Camus Dalam Gema Sunyi Zaman Kita
Dalam Terang yang Bening
Ada saat-saat dalam sejarah ketika dunia tampak terbelah. Antara suara dan gema, antara kemajuan dan kehampaan, antara kemenangan teknologi dan keterasingan manusia. Di tengah bentangan waktu yang bergerak cepat, kita sering lupa bahwa hidup bukan hanya urusan bergerak maju, tapi juga urusan bertahan. Bukan hanya merancang masa depan, tapi mengerti mengapa hari ini harus dijalani. Dalam ruang itu, dalam celah yang tak selalu dijaga oleh optimisme kolektif atau ideologi besar, suara Camus bergema—pelan, namun tak pernah padam.
Ketujuh esai sebelum ini bukan sekadar percakapan dengan teks, bukan hanya pemaparan ulang pemikiran, tapi sebuah upaya menapaki jalan yang telah ia lalui dengan susah payah: jalan yang tidak menjanjikan keselamatan, tapi menawarkan kejujuran. Sejak dari Tebing Eksistensial, tempat di mana hidup dan kematian bergulat tanpa suara, kita belajar bahwa pertanyaan tentang bunuh diri bukan hanya soal akhir, tetapi juga tentang awal. Tentang mengapa kita harus hidup meski dunia tampak tak memberi alasan. Camus tidak menjawab dengan doktrin, tetapi dengan tubuh yang berdiri di bawah matahari, seperti Meursault. Seorang manusia biasa, yang memilih untuk tidak berdusta, meski kejujurannya membuatnya harus mati. Dalam tubuhnya, absurditas menjadi nyata, menjadi hidup, menjadi pilihan sehari-hari.
Dari sana, kita bergerak menuju keteguhan tanpa harapan. Dalam dingin, ternyata ada musim panas. Dalam dunia yang tidak memberi jaminan, masih ada cara untuk hidup dengan kepala tegak. Camus tidak mengusulkan harapan sebagai penawar, tapi menawarkan keteguhan sebagai jawaban. Ia tidak berkata "akan ada cahaya", tapi ia menunjuk pada keberanian manusia untuk tetap berjalan dalam gelap. Dan dari keberanian itulah lahir etika. Etika yang tidak dibentuk oleh sistem, tapi oleh pemberontakan batin. “Aku memberontak, maka kita ada” bukan seruan revolusi politik, tetapi deklarasi tentang nilai manusia yang tidak tunduk pada absurditas. Di sanalah etika Camusian tumbuh: bukan untuk menguasai, tetapi untuk berdiri bersama.
Dari pemberontakan, lahirlah persahabatan. Bukan persahabatan dalam pengertian sentimental, tapi persahabatan sebagai penolakan sistem. Di tengah kesunyian dunia yang tak memberi makna, manusia menemukan satu sama lain. Tidak sebagai alat, tidak sebagai sarana, tapi sebagai sesama penanggung absurditas. Seperti Daru dan Janine, seperti Rieux dan Tarrou, manusia Camus tidak menyelamatkan satu sama lain, tetapi berjalan bersama. Dalam keheningan, lahir makna yang lebih dalam daripada seribu teori. Sebuah makna yang tidak dipaksakan, tidak dikonstruksi, tapi tumbuh dari keberanian berbagi luka.
Dan di tengah semua itu, berdirilah Sisifus. Mendorong batu dalam lingkaran tak berujung. Tapi bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai pilihan. Camus tidak ingin kita kasihan pada Sisifus, ia ingin kita membayangkan Sisifus bahagia. Karena di sanalah letak rahasianya: menerima hidup sepenuhnya, tanpa berharap ia akan berubah menjadi sesuatu yang lain. Bahagia tanpa harapan bukan fatalisme. Itu adalah etika yang paling radikal: mencintai hidup sebagaimana adanya, tanpa syarat, tanpa ilusi, tanpa godaan melarikan diri ke surga atau ideologi.
Ketika kita tiba di Camus hari ini, suara itu tidak melemah. Justru di zaman yang penuh dengan pengganti makna—baik lewat teknologi, politik identitas, atau spiritualitas instan—Camus tetap teguh berdiri sebagai pengingat bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. Bukan dalam arti egois, tapi sebagai satu-satunya makhluk yang tahu bahwa ia akan mati, dan tetap memilih untuk mencipta, mencinta, memberontak. Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan, Camus adalah gema sunyi yang tak bisa diabaikan. Ia tidak menawarkan keselamatan, tetapi kehadiran. Ia tidak menjanjikan kebahagiaan, tetapi mengajarkan cara menjalani hidup yang tetap bermakna meski kebahagiaan itu tidak dijamin.
Semua esai ini, dengan caranya masing-masing, adalah upaya mendengar ulang suara itu. Menghidupkan kembali satu cara berpikir yang mungkin tidak membawa kemajuan dalam ukuran statistik, tapi membawa kita lebih dekat pada martabat. Dalam dunia yang terlalu cepat untuk merenung, terlalu penuh untuk merasa, terlalu bising untuk mendengar, Camus menuntut kita untuk diam sejenak. Untuk melihat hidup dengan mata terbuka, menerima kenyataan dengan dada terbuka, dan menjalani absurditas dengan hati yang tidak menyerah.
Bukan untuk menang. Bukan untuk menyelamatkan. Tapi agar kita tidak menjadi pengkhianat atas satu hal yang paling berharga: kemanusiaan itu sendiri.(part 8 of 8)
Eksistensialisme Albert Camus
➮ part 2: Absurditas Tanpa Ilusi
➮ part 3: Musim Panas di Dalam Dingin
➮ part 4: Aku Memberontak Maka Kita Ada
➮ part 5: Persahabatan Sebagai Penolakan Sistem
➮ part 6: Kebahagiaan Tanpa Harapan
➮ part 7: Relevansi Camus dan Zaman Kini
➮ part 8: Camus Dalam Gema Sunyi Zaman kita