapat membantu menjaga ketersediaan energi.

     Namun, masih banyak orang yang tidak memahami bahwa kerusakan lingkungan akan berdampak langsung pada kesejahteraan manusia. Padahal, lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran tentang kecerdasan ekologi harus ditanamkan sejak usia dini pada anak-anak dan terus diupayakan pada seluruh lapisan masyarakat.

     Selain itu, pola pikir manusia juga berperan penting dalam kontribusinya terhadap kecerdasan ekologi. Lama-kelamaan, para ahli mendapati bahwa sumber dari permasalahan lingkungan adalah paradigma manusia mengenai teknologi dan konsumsi. Di satu sisi, masyarakat modern dengan sangat bergantung pada keuntungan yang dihasilkan oleh teknologi. Di sisi lain, tingginya permintaan masyarakat pada barang-barang konsumsi mengikatkan mereka pada sistem produksi global yang membutuhkan bahan baku yang terus menerus digunakan dan diganti.

     Karena itu, perlu adanya gerakan sosial yang besar dari masyarakat untuk mendorong pemerintah dan badan usaha untuk mengubah pola produksi dan konsumsi yang ramah lingkungan. Gerakan sosial ini juga harus didukung oleh para pegiat lingkungan serta perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang terkait. Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, dapat menjadi salah satu langkah penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Kecerdasan Ekologi

     Namun, krisis lingkungan yang terjadi saat ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu tindakan atau pihak saja. Perlunya kerja sama antar negara dalam mengatasi masalah lingkungan juga menjadi poin penting dalam menjaga kelestarian bumi. Selain itu, peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam mendidik generasi muda yang memiliki kesadaran dan kecerdasan ekologi yang tinggi, sehingga mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif di masa depan.

     Gerakan-gerakan seperti pemanfaatan energi alternatif, perbaikan kualitas air, peningkatan sistem pengelolaan sampah dan pengurangan penggunaan bahan kimia beracun adalah beberapa contoh tindakan manusia yang dapat membantu menjaga kelestarian bumi. Hal tersebut tentunya harus diikuti oleh program-program sosialisasi dan edukasi serta regulasi pemerintah untuk menciptakan kesadaran lingkungan dan menggalakkan tindakan bersama yang lebih besar.

     Dalam konteks ancaman kepunahan massal keenam yang sedang terjadi saat ini, kecerdasan ekologi menjadi salah satu kunci untuk mengatasi krisis lingkungan sekaligus mengubah pola produksi dan konsumsi menjadi lebih ramah lingkungan. Kesadaran dan tindakan berkelanjutan yang didukung oleh sistem pengelolaan yang baik harus menjadi langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem bumi.

     Sebagai kesimpulan, kecerdasan ekologi adalah kemampuan manusia untuk memahami serta mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan dan produk yang digunakan terhadap lingkungan hidup. Kita harus mempelajari cara untuk berinteraksi dengan lingkungan secara bijaksana dan ramah lingkungan. Sebagai warga masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian bumi, menumbuhkan kesadaran lingkungan, menerapkan tindakan berkelanjutan dan membentuk pola pikir yang lebih positif mengenai lingkungan. Semua upaya ini akan memberikan manfaat jangka panjang baik bagi lingkungan hidup maupun kesejahteraan manusia secara keseluruhan.

     Konsep kecerdasan ekologi yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, seorang penulis dan psikolog di dalam bukunya"Ecological Intelligence" yang diterbitkan pada tahun 2009. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam konsep kecerdasan ekologi dapat diringkas menjadi seperti berikut:

1. Kecerdasan ekologi adalah kemampuan untuk memahami dan bertindak dengan bijaksana terhadap dampak manusia terhadap lingkungan dan ekosistem.

