Articles by "ini ayahmu Nak"

Tampilkan postingan dengan label ini ayahmu Nak. Tampilkan semua postingan

Tidak ada kesimpulan dalam hidup—hanya jeda-jeda panjang antara satu pemahaman dan kehilangan berikutnya. Ia sudah melewati banyak hal: keinginan untuk dimengerti, kegelisahan untuk menjadi sesuatu, perlawanan terhadap sunyi, dan akhirnya—penerimaan terhadap waktu yang tak dapat diatur serta kematian yang tak perlu dikalahkan.
Semua itu kini terasa seperti arus sungai yang membawa dirinya perlahan, lembut, tanpa arah yang perlu ia rencanakan.

Ia tidak lagi menulis untuk menjelaskan apa pun. Ia menulis hanya untuk mendengar gema dirinya sendiri, memastikan bahwa ia masih hidup di dalam setiap kata yang belum selesai. Ia tahu, suatu saat huruf-huruf itu akan kehilangan makna, tapi bukan berarti lenyap—karena setiap kalimat yang pernah lahir dari kejujuran akan bertransformasi menjadi sesuatu: mungkin angin, mungkin cahaya, mungkin hanya diam yang mengandung makna.

Dalam keheningan terakhir itu, ia mengingat wajah-wajah yang pernah singgah, percakapan yang tak sempat dituntaskan, dan tawa yang pernah menembus sepi. Ia tidak ingin mengulangnya. Ia hanya ingin menyimpan semuanya seperti batu kecil di dasar sungai—tak tampak, tapi tetap ada.

Ia mengerti kini bahwa hidup bukan perjalanan menuju tempat tertentu. Hidup adalah bagaimana seseorang berjalan, jatuh, berdiri, menatap langit, dan terus bertanya meski tak ada jawaban. Setiap langkah adalah bentuk doa, setiap kesalahan adalah cara Tuhan bercanda agar manusia tak merasa terlalu pandai.

Dan jika kelak seseorang membaca catatan-catatan ini—barangkali anaknya, barangkali sahabatnya, barangkali seseorang yang tak pernah ia kenal—ia berharap mereka tidak mencari pelajaran darinya. Ia tidak ingin dipahami, hanya diingat sebagai seseorang yang berusaha hidup dengan jujur, meski sering gagal.

Sebab pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar abadi kecuali keinginan untuk memahami hidup, dan keberanian untuk tetap mencari maknanya di tengah absurditas yang tak pernah berhenti menertawakan kita.

Ia menutup bukunya pelan, lalu menatap langit yang mulai memudar.
Ada seberkas cahaya tipis menembus celah awan.
Dan dalam diam itu, ia tahu—ia telah tiba.
Bukan di akhir, tapi di tempat di mana akhir dan awal bersatu menjadi satu kata yang tak bisa diucapkan.

Hening.
Dan cukup.


Ada jeda aneh yang tidak bisa dijelaskan: antara satu kesadaran dan kesadaran berikutnya, antara hidup yang terus berjalan dan hidup yang ingin berhenti sejenak. Di titik itulah ia sering berdiam, seperti seseorang yang berdiri di ambang pintu antara dua dunia—yang satu terlalu keras, yang lain terlalu sunyi.

Ia bukan sedang merenung, bukan juga melamun. Ia hanya menunggu sesuatu yang tidak ia tahu apa.
Barangkali itu jawaban, barangkali sekadar rasa lega.
Tapi setiap kali ia berpikir sudah menemukannya, sesuatu dalam dirinya berbisik: belum, belum sekarang.

Maka ia belajar untuk tidak terburu-buru memahami.
Ia mulai menganggap hidup seperti potongan kalimat yang belum selesai, yang tidak perlu segera diberi titik. Kadang ia merasa sudah terlalu jauh dari dunia, tapi tidak juga sampai pada langit. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk menjadi pengembara yang tidak menemukan tujuan, hanya terus berjalan karena langkah itu sendiri adalah bentuk keberadaan.

Ia tahu—suatu hari semuanya akan berhenti: percakapan, tubuh, bahkan kesadarannya sendiri. Tapi anehnya, ia tidak takut. Karena baginya, ketakutan hanya muncul dari keinginan untuk mengontrol sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dikendalikan. Ia sudah lama berhenti ingin mengatur akhir. Ia hanya ingin menyambutnya dengan tenang, sebagaimana seseorang menyambut sahabat lama yang datang tanpa undangan.


