Di tengah gemuruh reformasi pendidikan tinggi Indonesia yang sibuk membicarakan angka kredit, akreditasi internasional, dan publikasi Scopus, ada satu pertanyaan mendasar yang justru terpinggirkan: untuk apa sebenarnya intelektual Indonesia berdiri? Apakah mereka hadir sebagai penjaga menara gading yang asyik dengan diskusi-diskusi esoteris, atau sebagai penerang yang turun ke gelanggang membawa obor pencerahan?
Ali Shariati (1979), pemikir revolusioner Iran, menawarkan konsep yang relevan untuk menjawab kegelisahan ini: raushan fikr atau "intelektual tercerahkan". Bagi Shariati, intelektual sejati bukanlah sekadar pemikir yang cerdas, melainkan mereka yang memadukan kecerdasan akal dengan kesadaran spiritual dan keberpihakan pada kaum tertindas. Yang menarik, Shariati menghubungkan figur ini dengan konsep Qur'ani ulil albab - mereka yang mampu memadukan dzikir dan pikir, yang mengingat Tuhan sambil terus merenungi ciptaan-Nya.
Sayangnya, wajah pendidikan tinggi Indonesia justru menunjukkan wajah yang bertolak belakang. Kita menyaksikan para akademisi yang terjebak dalam apa yang Bourdieu (1984) sebut sebagai "illusio akademik" - percaya bahwa permainan simbolik dalam dunia kampus adalah segalanya. Mereka sibuk mengejar angka KUM, berebut jabatan struktural, dan berlomba publikasi di jurnal bereputasi, sementara masalah-masalah konkret di luar kampus seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis moral dibiarkan tak tersentuh.
Padahal, jika menengok sejarah intelektual Indonesia, kita memiliki tradisi gemilang para cendekiawan yang menjadi raushan fikr. Seperti dicatat oleh Asvi Warman Adam (2009), para founding fathers kita seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir adalah intelektual organik yang mampu menjembatani teori Barat dengan realitas Indonesia. Mereka tidak hanya menulis buku-buku tebal, tetapi juga turun ke jalan, mengorganisir rakyat, dan merumuskan visi kebangsaan.
Yang kita saksikan sekarang justru fenomena yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid (1992) sebagai "intelektual yang teralienasi". Mereka pandai berbicara tentang teori-teori Barat, tetapi gagap membaca denyut nadi masyarakatnya sendiri. Mereka fasih membahas postmodernisme di ruang kuliah, tetapi bungkam melihat praktik korupsi di institusi mereka sendiri. Mereka menjadi yang Gramsci (1971) sebut sebagai "intelektual tradisional" yang melayani kekuasaan, bukan "intelektual organik" yang lahir dari rakyat.
Paradoks terbesar terjadi di institusi-institusi pendidikan agama. Di satu sisi, mereka memiliki modal spiritual dan tradisi intelektual yang kaya untuk melahirkan ulil albab. Di sisi lain, banyak dari mereka justru terjebak dalam formalisme keagamaan yang kaku. Sebagaimana dikritik oleh Azyumardi Azra (2006), pendidikan agama sering kali berhenti pada pemeliharaan tradisi, bukan pada pencerahan dan pembebasan.
Lalu bagaimana membangun kembali tradisi raushan fikr ini? Pertama, kita perlu reorientasi tujuan pendidikan tinggi. Sebagaimana diingatkan oleh Darmaningtyas (2014), pendidikan harus kembali ke khittahnya sebagai alat pembebasan, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. Kedua, sistem reward akademik perlu rekonfigurasi. Bukan hanya menghargai publikasi internasional, tetapi juga kontribusi nyata pada masyarakat.
Ketiga, dan yang paling penting, adalah membangun kesadaran kritis di kalangan akademisi muda. Mereka perlu didorong untuk menjadi yang dikatakan Edward Said (1994) sebagai "intelektual yang memihak" - yang berani menyuarakan kebenaran meski tidak populer, yang mampu berdiri di luar kekuasaan untuk mengkritiknya.
Menjadi ulil albab di zaman modern adalah tentang keberanian untuk keluar dari menara gading. Tentang kesediaan untuk mengotori tangan dengan realitas, sambil tetap menjaga integritas intelektual. Tentang kemampuan untuk memadukan kecerdasan akal dengan kebijaksanaan spiritual, sebagaimana diajarkan oleh tradisi ulil albab.
Seperti
diingatkan oleh Shariati, tugas intelektual adalah menjadi "penerjemah
zaman" - mereka yang mampu membaca tanda-tanda zaman dan
mentransformasikannya menjadi proyek pencerahan. Inilah tantangan
terbesar pendidikan tinggi Indonesia: melahirkan bukan sekadar akademisi
pandai, tetapi raushan fikr yang mampu menerangi kegelapan zamannya.
Daftar Pustaka:
1. Adam, A. W. (2009). Menguak Misteri Sejarah. Ombak.
2. Azra, A. (2006). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Kencana.
3. Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Stanford University Press.
4. Darmaningtyas. (2014). Pendidikan yang Memiskinkan. Inti Media.
5. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
6. Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban. Paramadina.
7. Said, E. (1994). Representations of the Intellectual. Vintage.
8. Shariati, A. (1979). On the Sociology of Islam. Mizan Press.
Posting Komentar
...