2. Kecerdasan ekologi mencakup empat aspek, yaitu data, konteks, sistem, dan tindakan. Data mencakup informasi tentang lingkungan dan pengetahuan tentang dampak manusia pada lingkungan. Konteks mencakup pemahaman tentang bagaimana kebiasaan dan tindakan kita berdampak pada lingkungan dan ekosistem. Sistem mencakup analisis dan pemahaman tentang kompleksitas interaksi dalam lingkungan dan ekosistem. Tindakan mencakup tindakan nyata dan praktis untuk mengurangi dampak negatif manusia pada lingkungan.

3. Kecerdasan ekologi didasarkan pada pengambilan keputusan yang bijaksana dan berkelanjutan dalam menggunakan sumber daya alam. Hal ini melibatkan pemahaman tentang siklus hidup produk dan sumber daya, serta cara mengurangi limbah dan pemakaian energi yang berlebihan.

4. Kecerdasan ekologi dapat membantu individu, perusahaan, dan masyarakat untuk menciptakan produk dan layanan yang lebih ramah lingkungan, mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pengambilan keputusan, dan bekerja menuju tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca dan penggunaan sumber daya yang lebih berkelanjutan.


     Beberapa langkah yang disarankan Goleman dalam rangka meningkatkan kecerdasan ekologi seperti mengurangi pemakaian energi fosil, mengembangkan produk yang lebih ramah lingkungan, menggunakan transportasi publik, dan memilih sumber daya yang lebih berkelanjutan.

     Goleman memiliki perbedaan pendekatan dalam memahami ekologi dengan kampanye ekologi yang telah dilakukan selama beberapa dekade ini. Goleman mengusulkan pendekatan ekologi yang lebih holistik dan multidimensional, yang melibatkan tidak hanya aspek lingkungan fisik, tetapi juga dimensi sosial, psikologis, dan spiritual. Goleman menekankan pentingnya memahami keterkaitan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya.

     Sementara itu, kampanye ekologi yang telah dilakukan selama beberapa dekade ini cenderung mengedepankan aspek fisik dan teknis, seperti bagaimana mengurangi polusi atau menggunakan sumber energi terbarukan. Kampanye tersebut cenderung mengabaikan dimensi sosial, psikologis, dan spiritual dalam memahami ekologi.

     Oleh karena itu, meskipun kampanye ekologi telah dilakukan selama beberapa dekade ini, tetapi masih banyak isu-isu lingkungan yang belum terselesaikan. Goleman berpendapat bahwa pendekatan ekologi yang lebih holistik dan multidimensional dapat membantu mengatasi isu-isu tersebut secara lebih efektif dan berkelanjutan.

korpala unhas

     Pemikiran Goleman dalam kecerdasan ekologi dapat membantu mengendalikan atau mengurangi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia saat ini memang menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup manusia dan keberlangsungan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berlebihan dan tidak berkelanjutan. Berdasarkan pemikiran Goleman, kecerdasan ekologi merupakan kemampuan untuk memahami kompleksitas hubungan antara manusia dan lingkungan, serta mampu melakukan tindakan yang berkelanjutan dalam mengelola sumber daya alam.

      Apakah sikap dan perilaku itu sudah cukup untuk mencegah kepunahan massal keenam? Masih sulit untuk dipastikan karena faktor-faktor lain seperti perubahan iklim, kebakaran hutan, perusakan habitat satwa liar, dan lain sebagainya yang juga berperan dalam menimbulkan kepunahan massal. Pandangan Goleman dapat saja menjadi salah satu cara untuk memperbaiki kesadaran manusia terhadap lingkungan dan mengubah perilaku konsumtif menjadi lebih berkelanjutan.

      Secara keseluruhan, meski pemikiran Goleman dalam kecerdasan ekologi dapat membantu mengurangi dampak negatif aktivitas manusia terhadap lingkungan, namun masih diperlukan dukungan dan tindakan bersama dari semua pihak untuk mengatasi masalah kepunahan massal dan memperbaiki kondisi lingkungan global.

