Keabadian dalam Kefanaan

     Ada momen aneh ketika berdiri di puncak gunung: tubuh yang ringkih, paru-paru yang megap-megap, kaki yang gemetar, justru menjadi saat ketika rasa keberadaan terasa paling penuh. Semakin kecil manusia di hadapan alam, semakin besar kesadaran akan eksistensinya. Sebuah ironi yang menohok: keterbatasan justru melahirkan keluasan, kefanaan justru menyentuh keabadian.

     Gunung adalah altar yang menelanjangi ilusi manusia tentang kuasa. Semua teknologi yang dibawa, semua rencana, semua perhitungan bisa runtuh hanya oleh kabut yang turun terlalu cepat atau badai yang tak kunjung reda. Di hadapan langit yang terlalu luas dan tanah yang terlalu tua, manusia hanyalah percikan singkat, setetes debu di arus kosmik. Namun justru di situ, dalam kerendahan mutlak, muncul kebesaran rasa: aku ada. Aku kecil, tapi aku menyaksikan. Aku fana, tapi aku merasakan. Aku terbatas, tapi aku tahu keterbatasan itu. Kesadaran kecil ini, entah mengapa, menyingkap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

     Banyak orang mencari keheningan di gunung. Tetapi ironinya, keheningan justru membuka kebisingan batin. Begitu suara dunia hilang, suara dalam kepala menggema lebih keras. Pikiran yang disangka sudah jinak ternyata liar. Kenangan yang dikira telah usai ternyata berulang. Gunung tidak memberi ketenangan begitu saja, ia malah menyingkapkan betapa bisingnya manusia di dalam. Dan hanya dengan melewati kebisingan itu, barulah keheningan sejati bisa disentuh. Seperti menembus kabut: harus tersesat dulu sebelum langit biru kembali terlihat.

     Ada pula kontradiksi kebebasan. Manusia mendaki dengan perasaan bebas, ingin lepas dari rutinitas, dari jerat kota, dari segala kewajiban. Tetapi di gunung, kebebasan justru berarti tunduk. Tunduk pada cuaca, pada jalur, pada ritme alam. Tidak bisa mendikte kapan hujan berhenti atau kapan matahari terbit. Kebebasan mutlak ternyata hanya mungkin jika manusia rela tunduk mutlak. Dan anehnya, justru di saat menyerah pada hukum alam, manusia merasa paling bebas. Bukankah itu absurd? Bahwa ketaatan justru melahirkan kebebasan?

     Dan mungkin yang paling getir ketika banyak orang mendaki untuk mencari Tuhan di puncak, tetapi sering kali justru menemukannya di lembah. Di puncak, langit memang dekat, cakrawala terbuka, tetapi waktunya sebentar, hanya sesaat. Justru ketika turun, ketika tubuh lelah, ketika kabut menutup jalan, ketika hujan menampar wajah, saat itulah manusia merasakan sesuatu yang melampaui diri. Seolah Yang Maha Tinggi tidak bersemayam di ketinggian, melainkan di jalan berdebu, di langkah yang tertatih, di air yang dibagi, di api kecil yang menyelamatkan malam. Puncak hanyalah simbol, yang sejati justru tersembunyi dalam perjalanan.

     Paradoks spiritual-metafisis ini bukan sekadar permenungan di gunung. Ia adalah gambaran absurd dari hidup itu sendiri. Semakin manusia mengejar abadi, semakin sadar akan fana. Semakin mencari makna, semakin berjumpa dengan absurditas. Semakin ingin bebas, semakin harus tunduk. Gunung hanya mempertegas apa yang selalu ada: bahwa hidup adalah kontradiksi yang tidak bisa diuraikan, hanya bisa dijalani.

     Banyak pendaki pernah berdiri di sebuah puncak, matahari muncul sekejap di sela awan, lalu kabut kembali menutup segalanya. Momen itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi terasa seperti keabadian. Dan sekaligus, terasa begitu fana. Detik itu berlalu, hilang, tak bisa diulang. Namun entah mengapa, ingatan akan momen singkat itu tetap hidup, seperti sesuatu yang tak bisa mati. Di situlah manusia mengerti: abadi bukan berarti selamanya, abadi adalah fana yang meninggalkan jejak dalam batin.

     Gunung sering berbisik: semakin manusia merasa kecil, semakin besar ia sesungguhnya. Semakin ikhlas kehilangan, semakin abadi dalam jejak yang tertinggal. Semakin pasrah, semakin bebas berjalan. Dan di situlah paradoks spiritual bersemayam, bukan sebagai teka-teki untuk dipecahkan, tapi sebagai kebijaksanaan yang harus dijalani. Luka dan absurditas itu bukan musuh, melainkan pintu menuju pemahaman yang tak terucapkan.

Gunung hanya mempertegas apa yang selalu ada: bahwa hidup adalah kontradiksi yang tidak bisa diuraikan, hanya bisa dijalani.

This is the most recent post.
Posting Lama

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.