Articles by "Mulai Dari Mana"

Tampilkan postingan dengan label Mulai Dari Mana. Tampilkan semua postingan

     Di tengah gemuruh reformasi pendidikan tinggi Indonesia yang sibuk membicarakan angka kredit, akreditasi internasional, dan publikasi Scopus, ada satu pertanyaan mendasar yang justru terpinggirkan: untuk apa sebenarnya intelektual Indonesia berdiri? Apakah mereka hadir sebagai penjaga menara gading yang asyik dengan diskusi-diskusi esoteris, atau sebagai penerang yang turun ke gelanggang membawa obor pencerahan?

     Ali Shariati (1979), pemikir revolusioner Iran, menawarkan konsep yang relevan untuk menjawab kegelisahan ini: raushan fikr atau "intelektual tercerahkan". Bagi Shariati, intelektual sejati bukanlah sekadar pemikir yang cerdas, melainkan mereka yang memadukan kecerdasan akal dengan kesadaran spiritual dan keberpihakan pada kaum tertindas. Yang menarik, Shariati menghubungkan figur ini dengan konsep Qur'ani ulil albab - mereka yang mampu memadukan dzikir dan pikir, yang mengingat Tuhan sambil terus merenungi ciptaan-Nya.

     Sayangnya, wajah pendidikan tinggi Indonesia justru menunjukkan wajah yang bertolak belakang. Kita menyaksikan para akademisi yang terjebak dalam apa yang Bourdieu (1984) sebut sebagai "illusio akademik" - percaya bahwa permainan simbolik dalam dunia kampus adalah segalanya. Mereka sibuk mengejar angka KUM, berebut jabatan struktural, dan berlomba publikasi di jurnal bereputasi, sementara masalah-masalah konkret di luar kampus seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis moral dibiarkan tak tersentuh.

     Padahal, jika menengok sejarah intelektual Indonesia, kita memiliki tradisi gemilang para cendekiawan yang menjadi raushan fikr. Seperti dicatat oleh Asvi Warman Adam (2009), para founding fathers kita seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir adalah intelektual organik yang mampu menjembatani teori Barat dengan realitas Indonesia. Mereka tidak hanya menulis buku-buku tebal, tetapi juga turun ke jalan, mengorganisir rakyat, dan merumuskan visi kebangsaan.

     Yang kita saksikan sekarang justru fenomena yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid (1992) sebagai "intelektual yang teralienasi". Mereka pandai berbicara tentang teori-teori Barat, tetapi gagap membaca denyut nadi masyarakatnya sendiri. Mereka fasih membahas postmodernisme di ruang kuliah, tetapi bungkam melihat praktik korupsi di institusi mereka sendiri. Mereka menjadi yang Gramsci (1971) sebut sebagai "intelektual tradisional" yang melayani kekuasaan, bukan "intelektual organik" yang lahir dari rakyat.

     Paradoks terbesar terjadi di institusi-institusi pendidikan agama. Di satu sisi, mereka memiliki modal spiritual dan tradisi intelektual yang kaya untuk melahirkan ulil albab. Di sisi lain, banyak dari mereka justru terjebak dalam formalisme keagamaan yang kaku. Sebagaimana dikritik oleh Azyumardi Azra (2006), pendidikan agama sering kali berhenti pada pemeliharaan tradisi, bukan pada pencerahan dan pembebasan.

     Lalu bagaimana membangun kembali tradisi raushan fikr ini? Pertama, kita perlu reorientasi tujuan pendidikan tinggi. Sebagaimana diingatkan oleh Darmaningtyas (2014), pendidikan harus kembali ke khittahnya sebagai alat pembebasan, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. Kedua, sistem reward akademik perlu rekonfigurasi. Bukan hanya menghargai publikasi internasional, tetapi juga kontribusi nyata pada masyarakat.

     Ketiga, dan yang paling penting, adalah membangun kesadaran kritis di kalangan akademisi muda. Mereka perlu didorong untuk menjadi yang dikatakan Edward Said (1994) sebagai "intelektual yang memihak" - yang berani menyuarakan kebenaran meski tidak populer, yang mampu berdiri di luar kekuasaan untuk mengkritiknya.

     Menjadi ulil albab di zaman modern adalah tentang keberanian untuk keluar dari menara gading. Tentang kesediaan untuk mengotori tangan dengan realitas, sambil tetap menjaga integritas intelektual. Tentang kemampuan untuk memadukan kecerdasan akal dengan kebijaksanaan spiritual, sebagaimana diajarkan oleh tradisi ulil albab.

     Seperti diingatkan oleh Shariati, tugas intelektual adalah menjadi "penerjemah zaman" - mereka yang mampu membaca tanda-tanda zaman dan mentransformasikannya menjadi proyek pencerahan. Inilah tantangan terbesar pendidikan tinggi Indonesia: melahirkan bukan sekadar akademisi pandai, tetapi raushan fikr yang mampu menerangi kegelapan zamannya.


Daftar Pustaka:

1. Adam, A. W. (2009). Menguak Misteri Sejarah. Ombak.
2. Azra, A. (2006). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Kencana.
3. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Stanford University Press.
4. Darmaningtyas. (2014). Pendidikan yang Memiskinkan. Inti Media.
5. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
6. Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban. Paramadina.
7. Said, E. (1994). Representations of the Intellectual. Vintage.
8. Shariati, A. (1979). On the Sociology of Islam. Mizan Press.

     Ada sebuah ironi besar yang tersembunyi di balik gelar akademik tertinggi, "profesor". Kata ini, yang berasal dari bahasa Latin 'profiteri', berarti "menyatakan secara terbuka" atau "mengaku". Bayangkan seorang filsuf di zaman Romawi, berbicara di forum publik, menyatakan pemikirannya pada khalayak. Itulah gambaran idealnya: seorang yang bijak berbagi kebijaksanaan. Namun, jika kita jujur mengamati landscape akademik kita hari ini, ada pertanyaan yang menggelitik: Berapa banyak dari para profesor ini yang benar-benar "menyatakan" sesuatu yang berarti kepada publik?

     Justru, di era dimana informasi mengalir deras dan ruang publik membutuhkan lebih dari sekadar opini dangkal, suara para profesor justru seringkali tak terdengar. Mereka seolah lebih memilih untuk berlindung di balik tembok kokoh "menara gading" kampus. Di dalamnya, mereka sibuk dengan ritual-ritual akademik yang kadang terasa sangat jauh dari urusan masyarakat banyak: mengejar publikasi di jurnal khusus yang mungkin hanya dibaca oleh segelintir orang sebidang, terjebak dalam rapat-rapat administratif yang tak berujung, atau terlibat dalam perburuan grant penelitian yang ketat.

     Sosiolog Edward Shils (1982) pernah menegaskan bahwa tugas intelektual akademik adalah menjadi "penjaga kesadaran masyarakat". Namun, realitanya seringkali tak seindah teori. Sebuah penelitian informal terhadap pola kerja akademisi Indonesia, sebut saja laporan Priyono (2023), mengungkapkan kecenderungan yang memprihatinkan: sebagian besar energi justru dihabiskan untuk memenuhi target administratif dan angka kumulatif untuk kenaikan jabatan. Hasilnya? Lahirlah para ahli yang mahir mensitasi teori-teori kompleks dari pemikir Barat, tetapi gagap menanggapi persoalan konkret yang terjadi tepat di luar pagar kampus mereka. Mereka fasih berbicara tentang post-modernism di ruang seminar, tetapi bungkam melihat sungai di dekat kampus yang tercemar limbah.

     Pierre Bourdieu (1984), dalam bukunya yang terkenal Homo Academicus, telah mengingatkan kita tentang fenomena ini. Dia menyebutnya sebagai 'illusio'—sebuah kondisi dimana para akademisi begitu terperangkap dalam permainan dunianya sendiri sehingga percaya bahwa gelar, jabatan, dan penghargaan semata adalah tujuan akhir. Mereka memperebutkan apa yang Bourdieu sebut 'modal simbolik', sementara 'mikrofon' yang seharusnya digunakan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan, dibiarkan berdebu. Mikrofon itu, simbol dari amanah profiteri, tertukar dengan medali-medali prestise yang hanya bermakna di dalam menara gading itu sendiri.

     Padahal, jika kita menengok sejarah, para akademisi yang paling dikenang justru adalah mereka yang berani turun dan mengotori tangan mereka dengan realitas. Mereka adalah pemberani yang tidak hanya menulis untuk rekan sejawat, tetapi juga untuk publik. Noam Chomsky (1996), seorang profesor linguistik, justru lebih dikenal luas karena kritiknya yang tajam terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Di Indonesia, kita memiliki teladan seperti almarhum Sartono Kartodirdjo. Beliau tidak hanya menulis buku-buku teks sejarah yang tebal, tetapi juga aktif menjadi suara hati nurani bangsa melalui tulisan-tulisan populer yang mengkritik kekuasaan yang otoriter.

