Bunuh Diri sebagai Pertanyaan Filsafat Utama

Tebing Eksistensial

      Ketika seseorang berdiri di tepi jurang, menatap kosong ke bawah, dan mendengar gemuruh sunyi yang datang dari kedalaman, ia sedang menghadapi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar ketakutan akan kematian. Ia sedang berhadapan dengan absurditas. Di situlah Camus memulai. Bukan dari logika, bukan dari Tuhan, bukan dari cita-cita moral, tetapi dari momen ketika manusia mempertanyakan apakah hidup ini layak dijalani atau tidak. Dalam kalimat pembuka dari Le Mythe de Sisyphe, Camus menulis bahwa hanya ada satu masalah filsafat yang sungguh serius: bunuh diri. Segala yang lain, termasuk etika dan metafisika, datang sesudahnya.

      Mengapa pertanyaan itu menjadi pangkal? Karena Camus menyadari bahwa filsafat bukanlah arena permainan konsep yang jauh dari kehidupan nyata. Justru sebaliknya, filsafat muncul di saat manusia merasa guncang oleh kenyataan, ketika segala yang selama ini diyakini seakan tidak mampu lagi menopang eksistensi. Ketika rutinitas berhenti dan manusia sadar akan ketelanjangannya di hadapan semesta, lahirlah absurditas. Bagi Camus, absurditas adalah hasil benturan antara hasrat manusia akan makna dan ketertutupan dunia yang diam. Semesta tidak menawarkan jawaban, dan manusia haus akan jawaban. Di situlah absurditas tinggal—di antara dua kutub yang saling menolak namun tak bisa lepas satu sama lain.

      Namun Camus bukanlah seorang pesimis. Ia bukan pula seorang pengkhotbah nihilisme. Ia menolak untuk menyerah pada kekosongan. Di titik ketika manusia tergoda untuk melompat ke dalam jurang—baik secara harfiah melalui kematian, maupun secara simbolik dengan mencari perlindungan pada dogma yang menjanjikan makna palsu—Camus justru mengajak untuk tinggal. Untuk menetap dalam absurditas. Untuk menghidupi ketegangan itu, bukan melarikan diri darinya. Ia menyebut segala bentuk “pelarian” itu sebagai bunuh diri filosofis. Termasuk ketika seseorang melompat ke dalam pelukan Tuhan hanya karena tak sanggup menanggung absurditas. Bagi Camus, bahkan Kierkegaard, sang ksatria iman, tetap melakukan lompatan irasional yang menolak absurditas alih-alih menerimanya.

      Inilah keberanian Camus yang pertama: ia tidak sedang menawarkan penyelesaian, melainkan keberlangsungan. Hidup yang absurd bukan untuk diakhiri atau diselamatkan oleh ilusi, melainkan untuk dijalani dengan sadar. Untuk itu, Camus menampilkan mitos Sisifus sebagai metafora utama: manusia yang dihukum para dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya terguling kembali, dan terus mengulang tanpa akhir. Di permukaan, Sisifus adalah simbol kesia-siaan. Namun Camus justru menempatkannya sebagai lambang kebebasan. Ketika Sisifus sadar bahwa ia tidak akan pernah menang, namun terus mendorong batu itu dengan penuh kesadaran dan tekad, di sanalah kebesaran manusia ditunjukkan.

      Di dalam absurditas, Camus menemukan sejenis etika baru yang tak dibangun atas perintah ilahi maupun kewajiban rasional. Etika ini lahir dari pengakuan jujur atas batas-batas realitas. Ketika seseorang menyadari bahwa hidup ini tidak punya makna dari luar, maka ia bebas untuk menciptakan makna dari dalam. Kebebasan dalam absurditas bukanlah kebebasan yang liar, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap absurditas itu sendiri. Orang yang hidup dalam absurditas tidak memalsukan kenyataan, tetapi justru hidup dengannya secara utuh.