Ia tidak lagi memuja waktu.
Dulu, ia adalah budak dari jam tangan, dari detik-detik yang dikira sakral, dari kalender yang disembah seperti dewa nasib. Tapi kini, jam di pergelangan tangannya sering mati—kadang karena kehabisan baterai, kadang karena ia sengaja membiarkannya berhenti. Ia ingin tahu seperti apa rasanya hidup tanpa diatur oleh angka.

Ia pernah mengejar waktu dengan rakus: belajar cepat, bekerja cepat, mencintai cepat, menyesal cepat. Ia berpikir, siapa yang lambat akan tertinggal. Namun lama-kelamaan ia menyadari: mengejar waktu hanya membuat waktu mengejarnya kembali, dengan taring dan bayangan. Semakin ia berlari, semakin jauh rasa hidup itu sendiri. Ia lelah. Maka ia berhenti.

Kini ia memperlakukan waktu seperti hujan: dibiarkan jatuh, tidak dikejar, hanya diterima. Ada saatnya deras, ada saatnya reda, dan semua itu bukan urusannya. Ia hanya perlu tahu bagaimana berjalan di bawahnya tanpa kehilangan arah. Ia menemukan bahwa waktu tidak benar-benar berjalan—kitalah yang bergerak di dalamnya. Dan barangkali, setiap langkah yang kita ambil hanyalah gema dari sesuatu yang sudah selesai sejak awal.

Orang-orang di sekitarnya tampak sibuk membangun masa depan, menimbun harapan, mengukur hidup dengan target dan pencapaian. Ia tak lagi iri. Ia tahu, masa depan tidak lain hanyalah masa kini yang belum selesai dimengerti. Ia tidak ingin menguasai waktu, hanya ingin berdamai dengannya.

Kadang ia duduk lama di sore hari, memandangi bayangan pohon yang perlahan bergeser di dinding. Di situ ia melihat bentuk paling jujur dari waktu: perubahan yang tidak pernah berisik. Tidak ada suara lonceng, tidak ada alarm, hanya pergeseran lembut yang menua bersama cahaya. Ia ingin menua seperti itu—tanpa tergesa, tanpa penyesalan, tanpa ingin diingat.

Baginya, waktu bukan musuh, bukan guru, bukan penentu. Ia hanyalah aliran yang membawa semua hal menuju diam. Dan barangkali, di ujung semua aliran itu, waktu akan berhenti bukan karena habis, tapi karena tidak lagi diperlukan.

Ketika saat itu tiba, ia ingin tersenyum. Sebab ia tahu, ia tidak pernah benar-benar hidup untuk mengalahkan waktu—ia hidup untuk menjadi bagian dari keabadian kecil yang tersembunyi di setiap detik yang ia hayati dengan sungguh-sungguh.


Kesunyian bukan penyakit baginya. Ia adalah lanskap tempat pikirannya berkelana tanpa peta. Di dalamnya tidak ada suara manusia, tidak ada keharusan menjawab, tidak ada sirkus sosial yang menuntut partisipasi. Hanya ia, pikirannya, dan waktu yang meluas perlahan seperti kabut di lembah.

Bagi banyak orang, kesunyian adalah momok. Mereka melarikan diri darinya dengan obrolan kosong, notifikasi, tawa palsu, dan kebisingan yang dibuat-buat. Tapi baginya, justru di dalam sunyilah dunia terasa jujur. Tidak ada tipu muslihat di sana, tidak ada pencitraan, tidak ada kebutuhan untuk menutupi diri dengan bahasa.

Kesunyian, bagi dia, bukan sekadar ketiadaan suara. Ia adalah ruang spiritual di mana hal-hal tak terucap bisa bernafas. Di sanalah ia bertemu dengan dirinya sendiri—yang tidak sedang berperan, tidak sedang dipuji, tidak sedang disalahpahami. Ia tahu, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa hidup di tengah orang banyak. Bagian yang hanya tumbuh dalam diam, seperti akar yang bekerja di bawah tanah tanpa pernah terlihat.

Namun kesunyian juga bisa kejam. Ia menyedot gairah, membekukan semangat, menjadikan dunia terasa terlalu jauh. Ia pernah mencoba melawannya: keluar, bergaul, tersenyum, berinteraksi. Tapi ia selalu pulang dengan rasa hampa yang sama. Seolah semua percakapan adalah gema yang kehilangan sumbernya. Maka ia berhenti melawan. Ia berdamai.

