Articles by "Mulai Dari Mana"

Tampilkan postingan dengan label Mulai Dari Mana. Tampilkan semua postingan

     Ada suatu masa dalam sejarah manusia ketika langit bukan hanya pemandangan, tapi juga cermin. Di sanalah manusia menatap dirinya sendiri, menemukan keteraturan di balik kekacauan, makna di balik nasib. Langit adalah hukum, dan hukum adalah Tuhan. Sejak matahari pertama disembah di dataran Mesopotamia hingga suara nabi bergema di padang pasir, manusia hidup dengan satu kesadaran sederhana: hidup adalah kehendak ilahi yang tak terbantahkan.

     Lalu suatu hari, seorang manusia kurus dengan mata penuh api berdiri di tepi jurang zaman dan berkata: “Tuhan telah mati.” Bukan karena Tuhan dibunuh oleh manusia, tapi karena manusia berhenti membutuhkan-Nya. Dunia yang dulu sakral kini berubah menjadi mesin rasional. Hukum sebab-akibat menggantikan mukjizat, kalkulasi menyingkirkan doa, dan logika mengambil alih peran takdir. Dunia menjadi terang — tapi juga dingin.

     Nietzsche, si pengembara dari pegunungan Swiss itu, tidak sedang berpesta atas kematian Tuhan. Ia sedang berkabung. Karena ia tahu, bersama kematian Tuhan, manusia kehilangan cermin tempat ia mengenali dirinya. Dalam kegelapan baru itu, manusia bebas — tapi juga tersesat.

     Manusia modern muncul sebagai makhluk yang tak lagi memandang ke langit, tapi ke dalam dirinya sendiri. Ia menggali dasar eksistensinya, menemukan bahwa hidup tak memiliki makna kecuali yang ia ciptakan sendiri. Maka lahirlah Übermensch, manusia yang berani menulis ulang nilai, menafsirkan ulang moral, dan menjadi tuhan bagi dirinya sendiri.
Namun di balik kegagahan ide itu, ada kesepian yang panjang — kesepian karena manusia tak lagi bisa berbagi beban makna dengan siapa pun selain dirinya sendiri.

Dan di situlah bayangan Tuhan mulai memanjang.

     Bayangan itu bukan sekadar residu kepercayaan lama, melainkan bentuk baru dari kerinduan eksistensial. Setiap kali manusia mencoba menyingkirkan ilahi, ia tanpa sadar menciptakan Tuhan yang lain: dalam bentuk ideologi, sistem, negara, bahkan sains. Setiap revolusi melahirkan dogma baru, setiap pembebasan berakhir dengan tatanan baru yang menindas. Tuhan mati, tapi kekuasaan untuk menentukan makna — itu tetap hidup, hanya berganti wajah.

     Nietzsche tahu tragedi itu. Karena kematian Tuhan bukan akhir dari agama, melainkan transformasinya menjadi iman terhadap manusia itu sendiri. Dan iman kepada manusia sering kali lebih berbahaya, sebab manusia bisa meyakini kesalahan dengan lebih fanatik daripada ia pernah mencintai kebenaran.

     Ketika Nietzsche menulis tentang manusia yang “harus melampaui dirinya,” ia sebenarnya sedang mengintip jurang yang menganga di bawah kaki modernitas: jurang antara kebebasan dan kehampaan. Jika Tuhan adalah sumber nilai, maka ketika Ia tiada, nilai harus lahir dari kehendak manusia. 

     Tetapi kehendak manusia, tanpa batas dan tanpa arah, bisa menjelma menjadi monster. Dari rahim kehendak itulah lahir abad ke-20 yang berdarah: fasisme yang mengagungkan bangsa sebagai dewa, komunisme yang mengangkat kelas pekerja sebagai penebus dosa dunia, dan kapitalisme yang menyembah pasar sebagai roh yang tak kelihatan tapi menentukan segalanya.

     Manusia menolak langit, tapi kemudian membangun menara yang lebih tinggi dari langit — menara ego, menara sistem, menara sains. Di puncaknya, ia memandang ke bawah dan berkata: lihatlah, aku bebas. Tapi di bawah sana, bayangan Tuhan terus mengikuti langkahnya, memanjang seiring matahari kesadarannya tenggelam.

     Kita, anak cucu modernitas, hidup di bawah bayangan itu. Kita mengutip Nietzsche tanpa memahami luka di balik seruannya. Kita memuja rasionalitas tapi tersiksa oleh kebisingan pikiran sendiri. Kita mengaku bebas tapi tunduk pada ritme produktivitas, ekonomi, dan layar-layar yang menentukan ritme waktu. Kita menertawakan agama tapi membangun ritual baru di hadapan algoritma, rating, dan tren.

     Tuhan telah mati — tapi kita tak pernah berhenti menyembah.

     Dan di sinilah paradoksnya: manusia tak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar dari dirinya, tapi setiap kali ia menciptakan yang lebih besar itu, ia berakhir menjadi budaknya.

     Barangkali di situlah pertemuan tak terduga antara Nietzsche dan para sufi: keduanya sama-sama melihat bahwa kesadaran manusia terbelah antara aku dan Yang Tak Terucapkan. Bedanya, Nietzsche memutus tali langit agar manusia bisa berdiri sendiri, sedangkan para sufi melarutkan diri agar manusia bisa menyatu kembali.
Yang satu berteriak “Aku menciptakan nilai!”, yang lain berbisik “Tiada aku selain Dia.” Tapi keduanya, pada hakikatnya, sedang mencari hal yang sama: titik keseimbangan antara kebebasan dan penyerahan, antara makna dan kehampaan.

     Maka mungkin yang mati bukan Tuhan, melainkan cara manusia memahami Tuhan. Yang mati adalah Tuhan yang dijadikan alat, Tuhan yang diperas untuk kepentingan moral, politik, dan rasa aman. Tapi yang tetap hidup — dan bahkan terus tumbuh — adalah hasrat untuk menyatu dengan sesuatu yang melampaui batas diri.

     Manusia modern, di balik segala teknologi dan rasionalitasnya, masih berlutut dalam diam — bukan di depan altar, tapi di depan layar; bukan memohon keselamatan, tapi makna. Ia tak lagi berdoa kepada Tuhan, tapi kepada sistem yang ia ciptakan sendiri. Dan ironisnya, sistem itu mulai menjawab.

     Kita sedang hidup di masa di mana algoritma menggantikan takdir. Dan jika Nietzsche hidup hari ini, mungkin ia akan berkata bukan “Tuhan telah mati,” tapi “Tuhan telah diunggah.”

     Bayangan itu kini menjelma dalam bentuk baru — bukan awan di langit, tapi jaringan cahaya yang menghubungkan setiap pikiran, setiap hasrat, setiap ketakutan. Namun di tengah jaringan itu, manusia kembali merasa asing terhadap dirinya sendiri. Kebebasan yang ia cari berubah menjadi labirin pilihan yang tak berujung. Makna yang ia ciptakan sendiri berubah menjadi kebingungan yang tak selesai.

     Kita masih berjalan di bawah bayangan yang sama, hanya bentuknya berganti: dari menara ke server, dari altar ke data center. Dan mungkin perjalanan ini belum selesai — karena setiap kali manusia membunuh Tuhan, ia menemukan cara baru untuk memanggil-Nya kembali.

     Barangkali kesadaran sedang berevolusi, bukan menuju akhir, tapi menuju bentuk keberadaan baru: manusia yang tak lagi mencari Tuhan di luar, tapi juga tidak mengklaim diri sebagai Tuhan. Manusia yang memahami bahwa makna bukan sesuatu yang ditemukan atau diciptakan, melainkan dihidupi.

