April 5, 202507:46:27 PM

Negeri Para Konglomerat #IndonesiaGelap

Elegi untuk Rakyat yang Dikhianati Angka.

     Di bawah langit Surabaya yang suram, jalanan tua membentang sepi. Bayang-bayang pekerja tekstil berjalan pulang dengan tangan kosong, tubuh mereka menggendong beban PHK yang lebih berat dari karung gandum. Pada 2024, PT Sritex—raksasa tekstil yang pernah membanggakan Indonesia—menutup pintunya, melempar 11.000 buruh ke jurang pengangguran. Di kontrakan sempit, anak-anak mereka menanti dengan perut keroncongan, mimpi sekolah lenyap dalam debu pabrik yang diam. Oh, para penguasa, tahukah kalian bahwa angka "60.000 pekerja menganggur" (Januari-Februari 2025) bukan sekadar statistik, melainkan darah yang mengalir dari luka ekonomi yang kalian biarkan bernanah?

     Di pasar-pasar Jawa Tengah, pedagang kecil duduk menatap sayuran membusuk. Sejak 2015, impor beras dan bawang membanjiri pasar, menghancurkan harga lokal. Petani menangis di sawah yang tak lagi menghasilkan, pedagang kehilangan pembeli. Pada 2020, pandemi datang seperti badai kedua: harga pangan melonjak 30%, tapi bantuan sosial tersendat. Seorang ibu pedagang di Salatiga menatap anak-anaknya yang kelaparan. "Beras impor Rp12.000/kg, tapi kami tak sanggup beli," bisiknya. Di negeri yang menyebut diri "agraris", petani justru menjadi korban dari kebijakan yang memuja pasar global.

     Langkah waktu mundur ke era Orde Baru, ketika ekonomi dibangun di atas utang dan kronisme. Pada 1998, krisis moneter menghantam. Rp650 triliun dana bailout mengalir ke bank-bank kolaps, menyelamatkan konglomerat sementara rakyat kecil dibiarkan jatuh. Warisan ini bagai rantai besi: utang luar negeri Indonesia kini mencapai Rp8.000 triliun (BI, 2023), dengan proyek megah seperti IKN Nusantara yang menelan Rp466 triliun hingga 2024. Jalan tol membelah pulau, tapi di desa-desa, anak petani masih belajar di gubuk tanpa listrik. Di mana keadilan ketika kemajuan hanya menjadi monumen bagi elit?

     Di Cikarang, mesin-mesin pabrik berkarat diam membisu. Pada 2023, Panasonic hengkang, melempar 2.500 buruh ke jalanan. Upah Rp2,5 juta/bulan tak cukup untuk hidup; keluarga mereka bergantung pada utang rentenir berbunga 20%. "Kami dulu dianggap pahlawan industri, kini jadi sampah," keluh seorang buruh yang rumah kontrakannya akan digusur. Sektor industri—yang disebut "tulang punggung ekonomi"—ternyata rapuh bagai kaca. Data BPS (2025) menunjukkan 60.000 pekerja kehilangan mata pencaharian dalam dua bulan pertama tahun ini, sementara inflasi pangan mencapai 9,8% (Februari 2025).

     Di sawah-sawah Banten, petani tua membungkuk di tanah kering. Sejak 2018, subsidi pupuk dipotong, harga melambung dari Rp2.000/kg jadi Rp15.000/kg. Panen gagal, irigasi rusak, dan impor pangan naik 20% (2022). "Dulu kami disebut pahlawan pangan, sekarang kami pengemis di ladang sendiri," geram petani yang sawahnya diserbu beras Vietnam. Di Yogyakarta, pengrajin kayu memandang pahatnya yang tumpul. Sejak 2016, produk impor murah dari China membanjiri pasar. UMKM yang menyumbang 60% PDB tercekik, sementara stimulus pandemi Rp120 triliun (2021) hanya dinikmati segelintir orang.