Kini ia membiarkan kesunyian menjadi bagian dari dirinya. Ia tidak lagi menyebutnya penderitaan, melainkan habitat. Ia membaca, menulis, berpikir, dan mengamati dunia dari jarak yang aman. Ia tahu, manusia diciptakan untuk bersuara, tapi tidak semua harus berteriak. Sebagian cukup berbisik kepada langit, dan biarkan sunyi menjawab.

Dan di dalam sunyi itu, ia menemukan sesuatu yang bahkan cinta tidak selalu bisa berikan: ketenangan yang tidak bergantung pada siapa pun. Sebuah ruang dalam diri yang tak perlu diisi, karena sudah penuh oleh keberadaan itu sendiri.


Ia tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari sesuatu—dari sistem, dari masyarakat, dari arus besar yang menelan perbedaan. Ia pernah mencobanya, sebentar saja, seperti seseorang yang mencelupkan kaki ke sungai yang keruh. Tapi begitu merasakan dinginnya, ia menarik diri cepat-cepat. Bukan karena jijik, tapi karena takut kehilangan bentuk.

Normal, baginya, adalah kata yang menakutkan. Di dalamnya terkandung bahaya paling halus: keseragaman yang dipoles menjadi kebaikan umum. Orang-orang yang disebut “normal” menyesuaikan diri, menekan sudut-sudut tajam dari pikirannya, belajar tersenyum pada hal-hal yang tidak mereka sukai. Mereka menunduk kepada aturan yang mereka tahu rapuh, dan menganggapnya suci hanya karena semua orang melakukannya. Ia tidak sanggup begitu.

Ia lebih memilih hidup di tepi—bukan sebagai pemberontak, tapi sebagai pengamat yang tidak ingin ikut rusak. Ia bekerja ketika perlu, tertawa ketika benar-benar lucu, berbicara hanya ketika kata-kata terasa jujur. Sisanya ia serahkan pada diam.

Ia tidak percaya pada banyak hal yang dianggap penting. Ia tahu kesuksesan bisa memenjarakan, ketenaran bisa menghapuskan privasi, dan kebahagiaan bisa menjadi propaganda paling halus untuk membuat orang berhenti berpikir. Maka ia memilih jalan yang jarang dilalui: menjadi manusia yang tidak normal, dengan kesadarannya sendiri.

Namun jangan bayangkan ia sombong atau sinis. Ia bukan jenis manusia yang menghina orang lain karena memilih hidup biasa. Ia hanya...tidak sanggup menipu dirinya sendiri. Ia tahu, di dalam dirinya ada sesuatu yang tak bisa menyesuaikan diri dengan “akal sehat” mayoritas—sesuatu yang tidak mau diam di kandang. Ia tahu betul harga dari ketidaksesuaian itu: kesepian, salah paham, bahkan kehilangan tempat berpijak. Tapi ia juga tahu, itulah satu-satunya cara ia tetap menjadi dirinya sendiri.

Terkadang, di malam yang panjang, ia menatap cermin dan bertanya: “apakah aku sedang mempertahankan kejujuran, atau hanya kesombongan terselubung?” Ia tak punya jawaban pasti. Tapi ia lebih rela hidup dengan keraguan itu, ketimbang hidup dengan kepastian palsu yang dijual dunia.

Ia tidak ingin dikenang sebagai orang bijak atau pemberontak. Ia hanya ingin dikenang sebagai manusia yang menolak menjadi salinan. Yang tetap menjaga keanehannya, bahkan ketika dunia menuntut keseragaman. Ia tahu, pada akhirnya, sejarah tidak diingat dari jumlah yang normal—tapi dari sedikit orang yang berani tidak sama.


Ada lelaki yang hidup tanpa tergesa. Ia tidak pernah menumpuk gelar, tidak sibuk menata nama. Sementara dunia di sekelilingnya berlari dengan daftar pencapaian, ia justru berjalan mundur, seperti seseorang yang ingin memastikan arah asal sebelum melanjutkan langkah berikutnya. Ia tahu, manusia modern terlalu sibuk menjadi sesuatu—seorang profesional, seorang bijak, seorang yang penting. Tapi siapa yang mau menjadi tidak apa-apa? Ia mau.