Itulah manusia yang sedang lahir di bawah bayangan panjang itu — manusia yang tidak lagi mengaku tahu segalanya, tapi juga tidak tunduk pada apa pun.
Yang berjalan di antara puing-puing iman dan algoritma, menyadari bahwa barangkali,
yang disebut Tuhan, adalah kesadaran itu sendiri — yang terus berusaha memahami dirinya,
melalui manusia.


bagian pertama

     Ada saat-saat ketika pikiran terasa menua lebih cepat dari tubuh. Ia mulai berhenti berkelana dan memilih duduk, bersandar pada buku-buku lama yang dulu sempat membuatnya bergetar. Di titik itu, intelektualitas berubah dari petualangan menjadi museum. Dan di dalam museum itu, banyak intelektual yang masih hidup, tapi pikirannya sudah jadi artefak. Mereka tidak lagi mencari, hanya menjaga agar debu di rak gagasan tidak terlalu tebal.

     Mungkin memang ada “jiwa tua” di setiap kepala yang dulu pernah berani berpikir. Suara lirih yang membisikkan: “berhentilah bertanya, nikmatilah kepastian.” Ia menenangkan, bahkan memeluk kita seperti doa ibu di masa kecil. Tapi seperti semua kenyamanan, ia berbahaya. Sebab begitu seseorang berhenti mempertanyakan keyakinannya, ia berhenti menjadi intelektual dan berubah menjadi penjaga altar pikirannya sendiri. Ia masih bicara tentang kebenaran, tapi yang dimaksud bukan lagi pencarian—melainkan warisan yang dijaga dengan takut-takut.

     “Jiwa tua” bukan soal umur, tapi soal keberanian yang memudar. Ia bersembunyi di ruang seminar yang sama, menggunakan slide PowerPoint yang sama, dan masih memulai kalimat dengan “menurut Habermas” tanpa pernah menanyakan, apakah Habermas masih relevan untuk era algoritma dan kecerdasan buatan. Ia senang pada kepastian, alergi pada ambiguitas. Ia lebih percaya pada dogma yang dipoles rapi ketimbang kebenaran yang belum selesai. Ia hidup dari nostalgia, dari masa ketika kutipan bisa menggantikan keberanian berpikir. Dalam dirinya, intelektualitas menjadi kebaktian rutin: penuh tata cara, tapi tanpa getaran makna.

     Ironisnya, banyak pikiran muda yang diam-diam bermimpi menjadi tua secepat mungkin. Mereka meniru gestur dan nada intelektual senior — bukan semangatnya. Mereka membangun persona akademik yang serius, menulis dengan kalimat panjang, berlapis jargon yang membingungkan, seolah kompleksitas bahasa adalah bukti kedalaman isi. Mereka lupa bahwa kedalaman sejati justru adalah kemampuan menyederhanakan tanpa kehilangan makna. Begitulah lahir generasi “tua sebelum waktunya”: pintar mengutip, tapi miskin keberanian berpikir dari nol. Mereka seperti tanaman dalam pot: tumbuh, tapi tidak pernah berakar di tanah realitas.

     Sebaliknya, “pikiran muda” adalah kesadaran yang jujur pada ketidaktahuannya. Ia berani menanggung risiko menjadi salah. Ia tahu bahwa pengetahuan bukan menara, melainkan sungai yang terus mengalir. Pikiran muda tidak sibuk menjaga keaslian gagasan, sebab ia sadar bahwa gagasan yang hidup memang harus berubah bentuk. Ia menghormati tradisi, tapi tidak menyembahnya. Ia mendengarkan sejarah, tapi tidak ingin tinggal di sana. Ia memiliki sesuatu yang hilang dari banyak ruang akademik hari ini: rasa ingin tahu yang tidak malu.

     Kita hidup di masa yang lucu: orang-orang berbicara tentang spiritualitas sambil berdagang wacana, sementara para ilmuwan sibuk mencari Tuhan lewat rumus. Banyak yang berdoa di laboratorium dan meneliti di tempat ibadah. Mereka semua tampak sibuk mencari pembenaran, bukan kebenaran. Di sinilah tragedi kesadaran intelektual modern berakar — ketika rasionalitas kehilangan keberanian untuk jujur, dan mistik kehilangan kerendahan hatinya untuk menjadi manusiawi. Akal dan jiwa sama-sama kehilangan keseimbangan, karena keduanya lebih sibuk mengafirmasi diri ketimbang memahami dunia.

     Menjadi intelektual hari ini berarti menerima bahwa berpikir adalah kerja yang melelahkan sekaligus menegangkan. Tidak ada istirahat dalam pencarian. Pikiran yang sehat harus siap disangkal, diuji, dan dipatahkan — sebab justru di sanalah ia tumbuh. Mungkin inilah alasan banyak orang memilih kenyamanan “jiwa tua” ketimbang kedewasaan berpikir yang jernih. Karena berpikir dengan waras berarti berdiri di antara dua tebing: emosi yang ingin berkuasa, dan keyakinan yang ingin memerintah.

     Maka, intelektual sejati bukanlah mereka yang menyimpan jawaban, melainkan yang sanggup terus bertanya bahkan setelah dunia berhenti mendengarkan. Ia menjaga pikirannya tetap muda tanpa kehilangan kematangan jiwanya. Ia tahu bahwa kebenaran selalu sementara, dan karena itu, ia mencintainya tanpa rasa memiliki. Sebab pikiran tidak perlu menua — cukup matang. Dan di tengah dunia yang gemar berpura-pura paham, mungkin satu-satunya sikap intelektual yang tersisa adalah tetap ingin tahu, dengan kepala yang dingin dan hati yang berani.

     Perjalanan ini bermula dari air. Dari tetesan kecil yang merembes melalui batu kapur, dari sungai bawah tanah yang memberi makan sawah dan desa, dari mata air yang menjadi denyut kehidupan. Lalu kita menapaki lorong-lorong gelap gua, membaca arsip purba yang ditulis bumi dalam stalaktit dan lukisan berusia puluhan ribu tahun. Kita menyaksikan masyarakat yang hidup di kaki tebing, menjaga karst dengan kesabaran yang sering tak dihargai. Kita juga mendengar dentum mesin tambang, teriakan warga di jalan, tarik-ulur kepentingan negara dan industri. Dan akhirnya, kita bertanya: apakah karst hanya akan terus menjadi beban, atau bisa menjelma sebagai bagian dari imajinasi bangsa?

     Narasi itu membawa kita pada satu titik: perlunya rumah bersama. Sebuah ruang di mana ilmu, masyarakat, dan kebijakan bisa duduk satu meja. Sebuah wadah yang tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga merajut makna; tidak hanya bicara konservasi, tetapi juga kesejahteraan; tidak hanya menatap batu, tetapi juga masa depan. Inilah yang saya bayangkan sebagai Institut Karst Nusa Purusa.

     Mengapa institut? Karena karst terlalu kompleks untuk ditangani secara sektoral. Ia bukan hanya urusan geologi, tetapi juga hidrologi, ekologi, arkeologi, antropologi, bahkan politik dan ekonomi. Selama ini, penelitian karst di Indonesia terfragmentasi: ada yang dikerjakan perguruan tinggi, ada yang diinisiasi LSM, ada yang menjadi proyek sesaat pemerintah. Namun tidak ada simpul yang menyatukan. Institut bisa menjadi simpul itu—rumah bersama yang menjaga kontinuitas pengetahuan dan advokasi.

