Keteguhan Tanpa Harapan
Camus pernah menulis bahwa di tengah musim dingin yang paling kelam, ia menemukan dalam dirinya sebuah musim panas yang tak terkalahkan. Kalimat itu kerap dikutip sebagai kata-kata penyemangat, namun sesungguhnya ia tidak ditulis dalam semangat optimisme. Kalimat itu lahir dari keputusasaan, dari kesadaran bahwa dunia tidak dibuat untuk manusia, bahwa penderitaan tidak akan mendapatkan penebusan, bahwa sejarah tidak bergerak menuju kebaikan. Musim panas yang tak terkalahkan itu bukanlah harapan akan masa depan yang lebih cerah, melainkan keberanian untuk tetap berdiri tegak ketika segala sesuatu menyeru kita untuk rebah. Di sinilah Camus menunjukkan wajah lain dari absurditas: bukan hanya sebagai absurditas pemikiran, tetapi sebagai absurditas hidup bersama.
Tidak ada karya Camus yang menangkap dimensi ini seintim La Peste. Di kota Oran yang dilanda wabah, waktu kehilangan bentuknya. Hari-hari menjadi rangkaian peristiwa yang tidak bergerak, seperti deretan napas yang dihela hanya untuk dilanjutkan ke napas berikutnya. Dalam dunia semacam ini, kata-kata kehilangan daya. Doa menjadi gema kosong, ideologi kehilangan pijakan, dan cinta terasa tak berguna di hadapan kematian massal. Kota itu menjadi laboratorium eksistensial, di mana manusia diuji bukan oleh iblis, tapi oleh ketidakpedulian semesta.
Dokter Bernard Rieux tidak percaya kepada Tuhan, juga tidak mempercayai kebermaknaan sejarah. Ia bukan tokoh besar dengan agenda mulia. Ia hanyalah seorang manusia yang bekerja. Ia tidak mencoba memahami wabah, tidak menafsirkan maknanya, tidak bertanya mengapa Tuhan membiarkan ini semua terjadi. Ia hanya bertindak: merawat yang sakit, mencatat angka kematian, mengorganisir tenaga medis, memanggul mayat ke krematorium. Dalam tindakannya yang tampak sederhana itulah, Camus menempatkan etika yang paling keras kepala: etika tanpa harapan.
Rieux tahu bahwa tidak ada kemenangan sejati dalam perang melawan wabah. Bahkan ketika kota akhirnya bebas dari penyakit, ia sadar bahwa wabah itu tidak pernah mati, hanya bersembunyi, dan akan kembali. Kemenangan tidak pernah total, dan karena itu tidak ada alasan untuk bersorak. Namun justru dalam pengakuan terhadap kekalahan inilah, Camus menemukan sejenis keteguhan yang tak bisa digoyahkan oleh kegagalan. Rieux tidak bertindak karena yakin akan hasilnya, tapi karena tidak tahan melihat penderitaan. Ia bukan orang yang berharap, melainkan orang yang tidak bisa tinggal diam.
Dalam logika absurditas, ketiadaan harapan bukanlah akhir dari segalanya. Ia justru adalah permulaan. Harapan selalu mengarah pada masa depan, pada hal-hal yang belum terjadi. Ia membuat manusia menunda kehidupan mereka demi sesuatu yang belum pasti. Tapi Rieux hidup di sini dan sekarang. Ia tidak menunggu dunia menjadi adil, tidak menunggu Tuhan turun tangan, tidak menunggu sejarah menggenapi janji-janji revolusioner. Ia hadir dalam dunia yang rusak, dan memilih tetap hadir dengan utuh. Ia tidak mencari makna di luar penderitaan, tapi memutuskan bahwa penderitaan itu sendiri cukup sebagai alasan untuk melawan.
Oran adalah dunia kita. Dunia di mana kebaikan kecil lebih penting daripada ide besar. Dunia di mana tindakan menjadi lebih berarti daripada kemenangan. Dunia di mana kebenaran tidak lahir dari dogma, melainkan dari solidaritas manusia yang rapuh. Camus tidak pernah tertarik untuk menulis tentang tokoh-tokoh yang disucikan atau dimuliakan. Ia lebih percaya pada mereka yang bekerja diam-diam, yang tidak menulis sejarah, tapi menjaga agar dunia tidak runtuh sepenuhnya. Ia percaya bahwa menjadi manusia berarti menerima kekalahan, namun tetap melanjutkan langkah.
Ketika Rambert, jurnalis yang awalnya hanya ingin keluar dari kota demi cintanya, akhirnya memutuskan tinggal dan membantu Rieux, kita melihat bahwa absurditas bukanlah penjara egoisme. Justru karena hidup ini tidak memiliki makna dari luar, maka manusia bisa menciptakan makna dari dalam. Rambert tidak tinggal karena ia harus, tapi karena ia memilih. Dan dalam pilihan bebas itulah, Camus menemukan bentuk tertinggi dari tanggung jawab.
