Manusia yang Takut Menjadi Normal

Ia tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari sesuatu—dari sistem, dari masyarakat, dari arus besar yang menelan perbedaan. Ia pernah mencobanya, sebentar saja, seperti seseorang yang mencelupkan kaki ke sungai yang keruh. Tapi begitu merasakan dinginnya, ia menarik diri cepat-cepat. Bukan karena jijik, tapi karena takut kehilangan bentuk.

Normal, baginya, adalah kata yang menakutkan. Di dalamnya terkandung bahaya paling halus: keseragaman yang dipoles menjadi kebaikan umum. Orang-orang yang disebut “normal” menyesuaikan diri, menekan sudut-sudut tajam dari pikirannya, belajar tersenyum pada hal-hal yang tidak mereka sukai. Mereka menunduk kepada aturan yang mereka tahu rapuh, dan menganggapnya suci hanya karena semua orang melakukannya. Ia tidak sanggup begitu.

Ia lebih memilih hidup di tepi—bukan sebagai pemberontak, tapi sebagai pengamat yang tidak ingin ikut rusak. Ia bekerja ketika perlu, tertawa ketika benar-benar lucu, berbicara hanya ketika kata-kata terasa jujur. Sisanya ia serahkan pada diam.

Ia tidak percaya pada banyak hal yang dianggap penting. Ia tahu kesuksesan bisa memenjarakan, ketenaran bisa menghapuskan privasi, dan kebahagiaan bisa menjadi propaganda paling halus untuk membuat orang berhenti berpikir. Maka ia memilih jalan yang jarang dilalui: menjadi manusia yang tidak normal, dengan kesadarannya sendiri.

Namun jangan bayangkan ia sombong atau sinis. Ia bukan jenis manusia yang menghina orang lain karena memilih hidup biasa. Ia hanya...tidak sanggup menipu dirinya sendiri. Ia tahu, di dalam dirinya ada sesuatu yang tak bisa menyesuaikan diri dengan “akal sehat” mayoritas—sesuatu yang tidak mau diam di kandang. Ia tahu betul harga dari ketidaksesuaian itu: kesepian, salah paham, bahkan kehilangan tempat berpijak. Tapi ia juga tahu, itulah satu-satunya cara ia tetap menjadi dirinya sendiri.

Terkadang, di malam yang panjang, ia menatap cermin dan bertanya: “apakah aku sedang mempertahankan kejujuran, atau hanya kesombongan terselubung?” Ia tak punya jawaban pasti. Tapi ia lebih rela hidup dengan keraguan itu, ketimbang hidup dengan kepastian palsu yang dijual dunia.

Ia tidak ingin dikenang sebagai orang bijak atau pemberontak. Ia hanya ingin dikenang sebagai manusia yang menolak menjadi salinan. Yang tetap menjaga keanehannya, bahkan ketika dunia menuntut keseragaman. Ia tahu, pada akhirnya, sejarah tidak diingat dari jumlah yang normal—tapi dari sedikit orang yang berani tidak sama.


Ia tidak ingin dikenang sebagai orang bijak atau pemberontak. Ia hanya ingin dikenang sebagai manusia yang menolak menjadi salinan.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.