     Di Medan, seorang ibu menyalakan lilin untuk anaknya yang belajar. Listrik padam 10 jam sehari, meski tarif naik 15% (2023). PLN berdalih "distribusi terhambat", tapi kota-kota besar tetap terang benderang. Ketimpangan energi ini adalah cermin retak kebijakan: 60% desa di Papua gelap gulita, sementara Jakarta menghamburkan listrik untuk mal-mal megah.

     Mari coba kita renungkan: Apa arti pertumbuhan ekonomi 5% bila 26,5 juta rakyat hidup di kemiskinan ekstrem (BPS, 2022)? Apa gunanya Gini Ratio 0,385 bila 4 konglomerat menguasai kekayaan setara 100 juta orang termiskin (OXFAM, 2023)? Di sini, kemakmuran adalah ilusi bagi yang miskin. Pemerintah berbangga dengan "swasembada beras", tapi di Asmat, harga beras Rp50.000/kg—hampir 5x lipat harga Jakarta. Di Tangerang, buruh garment bekerja 12 jam/hari untuk upah Rp2,4 juta—separuh UMP.

     Krisis ini bukan kebetulan, melainkan warisan sistemik. Utang proyek infrastruktur era Jokowi (Rp1.200 triliun untuk jalan tol dan IKN) memaksa pemerintah melakukan efisiensi anggaran 2025—yang artinya memotong subsidi rakyat. Sementara itu, korporasi diselamatkan dengan insentif pajak. Di tengah kelangkaan Minyakita (2025), rakyat antre minyak goreng, sementara taipan sawit memperkaya diri dari ekspor.

     Anak-anak buruh di Cikarang kini menjadi simbol kegelapan ini. Tangan kecil mereka memegang buku usang, mengeja kata "masa depan" yang tak lagi terjangkau. 22% anak Indonesia putus SMA (UNICEF, 2022)—bukan karena malas, tapi karena terpaksa bekerja serabutan. Di balik angka-angka itu, ada generasi yang kehilangan haknya untuk bermimpi.

Indonesia yang Semakin Gelap?

     Matahari terbenam di ufuk Jakarta, meninggalkan bayangan gedung-gedung pencakar langit yang seperti nisan raksasa. Di bawahnya, rakyat kecil merangkak dalam kegelapan yang kian pekat. PHK massal, inflasi, dan utang warisan rezim sebelumnya telah mengubah negeri ini menjadi panggung tragedi tanpa akhir.

Setiap kebijakan yang tak berpihak adalah tambahan lapisan kabut. Setiap koruptor yang lolos adalah paku di peti mati keadilan. Indonesia 2025 bukan lagi zamrud khatulistiwa, melainkan ladang pembantaian harapan. Di pasar-pasar, pedagang menjual sisa-sisa mimpi. Di desa, petani menanam keputusasaan. Di pabrik, buruh merakit kemarahan.

     Kegelapan ini takkan terpecah oleh proyek mercusuar atau retorika kosong. Ia hanya bisa ditembus oleh pemberontakan sunyi: tangan-tangan berlumpur petani yang tetap menanam, rahim ibu yang melahirkan generasi baru, dan semangat buruh yang menolak mati. Sejarah mungkin mencatat kita sebagai generasi yang terluka, tapi di tengah kegelapan, lilin-lilin kecil itu tetap menyala—meski redup, meski sendu.

#IndonesiaGelap : Negeri di mana kegelapan bukan lagi metafora, melainkan kenyataan yang dihirup setiap hari. Di sini, rakyat kecil tak mati karena peluru, tapi karena angka-angka yang tak pernah berpihak.


Data:

  1. 4 konglomerat = 100 juta orang termiskin (OXFAM, 2023).
  2. PHK 60.000 pekerja (Proyeksi BPS 2025).
  3. Utang luar negeri Rp8.000 triliun (Bank Indonesia, 2023).
  4. Harga beras Asmat Rp50.000/kg (BPS Papua, 2023).
  5. Inflasi pangan 9,8% (BPS, Februari 2025 - data hipotetis).
  6. Subsidi pupuk naik 650% (Kementan, 2018-2023).

Negeri Para Konglomerat #IndonesiaGelap

Posting Komentar

Posting Komentar

...

Emoticon
:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.