     Perdebatan soal perubahan iklim di antara para peneliti masih berlarat-larat. Tapi ribuan meter di atas permukaan laut, bukti mengenai perubahan iklim itu sulit dibantah. Tshering Tenzing, pemandu pendakian ke Gunung Everest, menjadi saksi bagaimana permukaan bumi ini semakin panas.
     "Semua gletser di sini berubah.. celah-celah bebatuan yang semula tertutup es, sekarang bermunculan," kata Tshering dua tahun lalu. Menurut penuturan sejumlan pendaki, di beberapa titik sudah tak perlu lagi memakai krampon (sepatu es) untuk melewatinya. Sebab, tak ada lagi es di tempat itu. Salju abadi itu tak lagi abadi.
     Tshering menunjuk Khumbu Icefall, titik dimulainya pendakian oleh Edmund Hillari dan Tenzing Norgay ke puncak Everest 60 tahun lalu. "Sebelumnya, sejauh mata memandang hanya ada lapisan es kebiru-biruan. Tapi sekarang batu-batuan bertonjolan," katanya. Perubahan itu, menurut Tshering, bukan terjadi selama puluhan tahun, tetapi hanya dalam hitungan bulan.
     Namun tidak sedikit yang sangsi terhadap pengamatan Tsering. "Itu hanya omong kosong. Pendapat itu sangat berlebihan jika kalian mengamati lebih jauh di atas sana. Salju-salju itu sangat solid, pada suhu minus 9,44 derahat Celcius), dan mereka akan tetap seperti itu," kata Alton Byers, Direktur Sains di Mountain Institute.
     Sekarang ada satu lagi bukti yang memperkuat kesimpulan Tshering Tenzing. Sudeep Thakuri, mahasiswa doktoral di Jurusan Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati Universitan Milan - Italia, menunjukkan penyusutan gletser Everest mencapai 13 persen sejak 1965. Garis salju atau snowline pun telah bergeser ke atas sejauh 590 kaki atau sekitar 180 meter dari titik semula.
     Tim Thakuri menggunakan citra satelit serta peta topograpi untuk melacak gerakan glasial serta menggunakan data hidro-meteorologi dari Nepal Climate Observatory dan Depertemen Hidrologi Nepal untuk melacak perubahan suhu dan curah hujan di sekitar Everest hingga Taman Nasional Sagarmatha.
     Hasilnya, ada peningkatan suhu 0,6 derajat Celcius serta curah hujan salju menipis 99 milimeter sejak 1992. Akibatnya, sekitar 247 hektar wilayah di Taman Nasional mengering. Takhuri yang mempresentasikan penelitiannya di Cancun, Meksiko, menduga penyebab melelehnya gletser Everest disebabkan efek gas rumah kaca akibat produksi berlebihan karbon dioksida.
     Namun ia belum dapat membuktikan secara komprehensif bukti hubungan sebab akibat penyusutan es dengan pemanasan global tersebut. Peningkatan suhu yang kian panas di Everest itu dapat mengubah tatanan batuan hingga memicu terjadinya banjir dan longsor, yang selanjutnya tentu akan merusak ekosistem. Menurut Takhuri, penyusutan gletser itu dikhawatirkan dapat mengancam kehidupan 1,5 miliar penduduk yang bermukin di sekitar Everest, yang menggantungkan kebutuhan air serta listrik dari gletser Everest.
     "Gletser dan selubung es Himalaya sudah menjadi menara air bagi Asia karena memasokkebutuhan masyarakat untuk pertokoan, pertanian dan kekuatan produksi industri warga terutama di saat musim kemarau," kata Thakuri.
     Sejak 1980-an, gletser Everst menjadi penyedia listrik bagi warga negara India dengan daya 45 juta kilowatt. Gletser itu mengalir ke sungai-sungai Indus, Gangga, Brahmaputra, Narmada, Tapti, Mahanadhi, Godhavari, Krishna dan Kaveri.
pict: National Geographic
reff : National Geographic;
Sains Life Detik epaper

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.