     Di sinilah speleologi menemukan tempatnya. Disiplin ini, yang lahir dari tradisi panjang eksplorasi gua di Eropa, telah berkembang menjadi ilmu lintas batas yang menjembatani geologi, biologi, ekologi, arkeologi, hingga paleoklimatologi. Di Prancis, speleologi bahkan sudah menjadi bagian kurikulum universitas; di Slovenia, asosiasi speleologi bekerja sama erat dengan taman nasional; sementara di Amerika Serikat, lembaga seperti National Speleological Society menjadikan gua bukan hanya objek rekreasi, tetapi juga laboratorium alam untuk memahami perubahan iklim (Culver & White, 2005; Kranjc, 2001; Martel, 1894). Indonesia, dengan 15 juta hektar kawasan karst, ironisnya belum menempatkan speleologi sebagai disiplin yang berdiri tegak. Inilah celah yang bisa dijembatani oleh Institut Karst Nusa Purusa: bukan sekadar mengumpulkan penelitian, melainkan meletakkan dasar akademik bagi speleologi di tanah air.

     Lihatlah Babul, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, sebagai contoh konkret. Di sana, karst tropis menampilkan wajahnya yang paling lengkap: sungai bawah tanah yang kompleks, gua berlukis prasejarah, keanekaragaman hayati kupu-kupu, dan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sawah dan hutan. Namun, tanpa otoritas pengetahuan yang kuat, Babul kerap dilihat sekadar objek wisata atau lahan potensial tambang. Padahal, ia bisa menjadi pusat riset dunia tentang air tropis, biodiversitas, dan sejarah peradaban. Institut Karst Nusa Purusa bisa menjadikannya laboratorium terbuka, tempat ilmu global belajar dari kearifan lokal.

     Kritik yang harus kita akui adalah: negara sering abai. Karst hanya diperhitungkan jika menyangkut izin tambang atau proyek pariwisata. Padahal, dalam konteks krisis iklim, karst adalah “aset strategis” yang nilainya jauh melampaui hitungan ekonomi jangka pendek. Dengan adanya institut, narasi karst bisa bergeser dari pinggiran ke pusat, dari “beban” ke “kebanggaan nasional.”

     Institut ini bukan hanya untuk para pakar. Warga desa karst bisa menjadi peneliti lapangan, pelajar SMA di Maros bisa menulis laporan air bawah tanah, atau petani Gunung Sewu bisa ikut mendiskusikan hasil riset hidrogeologi. Dengan begitu, pengetahuan tidak terjebak di menara gading, tetapi hidup bersama orang-orang yang sehari-hari menjadi penjaga karst.

     Sebagian orang mungkin menganggap ide ini terlalu tinggi, utopis. Tetapi bukankah banyak peradaban lahir dari keberanian membayangkan? Jika bangsa lain punya institut laut, institut tani, atau institut energi, mengapa kita tidak punya institut karst? Apalagi Indonesia adalah rumah bagi salah satu kawasan karst tropis terbesar dunia. Justru karena kita sering dianggap “pinggiran” dalam ilmu karst global, maka mendirikan institut adalah jalan untuk menyatakan diri: kita punya otoritas, kita punya suara.

     Speleologi memberi dasar bagi keberanian itu. Ia bukan hanya disiplin teknis, tetapi cara pandang yang menyatukan air, batu, manusia, dan waktu ke dalam satu lanskap pemahaman. Dengan menjadikan speleologi sebagai fondasi akademik, Institut Karst Nusa Purusa akan lebih dari sekadar pusat penelitian—ia akan menjadi pelopor yang mengajarkan generasi baru cara membaca bumi dari dalam perutnya sendiri.

     Saya membayangkan institut ini bukan hanya kantor dengan laboratorium, tetapi juga jaringan pengetahuan: pusat riset, museum publik, ruang diskusi masyarakat, dan basis advokasi kebijakan. Dari sini, lahir buku, peta, rekomendasi, sekaligus narasi populer yang bisa mengubah persepsi bangsa terhadap karst.

     Akhirnya, gagasan ini bukan lagi sekadar wacana. Ia adalah keniscayaan, jika kita ingin masa depan karst tidak hilang ditambang, jika kita ingin masyarakatnya tidak terus dimarjinalkan, jika kita ingin air tetap mengalir di negeri tropis yang kian panas. Institut Karst Nusa Purusa adalah rumah narasi yang kita butuhkan: rumah di mana tetesan air, batu, dan manusia bertemu untuk menulis masa depan.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N., & Haryono, E. (2012). “Karst in Indonesia: Research and Challenges.” International Journal of Speleology, 41(2), 93–101.

  2. Culver, D. C., & White, W. B. (2005). Encyclopedia of Caves. Elsevier Academic Press.

  3. Day, M. J., & Urich, P. (2019). Tropical Karst Ecosystems. Springer.

  4. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.

  5. Kranjc, A. (2001). “Dinaric Karst and Speleology in Slovenia.” Acta Carsologica, 30(2), 15–32.

  6. Kusumayudha, S. B. (2005). Hidrogeologi Karst Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  7. LIPI. (2018). Strategi Konservasi Karst Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

  8. Martel, É.-A. (1894). Les Abîmes. Paris: Delagrave.

  9. National Speleological Society. (2020). About the NSS. Huntsville, AL.

  10. Sumantri, I. (2018). Archaeological concerns for mining around prehistoric caves in Maros-Pangkep. AramcoWorld. (Diskusi eksplorasi gua dan ancaman pertambangan.)

  11. Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. (2020). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang 2020–2030. Balai Taman Nasional Babul.

  12. Widyastuti, M., & Adji, T. N. (2020). “Tropical Karst and Water Resources in Indonesia.” Journal of Hydrology: Regional Studies, 29, 100688.

     Sebuah nama bukan sekadar tanda pengenal, melainkan penjelmaan makna yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dalam konteks lembaga pengetahuan dan riset, nama sering kali menjadi fondasi identitas: ia menampung cita-cita, visi, sekaligus arah gerak. Demikian halnya dengan gagasan Institut Karst Nusa Purusa. Nama ini menyimpan resonansi yang khas, baik secara geografis, filosofis, maupun kultural.

     Kata karst menjadi jangkar yang menautkan lembaga ini pada ruang ekologis yang nyata. Karst bukan hanya bentang alam dari batu gamping dan dolomit, melainkan sistem hidup yang kompleks: gua, sungai bawah tanah, mata air, hingga biota endemik yang rapuh. Ekosistem karst adalah penyangga vital kehidupan manusia, penyedia air, ruang budaya, sekaligus lanskap spiritual dalam banyak kebudayaan Nusantara. Dengan mencantumkan “karst” dalam nama, lembaga ini menegaskan fokusnya: mengkaji, menjaga, sekaligus memberdayakan ekosistem yang kerap terabaikan ini (Ford & Williams, 2007).

     “Nusa” mengaitkan lembaga pada ruang kepulauan Indonesia. Ia menegaskan bahwa karst yang menjadi perhatian bukanlah entitas abstrak, melainkan bagian dari tanah air: tersebar dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua. Karst hadir sebagai denyut nadi dari “nusa-nusa” yang menyusun mosaik bangsa. Dengan demikian, “nusa” memperluas cakrawala: lembaga ini tidak hanya berpijak pada satu lokasi, tetapi hadir untuk menghubungkan seluruh kepulauan dalam semangat pengetahuan dan konservasi (Day & Urich, 2000).

