Ia tidak lagi memuja waktu.
Dulu, ia adalah budak dari jam tangan, dari detik-detik yang dikira sakral, dari kalender yang disembah seperti dewa nasib. Tapi kini, jam di pergelangan tangannya sering mati—kadang karena kehabisan baterai, kadang karena ia sengaja membiarkannya berhenti. Ia ingin tahu seperti apa rasanya hidup tanpa diatur oleh angka.
Ia pernah mengejar waktu dengan rakus: belajar cepat, bekerja cepat, mencintai cepat, menyesal cepat. Ia berpikir, siapa yang lambat akan tertinggal. Namun lama-kelamaan ia menyadari: mengejar waktu hanya membuat waktu mengejarnya kembali, dengan taring dan bayangan. Semakin ia berlari, semakin jauh rasa hidup itu sendiri. Ia lelah. Maka ia berhenti.
Kini ia memperlakukan waktu seperti hujan: dibiarkan jatuh, tidak dikejar, hanya diterima. Ada saatnya deras, ada saatnya reda, dan semua itu bukan urusannya. Ia hanya perlu tahu bagaimana berjalan di bawahnya tanpa kehilangan arah. Ia menemukan bahwa waktu tidak benar-benar berjalan—kitalah yang bergerak di dalamnya. Dan barangkali, setiap langkah yang kita ambil hanyalah gema dari sesuatu yang sudah selesai sejak awal.
Orang-orang di sekitarnya tampak sibuk membangun masa depan, menimbun harapan, mengukur hidup dengan target dan pencapaian. Ia tak lagi iri. Ia tahu, masa depan tidak lain hanyalah masa kini yang belum selesai dimengerti. Ia tidak ingin menguasai waktu, hanya ingin berdamai dengannya.
Kadang ia duduk lama di sore hari, memandangi bayangan pohon yang perlahan bergeser di dinding. Di situ ia melihat bentuk paling jujur dari waktu: perubahan yang tidak pernah berisik. Tidak ada suara lonceng, tidak ada alarm, hanya pergeseran lembut yang menua bersama cahaya. Ia ingin menua seperti itu—tanpa tergesa, tanpa penyesalan, tanpa ingin diingat.
Baginya, waktu bukan musuh, bukan guru, bukan penentu. Ia hanyalah aliran yang membawa semua hal menuju diam. Dan barangkali, di ujung semua aliran itu, waktu akan berhenti bukan karena habis, tapi karena tidak lagi diperlukan.
Ketika saat itu tiba, ia ingin tersenyum. Sebab ia tahu, ia tidak pernah benar-benar hidup untuk mengalahkan waktu—ia hidup untuk menjadi bagian dari keabadian kecil yang tersembunyi di setiap detik yang ia hayati dengan sungguh-sungguh.
Bukan Biografi, Bukan Apa Pun
➮ 01: Tentang Keheningan dan Kebisingan
➮ 02: Tentang Pengetahuan dan Kesepian
➮ 03: Tentang Ketidakcerdasan dan Kejujuran
➮ 04: Lelaki yang Tidak Menjadi Apa-Apa
➮ 05: Manusia yang Takut Menjadi Normal
➮ 06: Catatan di Sela Perjalanan
➮ 07: Kesunyian yang Tidak Ingin Disembuhkan
➮ 08: Tentang Waktu yang Tidak Ingin Dikejar
➮ 09: Di Antara Dua Nafas
➮ 10: Kematian yang Tidak Ingin Ditaklukkan
➮ 11: Catatan Terakhir di Tepi Waktu
Posting Komentar
...