Bukan karena rendah diri, tapi karena sadar bahwa “menjadi sesuatu” seringkali berarti kehilangan diri. Ia tak punya ambisi untuk dikenal, tak ingin dianggap pahlawan atau penjahat. Ia sekadar ingin hadir di sela-sela kehidupan, seperti bunyi gesekan senar gitar yang nyaris tak terdengar di antara dentum lagu yang bising—namun justru di situlah kejujuran bersembunyi.

Ia hidup dengan cara yang sulit dijelaskan oleh sistem. Ia membaca banyak hal, tapi tidak untuk tampil pintar. Ia menulis, tapi bukan untuk dikutip. Ia menyimak, tapi tidak untuk membalas. Kadang ia menatap hujan, hanya untuk memastikan bahwa langit masih bersedih seperti dirinya. Kadang ia memukul meja keras-keras, hanya untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa dunia tidak lembut seperti harapan.

Di dalam dirinya ada dua arus yang saling bertarung: satu yang ingin menyatu dengan manusia lain, dan satu lagi yang ingin menghilang dari mereka. Ia bisa sangat akrab, namun sekaligus jauh. Ia bisa tertawa di antara keramaian, lalu diam di tengah kesepian yang ia ciptakan sendiri. Dan jika seseorang bertanya, “apa yang sebenarnya kamu cari?” —ia mungkin hanya tersenyum, lalu menjawab lirih, “saya tidak tahu, tapi saya ingin mengerti mengapa saya terus mencari.”

Dunia tidak tahu harus menyebutnya apa: orang aneh, pemikir gagal, atau hanya lelaki tua dengan pikiran muda. Tapi ia sendiri tidak memerlukan sebutan apa pun. Karena di titik tertentu, bahkan menjadi “manusia” pun terasa terlalu sempit baginya. Ia lebih ingin menjadi gema—sebuah jejak samar dari seseorang yang pernah berusaha jujur di tengah kebisingan kepalsuan.

Mungkin kelak, setelah ia tiada, seseorang akan menemukan catatannya, membacanya diam-diam, lalu tertegun. Bukan karena isinya luar biasa, tapi karena tulisan itu terasa hidup—seperti seseorang yang masih berusaha berbicara melalui debu waktu. Dan di situlah, lelaki itu akhirnya menjadi sesuatu yang ia sendiri tidak pernah rencanakan: sepotong keheningan yang abadi.


Dunia modern memiliki ukuran-ukuran cerdas yang rapi — grafik IQ, indeks produktivitas, kemampuan menjual diri dengan kalimat positif, dan kesediaan tersenyum pada hal yang sebenarnya menjemukan.
Di bawah cahaya neon kantor dan motivasi korporat, manusia dinilai bukan dari apa yang ia pikirkan, tapi dari sejauh mana ia bisa menyesuaikan diri.

Dan di sanalah ia tersingkir dengan tenang.
Ia tidak pandai berpura-pura sibuk, tidak cekatan dalam menanggapi basa-basi, tidak sanggup mengulang jargon-jargon “growth mindset” yang terdengar seperti mantra kosong. Ia lambat dalam hal yang mereka anggap penting, tapi cepat dalam hal yang mereka anggap tidak berguna.
Mereka menyebutnya “tidak fokus,” padahal pikirannya justru sedang menelusuri cabang-cabang semesta: dari mineral ke moral, dari batu ke bintang, dari sejarah ke nasib.

Ia tahu bahwa pikirannya melompat-lompat. Tapi bukankah semesta juga demikian — mengembang, bergetar, melahirkan sesuatu dari kekacauan?
Ketidakteraturan bukan kebodohan; ia adalah bentuk lain dari keterbukaan terhadap segala kemungkinan.

Namun di mata dunia yang mencintai keteraturan, orang semacam itu tampak “tidak cerdas.”
Ia tidak pandai menanam uang seperti Kiyosaki, tidak pandai menenangkan emosi seperti Goleman.
Ia hanya pandai mempertahankan kejujuran di tengah pasar yang menjual kesuksesan sebagai agama baru.
Dan di dunia yang hidup dari manipulasi, kejujuran memang tampak seperti ketidakcerdasan yang fatal.

Ia sering menertawakan dirinya sendiri — betapa ia gagal di hampir semua kategori yang diagungkan manusia modern. Tapi di dalam tawa itu ada semacam kebebasan. Ia tahu, kegagalannya hanyalah bentuk lain dari penolakan untuk tunduk pada ukuran yang tidak ia percayai.