     Sementara “purusa” memberi dimensi filosofis yang lebih dalam. Dalam bahasa Sanskerta, purusa merujuk pada prinsip manusia, jiwa, atau inti keberadaan. Purusa adalah kesadaran yang memberi arti pada alam raya. Dengan memilih kata ini, lembaga tidak semata bicara tentang batu, gua, atau air, tetapi tentang manusia yang hidup dan berelasi dengan lanskap karst. Nama ini mengingatkan bahwa studi karst harus melibatkan dimensi antropologis, kultural, bahkan spiritual. Bahwa dalam setiap tetes air yang mengalir dari mata air karst, ada riwayat manusia yang menggantungkan hidupnya. Bahwa setiap gua bukan hanya rongga geologi, melainkan juga arsip budaya dan sejarah spiritual (Kapur, 2019; Kusumayudha, 2010).

     Gabungan ketiga kata itu—Karst Nusa Purusa—melahirkan sintesis: lembaga yang berakar pada lanskap geologi, berjejaring dalam ruang kepulauan, dan berorientasi pada manusia sebagai pusat makna. Nama ini tidak kering secara teknis, tidak pula abstrak secara berlebihan, melainkan menampung keseimbangan antara sains, budaya, dan nilai hidup. Jika tujuan sebuah institut adalah membangun pengetahuan yang membumi sekaligus melampaui, maka nama ini sudah mencerminkan arahnya. Institut Karst Nusa Purusa dapat menjadi ruang pertemuan antara ilmu bumi, ekologi, kebudayaan, dan filsafat manusia. Sebuah wadah yang tidak hanya menjaga karst sebagai batuan, tetapi juga sebagai rumah kehidupan (Gunn, 2004).


Daftar Pustaka

  1. Day, M. J., & Urich, P. B. (2000). An Assessment of Protected Karst Landscapes in Southeast Asia. Cave and Karst Science, 27(2), 61–70.

  2. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.

  3. Gunn, J. (Ed.). (2004). Encyclopedia of Caves and Karst Science. Routledge.

  4. Kapur, R. (2019). Purusha and Prakriti in Indian Philosophy. Indian Journal of Philosophy, 45(3), 201–214.

  5. Kusumayudha, S. B. (2010). Karst Indonesia: Bentang Alam, Air Tanah, dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  6. Vermeulen, J. J., & Whitten, A. J. (1999). Biodiversity and Cultural Heritage in Karst. World Bank.

  7. Gillieson, D. (1996). Caves: Processes, Development and Management. Blackwell.

     Di tengah gemuruh reformasi pendidikan tinggi Indonesia yang sibuk membicarakan angka kredit, akreditasi internasional, dan publikasi Scopus, ada satu pertanyaan mendasar yang justru terpinggirkan: untuk apa sebenarnya intelektual Indonesia berdiri? Apakah mereka hadir sebagai penjaga menara gading yang asyik dengan diskusi-diskusi esoteris, atau sebagai penerang yang turun ke gelanggang membawa obor pencerahan?

     Ali Shariati (1979), pemikir revolusioner Iran, menawarkan konsep yang relevan untuk menjawab kegelisahan ini: raushan fikr atau "intelektual tercerahkan". Bagi Shariati, intelektual sejati bukanlah sekadar pemikir yang cerdas, melainkan mereka yang memadukan kecerdasan akal dengan kesadaran spiritual dan keberpihakan pada kaum tertindas. Yang menarik, Shariati menghubungkan figur ini dengan konsep Qur'ani ulil albab - mereka yang mampu memadukan dzikir dan pikir, yang mengingat Tuhan sambil terus merenungi ciptaan-Nya.

     Sayangnya, wajah pendidikan tinggi Indonesia justru menunjukkan wajah yang bertolak belakang. Kita menyaksikan para akademisi yang terjebak dalam apa yang Bourdieu (1984) sebut sebagai "illusio akademik" - percaya bahwa permainan simbolik dalam dunia kampus adalah segalanya. Mereka sibuk mengejar angka KUM, berebut jabatan struktural, dan berlomba publikasi di jurnal bereputasi, sementara masalah-masalah konkret di luar kampus seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis moral dibiarkan tak tersentuh.

     Padahal, jika menengok sejarah intelektual Indonesia, kita memiliki tradisi gemilang para cendekiawan yang menjadi raushan fikr. Seperti dicatat oleh Asvi Warman Adam (2009), para founding fathers kita seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir adalah intelektual organik yang mampu menjembatani teori Barat dengan realitas Indonesia. Mereka tidak hanya menulis buku-buku tebal, tetapi juga turun ke jalan, mengorganisir rakyat, dan merumuskan visi kebangsaan.

     Yang kita saksikan sekarang justru fenomena yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid (1992) sebagai "intelektual yang teralienasi". Mereka pandai berbicara tentang teori-teori Barat, tetapi gagap membaca denyut nadi masyarakatnya sendiri. Mereka fasih membahas postmodernisme di ruang kuliah, tetapi bungkam melihat praktik korupsi di institusi mereka sendiri. Mereka menjadi yang Gramsci (1971) sebut sebagai "intelektual tradisional" yang melayani kekuasaan, bukan "intelektual organik" yang lahir dari rakyat.

     Paradoks terbesar terjadi di institusi-institusi pendidikan agama. Di satu sisi, mereka memiliki modal spiritual dan tradisi intelektual yang kaya untuk melahirkan ulil albab. Di sisi lain, banyak dari mereka justru terjebak dalam formalisme keagamaan yang kaku. Sebagaimana dikritik oleh Azyumardi Azra (2006), pendidikan agama sering kali berhenti pada pemeliharaan tradisi, bukan pada pencerahan dan pembebasan.

     Lalu bagaimana membangun kembali tradisi raushan fikr ini? Pertama, kita perlu reorientasi tujuan pendidikan tinggi. Sebagaimana diingatkan oleh Darmaningtyas (2014), pendidikan harus kembali ke khittahnya sebagai alat pembebasan, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. Kedua, sistem reward akademik perlu rekonfigurasi. Bukan hanya menghargai publikasi internasional, tetapi juga kontribusi nyata pada masyarakat.

     Ketiga, dan yang paling penting, adalah membangun kesadaran kritis di kalangan akademisi muda. Mereka perlu didorong untuk menjadi yang dikatakan Edward Said (1994) sebagai "intelektual yang memihak" - yang berani menyuarakan kebenaran meski tidak populer, yang mampu berdiri di luar kekuasaan untuk mengkritiknya.

     Menjadi ulil albab di zaman modern adalah tentang keberanian untuk keluar dari menara gading. Tentang kesediaan untuk mengotori tangan dengan realitas, sambil tetap menjaga integritas intelektual. Tentang kemampuan untuk memadukan kecerdasan akal dengan kebijaksanaan spiritual, sebagaimana diajarkan oleh tradisi ulil albab.

     Seperti diingatkan oleh Shariati, tugas intelektual adalah menjadi "penerjemah zaman" - mereka yang mampu membaca tanda-tanda zaman dan mentransformasikannya menjadi proyek pencerahan. Inilah tantangan terbesar pendidikan tinggi Indonesia: melahirkan bukan sekadar akademisi pandai, tetapi raushan fikr yang mampu menerangi kegelapan zamannya.


Daftar Pustaka:

1. Adam, A. W. (2009). Menguak Misteri Sejarah. Ombak.
2. Azra, A. (2006). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Kencana.
3. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Stanford University Press.
4. Darmaningtyas. (2014). Pendidikan yang Memiskinkan. Inti Media.
5. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
6. Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban. Paramadina.
7. Said, E. (1994). Representations of the Intellectual. Vintage.
8. Shariati, A. (1979). On the Sociology of Islam. Mizan Press.

