Catatan Terakhir di Tepi Waktu
Tidak ada kesimpulan dalam hidup—hanya jeda-jeda panjang antara satu pemahaman dan kehilangan berikutnya. Ia sudah melewati banyak hal: keinginan untuk dimengerti, kegelisahan untuk menjadi sesuatu, perlawanan terhadap sunyi, dan akhirnya—penerimaan terhadap waktu yang tak dapat diatur serta kematian yang tak perlu dikalahkan.
Semua itu kini terasa seperti arus sungai yang membawa dirinya perlahan, lembut, tanpa arah yang perlu ia rencanakan.
Ia tidak lagi menulis untuk menjelaskan apa pun. Ia menulis hanya untuk mendengar gema dirinya sendiri, memastikan bahwa ia masih hidup di dalam setiap kata yang belum selesai. Ia tahu, suatu saat huruf-huruf itu akan kehilangan makna, tapi bukan berarti lenyap—karena setiap kalimat yang pernah lahir dari kejujuran akan bertransformasi menjadi sesuatu: mungkin angin, mungkin cahaya, mungkin hanya diam yang mengandung makna.
Dalam keheningan terakhir itu, ia mengingat wajah-wajah yang pernah singgah, percakapan yang tak sempat dituntaskan, dan tawa yang pernah menembus sepi. Ia tidak ingin mengulangnya. Ia hanya ingin menyimpan semuanya seperti batu kecil di dasar sungai—tak tampak, tapi tetap ada.
Ia mengerti kini bahwa hidup bukan perjalanan menuju tempat tertentu. Hidup adalah bagaimana seseorang berjalan, jatuh, berdiri, menatap langit, dan terus bertanya meski tak ada jawaban. Setiap langkah adalah bentuk doa, setiap kesalahan adalah cara Tuhan bercanda agar manusia tak merasa terlalu pandai.
Dan jika kelak seseorang membaca catatan-catatan ini—barangkali anaknya, barangkali sahabatnya, barangkali seseorang yang tak pernah ia kenal—ia berharap mereka tidak mencari pelajaran darinya. Ia tidak ingin dipahami, hanya diingat sebagai seseorang yang berusaha hidup dengan jujur, meski sering gagal.
Sebab pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar abadi kecuali keinginan untuk memahami hidup, dan keberanian untuk tetap mencari maknanya di tengah absurditas yang tak pernah berhenti menertawakan kita.
Ia menutup bukunya pelan, lalu menatap langit yang mulai memudar.
Ada seberkas cahaya tipis menembus celah awan.
Dan dalam diam itu, ia tahu—ia telah tiba.
Bukan di akhir, tapi di tempat di mana akhir dan awal bersatu menjadi satu kata yang tak bisa diucapkan.
Hening.
Dan cukup.
Bukan Biografi, Bukan Apa Pun
➮ 01: Tentang Keheningan dan Kebisingan
➮ 02: Tentang Pengetahuan dan Kesepian
➮ 03: Tentang Ketidakcerdasan dan Kejujuran
➮ 04: Lelaki yang Tidak Menjadi Apa-Apa
➮ 05: Manusia yang Takut Menjadi Normal
➮ 06: Catatan di Sela Perjalanan
➮ 07: Kesunyian yang Tidak Ingin Disembuhkan
➮ 08: Tentang Waktu yang Tidak Ingin Dikejar
➮ 09: Di Antara Dua Nafas
➮ 10: Kematian yang Tidak Ingin Ditaklukkan
➮ 11: Catatan Terakhir di Tepi Waktu