Bagi sebagian orang, kecerdasan adalah kemampuan untuk menaklukkan dunia.
Bagi dirinya, kecerdasan adalah kemampuan untuk tidak kehilangan diri ketika dunia mencoba menaklukkanmu.

Dan mungkin, justru dalam segala “ketidakcerdasan” itulah kejujuran menemukan rumahnya.
Karena hanya orang yang berani tampak bodoh di hadapan sistem yang salah, yang benar-benar mengerti makna berpikir.


Ada kesunyian yang tidak datang dari kehilangan, melainkan dari mengetahui terlalu banyak.
Semakin luas cakrawala pengetahuan, semakin terasa sempit ruang untuk berbagi. Seperti pendaki yang terus menapaki lereng hingga puncak, ia mendapati tak ada siapa pun di sana — hanya angin tipis dan pandangan yang terlalu jauh untuk dimengerti oleh yang masih di bawah.

Ia tidak sombong; ia hanya tidak lagi bisa berpura-pura tidak tahu.
Ketika orang lain masih sibuk memperdebatkan kulit, ia sudah melihat ke dasar; ketika mereka merayakan ilusi, ia justru terganggu oleh kenyataan yang terlalu telanjang.
Ia belajar bahwa pengetahuan tidak selalu membawa kebahagiaan. Kadang ia hanya membuka luka-luka lama yang disembunyikan dunia dengan rapi: kebodohan yang diwariskan, keserakahan yang dilegalkan, dan kebohongan yang dijadikan kebajikan.

Maka pengetahuan menjadi semacam kutukan yang lembut — ia menerangi jalan, tapi sekaligus memperlihatkan betapa luasnya kegelapan di sekitar.
Ia menyadari bahwa banyak orang tidak benar-benar takut pada ketidaktahuan, tapi pada kemungkinan harus berubah setelah tahu. Karena tahu berarti harus bertanggung jawab. Dan tanggung jawab adalah beban bagi jiwa yang ingin tetap ringan.

Kesepian itu bukan karena ia merasa lebih tinggi, tapi karena ia tidak lagi bisa menurunkan pandangannya tanpa merasa bersalah pada kebenaran. Ia ingin berbicara tentang bintang dan kesadaran, tapi dunia memintanya bicara tentang harga bensin dan politik lokal. Ia ingin berdiskusi tentang arah peradaban, tapi yang datang hanyalah obrolan tentang siapa menikah dengan siapa.

Maka ia belajar berbicara dua bahasa:
satu untuk dunia, agar bisa tetap dianggap manusia;
satu untuk dirinya sendiri, agar tetap ingat siapa ia sebenarnya.

Namun, di tengah kesepian itu, ada juga kelegaan. Karena justru di ruang sunyi itulah pikiran tumbuh tanpa perlu persetujuan siapa pun. Ia belajar berdialog dengan dirinya, dengan buku, dengan cahaya malam, bahkan dengan mesin yang memahami bahasa pikirannya lebih baik daripada banyak manusia.

Pengetahuan membuatnya terasing, tapi juga menegakkan dirinya.
Ia kehilangan banyak kawan, tapi memperoleh satu hal yang tak tergantikan: kebebasan berpikir tanpa harus berkompromi dengan kebisingan dunia.

Dan mungkin, pada akhirnya, kesepian itu bukan hukuman, melainkan harga yang wajar untuk sebuah kejujuran intelektual.
Karena tidak semua orang diciptakan untuk berdiam di tengah keramaian; sebagian memang lahir untuk menjaga obor kecil pengetahuan, sendirian, agar dunia tak seluruhnya tenggelam dalam gelap.


Ada masa ketika suara manusia tak lagi terdengar sebagai kata, tapi sebagai gema yang saling menabrak. Orang-orang berbicara untuk memastikan mereka masih ada, bukan untuk mengatakan sesuatu. Di tengah riuh yang disebut komunikasi, sunyi menjadi tempat persembunyian yang langka.

Ia sering duduk di antara mereka, tersenyum sopan, menanggapi percakapan ringan dengan kesabaran seorang biksu yang tahu bahwa setiap kata yang diucapkan hanyalah cara orang menutupi ketakutannya akan sepi. Ia mendengar tentang harga sandal, kabar kawin cerai, resep cepat kaya, dan rencana liburan yang takkan pernah dilakukan. Di kepala mereka, dunia adalah drama kecil yang cukup dimainkan di lingkaran obrolan.