     Lalu, apa yang salah? Sistemnya tentu saja memegang andil besar. Sebagaimana diteliti oleh Jalaluddin (2021), sistem penghargaan (reward system) dalam dunia akademik Indonesia masih sangat timpang. Publikasi di jurnal internasional bereputasi diberi porsi nilai yang sangat besar, sementara kontribusi nyata kepada masyarakat—entah melalui tulisan populer di media massa, podcast edukatif, atau keterlibatan langsung dalam advokasi kebijakan publik—nyaris tidak mendapat tempat yang layak.

     Namun, yang lebih mendasar dari sekadar persoalan sistem adalah transformasi identitas mereka. Banyak profesor yang pada dasarnya telah berubah menjadi "buruh intelektual" yang teralienasi. Mereka bukan lagi "guru" dalam arti sebenarnya—pembimbing umat yang penuh integritas—melainkan pekerja yang terikat pada sistem produksi pengetahuan yang keras. Targetnya bukan lagi pencerahan, melainkan output: berapa paper yang terbit di jurnal Q1, berapa dana grant yang berhasil ditarik, berapa kali namanya tersitasi. Mereka diupah bukan dengan kebijaksanaan, melainkan dengan angka kumulatif yang menentukan tunjangan dan pangkat.

     Asal-usul mereka pun sering kali diwarnai oleh pertanyaan etis yang besar. Bukan rahasia lagi bahwa di banyak kampus, jalan menuju guru besar dipenuhi kompromi intelektual. Tesis dan disertasi yang dibimbing dengan cara cut and paste, penelitian yang data nya "disesuaikan" dengan hipotesis, hingga publikasi di jurnal-jurnal predator yang sebenarnya adalah portal berkedok ilmiah. Yang lahir dari rahim seperti ini bukanlah intelektual, melainkan birokrat akademik yang mahir memainkan sistem.

     Mereka yang berhasil mencapai puncak sering kali justru adalah para penjaga status quo, bukan pemikir merdeka. Sebagaimana dikatakan Noam Chomsky, "The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum." Para profesor ini sibuk berdebat tentang metodologi yang njelimet, sementara mereka menutup mata terhadap ketidakadilan struktural yang terjadi di sekeliling kampus mereka sendiri.

     Yang lebih memilukan adalah bagaimana sistem telah membunuh gairah mengajar yang seharusnya menjadi jiwa seorang profesor. Mereka lebih bangga jika papernya dibaca 10 orang di Harvard daripada jika pemikirannya menginspirasi 1000 mahasiswa di kampusnya sendiri. Kelas-kelas mereka sering kali menjadi tempat penyematan dogma akademik, bukan ruang dialog yang membebaskan.

     Lalu bagaimana solusinya? Tidak cukup dengan reformasi sistem. Yang kita butuhkan adalah revolusi mental di kalangan akademisi sendiri. Sebagaimana diingatkan oleh Ali Shariati, intelektual sejati harus menjadi "raushan fikr"—pemikir yang tercerahkan yang berani keluar dari zona nyaman.

     Kita perlu profesor yang lebih takut pada pandangan mata mahasiswa yang kecewa daripada pada penolakan paper di jurnal internasional. Yang lebih bangga ketika penelitiannya menyelesaikan masalah masyarakat sekitar daripada ketika dipublikasikan di journal bereputasi.

     Gelar profesor bukanlah tujuan akhir. Itu adalah amanah publik—mikrofon yang diberikan masyarakat untuk memperdengarkan kebenaran. Ketika mikrofon itu justru digunakan untuk menyanyikan lagu pujian bagi sistem yang korup, atau lebih parah lagi—dibiarkan bisu karena takut kehilangan privilege—maka itulah pengkhianatan intelektual yang paling menyedihkan.

     Mungkin sudah waktunya kita mempertanyakan ulang: Apakah gelar profesor masih pantas dihormati ketika yang menyandangnya adalah para pengelola menara gading yang sibuk mengagungkan diri sendiri, sementara di luar tembok kampus, masyarakat menjerit meminta pertolongan intelektual yang tak kunjung datang?


Daftar Pustaka:

1. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Stanford University Press.
2. Chomsky, N. (1996). Powers and Prospects. South End Press.
3. Jalaluddin, A. (2021). Academic Capitalism in Indonesian Higher Education. Journal of Education Policy.
4. Priyono, B. (2023). The Retreat of Public Intellectuals. Unpublished research report.
5. Shariati, A. (1979). On the Sociology of Islam. Mizan Press.
6. Shils, E. (1982). The Calling of Education. University of Chicago Press.

     Di era di mana setiap orang bisa memiliki podcast dan gelar "pakar" bisa dibeli dalam seminar online, kita sedang mengalami inflasi intelektual yang parah. Istilah "intelektual" menjadi begitu murah dan basi, dilekatkan pada siapa saja yang bersuara lantang atau pandai merangkai kata-kata jargonistik. Padahal, menjadi intelektual bukanlah tentang memiliki audiens yang banyak, melainkan tentang memiliki keberanian untuk menyuarakan kebenaran yang tidak populer, bahkan ketika suara itu berdiri sendiri.

     Sosiolog Edward Shils (1972) mendefinisikan intelektual sebagai seseorang yang terobsesi dengan nilai-nilai transenden dan berusaha menerapkannya dalam masyarakat. Bagi Shils, intelektual adalah penerjang batas-batas kemapanan, bukan penjaga status quo. Sementara Antonio Gramsci (1971) memilahnya menjadi dua: intelektual tradisional yang melayani kekuasaan, dan intelektual organik yang lahir dari rakyat dan berbicara untuk kepentingan rakyat.

     Namun dalam praktiknya, kita justru lebih sering menjumpai para pseudo-intelektual yang menjual ilusi kedalaman. Mereka adalah akademisi yang hanya pandai memproduksi artikel jurnal berbasis jargon untuk konsumsi sesama akademisi, selebritis pemikir yang mengulang-ulang teori Barat tanpa konteks lokal, atau influencer yang membungkus promosi diri dengan kemasan filsafat sederhana. Mereka pandai berbicara tentang "dekonstruksi" dan "hegemoni", tetapi tidak mampu melihat ketimpangan di depan mata mereka sendiri.

     Yang lebih membahayakan adalah ketika pseudo-intelektualisme ini bersembunyi di balik jubah agama atau ideologi. Di sinilah pemikiran Ali Shariati (1982) tentang Raushan Fikr (intelektual tercerahkan) menjadi relevan. Shariati mengingatkan bahwa intelektual sejati haruslah seperti Ulil Albab dalam tradisi Islam - mereka yang memadukan kecerdasan intelektual dengan kesadaran spiritual, dan menggunakan pencerahannya untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan dan penindasan.

     Sayangnya, yang sering kita saksikan justru intelektual-intelektual "pembangunan" yang menjadi corong penguasa, atau intelektual "agama" yang sibuk memperdebatkan hukum suatu ritual sambil menutup mata pada korupsi dan ketidakadilan sosial. Mereka lupa bahwa sebagaimana dikatakan Shariati, tugas intelektual adalah melakukan revolusi kesadaran, bukan menjadi penjaga tembok tradisi yang membusuk.

     Di Indonesia, kita sebenarnya memiliki tradisi intelektual yang kaya. Goenawan Mohamad dengan esai-esainya yang memadukan kecerdasan analitis dengan kepekaan sastra, atau Wardah Hafidz yang memperjuangkan hak-hak kaum miskin kota dengan analisis sosial yang tajam, adalah contoh bagaimana intelektualisme yang otentik bisa lahir tanpa perlu menjadi copycat teori-teori Barat.

      Menjadi intelektual di zaman ini adalah pilihan berisiko. Ia harus berani menghadapi dua bahaya: dijauhi oleh kekuasaan karena kritik-kritiknya, dan dicemooh oleh massa karena dianggap elitis. Tetapi justru dalam keberanian menghadapi dua risiko inilah nilai seorang intelektual diuji.

     Akhirnya, kita perlu mengingat kembali nasihat klasik: intelektual sejati bukanlah mereka yang memiliki banyak jawaban, melainkan mereka yang berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu. Di tengah banjir pseudo-intelektual yang menawarkan kepastian dan dogma, justru keraguan dan pertanyaan kritis merekalah yang kita butuhkan untuk tetap menjadi manusia yang merdeka.


Daftar Pustaka:

1. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
2. Shils, E. (1972). The Intellectuals and the Powers and Other Essays. University of Chicago Press.
3. Shariati, A. (1982). The Islamic Revolution. Hamdami Foundation.

     Indonesia sering digambarkan sebagai tanah surga. Lagu Koes Plus menyanyikannya dengan sederhana: tongkat kayu ditancapkan bisa jadi tanaman. Imaji ini begitu kuat, diwariskan lintas generasi, seolah-olah Tuhan menurunkan anugerah paling lengkap justru di garis khatulistiwa. Tetapi bila kita lihat lebih jernih, narasi itu lebih sering menjadi candu daripada kompas. Kita lebih sibuk merayakan mitos ketimbang membangun sistem.