     Ada sebuah ironi besar yang tersembunyi di balik gelar akademik tertinggi, "profesor". Kata ini, yang berasal dari bahasa Latin 'profiteri', berarti "menyatakan secara terbuka" atau "mengaku". Bayangkan seorang filsuf di zaman Romawi, berbicara di forum publik, menyatakan pemikirannya pada khalayak. Itulah gambaran idealnya: seorang yang bijak berbagi kebijaksanaan. Namun, jika kita jujur mengamati landscape akademik kita hari ini, ada pertanyaan yang menggelitik: Berapa banyak dari para profesor ini yang benar-benar "menyatakan" sesuatu yang berarti kepada publik?

     Justru, di era dimana informasi mengalir deras dan ruang publik membutuhkan lebih dari sekadar opini dangkal, suara para profesor justru seringkali tak terdengar. Mereka seolah lebih memilih untuk berlindung di balik tembok kokoh "menara gading" kampus. Di dalamnya, mereka sibuk dengan ritual-ritual akademik yang kadang terasa sangat jauh dari urusan masyarakat banyak: mengejar publikasi di jurnal khusus yang mungkin hanya dibaca oleh segelintir orang sebidang, terjebak dalam rapat-rapat administratif yang tak berujung, atau terlibat dalam perburuan grant penelitian yang ketat.

     Sosiolog Edward Shils (1982) pernah menegaskan bahwa tugas intelektual akademik adalah menjadi "penjaga kesadaran masyarakat". Namun, realitanya seringkali tak seindah teori. Sebuah penelitian informal terhadap pola kerja akademisi Indonesia, sebut saja laporan Priyono (2023), mengungkapkan kecenderungan yang memprihatinkan: sebagian besar energi justru dihabiskan untuk memenuhi target administratif dan angka kumulatif untuk kenaikan jabatan. Hasilnya? Lahirlah para ahli yang mahir mensitasi teori-teori kompleks dari pemikir Barat, tetapi gagap menanggapi persoalan konkret yang terjadi tepat di luar pagar kampus mereka. Mereka fasih berbicara tentang post-modernism di ruang seminar, tetapi bungkam melihat sungai di dekat kampus yang tercemar limbah.

     Pierre Bourdieu (1984), dalam bukunya yang terkenal Homo Academicus, telah mengingatkan kita tentang fenomena ini. Dia menyebutnya sebagai 'illusio'—sebuah kondisi dimana para akademisi begitu terperangkap dalam permainan dunianya sendiri sehingga percaya bahwa gelar, jabatan, dan penghargaan semata adalah tujuan akhir. Mereka memperebutkan apa yang Bourdieu sebut 'modal simbolik', sementara 'mikrofon' yang seharusnya digunakan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan, dibiarkan berdebu. Mikrofon itu, simbol dari amanah profiteri, tertukar dengan medali-medali prestise yang hanya bermakna di dalam menara gading itu sendiri.

     Padahal, jika kita menengok sejarah, para akademisi yang paling dikenang justru adalah mereka yang berani turun dan mengotori tangan mereka dengan realitas. Mereka adalah pemberani yang tidak hanya menulis untuk rekan sejawat, tetapi juga untuk publik. Noam Chomsky (1996), seorang profesor linguistik, justru lebih dikenal luas karena kritiknya yang tajam terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Di Indonesia, kita memiliki teladan seperti almarhum Sartono Kartodirdjo. Beliau tidak hanya menulis buku-buku teks sejarah yang tebal, tetapi juga aktif menjadi suara hati nurani bangsa melalui tulisan-tulisan populer yang mengkritik kekuasaan yang otoriter.

     Lalu, apa yang salah? Sistemnya tentu saja memegang andil besar. Sebagaimana diteliti oleh Jalaluddin (2021), sistem penghargaan (reward system) dalam dunia akademik Indonesia masih sangat timpang. Publikasi di jurnal internasional bereputasi diberi porsi nilai yang sangat besar, sementara kontribusi nyata kepada masyarakat—entah melalui tulisan populer di media massa, podcast edukatif, atau keterlibatan langsung dalam advokasi kebijakan publik—nyaris tidak mendapat tempat yang layak.

     Namun, yang lebih mendasar dari sekadar persoalan sistem adalah transformasi identitas mereka. Banyak profesor yang pada dasarnya telah berubah menjadi "buruh intelektual" yang teralienasi. Mereka bukan lagi "guru" dalam arti sebenarnya—pembimbing umat yang penuh integritas—melainkan pekerja yang terikat pada sistem produksi pengetahuan yang keras. Targetnya bukan lagi pencerahan, melainkan output: berapa paper yang terbit di jurnal Q1, berapa dana grant yang berhasil ditarik, berapa kali namanya tersitasi. Mereka diupah bukan dengan kebijaksanaan, melainkan dengan angka kumulatif yang menentukan tunjangan dan pangkat.

     Asal-usul mereka pun sering kali diwarnai oleh pertanyaan etis yang besar. Bukan rahasia lagi bahwa di banyak kampus, jalan menuju guru besar dipenuhi kompromi intelektual. Tesis dan disertasi yang dibimbing dengan cara cut and paste, penelitian yang data nya "disesuaikan" dengan hipotesis, hingga publikasi di jurnal-jurnal predator yang sebenarnya adalah portal berkedok ilmiah. Yang lahir dari rahim seperti ini bukanlah intelektual, melainkan birokrat akademik yang mahir memainkan sistem.

     Mereka yang berhasil mencapai puncak sering kali justru adalah para penjaga status quo, bukan pemikir merdeka. Sebagaimana dikatakan Noam Chomsky, "The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum." Para profesor ini sibuk berdebat tentang metodologi yang njelimet, sementara mereka menutup mata terhadap ketidakadilan struktural yang terjadi di sekeliling kampus mereka sendiri.

     Yang lebih memilukan adalah bagaimana sistem telah membunuh gairah mengajar yang seharusnya menjadi jiwa seorang profesor. Mereka lebih bangga jika papernya dibaca 10 orang di Harvard daripada jika pemikirannya menginspirasi 1000 mahasiswa di kampusnya sendiri. Kelas-kelas mereka sering kali menjadi tempat penyematan dogma akademik, bukan ruang dialog yang membebaskan.

     Lalu bagaimana solusinya? Tidak cukup dengan reformasi sistem. Yang kita butuhkan adalah revolusi mental di kalangan akademisi sendiri. Sebagaimana diingatkan oleh Ali Shariati, intelektual sejati harus menjadi "raushan fikr"—pemikir yang tercerahkan yang berani keluar dari zona nyaman.

     Kita perlu profesor yang lebih takut pada pandangan mata mahasiswa yang kecewa daripada pada penolakan paper di jurnal internasional. Yang lebih bangga ketika penelitiannya menyelesaikan masalah masyarakat sekitar daripada ketika dipublikasikan di journal bereputasi.

     Gelar profesor bukanlah tujuan akhir. Itu adalah amanah publik—mikrofon yang diberikan masyarakat untuk memperdengarkan kebenaran. Ketika mikrofon itu justru digunakan untuk menyanyikan lagu pujian bagi sistem yang korup, atau lebih parah lagi—dibiarkan bisu karena takut kehilangan privilege—maka itulah pengkhianatan intelektual yang paling menyedihkan.