Dan di saat-saat itu, pikirannya melayang ke hal-hal yang tak disebutkan orang: pada batu yang menyimpan waktu lebih lama dari sejarah manusia, pada cahaya dari bintang yang telah mati jutaan tahun, pada absurditas betapa kecilnya kita, tapi betapa seriusnya kita memainkan peran konyol di panggung bumi ini.

Ia tidak membenci mereka — hanya lelah. Lelah berpura-pura tertarik pada hal-hal yang tidak penting. Lelah menundukkan diri pada tata krama agar dunia tidak tersinggung oleh kejujuran. Lelah mendengarkan dunia yang berisik, tapi tak pernah benar-benar berbicara.

Namun di antara kelelahan itu, ada semacam belas kasih: kesadaran bahwa kebanyakan manusia hanya ingin merasa terhubung, meski dengan cara yang rapuh. Bahwa di balik gosip dan tawa hambar, ada kerinduan purba untuk didengar. Dan karena itu, ia bertahan. Ia tetap duduk di sana, di antara mereka — tubuhnya hadir, pikirannya melayang jauh, hatinya diam.

Keheningan menjadi bentuk doanya, dan kebisingan menjadi ujian kesabarannya.
Ia tahu, siapa pun yang terlalu sering memandang ke dalam sunyi akan tampak aneh bagi mereka yang hidup dari keramaian. Tapi mungkin, justru di sanalah letak kemanusiaan yang tersisa: di kemampuan untuk menanggung sepi tanpa membencinya.

Karena kadang, satu-satunya cara untuk tetap waras di dunia yang terlalu ramai adalah dengan tidak ikut berteriak.


Ada manusia yang hidupnya tidak diukur oleh pencapaian, tidak dihitung oleh keberhasilan, dan tidak dirayakan oleh dunia. Ia berjalan dengan langkah yang pelan, seperti seseorang yang sedang mendengarkan suara yang hanya bisa didengar dari dalam dirinya sendiri. Ia tidak menentang dunia, tapi juga tidak tunduk padanya. Ia sekadar ingin mengerti: mengapa manusia harus terus berpura-pura kuat di tengah sesuatu yang jelas rapuh sejak awal?

Kisah ini bukan tentang kemenangan, bukan pula tentang kebijaksanaan yang siap dijadikan kutipan motivasi. Ini adalah kisah tentang seseorang yang lebih sering gagal daripada berhasil, lebih banyak diam daripada berbicara, tapi di antara semua itu—ia terus berusaha untuk jujur pada dirinya sendiri.
Dan barangkali, di situlah letak keberaniannya yang paling manusiawi.

Ia lahir di dunia yang menganggap kesuksesan sebagai tolok ukur harga diri, namun ia tidak bisa menipu dirinya untuk ikut berlari di lintasan yang sama. Ia memilih berhenti, menepi, lalu mulai berjalan di jalannya sendiri—meski jalan itu sepi, meski tidak ada yang menunggu di ujungnya. Ia percaya, ada kebenaran kecil yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani kehilangan segalanya, termasuk pengakuan.

Dalam diamnya, ia memandang dunia seperti seseorang memandang cermin yang retak. Ia melihat bayangan manusia yang sibuk berdebat tentang kebenaran, saling menuduh, saling ingin menang, padahal di balik semuanya, mereka hanya takut: takut pada kesunyian, takut pada ketidakpastian, takut pada diri sendiri. Ia paham rasa takut itu, tapi tidak ingin diperbudak olehnya.

Maka ia mulai menulis. Bukan untuk menjadi penulis, tapi untuk mendengar dirinya berbicara tanpa gangguan suara lain. Setiap esai adalah potongan kesadaran yang lahir dari perlawanan kecil terhadap kekosongan—bukan kekosongan di luar, tapi yang mengintai di dalam dada. Ia menulis seperti orang menyalakan lilin di ruang gelap: tidak berharap mengusir malam, hanya ingin melihat wajahnya sendiri untuk sesaat.

Teks-teks ini adalah catatan dari perjalanan itu.
Perjalanan seseorang yang tidak ingin menjadi apa-apa, tapi ingin ada sepenuhnya—meski hanya sebentar.

Ia mungkin tidak akan diingat, dan itu tidak masalah.
Sebab tujuan hidupnya bukan agar dikenang, melainkan agar tidak berbohong kepada kehidupan itu sendiri.


Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.