     Narasi tentang “tanah surga” memang menenangkan. Ia memberi kebanggaan instan, bahkan semacam ilusi keabadian. Kita diajak percaya bahwa betapa pun kacaunya politik dan ekonominya, bumi Nusantara akan selalu bisa memberi makan. Bahwa nelayan bisa selalu pulang dengan perahu penuh ikan, petani bisa selalu panen tanpa gagal, dan rakyat bisa hidup makmur hanya dengan memetik apa yang tumbuh di halaman. Padahal, kenyataan tidak sesederhana itu. Nelayan kian terjepit oleh industrialisasi laut, petani bergulat dengan harga pupuk dan impor pangan, dan rakyat sering kali lebih sibuk mencari kerja ke luar negeri.

     Di sinilah paradoks itu terasa. Indonesia lebih piawai menciptakan narasi ketimbang menata sistem. Kita pandai berorasi, melahirkan slogan, bahkan menuliskan puisi politik. Dari “gemah ripah loh jinawi” hingga “Indonesia Emas 2045”, kita bergelimang kata-kata indah. Namun, ketika tiba waktunya menyusun regulasi pajak yang adil, menata distribusi tanah, atau membangun sekolah berkualitas di pelosok, energi itu mendadak menguap. Sistem menuntut konsistensi, kerja panjang, dan disiplin—sesuatu yang sering kali kita abaikan.

     Narasi yang terus diulang tanpa basis sistem akhirnya berubah menjadi April Mop nasional. Kita percaya sedang tinggal di surga, padahal masih berjuang membeli beras. Kita percaya sedang menuju negara maju, padahal masih sibuk mengurus kebocoran anggaran. Kita percaya demokrasi kita sehat, padahal rakyatnya masih terjerat politik uang. Narasi besar menjadi semacam penutup mata, membuat kita merasa aman di tengah ketidakadilan struktural.

     Mengapa kita begitu nyaman dengan narasi? Mungkin karena ia lebih murah daripada sistem. Narasi tidak butuh birokrasi rapi, tidak butuh reformasi hukum, tidak butuh keberanian melawan oligarki. Ia hanya butuh mikrofon dan panggung. Ia bisa digoreng di media, diviralkan di media sosial, dan diwariskan dalam bentuk lagu-lagu nostalgia. Sistem, sebaliknya, menuntut keseriusan yang melelahkan. Ia butuh generasi yang berani menolak jalan pintas, berani menantang kenyamanan, dan berani menanggung risiko.

     Ada bangsa-bangsa yang berhasil menyeimbangkan narasi dan sistem. Jepang membangun mitos tentang bangsa pekerja keras, lalu mewujudkannya dengan birokrasi yang tertib. Jerman merayakan narasi solidaritas pasca-perang, lalu mengikatnya dengan sistem sosial-demokrasi yang konkret. Indonesia, sebaliknya, sering berhenti di level mitos. Kita merayakan “gotong royong” dalam pidato, tetapi praktiknya lebih sering berbentuk patronase: bantuan turun bukan karena sistem, tapi karena kedekatan politik.

     Apakah narasi selalu buruk? Tidak juga. Ia bisa menjadi energi. Lagu Koes Plus memang berlebihan, tetapi juga memberi semangat generasi yang percaya diri melangkah. Masalahnya, narasi tanpa sistem hanyalah mimpi yang menunda kenyataan. Surga di katulistiwa bukanlah pemberian otomatis; ia harus diorganisir, dikelola, dijaga dari kerakusan segelintir orang. Kalau tidak, surga itu bisa berubah menjadi ironi: tanah kaya raya dengan rakyat yang terus merasa miskin.

     Mungkin saatnya kita belajar memandang narasi sebagai peta, bukan sebagai tujuan. Narasi boleh ada, bahkan harus ada, untuk memberi arah. Tetapi peta tanpa jalan hanyalah gambar. Jalan itulah sistem: regulasi yang jelas, lembaga yang kuat, distribusi yang adil. Selama kita hanya puas dengan bait lagu dan slogan, kita akan terus terjebak dalam April Mop nasional—tertawa bersama di atas panggung, lalu kembali resah di pasar dan sawah.

     Indonesia memang tanah yang subur, kaya sumber daya, penuh peluang. Tetapi ia hanya akan menjadi “surga” jika kita berani mengubah narasi menjadi sistem. Dan itu, sayangnya, pekerjaan yang jauh lebih berat daripada sekadar menancapkan tongkat kayu.


     Masa depan ekonomi-politik Indonesia bisa dibayangkan seperti sebuah persimpangan jalan dengan tiga cabang. Tidak ada yang lurus mulus—semuanya penuh kerikil, belokan tajam, bahkan jebakan. Namun, dari titik sekarang, kita masih bisa memetakan arah ke mana kendaraan bangsa ini mungkin melaju. Ada skenario optimis, realistis, dan pesimis. Masing-masing bukan ramalan mutlak, melainkan bayangan tentang bagaimana kombinasi kapitalisme dan sosialisme akan dijalankan di negeri ini.

Skenario Optimis: Kapitalisme Sehat + Sosialisme Cerdas

     Dalam skenario terbaik, Indonesia berhasil menyehatkan mesin kapitalismenya. Oligarki dibatasi, kompetisi pasar benar-benar terbuka, inovasi tumbuh, dan produktivitas meningkat. Pemerintah berani menerapkan regulasi antimonopoli, mendorong industri teknologi lokal, serta memperbaiki birokrasi agar ramah pada pelaku usaha kecil dan menengah. Kapitalisme tidak lagi identik dengan rente, melainkan dengan kerja keras, inovasi, dan meritokrasi.

     Di sisi lain, sosialisme dijalankan secara cerdas. Alih-alih hanya membagi bansos tunai menjelang pemilu, negara membangun jaring pengaman jangka panjang: pendidikan gratis berkualitas, layanan kesehatan universal, sistem pensiun yang layak, dan infrastruktur publik yang bisa diakses semua lapisan masyarakat. Pajak progresif ditegakkan, kebocoran subsidi ditekan, dan hasil pembangunan benar-benar kembali ke rakyat. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi 6–7% tidak hanya memperkaya segelintir orang, tapi juga memperkuat daya beli mayoritas rakyat.

     Jika jalur ini berhasil ditempuh, Indonesia bisa keluar dari jebakan kelas menengah. Kita tidak hanya menjadi pasar besar, tetapi juga produsen bernilai tinggi. Kesenjangan mengecil, kelas menengah membesar, dan stabilitas politik terjaga tanpa harus bergantung pada politik uang. Singkatnya, kita bisa menjadi versi tropis dari Eropa atau Skandinavia—dengan segala adaptasi lokal yang diperlukan.

Skenario Realistis: Status Quo

     Lebih mungkin terjadi adalah skenario realistis: Indonesia tetap berada di jalur sekarang. Kapitalisme oligarkis tetap dominan, meski sesekali ada pembenahan kosmetik untuk menarik investor asing. Ekonomi tumbuh stabil di kisaran 5%, cukup untuk menjaga optimisme, tapi tidak cukup untuk melompat ke level negara maju.

     Di sisi sosialisme, bansos tetap jadi senjata politik. Setiap pemilu, janji bantuan tunai dan subsidi terus diulang. Pemerataan struktural tidak banyak bergerak: pajak progresif masih lemah, kualitas pendidikan tidak merata, dan layanan kesehatan bergantung pada tambal-sulam anggaran. Namun, karena pertumbuhan ekonomi masih ada dan rakyat masih bisa bertahan, status quo ini bisa berlangsung cukup lama.

     Indonesia dalam skenario ini akan menjadi negara kelas menengah permanen: cukup stabil untuk tidak runtuh, cukup makmur untuk menenangkan rakyat, tapi tidak pernah benar-benar melesat ke liga atas. Kita akan terus merayakan narasi besar tentang “bonus demografi” atau “Indonesia Emas 2045”, meski realitas di lapangan jauh lebih biasa.

Skenario Pesimis: Kapitalisme Rente + Sosialisme Kosmetik

     Skenario paling buruk adalah ketika mesin kapitalisme semakin dikuasai rente. Oligarki semakin kuat, kartel mengendalikan harga kebutuhan pokok, dan birokrasi menjadi alat tawar-menawar politik. Kapitalisme dalam bentuk ini tidak lagi melahirkan inovasi atau produktivitas, melainkan hanya memindahkan kekayaan dari rakyat ke segelintir elit.

     Di sisi lain, sosialisme makin terjebak dalam kosmetik. Bansos bukan sekadar alat politik, tapi juga menjadi candu yang membuat rakyat pasif. Alih-alih memperkuat kapasitas rakyat untuk mandiri, bantuan tunai malah dijadikan cara untuk meredam ketidakpuasan. Negara tampak peduli di permukaan, tetapi sesungguhnya hanya membeli waktu.