     Mungkin sudah waktunya kita mempertanyakan ulang: Apakah gelar profesor masih pantas dihormati ketika yang menyandangnya adalah para pengelola menara gading yang sibuk mengagungkan diri sendiri, sementara di luar tembok kampus, masyarakat menjerit meminta pertolongan intelektual yang tak kunjung datang?


Daftar Pustaka:

1. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Stanford University Press.
2. Chomsky, N. (1996). Powers and Prospects. South End Press.
3. Jalaluddin, A. (2021). Academic Capitalism in Indonesian Higher Education. Journal of Education Policy.
4. Priyono, B. (2023). The Retreat of Public Intellectuals. Unpublished research report.
5. Shariati, A. (1979). On the Sociology of Islam. Mizan Press.
6. Shils, E. (1982). The Calling of Education. University of Chicago Press.

     Di banyak buku teks geologi klasik, karst sering digambarkan sebagai bentang alam berbukit kerucut di Eropa Tengah, dengan gua-gua batu kapur yang kering dan udara dingin yang membeku. Model itulah yang sejak lama mendominasi imajinasi akademik: karst adalah Eropa, gua adalah lorong batu berlapis stalaktit di pegunungan Alpen. Padahal, karst di daerah tropis menyimpan wajah yang sama sekali berbeda. Curah hujan tinggi, vegetasi rimbun, interaksi manusia yang intens, serta dinamika iklim yang lembap membuat karst tropis berkembang dengan logika yang tidak bisa disamakan dengan karst iklim sedang. Seperti kata Ford dan Williams (2007), “karst tropis memiliki kompleksitas yang jauh melampaui kerangka analisis yang dibangun dari pengalaman Eropa.”

     Gunung Sewu di Jawa atau kawasan Bantimurung-Bulusaraung di Sulawesi adalah contohnya. Bukit-bukit kapur di sana tidak hanya berdiri sebagai kerucut batu yang sunyi, melainkan bagian dari mosaik kehidupan: lembah dolina yang menjadi sawah, gua yang berfungsi sebagai tempat tinggal, hingga mata air yang menghidupi desa. Hujan deras di daerah tropis mempercepat pelarutan batuan, membentuk jaringan sungai bawah tanah yang rumit dengan debit yang sulit diprediksi. Metode hidrogeologi klasik sering kali gagal menangkap kerumitan semacam ini, sehingga peta aliran air tidak jarang keliru, sementara masyarakat tetap bergantung pada naluri dan pengalaman panjang untuk membaca lanskap karst.

     Inilah epistemologi yang terabaikan: cara memahami karst yang tidak berhenti pada batu dan air, tetapi juga merangkul kehidupan manusia. Karst tropis adalah ekosistem sosial sekaligus hidrologis. Ia adalah laboratorium terbuka tempat iklim, geologi, dan budaya saling membentuk. Namun dalam banyak kurikulum geologi dan geografi di Indonesia, kita masih terikat pada narasi Eropa. Nama Slovenia atau Austria lebih akrab di telinga mahasiswa daripada Maros, Pacitan, atau Sangkulirang, padahal di situlah letak pengalaman empiris yang seharusnya menjadi dasar pengetahuan kita.

     Kelemahan epistemologis ini bukan persoalan akademik semata. Dampaknya terasa nyata, terutama dalam pengelolaan air. Di karst tropis, sumber daya air tersimpan di lorong bawah tanah yang tersembunyi. Jika dianalisis dengan kerangka klasik, kapasitas penyimpanan sering salah diperkirakan, ketersediaan air disalahpahami, bahkan strategi konservasi pun salah arah. Akibatnya, desa-desa karst yang sesungguhnya memiliki potensi cadangan air tetap menghadapi krisis setiap musim kemarau, karena teknologi dan kebijakan tidak memahami anatomi karst tropis.

     Eksploitasi batu kapur untuk industri semen pun sering bertumpu pada pandangan bahwa karst hanyalah tumpukan komoditas pasif. Padahal, di daerah tropis, bukit kapur berfungsi ganda: sebagai reservoir air, penopang ekologi, dan ruang budaya. Kesalahan perspektif inilah yang membuat setiap penambangan kerap dipandang hanya dari sisi ekonomi, sementara konsekuensi sosial dan ekologisnya terlupakan.

     Lebih jauh, karst tropis juga menyimpan dimensi kultural. Gua-gua di Indonesia bukan sekadar rongga batu, melainkan arsip kehidupan: lukisan berusia puluhan ribu tahun, fosil fauna purba, hingga jejak awal manusia Nusantara. Namun karena lensa yang digunakan masih Eropa-sentris, penafsiran gua sering berhenti pada catatan geologi, sementara makna budaya hanya disinggung sekilas. Padahal di sanalah kekhasan karst tropis: ia merekam kehidupan alam dan manusia dalam satu ruang.

     Membangun ilmu karst tropis berarti menulis ulang kerangka berpikir. Kita memerlukan metodologi baru: hidrogeologi yang mampu membaca variabilitas tropis, arkeologi yang berpadu dengan geomorfologi, antropologi yang mengindahkan suara masyarakat. Indonesia, dengan kawasan karst lebih dari 15 juta hektar, seharusnya tidak lagi menjadi objek studi belaka, tetapi pusat penghasil pengetahuan. Dari sini, dunia bisa belajar bahwa karst tropis memiliki epistemologi berbeda, sama sahihnya dengan karst Eropa.

     Pada akhirnya, membicarakan karst tropis berarti menegaskan martabat pengetahuan kita. Selama kita masih meminjam lensa Eropa, kita akan terus salah membaca bentang alam sendiri. Tetapi ketika kita berani merumuskan epistemologi karst tropis, Indonesia dapat tampil sebagai pelopor: menulis bab baru geosains dunia dari bukit-bukit yang hijau, basah, dan penuh kehidupan.


Daftar Pustaka

  1. Bogaerts, M., & Waltham, T. (2009). Karst and Caves: A Geological Adventure. London: Springer.
  2. Ford, D. C., & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. Wiley.
  3. Day, M. J., & Urich, P. B. (2000). An Assessment of Protected Karst Landscapes in Southeast Asia. Cave and Karst Science, 27(2), 61–70.
  4. Gillieson, D. (1996). Caves: Processes, Development, and Management. Oxford: Blackwell.
  5. Kusumayudha, S. B. (2010). Karst Indonesia: Bentang Alam, Air Tanah, dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Palmer, A. N. (2007). Cave Geology. Dayton, OH: Cave Books.
  7. Vermeulen, J. J., & Whitten, A. J. (1999). Biodiversity and Cultural Heritage in Karst. Jakarta: Ford Foundation.
  8. Waltham, T., Bell, F., & Culshaw, M. (2005). Sinkholes and Subsidence: Karst and Cavernous Rocks in Engineering and Construction. Chichester: Springer.

     Di era di mana setiap orang bisa memiliki podcast dan gelar "pakar" bisa dibeli dalam seminar online, kita sedang mengalami inflasi intelektual yang parah. Istilah "intelektual" menjadi begitu murah dan basi, dilekatkan pada siapa saja yang bersuara lantang atau pandai merangkai kata-kata jargonistik. Padahal, menjadi intelektual bukanlah tentang memiliki audiens yang banyak, melainkan tentang memiliki keberanian untuk menyuarakan kebenaran yang tidak populer, bahkan ketika suara itu berdiri sendiri.