      Pilihan untuk tidak bunuh diri adalah pilihan untuk berkata “ya” kepada kehidupan, tanpa harus menipu diri bahwa kehidupan punya makna transenden. Camus menyebut ini sebagai revolusi dalam cara memandang eksistensi. Ia tidak mengharuskan orang percaya kepada sesuatu di luar dunia ini untuk merasa berarti. Sebaliknya, dunia ini sendiri, dengan seluruh absurditasnya, sudah cukup untuk membangkitkan pemberontakan eksistensial yang tulus. Pemberontakan yang tidak merusak, tapi mengafirmasi hidup. Pemberontakan yang mengatakan: aku tahu hidup ini tak punya makna mutlak, tapi justru karena itu aku akan menjalani hidup ini dengan lebih jujur dan penuh.

      Dan di sini muncul gambaran manusia camusian: seseorang yang hidup tanpa ilusi, yang menolak menyerah, dan yang memilih untuk menatap matahari meski ia tahu sinarnya membutakan. Manusia ini bukan pahlawan, bukan martir, bukan nabi. Ia adalah orang biasa—penjaga mercusuar, penulis novel, dokter kota kecil, pekerja kantor, narapidana, pencinta yang gagal. Tapi dari ketidakterkenalannya, muncul keberanian sehari-hari untuk terus hidup dan mencintai. Di dalam hal-hal kecil, Camus menemukan gerakan penolakan paling besar: menolak untuk menyerah.

      Dalam kehidupan kontemporer, absurditas hadir dalam bentuk yang tak kalah tajam. Ketika manusia semakin bergantung pada teknologi, ketika kerja menjadi rutinitas tanpa ruh, ketika relasi dikikis oleh mekanisasi sosial, absurditas menyeruak dari balik layar ponsel dan agenda rapat. Bahkan di tengah keramaian dan kemajuan, manusia tetap merasakan keterasingan yang sama seperti yang Camus temukan dalam kisah Meursault. Mungkin absurditas zaman sekarang tidak datang dari langit yang kosong, tetapi dari ketimpangan sosial, dari kematian yang digampangkan, dari sistem yang membuat orang merasa tak punya suara. Tapi seperti Sisifus, manusia hari ini juga bisa memilih untuk tetap menggulirkan batu dengan sadar, bahkan tersenyum saat melakukannya.

      Bunuh diri sebagai pertanyaan utama adalah jalan masuk, bukan jalan keluar. Camus tidak pernah menutup perenungan di sana. Ia justru menggunakannya sebagai batu loncatan menuju filsafat kehidupan. Filsafat yang tidak mencari surga, tapi memperjuangkan bumi. Filsafat yang tidak menuntut pengorbanan, tapi mendorong kesadaran. Di dalam absurditas, ada kemungkinan cinta. Di dalam kesia-siaan, ada ketekunan. Dan di dalam hidup yang tampak hampa, ada kehadiran yang paling manusiawi: kehadiran yang tetap tinggal meskipun tahu tak ada hadiah di ujungnya.

      Camus tahu, sebagian besar orang tidak membutuhkan argumen, melainkan kejelasan bahwa mereka tidak sendirian dalam keanehan yang mereka rasakan terhadap dunia. Oleh karena itu, ia tidak menulis seperti guru besar di atas mimbar, melainkan seperti seseorang yang duduk bersamamu di tepi tebing, melihat ke jurang yang sama, dan berkata: “Aku pun merasakannya. Tapi lihat, kita masih di sini.” Dan itu cukup. Dalam dunia yang tak memberi makna, satu-satunya makna yang tersisa adalah keberadaan kita bersama, dalam solidaritas yang sunyi namun teguh.(part 1 of 8)


Camus menulis bahwa hanya ada satu masalah filsafat yang sungguh serius: bunuh diri.Segala yang lain, termasuk etika dan metafisika, datang sesudahnya

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.