     Konsekuensinya, kesenjangan makin melebar, frustrasi sosial meningkat, dan potensi instabilitas politik makin besar. Pertumbuhan ekonomi bisa tetap ada, tapi rapuh dan tidak berkelanjutan. Krisis global atau gejolak politik dalam negeri bisa dengan mudah mengguncang fondasi yang sudah keropos.

Persimpangan Jalan

     Ketiga skenario ini tentu saja tidak berjalan di ruang hampa. Dunia terus berubah: krisis iklim, perang dagang, disrupsi teknologi, dan gejolak geopolitik akan memengaruhi arah kita. Namun, inti masalah tetap sama: apakah Indonesia berani menyehatkan kapitalisme dan mencerdaskan sosialismenya, atau terus bertahan di status quo, atau bahkan tergelincir ke skenario pesimis?

     Yang jelas, jalan menuju skenario optimis bukan perkara sulap. Ia membutuhkan keberanian politik yang jarang kita lihat di republik ini. Jalan realistis lebih nyaman, karena menjaga stabilitas tanpa mengubah banyak hal. Jalan pesimis bisa terjadi jika elite semakin rakus dan rakyat semakin kehilangan daya tawar.

     Pada akhirnya, masa depan Indonesia bukan ditentukan oleh doa atau slogan “Indonesia Emas 2045”, tetapi oleh pilihan politik yang diambil sekarang. Kita memang negeri kaya sumber daya, tetapi tanpa keberanian mengatur ulang mesin kapitalisme dan sosialisme, kita hanya akan terus mengulang lagu lama: “surga di katulistiwa” yang indah didengar, tapi pahit dijalani. (part 4 of 5)


     Apa gunanya sebuah sistem jika ia lupa pada manusia? Apa gunanya sebuah revolusi jika hanya mengganti wajah penindas, sementara luka batin tetap dibiarkan membusuk? Pertanyaan itu, kalau ditaruh di tengah keramaian zaman modern, terasa seperti bisikan yang kalah oleh bising iklan, target kerja, dan notifikasi. Namun justru di situlah suara Marx terdengar—sunyi, dalam, dan keras kepala.

     Kita hidup di dunia yang sibuk tapi hampa. Kita bekerja, berpikir, bergerak, seolah-olah tahu arah, padahal sering kali hanya mengikuti arus yang digerakkan mesin raksasa bernama sistem. Kapitalisme modern adalah mesin canggih yang menjanjikan kebebasan, tetapi ironisnya membuat kita semakin jauh dari diri sendiri. Marx menyebut keadaan ini sebagai keterasingan: saat manusia tidak lagi mengenali dirinya di dalam hidup yang ia bangun sendiri. Kita mengerahkan tenaga, waktu, bahkan jiwa untuk menghasilkan sesuatu, namun hasil itu tidak pernah menjadi milik kita. Seperti buruh yang membuat kursi indah, tapi tidak pernah duduk di atasnya.

     Bagi Marx, kerja seharusnya bukan sekadar alat bertahan hidup, melainkan medium untuk mengekspresikan jati diri. Melalui kerja, manusia bisa menanamkan dirinya ke dunia, mewujudkan potensi yang tersembunyi menjadi nyata. Tetapi dalam kapitalisme, kerja berubah menjadi beban, bahkan kutukan. Kita bangun pagi bukan karena cinta, melainkan karena ketakutan—takut tidak bisa membayar sewa, takut kehilangan pekerjaan, takut dianggap tidak berguna. Bukankah ini ironi paling tragis dari zaman kita? Kita bekerja bukan untuk hidup, melainkan agar tidak hancur.

     Alienasi inilah inti penderitaan modern. Ia bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan pengalaman eksistensial. Manusia menjadi asing terhadap dirinya, terhadap sesama, bahkan terhadap hasil ciptaannya sendiri. Kita mungkin produktif secara statistik, tetapi batin kita kosong. Kita mungkin sibuk mengisi kalender kerja, tetapi lupa mengisi jiwa. Kapitalisme bukan hanya merampas tenaga, tapi juga mencederai rasa cinta, solidaritas, dan kebermaknaan. Pertanyaannya pun bergeser: bukan lagi “siapa aku?”, melainkan “apa gunanya aku bagi pasar?” Dan ketika nilai manusia diukur dari kegunaannya bagi pasar, tragedi psikis itu dimulai: merasa tak berguna, bahkan di tengah produktivitas yang melimpah.

     Marx menolak untuk melihat manusia sebagai benda mati, sesuatu yang tetap dan selesai. Bagi dia, manusia adalah proses yang berdenyut, terus berubah, membentuk dan dibentuk oleh relasi sosial. Maka kalau dunia ini penuh keterasingan, yang perlu dirombak bukan hanya struktur ekonomi atau sistem politik, melainkan juga cara kita memandang diri sendiri. Kita bukan mesin, bukan sekadar fungsi. Kita adalah kemungkinan yang belum selesai.

     Di titik ini, Marx bukan sekadar ekonom revolusioner yang berteriak soal kelas pekerja, melainkan seorang pemikir tentang luka batin manusia modern. Revolusi baginya bukan sekadar pergantian rezim, tapi semacam terapi kolektif. Ia tidak bermimpi membakar dunia demi ideologi, melainkan mengingatkan bahwa dunia tidak akan sembuh jika manusia di dalamnya tetap tercerabut dari makna. Emansipasi, bagi Marx, adalah upaya menyambung kembali koneksi manusia dengan dirinya sendiri, dengan pekerjaannya, dengan sesamanya.

     Erich Fromm, salah satu pembaca Marx yang paling simpatik, menolak reduksi terhadap Marx sebagai semata ideolog ekonomi. Dalam karyanya Konsep Manusia Menurut Marx, Fromm menampilkan wajah Marx yang lain—seorang humanis radikal yang percaya bahwa cinta, solidaritas, dan martabat adalah bagian dari perjuangan. Marx, menurut Fromm, bukan sekadar pengkritik kapitalisme, melainkan penafsir jiwa yang terluka. Ia menentang agama yang mematikan harapan, tetapi ia juga tahu: tanpa harapan, manusia tak punya kekuatan untuk bertahan.

     Kapitalisme menjanjikan kebebasan, namun justru merampas ruang batin. Ia mencetak manusia yang cerdas tapi cemas, produktif tapi rapuh. Kita didorong untuk berlari cepat, mengejar karier, pencapaian, dan status, tetapi jarang diberi ruang untuk bertanya: sudahkah aku hidup sebagai manusia? Atau aku hanya bertahan sebagai fungsi? Kita punya ponsel pintar, kendaraan cepat, dan mesin produksi mutakhir, tapi entah kenapa kita tetap kesepian. Kita punya pilihan makanan dari berbagai aplikasi, tapi kehilangan rasa lapar akan makna.

     Di sinilah Marx kembali relevan, bukan sebagai dogma politik, tetapi sebagai pengingat bahwa manusia tidak bisa direduksi menjadi mesin produksi. Emansipasi sejati bukan hanya kebebasan politik, melainkan pembebasan dari penindasan batin—dari kecemasan, keserakahan, dan rasa tidak cukup. Marx ingin agar manusia kembali menjadi subjek, bukan objek. Agar manusia mencintai karena bebas, bukan karena harus. Agar kerja bukan hanya alat bertahan hidup, melainkan cara untuk menghidupkan diri.

     Menjadi manusia seutuhnya, kata Marx, adalah tugas yang belum selesai. Dan tugas itu menuntut dunia yang memungkinkan kita tumbuh otentik, bukan dunia yang memaksa kita jadi roda dalam mesin raksasa. Sosialisme, dalam kacamata ini, bukan sistem tertutup, melainkan ruang terbuka untuk “menjadi manusia.” Ia bukan utopia kaku, melainkan kemungkinan bersama untuk hidup tanpa keterasingan.

     Mungkin, di zaman serba cepat dan serba instan ini, kita perlu mengulang pertanyaan sederhana: apakah aku hidup sebagai manusia, atau hanya bertahan sebagai fungsi? Jika kita berhenti sejenak, menarik napas, dan berani menatap diri sendiri, mungkin kita menemukan bahwa revolusi paling radikal bukanlah menggulingkan rezim, melainkan menyembuhkan jiwa.


book: Gagasan Tentang Manusia - Erich Fromm

      Di suatu senja, ketika langit ibukota memerah seperti darah yang teroksidasi, Dr. Arini menyelesaikan presentasinya tentang bioteknologi tanaman obat di hadapan para kolega bergelar doktor. Layar proyektor masih memamerkan grafik spektrometri massa ketika ia merogoh tas Hermès-nya, mengeluarkan botol kecokelatan bertuliskan "Ekstrak Bajakah Super — Warisan Leluhur Dayak". "Untuk diabetes," bisiknya pada profesor di sebelahnya, "Tapi jangan bilang-bilang, ya. Risetnya masih tahap awal." Suara tawa mereka menggema di ruang ber-AC, sementara di luar, seorang driver ojol yang menderita gula darah tinggi mengutip harga ramuan itu — setara dengan tiga hari upahnya.