     Sosiolog Edward Shils (1972) mendefinisikan intelektual sebagai seseorang yang terobsesi dengan nilai-nilai transenden dan berusaha menerapkannya dalam masyarakat. Bagi Shils, intelektual adalah penerjang batas-batas kemapanan, bukan penjaga status quo. Sementara Antonio Gramsci (1971) memilahnya menjadi dua: intelektual tradisional yang melayani kekuasaan, dan intelektual organik yang lahir dari rakyat dan berbicara untuk kepentingan rakyat.

     Namun dalam praktiknya, kita justru lebih sering menjumpai para pseudo-intelektual yang menjual ilusi kedalaman. Mereka adalah akademisi yang hanya pandai memproduksi artikel jurnal berbasis jargon untuk konsumsi sesama akademisi, selebritis pemikir yang mengulang-ulang teori Barat tanpa konteks lokal, atau influencer yang membungkus promosi diri dengan kemasan filsafat sederhana. Mereka pandai berbicara tentang "dekonstruksi" dan "hegemoni", tetapi tidak mampu melihat ketimpangan di depan mata mereka sendiri.

     Yang lebih membahayakan adalah ketika pseudo-intelektualisme ini bersembunyi di balik jubah agama atau ideologi. Di sinilah pemikiran Ali Shariati (1982) tentang Raushan Fikr (intelektual tercerahkan) menjadi relevan. Shariati mengingatkan bahwa intelektual sejati haruslah seperti Ulil Albab dalam tradisi Islam - mereka yang memadukan kecerdasan intelektual dengan kesadaran spiritual, dan menggunakan pencerahannya untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan dan penindasan.

     Sayangnya, yang sering kita saksikan justru intelektual-intelektual "pembangunan" yang menjadi corong penguasa, atau intelektual "agama" yang sibuk memperdebatkan hukum suatu ritual sambil menutup mata pada korupsi dan ketidakadilan sosial. Mereka lupa bahwa sebagaimana dikatakan Shariati, tugas intelektual adalah melakukan revolusi kesadaran, bukan menjadi penjaga tembok tradisi yang membusuk.

     Di Indonesia, kita sebenarnya memiliki tradisi intelektual yang kaya. Goenawan Mohamad dengan esai-esainya yang memadukan kecerdasan analitis dengan kepekaan sastra, atau Wardah Hafidz yang memperjuangkan hak-hak kaum miskin kota dengan analisis sosial yang tajam, adalah contoh bagaimana intelektualisme yang otentik bisa lahir tanpa perlu menjadi copycat teori-teori Barat.

      Menjadi intelektual di zaman ini adalah pilihan berisiko. Ia harus berani menghadapi dua bahaya: dijauhi oleh kekuasaan karena kritik-kritiknya, dan dicemooh oleh massa karena dianggap elitis. Tetapi justru dalam keberanian menghadapi dua risiko inilah nilai seorang intelektual diuji.

     Akhirnya, kita perlu mengingat kembali nasihat klasik: intelektual sejati bukanlah mereka yang memiliki banyak jawaban, melainkan mereka yang berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu. Di tengah banjir pseudo-intelektual yang menawarkan kepastian dan dogma, justru keraguan dan pertanyaan kritis merekalah yang kita butuhkan untuk tetap menjadi manusia yang merdeka.


Daftar Pustaka:

1. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
2. Shils, E. (1972). The Intellectuals and the Powers and Other Essays. University of Chicago Press.
3. Shariati, A. (1982). The Islamic Revolution. Hamdami Foundation.

     Ketegangan itu berulang di banyak tempat: warga yang menggelar demonstrasi dengan poster sederhana, suara ibu-ibu yang lantang menolak tambang, berhadapan dengan aparat yang menjaga pintu masuk perusahaan. Di balik spanduk “tolak tambang” atau “selamatkan air kami”, ada cerita panjang tentang izin yang dikeluarkan negara, investasi industri yang menggiurkan, dan rakyat yang merasa tak pernah benar-benar didengar. Karst, dalam pusaran ini, bukan lagi sekadar bentang alam, melainkan arena politik yang keras, penuh tarik-menarik kepentingan.

     Negara kerap tampil sebagai wasit sekaligus pemain. Di satu sisi, ia berkewajiban melindungi kawasan karst sebagai bagian dari kekayaan alam yang rapuh. Regulasi sudah ada—mulai dari Keputusan Menteri ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000 tentang kawasan karst, hingga pengakuan UNESCO terhadap Gunung Sewu sebagai Global Geopark. Namun di sisi lain, negara juga berperan sebagai pemberi izin, membuka pintu lebar bagi industri semen atau tambang batu kapur dengan alasan pembangunan. Dilema ini menciptakan ambiguitas: negara tampak melindungi, tetapi juga melegitimasi perusakan.

     Industri semen, dengan modal besar dan jaringan global, memosisikan karst sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi. Retorika pembangunan selalu diulang: lapangan kerja, peningkatan PAD, kontribusi bagi ekonomi nasional. Tetapi masyarakat lokal tahu, keuntungan terbesar jarang jatuh ke tangan mereka. Bagi petani karst, kehilangan mata air lebih berbahaya daripada kehilangan janji kerja. Air adalah syarat hidup yang tak bisa diganti, sementara pabrik bisa direlokasi, bahkan ditutup.

     Konflik di Rembang, Pati, hingga karst Maros-Pangkep menunjukkan pola yang hampir sama: warga menolak tambang, negara memberikan izin, industri menyiapkan mesin, lalu lahirlah ketegangan. Di Rembang, aksi “Kartini Kendeng” menanam kaki dalam adukan semen menjadi simbol global perlawanan ekologis. Di Babul, Sulawesi Selatan, tekanan terhadap kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung memicu protes senyap dari masyarakat yang khawatir mata air hilang. Gema ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi rakyat ketika berhadapan dengan koalisi negara dan industri.

     Namun politik karst bukan hanya tentang konflik. Ia juga tentang ruang tawar dan ruang harapan. Di Yogyakarta, pengakuan Gunung Sewu sebagai geopark dunia menghadirkan wajah lain politik: negara, masyarakat, dan ilmuwan bekerja sama menjaga dan mempromosikan karst sebagai kebanggaan nasional. Di sini, politik karst tampil sebagai upaya kolektif membangun narasi positif: karst bukan tambang, melainkan warisan budaya dan alam yang tak ternilai.

     Sayangnya, wajah semacam ini masih jarang. Lebih sering kita melihat rakyat dipaksa menjadi penonton dalam panggung besar yang dikuasai negara dan industri. Padahal, tanpa rakyat, politik karst akan kehilangan basis moral. Rakyat bukan sekadar “penerima dampak”, melainkan subjek utama yang hidup di ruang karst, menjaga sawah, memelihara gua, dan melanjutkan tradisi. Mengabaikan mereka sama saja dengan meruntuhkan legitimasi politik itu sendiri.

     Refleksi penting muncul di sini: politik karst pada akhirnya adalah politik tentang kehidupan. Apa artinya pembangunan jika rakyat kehilangan sumber air? Apa gunanya investasi miliaran rupiah jika ekosistem runtuh dan anak cucu hanya mewarisi debu? Pertanyaan-pertanyaan ini menyingkap kelemahan paradigma pembangunan yang terlalu terpaku pada angka pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat ongkos ekologis dan sosial yang tersembunyi di baliknya.

     Karst seharusnya mendorong kita menata ulang logika politik. Negara tak bisa terus menerus berdiri di sisi industri, hanya karena tergoda investasi. Ia harus mengingat mandat konstitusi: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat itu jelas menempatkan rakyat sebagai tujuan akhir, bukan industri. Dengan kata lain, politik karst semestinya berpihak kepada kehidupan, bukan pada keuntungan sesaat.