Kita hidup di zaman yang gemar menjanjikan kebangkitan. Dalam politik, kita dijanjikan perubahan besar. Dalam agama, kita dijanjikan keselamatan. Dalam teknologi, kita dijanjikan masa depan yang serba nyaman. Tapi janji-janji itu terlalu sering melupakan kenyataan bahwa sebagian besar manusia hidup di tengah kondisi yang tak berubah. Mereka bekerja, menderita, tertawa, jatuh sakit, dan mati tanpa pernah menyentuh puncak-puncak sejarah. Mereka bukan tokoh besar, tapi mereka ada. Dan Camus menulis untuk mereka.
Keteguhan tanpa harapan bukanlah sikap sinis. Ia justru merupakan bentuk tertinggi dari cinta. Cinta yang tidak menuntut balasan. Cinta yang tidak bergantung pada hasil. Ketika Rieux memeluk Tarrou di tepi pantai, dua lelaki yang tidak memiliki agama, tidak memiliki ideologi, tidak memiliki jawaban, hanya tubuh mereka yang lelah dan napas mereka yang terengah-engah, maka yang kita lihat adalah bentuk cinta yang paling murni: dua manusia yang memilih berdiri bersama dalam dunia yang sunyi.
Camus bukan penulis untuk mereka yang mencari ketenangan. Ia menulis untuk mereka yang gelisah, yang merasa tidak nyaman dengan jawaban-jawaban yang terlalu rapi. Ia mengajak kita melihat penderitaan bukan sebagai teka-teki yang harus dipecahkan, tapi sebagai kenyataan yang harus dihadapi. Ia tidak menawarkan makna baru untuk menggantikan makna lama. Ia hanya menunjukkan bahwa bahkan tanpa makna, hidup tetap bisa dijalani dengan keberanian.
Ketika kita melihat dunia di sekitar kita—dengan perang, ketidakadilan, wabah, dan kekacauan—kita mungkin tergoda untuk menyerah atau bersikap apatis. Tapi Camus, melalui Rieux, menunjukkan bahwa bahkan dalam dunia yang hancur, manusia masih bisa memilih untuk peduli. Bukan karena itu akan mengubah dunia, tapi karena itu menyelamatkan kemanusiaan kita sendiri. Dalam tindakan kecil, dalam solidaritas tanpa panggung, dalam kerja diam-diam, kita mempertahankan kemungkinan bahwa manusia masih layak disebut manusia.
Musim panas dalam diri Rieux bukanlah metafora untuk optimisme. Ia adalah api kecil yang bertahan di tengah angin dingin. Ia tidak menyala besar, tidak menerangi seluruh dunia, tapi cukup untuk membuat kita tetap hangat. Dalam api kecil itu, Camus meletakkan harapan yang tidak berharap: sebuah kekuatan yang lahir bukan dari kemenangan, tapi dari kesetiaan kepada sesama. Dalam dunia yang terus menggoda kita untuk menjadi besar, Camus mengingatkan kita bahwa cukup menjadi setia kepada yang kecil, kepada yang nyata, kepada yang hadir di depan mata.
Maka ketika Rieux akhirnya menulis laporan tentang wabah, ia tidak menuliskannya sebagai sejarah kemenangan atau catatan heroisme. Ia menulisnya sebagai kesaksian. Kesaksian tentang manusia yang bertahan bukan karena mereka yakin akan menang, tapi karena mereka tidak sanggup melihat yang lain menderita sendirian. Kesaksian tentang kerja yang tanpa tepuk tangan. Kesaksian tentang cinta yang tidak mengharapkan surga.
Camus tahu bahwa suatu hari nanti, kita semua akan berhadapan dengan malam yang paling gelap. Bukan malam metaforis, tapi malam yang betul-betul dingin dan sunyi. Malam ketika tidak ada jawaban, tidak ada pelukan, tidak ada alasan. Di malam itu, musim panas dalam diri kita akan diuji. Dan jika kita beruntung—jika kita cukup jujur, cukup keras kepala, cukup manusia—maka mungkin kita bisa mendengar suara lembut dalam diri yang berkata: aku akan tetap di sini. Aku akan tetap merawat. Aku akan tetap mencintai, bahkan ketika semuanya tidak masuk akal lagi.
Itulah etika Camusian yang ditemukan di Oran. Sebuah etika yang tidak menjanjikan kebahagiaan, tidak menawarkan penebusan, tapi tetap berjalan. Etika yang tahu bahwa dunia ini tidak adil, dan karena itu, manusia harus menjadi adil. Etika yang tahu bahwa penderitaan tidak memiliki makna, dan karena itu, manusia harus memberinya perhatian. Etika yang tahu bahwa harapan bisa menjadi candu, dan karena itu, manusia harus belajar hidup tanpa harapan, tanpa berhenti mencintai.
Di dalam dingin, ada musim panas. Ia tidak besar, tidak terang, tidak gemilang. Tapi ia cukup. Dan mungkin, cukup itu lebih penting daripada segalanya.(part 3 of 8)
Eksistensialisme Albert Camus
➮ part 2: Absurditas Tanpa Ilusi
➮ part 3: Musim Panas di Dalam Dingin
➮ part 4: Aku Memberontak Maka Kita Ada
➮ part 5: Persahabatan Sebagai Penolakan Sistem
➮ part 6: Kebahagiaan Tanpa Harapan
➮ part 7: Relevansi Camus dan Zaman Kini
➮ part 8: Camus Dalam Gema Sunyi Zaman kita
Posting Komentar
...