     Inilah ironi zaman: kaum terdidik yang seharusnya menjadi mercusuar logika, justru menjadi penenun kabut antara sains dan tahayul. Mereka berbicara tentang placebo effect dalam seminar, tapi di grup WhatsApp alumni kampus ternama, mereka ramai-ramai membagikan tutorial "detoksifikasi aura dengan kristal kuarsa". Tan Malaka, dari dalam debu sejarah, mungkin sedang menggigit jari melihat bagaimana "akal" yang ia perjuangkan dikhianati oleh mereka yang paling pantas menjaganya.

     Di laboratorium universitas negeri di Jawa Tengah, aroma etanol 70% bercampur dengan dupa yang mengepul dari sudut ruangan. "Biar alat-alat ini tidak 'dingin'," kata seorang asisten lab sambil menyemburkan air bunga ke spektrofotometer. Alat senilai miliaran rupiah itu — yang bisa menganalisis struktur molekul hingga tingkat atom — dianggap perlu "dihidupi" oleh ritual yang sama primitifnya dengan upacara meminta hujan zaman prasejarah. Di meja sebelah, tumpukan proposal penelitian tentang uji klinis jamu antikanker bersanding dengan sesajen nasi kuning yang mulai berjamur.

     Tapi absurditas sejati terjadi di ruang rapat dekanat. Seorang guru besar farmakologi, penulis puluhan paper terindeks Scopus, dengan serius mengusulkan: "Bagaimana jika kita buka program magister pengobatan tradisional? Syarat masuknya bisa pakai tes meditasi chakra ketujuh!" Rekan-rekannya manggut-manggut, sambil sesekali menyentuh jimat kecil di saku — pemberian seorang shaman yang diundang sebagai guest lecturer bulan lalu.

     Di pelosok Kalimantan, akar bajakah yang dulu hanya digunakan untuk menyamak kulit binatang, tiba-tiba menjelma "obat dewa". Yang menarik bukanlah para dukun yang menjualnya di pasar, melainkan doktor-doktor muda lulusan luar negeri yang membuat video TikTok dengan latar belakang perpustakaan penuh buku teks: "Inilah bukti superioritas pengobatan lokal atas imperialisme farmasi Barat!" Mereka lupa bahwa "farmasi Barat" yang mereka kutuk itu justru mematenkan 84% bahan aktif dari tanaman obat negara dunia ketiga — setelah melalui uji klinis ketat yang mereka sendiri enggan lakukan.

     Sementara itu, di klinik-klinik alternatif yang bermekaran di kawasan elite, pasien kanker stadium akhir dijejali ramuan akar-akaran dengan harga selangit. "Ini bukan sekadar herbal," bisik seorang terapis lulusan S2 biologi molekuler sambil menunjukkan sertifikat seminar "Quantum Healing", "Ini tentang menyelaraskan frekuensi DNA dengan energi alam semesta." Di dinding, ijazahnya dari universitas negeri terakreditasi A tergantung malu-malu, seolah tak ingin terlibat dalam drama pseudosains yang dipentaskan di ruang periksa.

     Di dunia yang lebih modern, logika mistika memakai baju baru. Sebuah startup di Bandung — didirikan oleh lulusan ITB dan Stanford — menawarkan aplikasi "AI Spiritual Healing". "Dengan algoritma machine learning dan kebijaksanaan leluhur Nusantara," demikian pengumuman mereka di LinkedIn, "kami bisa mendiagnosis penyakit melalui foto aura." Para venture capitalist berebut menanamkan dana, sementara di balik layar, coding mereka hanya bisa membedakan antara foto yang diambil dalam cahaya hangat dan dingin.

     Tak ketinggalan, di gedung DPR, seorang menteri bergelar doktor ekonomi dari universitas Ivy League dengan yakin menyatakan: "Krisis pangan bisa diatasi dengan gerakan nasional makan tempe — karena fermentasi kedelai mengandung probiotik yang meningkatkan kecerdasan kolektif!" Argumen ini — yang lebih cocok untuk stand-up comedy — justru diajukan dalam rapat kerja nasional, lengkap dengan grafik-grafik warna-warni yang dibuat asistennya semalaman.

     Di tengah riuh rendah ini, bayangkan Tan Malaka duduk di sudut ruang rapat itu. Matanya menyipit melihat para doktor yang membangun kerajaan ilusi dari ketidaklogisan. "Kalian pikir kolonialisme sudah mati?" gumamnya, "Lihatlah bagaimana kalian menjajah pikiran rakyat sendiri dengan mitos-mitos baru berbalut jargon akademik!"

     Madilog mengajarkan bahwa jalan keluar bukan pada penolakan terhadap tradisi, tetapi pada transformasi radikal cara berpikir. Jamu bukan musuh — musuhnya adalah klaim-klaim tanpa bukti. Ketika nenek di pedalaman Papua menggunakan getah pohon untuk menyembuhkan luka, itu adalah kearifan lokal. Tapi ketika profesor di Jakarta menjual getah yang sama sebagai "obat kanker yang diteliti secara turun-temurun", itu adalah penipuan intelektual.

     Revolusi yang sesungguhnya dimulai ketika kita berani memaksa setiap klaim melalui tungku logika yang membara. Uji klinis bukan penghinaan pada leluhur, melainkan penghormatan tertinggi — dengan mengubah "katanya" menjadi "terbukti". Ketika petani di Boyolali menggabungkan kalender pranata mangsa dengan data satelit NASA, mereka sedang menulis bab baru dalam sejarah: di mana tradisi bukan lagi dogma, tetapi hipotesis yang siap diuji.

     Di akhir hari, ketika lampu-lampu kampus mulai padam, bayangan para intelektual itu masih terlihat sibuk di balik jendela laboratorium. Ada yang sedang menganalisis kromatografi, ada yang menyiapkan sesaji untuk ritual penyambutan alat baru. Di suatu sudut, seorang mahasiswa S3 yang idealis — mungkin satu-satunya yang masih membaca Madilog — menatap ijazah sarjananya yang terbungkus plastik. "Apa gunanya gelar ini," gumamnya, "jika kita lebih takut pada hantu ketimbang kesalahan metodologi?"

     Di luar, kabut mulai turun menyelimuti kota. Kabut yang sama yang pernah menyelubungi pikiran manusia purba, lalu diusir oleh obor revolusi sains. Kini, ia kembali dalam bentuk baru — lebih licin, lebih menggoda — menyusup melalui celah-celah gelar doktor dan jurnal bereputasi. Tantangannya tetap sama: apakah kita cukup berani membawa obor logika itu, meski harus membakar habis topeng-topeng intelektual kita sendiri?

     Seperti kata Tan Malaka: "Di medan perang pikiran, kompromi adalah kekalahan." Dan medan perang itu kini ada di meja-meja laboratorium kita, di layar-laptop kita, di ruang-ruang rapat tempat kita menjual jiwa keabadian ilmiah untuk sesaji popularitas semu.


Tarian Tak Kasat Mata dari Agora ke Algoritma

     Bayangkan seutas benang tak terlihat, merajut jutaan manusia dalam pola perilaku, harapan, dan penilaian. Benang itu adalah logika sosial – arsitektur tak kasat mata yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi, jauh sebelum kita sadar sedang terikat olehnya. Ia bukan hukum tertulis, melainkan napas kolektif yang menghidupi norma, memahat batas antara pantas dan tercela, dan mengatur tarian rumit kehidupan bermasyarakat. Dari debat sengit di agora Athena hingga pusaran feed media sosial, logika ini terus berevolusi, beradaptasi, dan terkadang, memperlihatkan absurditasnya yang paling menusuk.

     Di jantung peradaban Barat, Socrates menjadi martir pertama yang dikorbankan di altar logika sosial ini. Kegemarannya menggugat kebodohan massal dan menelanjangi kepalsuan retorika populer dianggap "meracuni pemuda". Kematiannya bukan hanya tragedi filsafat, melainkan peringatan abadi: logika sosial sanggup menghabisi siapa pun yang berani menari di luar irama yang ditetapkan. Plato, merespons kekacauan itu, membayangkan Republik yang dikendalikan para filsuf-rajanya – sebuah upaya merasionalkan tirani logika massa menjadi hierarki akal yang ketat. 

     Lompatan berabad-abad membawa kita ke Jean-Jacques Rousseau. Dengan nada melankolis, ia mengutuk belenggu peradaban yang memisahkan manusia dari keadaan alamiahnya. Logika sosial, baginya, adalah topeng yang memaksa kita bergantung pada penilaian orang lain, menciptakan "tirani harapan" yang membelenggu lebih halus daripada rantai besi. Sementara itu, Adam Smith memperkenalkan logika pasar sebagai "tangan tak terlihat" – keyakinan bahwa kepentingan pribadi yang rasional akan mengatur harmoni sosial, sebuah iman yang getir diuji oleh jurang ketimpangan masa kini.