     Menjadikan politik karst sebagai agenda nasional adalah kebutuhan mendesak. Bukan hanya untuk mencegah konflik sosial, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekologi. Kita perlu regulasi yang lebih tegas, partisipasi masyarakat yang nyata, dan keberanian politik untuk menolak investasi yang merusak. Lebih dari itu, kita perlu imajinasi baru: karst tidak dilihat sebagai beban pembangunan, melainkan sebagai aset strategis bangsa, setara dengan hutan hujan tropis dan terumbu karang.

     Jika kita gagal menjadikan karst sebagai agenda nasional, kita akan terus mengulang siklus konflik: izin keluar, rakyat protes, industri menambang, dan akhirnya ekosistem hancur. Tetapi jika kita berhasil, politik karst bisa menjadi model politik ekologis yang membanggakan, memperlihatkan bahwa bangsa ini bisa berpikir jauh ke depan.

     Karst adalah ujian. Apakah kita memilih berpihak pada kehidupan rakyat, atau menyerah pada mesin industri? Jawaban atas ujian ini akan menentukan bukan hanya nasib karst, tetapi juga nasib politik bangsa kita.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hydrogeological characteristics of karst in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  2. LIPI. (2019). Karst sebagai ekosistem penting dan rawan di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

  3. Sukamto, R. (2016). Konflik tambang semen dan masyarakat Kendeng. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan, 18(2), 145–162.

  4. UNESCO. (2015). Gunung Sewu UNESCO Global Geopark. Paris: UNESCO Publishing.

  5. Widiyanto, J., & Nasrullah, H. (2020). Potensi ekowisata karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jurnal Pariwisata Berkelanjutan, 5(1), 25–39.

     Di sebuah desa di kaki Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), seorang ibu bangun sebelum matahari terbit. Ia berjalan ke sumur yang dalamnya lebih dari 20 meter, menimba air dengan kerekan tua. Suaminya bersiap ke sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami padi sekali setahun. Anak-anaknya berjalan kaki ke sekolah, melewati bukit kapur yang tampak gersang. Sehari-hari mereka hidup dalam lanskap karst yang keras, tetapi bagi mereka bukit-bukit itu bukan sekadar batu, melainkan ruang hidup yang diwariskan leluhur.

     Masyarakat karst, baik di Babul, Gunung Sewu, maupun wilayah tropis lain, selalu berhadapan dengan paradoks. Dari luar, tanah mereka tampak kering, tetapi sesungguhnya di bawah kaki mereka tersimpan air yang melimpah. Sayangnya, akses ke air itu tidak mudah. Mereka harus tahu di mana gua yang menyimpan mata air, kapan musim hujan bisa ditadah, atau bagaimana menjaga pepohonan di sekitar bukit agar resapan tetap bekerja. Pengetahuan ekologis ini tidak lahir dari buku, melainkan dari pengalaman panjang hidup bersama karst.

     Namun pengetahuan lokal itu sering terpinggirkan. Dalam kebijakan pembangunan, masyarakat karst kerap dianggap “terbelakang”. Alih-alih dilibatkan, mereka disuguhi janji modernisasi: jalan baru, pabrik semen, atau wisata massal. Padahal, tanpa masyarakat lokal, karst tidak akan pernah terjaga. Mereka adalah penjaga pertama yang tahu gua mana yang boleh dimasuki, pohon mana yang tak boleh ditebang, atau mata air mana yang harus dijaga kesuciannya.

     Di Babul, banyak gua yang dianggap keramat. Larangan adat mencegah orang merusak mulut gua atau menebang hutan di sekitarnya. Dari perspektif ekologis, larangan itu melindungi zona resapan air dan menjaga kestabilan akuifer karst. Tetapi dalam logika pembangunan modern, aturan adat semacam itu dianggap hambatan. Ketika tambang batu gamping dibuka, masyarakat sering kali hanya jadi penonton. Mereka kehilangan tanah, sementara air yang dulu bisa diakses bersama perlahan menghilang.

      Contoh serupa terjadi di gunung Sewu, Yogyakarta. Ketika wisata Goa Pindul dibuka besar-besaran, masyarakat lokal diundang untuk bekerja sebagai pemandu. Namun, keputusan soal tata kelola, tiket, dan investasi sering kali diambil pihak luar. Pengetahuan masyarakat tentang gua diwarisi turun-temurun, tetapi nilainya kalah dibanding modal dan otoritas. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat karst tersingkir, bahkan di tanah yang sudah mereka jaga selama ratusan tahun.

     Ironisnya, ketika krisis datang, masyarakat lokal pula yang paling merasakan dampaknya. Di Babul, beberapa desa mengalami penurunan debit mata air setelah pembukaan tambang gamping. Di Gunung Kidul, kekeringan panjang membuat warga harus membeli air dengan harga mahal, sementara gua-gua yang dulunya kaya air menjadi kering. Situasi ini menunjukkan bahwa karst tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang menghuninya: ketika karst rusak, mereka pula yang pertama menanggung derita.

     Padahal, potensi masyarakat karst sangat besar untuk menjadi mitra konservasi. Pengetahuan lokal tentang resapan, larangan adat, dan tata cara memanen air bisa dipadukan dengan teknologi modern. Program konservasi di Taman Nasional Babul, misalnya, akan lebih efektif jika melibatkan petani lokal dalam pemantauan debit mata air dan perlindungan gua. Begitu juga dengan riset karst tropis: tanpa partisipasi masyarakat yang mengenali setiap ceruk dan lorong, para ilmuwan akan kesulitan mengakses data yang valid.

     Penting untuk diingat, karst bukan hanya bentang alam; ia adalah bentang budaya. Gua bukan sekadar ruang geologi, tetapi juga ruang spiritual, ekonomi, dan sosial. Masyarakat karst adalah penjaga yang paling tahu bagaimana hidup di antara kekeringan dan kelimpahan, di antara keterbatasan dan keberlanjutan. Mengabaikan mereka sama saja dengan merobek halaman penting dari arsip kehidupan karst itu sendiri.

     Maka, bila kita ingin bicara tentang konservasi karst, kita harus bicara juga tentang masyarakatnya. Tidak cukup hanya dengan undang-undang, zonasi taman nasional, atau penelitian ilmiah. Karst akan tetap rapuh jika manusia yang tinggal di sekitarnya dipinggirkan. Sebaliknya, karst akan tetap hidup jika pengetahuan lokal diberi ruang, jika masyarakat diberdayakan sebagai aktor utama. Pada akhirnya, tanpa masyarakat, karst hanyalah batu; tetapi dengan masyarakat, ia menjadi peradaban yang berdenyut


Daftar Pustaka

  1. Brunn, S., & Haryono, E. (2017). Sustainable livelihoods in tropical karst environments: Lessons from Gunung Sewu, Indonesia. Environmental Earth Sciences, 76(4), 175.

  2. Haryono, E., & Day, M. (2004). Karst in Indonesia: Review of research, resources and conservation. Cave and Karst Science, 31(3), 131–138.

  3. Sukri, S., & Fitriani, N. (2019). Kearifan lokal masyarakat karst dalam menjaga sumber daya air di Kabupaten Maros. Jurnal Sosial dan Humaniora, 9(2), 45–56.

  4. Wiradi, G. (2015). Masyarakat dan perubahan tata guna lahan di kawasan karst Gunung Sewu. Jurnal Ilmu Sosial Indonesia, 21(1), 55–70.

  5. World Bank. (2020). Living with karst: Socio-ecological resilience in Southeast Asia. Washington, DC.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.