Ada lelaki yang hidup tanpa tergesa. Ia tidak pernah menumpuk gelar, tidak sibuk menata nama. Sementara dunia di sekelilingnya berlari dengan daftar pencapaian, ia justru berjalan mundur, seperti seseorang yang ingin memastikan arah asal sebelum melanjutkan langkah berikutnya. Ia tahu, manusia modern terlalu sibuk menjadi sesuatu—seorang profesional, seorang bijak, seorang yang penting. Tapi siapa yang mau menjadi tidak apa-apa? Ia mau.
Bukan karena rendah diri, tapi karena sadar bahwa “menjadi sesuatu” seringkali berarti kehilangan diri. Ia tak punya ambisi untuk dikenal, tak ingin dianggap pahlawan atau penjahat. Ia sekadar ingin hadir di sela-sela kehidupan, seperti bunyi gesekan senar gitar yang nyaris tak terdengar di antara dentum lagu yang bising—namun justru di situlah kejujuran bersembunyi.
Ia hidup dengan cara yang sulit dijelaskan oleh sistem. Ia membaca banyak hal, tapi tidak untuk tampil pintar. Ia menulis, tapi bukan untuk dikutip. Ia menyimak, tapi tidak untuk membalas. Kadang ia menatap hujan, hanya untuk memastikan bahwa langit masih bersedih seperti dirinya. Kadang ia memukul meja keras-keras, hanya untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa dunia tidak lembut seperti harapan.
Di dalam dirinya ada dua arus yang saling bertarung: satu yang ingin menyatu dengan manusia lain, dan satu lagi yang ingin menghilang dari mereka. Ia bisa sangat akrab, namun sekaligus jauh. Ia bisa tertawa di antara keramaian, lalu diam di tengah kesepian yang ia ciptakan sendiri. Dan jika seseorang bertanya, “apa yang sebenarnya kamu cari?” —ia mungkin hanya tersenyum, lalu menjawab lirih, “saya tidak tahu, tapi saya ingin mengerti mengapa saya terus mencari.”
Dunia tidak tahu harus menyebutnya apa: orang aneh, pemikir gagal, atau hanya lelaki tua dengan pikiran muda. Tapi ia sendiri tidak memerlukan sebutan apa pun. Karena di titik tertentu, bahkan menjadi “manusia” pun terasa terlalu sempit baginya. Ia lebih ingin menjadi gema—sebuah jejak samar dari seseorang yang pernah berusaha jujur di tengah kebisingan kepalsuan.
Mungkin kelak, setelah ia tiada, seseorang akan menemukan catatannya, membacanya diam-diam, lalu tertegun. Bukan karena isinya luar biasa, tapi karena tulisan itu terasa hidup—seperti seseorang yang masih berusaha berbicara melalui debu waktu. Dan di situlah, lelaki itu akhirnya menjadi sesuatu yang ia sendiri tidak pernah rencanakan: sepotong keheningan yang abadi.
Bukan Biografi, Bukan Apa Pun
➮ 01: Tentang Keheningan dan Kebisingan
➮ 02: Tentang Pengetahuan dan Kesepian
➮ 03: Tentang Ketidakcerdasan dan Kejujuran
➮ 04: Lelaki yang Tidak Menjadi Apa-Apa
➮ 05: Manusia yang Takut Menjadi Normal
➮ 06: Catatan di Sela Perjalanan
➮ 07: Kesunyian yang Tidak Ingin Disembuhkan
➮ 08: Tentang Waktu yang Tidak Ingin Dikejar
➮ 09: Di Antara Dua Nafas
➮ 10: Kematian yang Tidak Ingin Ditaklukkan
➮ 11: Catatan Terakhir di Tepi Waktu
Posting Komentar
...