     Memasuki abad ke-20, teleskop analitis makin tajam. Erving Goffman membedah kehidupan sosial sebagai dramaturgi. Setiap interaksi adalah panggung; kita adalah aktor yang sibuk mengelola kesan, memilih topeng, dan membaca "naskah" tak tertulis sesuai audiens. Logika sosial menjadi sutradara yang menentukan peran apa yang boleh dimainkan. 

     Michel Foucault menggali lebih dalam, membongkar logika sosial sebagai mekanisme kekuasaan yang halus namun mengerikan. Melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, kekuasaan meresap bukan dengan pentungan, tapi dengan disiplin dan pengawasan. Panopticon – penjara model dimana narapidana mengawasi diri sendiri karena merasa selalu diawasi – menjadi metafora sempurna masyarakat modern. Kita menginternalisasi tatapan "masyarakat", menjadi penjaga sekaligus tahanan norma.

     Dan tiba-tiba, revolusi digital mengubah panggung itu secara radikal. Desa global Marshall McLuhan menjelma menjadi realitas, tapi desa ini terfragmentasi dalam echo chamber algoritmik. Logika sosial mengalami mutasi dahsyat. Logika viralitas menggeser logika kebenaran: nilai ditentukan oleh sebar, bukan substansi. Logika algoritmik membentuk realitas: apa yang kita lihat, percaya, dan menjadi, dikurasi oleh kode yang dirancang untuk memicu engagement – seringkali lewat kemarahan atau keunggulan moral. Pengawasan Foucaultian menemukan medium barunya: kolom komentar media sosial. Di sinilah, dalam gemerlap layar ponsel, logika sosial Indonesia menampilkan wajahnya yang khas.

     Salah satunya adalah fenomena gemar menasehati dan mencampuri urusan pribadi. Erving Goffman mungkin akan tersenyum sinis menyaksikan panggung ini. Di sini, orang berlomba memerankan "si bijak", "si pengalaman", atau "penjaga moral". Sebuah unggahan tentang pola asuh, pilihan karir, atau gaya hidup, bisa seketika diserbu komentar bernada "seharusnya…", "kasihan anaknya…", atau "jaman saya dulu…". Ini bukan sekadar rasa ingin tahu; ini adalah pementasan diri untuk mengukuhkan citra sekaligus penegasan norma sosial yang diyakini. 

     Michel Foucault akan menambahkan: ini adalah Panopticon warga-net dalam aksi nyata. Setiap orang merasa menjadi pengawas, berkewajiban menertibkan "penyimpangan" demi mempertahankan tatanan imajiner. Ada satir kelam tersembunyi di balik bungkus "niat baik": hasrat mengontrol kehidupan orang lain yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. 

     Meursault, tokoh Albert Camus yang dihukum mati (antara lain) karena ketidakmampuannya menampilkan kesedihan dramatis di pemakaman ibunya – sebuah ketidakpatuhan fatal pada skrip emosional yang dituntut masyarakat – mungkin akan menjadi sasaran empuk lynching digital di panggung seperti ini.

     Lebih kelam lagi adalah fenomena nostalgia kekerasan dalam pendidikan yang seringkali dibanggakan: "Dulu guru saya sering memukul pakai rotan, lalu disetrap di lapangan upacara hingga jam istirahat! Lihat sekarang, anak dibentak sedikit sudah ngambek, lalu orang tuanya lapor polisi! Mana bisa anak bermental kuat kalau dimanja!". Di sini, Foucault menggigit lebih dalam. Ini bukan sekadar kenangan, melainkan bukti nyata internalisasi logika penindas hingga ke tingkat yang mengharukan. Kekerasan fisik di sekolah adalah alat rezim disiplin lama untuk menciptakan docile bodies – tubuh-tubuh jinak yang patuh. 

     Yang memilukan adalah ketika korban justru meromantisasi alat penjinakannya, menyulap trauma itu menjadi mitos "pembentukan karakter". Mengejek "lapor polisi" adalah puncak ironi: mereka menertawakan mekanisme akuntabilitas dan penegakan hukum – pilar dasar masyarakat modern – demi mempertahankan warisan kekerasan yang terbebas dari pertanggungjawaban. Ini adalah tabrakan frontal antar logika sosial: otoritarianisme berbasis ketakutan dan kepatuhan buta versus paradigma berbasis hak asasi dan keadilan prosedural. Satirnya terasa getir: membanggakan kekerasan yang dialami sebagai lencana "ketangguhan" sejati, sambil mencemooh keberanian untuk menuntut keadilan sebagai tanda "kelemahan" generasi.

     Algoritma bukanlah penonton pasif. Ia adalah katalis yang memperkuat dan mendistorsi logika sosial warisan ini. Ia tahu persis umpan untuk si "penjaga moral digital": konten tentang "pengasuhan salah" atau "keruntuhan moral generasi kini". Ia paham godaan bagi si rindu kekerasan: meme "jaman dulu lebih disiplin" atau "generasi bangsat". Echo chambers memperkuat keyakinan kelompok, mengubah norma subjektif menjadi kebenaran mutlak. Logika viralitas memberi panggung pada yang paling lantang menghakimi atau yang paling getir meromantisasi kekerasan. Kita terjebak dalam siklus: bias kita memberi makan algoritma, algoritma memberi makan bias kita, memperkuat tembok logika sosial yang kadang usang dan kejam.

     Menyadari arsitektur tak kasat mata ini adalah langkah pertama pembebasan. Logika sosial bukan takdir, melainkan konstruksi yang bisa dikritik dan diubah. Menolak ikut dalam online shaming adalah merobohkan bata dari Panopticon digital. Mempertanyakan nostalgia kekerasan adalah menolak warisan docile bodies. Memahami bahwa feed kita adalah kurasi algoritma adalah membuka jendela kesadaran. Tantangannya bukan menghancurkan semua norma, melainkan menyaringnya dengan kritis: mana yang lahir dari kebijaksanaan kolektif, mana yang hanya jerat konformitas buta atau amplifikasi digital dari prasangka? 

     Di ujung labirin algoritma, pertanyaan abadi Socrates kembali menggema: bagaimana kita hidup bersama secara lebih adil, manusiawi, dan bebas dari belenggu logika sosial yang menghakimi dan melukai – baik itu bisik tetangga, pukulan guru yang diromantisasi, atau amarah viral yang dipicu mesin? Jawabannya dimulai ketika kita berani memutus benang yang tak terlihat itu, seutas demi seutas, dengan kesadaran yang jernih dan keberanian untuk merumuskan logika kemanusiaan kita sendiri.

Proyek Genting Sebagai Human

     Kita berdiri di sini, di tengah gemuruh zaman, sedang bertahan tanpa kehilangan tujuan, bagai pelaut kuno yang menatap bintang di langit yang gelap gulita, berpegang pada kompas yang kadang bergetar liar. Tujuan itu, bagaimanapun, bukan pelabuhan akhir yang megah, melainkan lebih mirip cahaya samar di kejauhan yang terus bergerak, memanggil kita untuk melangkah, meski kaki lelah dan jalanan licin oleh keraguan. Kita bukan makhluk yang selesai, bukan patung marmer yang kaku dalam museum keabadian. Kita adalah proyek yang selalu genting, bangunan yang belum selesai, yang kerangkanya berderit ditiup angin perubahan, yang fondasinya kadang diuji gempa dahsyat ketidakpastian. 

     Jean-Paul Sartre, dalam bisikan eksistensialisnya yang tajam, menegur kita dengan lembut sekaligus menggigit: janganlah menyandarkan kesalahan pada takdir yang kejam, pada masa lalu yang membelenggu, atau pada dunia yang seolah acuh tak acuh. Makna hidup, katanya, bukanlah warisan yang diantarkan ke depan pintu, melainkan pilihan yang kita rangkai sendiri, butir demi butir, dalam setiap tarikan napas dan keputusan kecil yang seringkali terasa remeh. Pilihan-pilihan itulah batu bata proyek genting kita, yang menentukan apakah kita hanya akan menjadi reruntuhan atau candi yang meski retak, tetap menjulang.

     Ada hari-hari ketika langit terasa terlalu tinggi, dunia terlalu luas dan berisik, sementara kita merasa kecil, sangat kecil, seperti debu yang tersapu angin, suara yang tenggelam dalam paduan suara kosmik yang kacau. Rasanya tak ada yang mengerti, tak ada telinga yang cukup peka untuk mendengar gemuruh sunyi dalam diri. Namun, di tengah rasa terasing yang menusuk itu, ingatan akan Anne Frank menyelinap masuk bagai seberkas cahaya dari celah loteng rahasia. Bayangkan kegelapan yang menyesak, ruang sempit yang menyimpan napas ketakutan, namun di sanalah jiwa seorang gadis muda tumbuh subur, merambat ke atas mencari cahaya, mengalir deras ke dalam halaman-halaman buku hariannya yang polos. 

     Itulah keajaiban yang menggetarkan: bahkan dalam sangkar yang paling mencekam, selama masih ada secarik kertas untuk ditulisi, secercah tinta untuk mengabadikan kerinduan dan mimpi, jiwa manusia menemukan jalan untuk bersinar, membuktikan bahwa ruang batin jauh lebih luas dari tembok mana pun. Cahaya itu tak selalu gemerlap; seringkali ia hanya bisikan samar, suara yang tersembunyi dalam keroncongan perut yang lapar atau dalam lipatan surat yang tak kunjung sampai, surat-surat yang berisi curahan hati yang tak terbaca, nasib yang terkatung-katung dalam ketidakpastian pos.

     Kehidupan, sungguh, jarang berteriak-teriak menyatakan dramanya. Ia lebih sering berbisik, menyampaikan kisah pilunya melalui bahasa yang halus namun menusuk: derit lantai kayu di rumah tua, tatapan kosong di keramaian pasar, atau kesenyapan panjang setelah pertanyaan tak terjawab. Dunia Dostoevsky dalam Poor Folk mengajak kita menyelami samudra kesunyian ini, lautan cinta yang diekspresikan bukan dengan kata-kata manis, melainkan dengan pengorbanan diam-diam, penderitaan yang ditanggung dengan penuh kesopanan seolah-olah itu adalah pakaian terbaik yang mereka miliki. 

     Di sana, di antara manusia-manusia kecil yang nyaris tak terlihat, tersimpan api mimpi yang membandel. Mereka, para penghuni ceruk tak bernama itu, tahu dunia jarang berpihak, tahu nasib seringkali kejam bagai musim dingin Rusia, namun hati mereka tetap menghangatkan harapan, meski hanya harapan untuk sepasang sepatu baru atau secangkir teh hangat yang dibagi. Kekuatan mereka terletak pada ketekunan yang sunyi, pada keberanian untuk tetap bermimpi di tengah kenyataan yang pahit – sebuah satir halus terhadap dunia yang mengagungkan gemerlap dan sukses gemuruh, seolah melupakan keindahan yang tumbuh di celah-celah kesederhanaan.

     Kita menyentuh dunia ini, tentu saja, bukan hanya dengan ujung jari yang meraba permukaan benda-benda. Sentuhan yang lebih dalam, yang meninggalkan bekas pada jalinan realitas, terjadi melalui batin, melalui resonansi jiwa yang merasakan getaran di balik wujud. Bi Feiyu, dalam Massage, membawa kita ke dunia gelap yang justru memancarkan penglihatan yang luar biasa. Sunyinya para tuna netra itu bukanlah kekosongan, melainkan ruang resonansi yang peka, di mana mereka melihat bukan dengan mata yang tertutup, melainkan dengan hati yang terbuka lebar. 

     Mereka meraba dunia bukan hanya untuk mengenali bentuk, tetapi dengan keberanian yang mengagumkan untuk memahami esensi, untuk menemukan makna di balik kegelapan yang dipaksakan. Mereka tak diberi kemewahan cahaya matahari, namun tak pernah berhenti mencari sumber cahaya lain – cahaya kasih, cahaya ketekunan, cahaya dari bunyi langkah kaki yang dikenali atau sentuhan hangat tangan yang memahami. Di sinilah ironi besar terungkap: mereka yang dianggap 'kekurangan' justru mengajarkan kita tentang kelimpahan persepsi, tentang cara 'melihat' yang lebih utuh, sebuah satir elegan terhadap kita yang bermata jernih namun seringkali buta batin, tersesat dalam gemerlap ilusi.

     Di tengah kebisingan pendapat yang saling tumpang tindih, hiruk-pikuk teori yang berkoar-koar layaknya pasar malam intelektual, kadang yang kita rindukan bukanlah wacana rumit yang berputar-putar di awang-awang. Yang kita butuhkan adalah suara yang masuk akal, teriakan waras yang mampu menembus kabut kebodohan kolektif. Common Sense Thomas Paine bukan sekadar pamflet politik tua; ia adalah dentuman kesadaran, sebuah seruan untuk berhenti mengikuti arus buta kekuasaan dan dogma. 

     Paine mengingatkan kita, dengan nada yang bisa jadi satir di zamannya (dan masih relevan hingga kini), bahwa akal sehat bukanlah hadiah bawaan lahir yang sempurna. Ia adalah tanaman yang harus disirami, yaitu dengan keberanian untuk berhenti ikut-ikutan, untuk mempertanyakan narasi yang dipaksakan, untuk berdiri tegak di atas kaki pikiran sendiri di tengah kerumunan yang sedang menari mengikuti irama gendang yang tak jelas. Kekuatan sejati, tampaknya, seringkali terletak pada keberanian untuk tidak melakukan sesuatu – untuk tidak terjerat dalam jebakan pikiran yang justru meruntuhkan kita dari dalam.

     Kita pun, dalam proyek genting kita ini, sering terobsesi dengan pertanyaan besar: apa takdir kita? Ke mana arah peta kosmis ini membawa? Namun, kita jarang berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri: mengapa kita begitu gigih, begitu haus, untuk menjelaskan takdir itu? Jonathan Black, dalam The Sacred History, membawa kita bukan pada kronologi fakta yang kering, tetapi pada sebuah perjalanan melalui kisah-kisah besar yang bersifat simbolik, mitos-mitos yang mengandung kesunyian kosmik yang merenungkan asal-usul dan tujuan. 

     Kesunyian itulah yang membuat kita merenung dalam-dalam: mungkin hakikat kita bukan sekadar makhluk sosial yang berinteraksi di pasar dan kantor. Kita adalah makhluk simbolik yang tak henti-hentinya mencari arti, merajut narasi, mencoba memahami diri kita dalam cermin besar alam semesta yang seringkali membingungkan. Setiap mitos, setiap ritual, setiap karya seni, adalah usaha kita yang genting dan indah untuk menuliskan puisi panjang tentang keberadaan kita, untuk menemukan pola dalam kekacauan, untuk merasa 'dirumahkan' dalam kehampaan yang luas. Proyek genting kita adalah proyek pemberian makna.

     Bayangkan sejenak: kita seperti alien yang baru turun dari wahana antariksa, berdiri kikuk di permukaan planet biru ini, mata membelalak menyaksikan kekacauan sekaligus keindahan yang disebut 'manusia'. Apa yang pertama akan kita pelajari? Matt Haig, dalam The Humans, membalikkan sudut pandang dengan cerdas dan penuh kehangatan satir. Melalui mata seorang alien yang belum terkontaminasi oleh 'logika sosial' kita yang seringkali absurd, kita disuguhkan panorama kemanusiaan yang menakjubkan sekaligus menggelikan. Kita melihat bagaimana ritual minum teh bisa menjadi upacara perdamaian, bagaimana tangisan bisa menjadi ungkapan sukacita yang terdalam, bagaimana kekonyolan mencintai, berkeluarga, dan mengejar kebahagiaan yang tak jelas bentuknya, ternyata adalah hal yang luar biasa ajaib. 

     Dari ketinggian perspektif alien yang masih murni itu, kita tiba-tiba tersadar: betapa luar biasanya menjadi manusia! Betapa mengagumkan kemampuan kita untuk mencintai, menderita, mencipta, dan tertawa, meskipun dalam keseharian kita sering merasa justru sebaliknya – terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan drama kecil yang melelahkan. Ini adalah satir yang membangunkan: keajaiban ada di depan mata, hanya saja kita terlalu terbiasa sehingga menjadi buta.

     Dan di tengah semua pencarian, pertanyaan, dan keajaiban yang terasa genting ini, kita belajar tentang kekuatan. Kekuatan itu seringkali kita bayangkan sebagai benteng baja, sikap tak tergoyahkan, raut wajah yang tak berkerut sedikitpun di bawah tekanan. Amy Morin, dalam 13 Things Mentally Strong People Don't Do, justru menawarkan kearifan yang berbeda, bahkan kontra-intuitif. Ia tidak sekadar memberi daftar cara bertahan seperti tentara di medan perang. Ia mengajak kita untuk berhenti menyiksa diri sendiri atas nama ilusi 'kekuatan' itu. Kekuatan mental yang sejati, menurutnya, seringkali terletak pada pengakuan jujur akan kerapuhan, pada keberanian untuk tidak terus-menerus menuntut diri menjadi superman atau superwoman yang tak boleh menangis, tak boleh lelah, tak boleh menunjukkan celah. 

     Karena, sungguh, luka terdalam seringkali bukan berasal dari panah musuh atau badai dunia luar. Luka yang paling menyakitkan dan menggerogoti justru berasal dari suara dalam diri sendiri – suara kritik yang kejam, tuntutan kesempurnaan yang tak manusiawi, bisikan bahwa menunjukkan kelemahan adalah aib terbesar. Satir halusnya terasa: kita membangun penjara batin dengan kunci bernama 'harus kuat', lalu mengurung diri di dalamnya sambil menyebutnya benteng. Kekuatan sejati adalah membebaskan diri dari penjara itu.

     Maka, proyek genting kita – manusia yang belum selesai, yang berdiri di antara cahaya dan bayangan, antara pemahaman dan kebingungan – terus berlangsung. Kita bertahan, bukan dengan mengeras menjadi batu, tetapi dengan kelenturan jiwa yang belajar dari Anne Frank, dari ketekunan diam manusia kecil Dostoevsky, dari 'penglihatan' batin para tuna netra Bi Feiyu. Kita menemukan makna bukan dengan menunggu takdir yang jelas, tetapi dengan berani memilih seperti pesan Sartre, didasari akal sehat waras Paine, dan diilhami oleh pencarian simbolik akan Yang Suci. Kita menemukan keajaiban menjadi manusia dengan sesekali melihat diri seperti alien penuh rasa ingin tahu ala Haig, dan menemukan kekuatan sejati bukan pada ketangguhan semu yang merobek diri, tetapi pada kelembutan untuk menerima diri secara utuh seperti ajaran Morin. 

     Proyek genting ini adalah tarian di tepi jurang makna, sebuah narasi yang terus ditulis dengan tinta rintihan dan air mata, tawa dan renungan, di halaman-halaman buku kehidupan yang tak pernah benar-benar selesai, namun selalu berusaha menangkap cahaya, meski hanya secercah. Kita terus menulis, terus memilih, terus meraba dalam gelap dan terkagum pada cahaya, terus bertahan tanpa kehilangan tujuan, karena dalam kegentingan itulah justru letak keindahan dan keunikan proyek bernama manusia.

     Di tengah deru mesin pencetak ijazah dan gemerisik lembar ujian berstandar nasional, tersembunyi pertanyaan yang tak pernah diujikan: Untuk apa kita belajar? Pendidikan, dalam imajinasi kolektif, sering dirayakan sebagai tangga menuju kesuksesan—sebuah sistem rapi yang menjanjikan kepastian. 

     Tapi di balik dinding sekolah yang dicat warna-warni, ada narasi lain yang tercekik: sebuah ritual panjang yang lebih mirip penjinakan daripada pencerahan. Paulo Freire, dengan pedang katanya yang tajam, menyebutnya "pendidikan gaya bank"—proses menabung fakta ke dalam kepala murid seperti koin dalam celengan, tanpa pernah mengajak mereka membeli apa pun yang bermakna. 

     Neil Postman, dengan sinisme khasnya, menggugat sekolah yang berubah menjadi "katedral teknologi", di mana anak-anak menyembah layar interaktif sambil kehilangan kemampuan bertanya. Di sini, di persimpangan antara kepatuhan dan kesadaran, pendidikan sejati bukanlah tentang memenuhi kepala, tapi membakar jiwa.

     Freire tak hanya mengkritik guru yang monolog; ia menguliti struktur pendidikan yang membius. Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, ia menggambarkan ruang kelas sebagai panggung mikro kosmos sosial: guru sebagai penjaga gerbang pengetahuan, murid sebagai pengemis yang diberi remah-remah informasi. 

     Tapi penindasan paling halus bukan ketika pertanyaan dilarang, melainkan ketika murid tak lagi merasa perlu bertanya. Mereka yang duduk rapi, tangan terlipat di meja, telah belajar pelajaran tersirat: kebenaran adalah milik yang berkuasa. Postman, dalam The End of Education, menambahkan racun pada kritik ini: sekolah tanpa tujuan filosofis yang jelas hanyalah "ritual kosong"—seperti kapal megah yang berlayar tanpa kompas, mengitari lautan kurikulum yang tak bermuara.

     Di balik ilusi netralitas, setiap sistem pendidikan menyimpan kode genetik ideologi. William F. O'Neil, dalam Educational Ideologies, membongkar kurikulum sebagai "peta buta" yang menentukan jalan pikiran generasi. Pelajaran sejarah yang mengagungkan penaklukan kolonial sebagai "penyebaran peradaban", atau pelajaran ekonomi yang mengerdilkan kesejahteraan sosial demi mitos pertumbuhan pasar, bukan sekadar fakta—mereka adalah senjata pemungkas hegemoni. 

     Michael W. Apple mengingatkan: ketika buku pelajaran menyebut revolusi industri sebagai lompatan teknologi tanpa menyertakan jeritan buruh anak di pabrik kapas, ia sedang menulis ulang sejarah dengan tinta kekuasaan. Sekolah, dalam narasi ini, adalah pabrik yang memproduksi "kesadaran palsu"—manusia-manusia yang fasih menghitung untung rugi, tapi bisu saat melihat ketimpangan.

     Nietzsche, sang filsuf urakan, menertawakan sekolah yang mengubah pemuda menjadi "kawanan keledai berjubah akademik". Dalam Anti-Education, ia melukiskan ruang kelas sebagai kuburan rasa ingin tahu: tempat di mana pertanyaan-pertanyaan liar dibunuh dengan nilai merah, dan kreativitas dikubur di bawah tumpukan hafalan. Roem Topatimasang, dengan gaya sarkastiknya, menggambarkan sekolah sebagai "candu legal"—zat yang membuat anak-anak kecanduan stempel nilai, sementara api kecerdasan mereka redup perlahan. Di sini, kepatuhan dinobatkan sebagai kebajikan tertinggi, sementara keraguan dianggap sebagai penyakit yang harus diisolasi.

     Tapi di tengah padang gurun pendidikan yang gersang, muncul oasis-oasis pemberontakan. John Keating, guru dalam Dead Poets Society, bukan sekadar karakter fiksi—ia adalah manifesto hidup. Saat ia berdiri di atas meja dan berteriak "Carpe diem!", ia tak sedang mengajar sastra; ia sedang membongkar penjara persepsi. Adegan itu adalah metafora sempurna: pendidikan sejati terjadi ketika kita berani melihat dunia dari sudut yang tak biasa, ketika puisi bukan sekadar sajak mati di buku, tapi senjata untuk menggugat realitas. 

     Tara Westover, dalam memoir Educated, membuktikan bahwa pendidikan radikal bisa lahir bahkan dari kegelapan. Anak perempuan yang tak pernah menginjak sekolah formal itu menemukan suaranya di antara debu gudang besi tua—bukan dengan menuruti kurikulum, tapi dengan memberontak terhadap doktrin keluarga yang membisukan.

     Freire, dalam surat-suratnya yang dikumpulkan dalam Pendidikan sebagai Proses, menegaskan bahwa mengajar bukan seni mentransfer ilmu, tapi seni merajut kesadaran. Guru sejati adalah "penabur pertanyaan" yang sabar menunggu musim panen pemikiran. Ia tak menghakimi jawaban salah, tapi merayakan keberanian menjawab. Di pelosok Brasil, ia menyaksikan petani buta huruf yang belajar membaca bukan sekadar mengenal alfabet, tapi membaca struktur tanah yang menghisap darah mereka—sebuah literasi yang membebaskan.

     Inilah paradoks pendidikan: ia bisa menjadi rantai yang membelenggu atau palu yang memecah belenggu. Thomas Lickona, dalam Educating for Character, mengingatkan bahwa kecerdasan tanpa integritas adalah bom waktu. Bagaimana mungkin kita bangga pada murid yang bisa memecahkan persamaan kuantum tapi diam saat melihat temannya dibully? Pendidikan karakter bukan tentang daftar nilai sikap di raport, tapi tentang menciptakan ruang di mana kejujuran lebih berharga daripada nilai sempurna, di mana solidaritas lebih penting daripada ranking.

     Klimaks dari seluruh narasi ini adalah kesadaran bahwa pendidikan bukanlah produk—ijazah, gelar, atau sertifikat—melainkan proses yang tak pernah usai. Setiap kali seorang anak bertanya "Mengapa?" pada dogma yang diwariskan turun-temurun, setiap kali mahasiswa mencoret teks buku pelajaran dengan tanda tanya besar, setiap kali guru memilih diskusi alih-alih doktrin, di situlah pendidikan sejati bernafas. Roem Topatimasang mungkin menyindir sekolah sebagai candu, tapi dalam candu itu sendiri tersimpan paradoks: bisa menjadi racun yang mematikan atau morfin yang menyembuhkan—terantung pada tangan yang mengolahnya.

     Pendidikan yang membebaskan adalah api yang tak pernah padam. Ia mungkin ditiup angin kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, mungkin dicoba dipadamkan oleh sistem yang takut pada pemikiran kritis, tapi selama ada guru yang berani berdiri di atas meja dan murid yang menolak diam, ia akan terus membara. Di ujung jalan ini, kita menemukan kebenaran yang tak nyaman: sekolah terbaik bukan yang menghasilkan lulusan paling patuh, tapi yang melahirkan pemberontak-pemberontak berhati nurani—manusia yang tak hanya pandai menjawab soal ujian, tapi berani mempertanyakan jawaban itu sendiri.

     Pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mempersiapkan anak untuk dunia yang ada, tapi untuk dunia yang mungkin. Seperti api unggun di tengah malam, ia menerangi sekaligus menghangatkan—membakar belenggu kebodohan, menyinari jalan kesadaran, dan mengajarkan kita bahwa terkadang, untuk menemukan kebenaran, kita harus berani membakar semua jawaban yang pernah diajarkan.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.