Ketika dunia berubah menjadi lautan data dan algoritma, ketika makna seolah bisa diproduksi massal oleh mesin dan eksistensi terdesak di antara tautan-tautan digital, pemikiran Albert Camus tampak datang dari dunia yang jauh dan perlahan menghilang. Tapi justru dalam kehampaan makna yang dibungkus dengan efisiensi, justru dalam ledakan informasi tanpa kedalaman, Camus berdiri seperti batu besar di tengah arus, menatap mata kita dan bertanya dengan tenang: apakah hidup ini layak dijalani? Pertanyaan yang sama, yang terus-menerus dikambinghitamkan oleh semangat zaman, kini kembali menghantui kita dalam bentuk baru—lebih sunyi, lebih personal, lebih mendesak.
Tak ada masa yang benar-benar siap menerima pertanyaan Camus. Dunia selalu terburu-buru mencari solusi, merumuskan program, menawarkan keyakinan, dan menjual ilusi. Camus, dengan tubuhnya yang tertanam kuat di tanah realitas, menolak semua itu. Ia tidak datang untuk menyelamatkan kita. Ia datang untuk menemani kita menghadapi yang tak terselamatkan. Itulah sebabnya pemikirannya tidak pernah menjadi mode intelektual yang populer, tetapi selalu hadir sebagai api kecil yang menyala ketika sistem besar runtuh. Di zaman ketika agama kehilangan taji universalnya, ketika ideologi politik saling menuduh dan mengkhianati, ketika teknologi menggerus batas tubuh dan jiwa, Camus tetap menawarkan yang tidak lekang oleh waktu: kejujuran.
Kejujuran Camus lahir dari pengakuan bahwa hidup ini absurd, dan karena itu kita harus memilih antara melarikan diri ke dalam mitos atau menerima absurditas itu dengan kepala tegak. Dan ketika hari ini manusia modern melarikan diri ke dalam layar, algoritma, dogma-dogma baru yang dikemas sebagai gaya hidup, atau bahkan eskapisme spiritual tanpa refleksi, Camus seperti datang menyentuh bahu kita dan berbisik: berhentilah. Lihat hidup ini apa adanya. Jangan buru-buru mencari makna, jangan terburu-buru percaya bahwa ada satu kebenaran besar yang akan meredakan gelisahmu. Lihat dulu bahwa kegelisahan itu bagian dari menjadi manusia.
Yang paling menyentuh dari Camus bukan klaim-klaim filsafatnya, tapi keberaniannya hidup di tengah paradoks. Ia tidak membangun sistem, tidak menciptakan dogma, tidak menulis utopia. Ia hanya bertahan. Ia mengajarkan bahwa kita bisa bahagia tanpa harapan, bahwa kita bisa mencintai manusia tanpa ilusi, bahwa kita bisa setia pada dunia ini meski dunia ini tidak memberi kita jaminan. Ini bukan moralitas tinggi yang dipaksakan dari atas, melainkan kepekaan yang tumbuh dari tanah yang retak. Di tengah krisis iklim, peperangan digital, keterasingan sosial, dan epidemik kecemasan yang tak kunjung reda, kita membutuhkan etika yang tidak hanya lahir dari akal sehat, tetapi juga dari keberanian untuk tidak lari.
Camus sangat menyadari batas nalar manusia. Ia bukan pemuja rasio, tapi juga tidak membiarkannya dibunuh oleh dogma. Ia menyukai cahaya matahari yang jatuh di atas kulit, bukan cahaya yang dipantulkan dari layar. Ia menyukai kata-kata yang ditulis dengan tubuh dan pengalaman, bukan slogan-slogan abstrak yang memanjakan ego intelektual. Di tengah dunia yang semakin abstrak dan virtual, dunia yang menjual kecepatan tapi merampas waktu batin, dunia yang memburu perhatian tapi lupa akan perenungan, Camus mengajarkan pentingnya hadir. Bukan hanya eksis, tapi benar-benar hadir—dengan kesadaran penuh, dengan pengakuan akan absurditas dan keterbatasan hidup.
Ia tidak mengajari kita untuk mengubah dunia. Ia mengajak kita untuk hidup di dalamnya. Dan kadang, itulah revolusi paling jujur. Ketika orang-orang berlomba membangun struktur besar untuk memperbaiki dunia, Camus justru menyusuri lorong-lorong kecil, menuliskan penderitaan manusia satu per satu, seperti dalam La Peste, seperti dalam L'Étranger, seperti dalam esai-esainya yang gelap tapi tidak kehilangan cahaya. Dunia hari ini penuh dengan janji perbaikan—reformasi politik, inovasi teknologi, kebangkitan ekonomi hijau. Tapi siapa yang menyentuh jiwa manusia yang retak? Siapa yang berani duduk diam di samping penderitaan, tanpa tergesa memberi solusi, tapi tidak juga meninggalkan?
Camus hadir di sana. Dalam ketenangan yang tidak pasif, dalam kesunyian yang penuh empati, dalam kebebasan yang tidak individualistis. Karena baginya, memberontak bukan hanya menolak, tapi juga mencipta hubungan. Solidaritas bukan jargon politik, tapi keputusan eksistensial untuk tetap bersama meski tak ada sistem yang memaksa. Dan justru karena tidak ada sistem itulah, pilihan itu menjadi etis.
Di zaman kini, kejahatan tidak lagi datang dalam bentuk wajah kejam dan pisau di tangan. Ia datang dalam bentuk birokrasi yang dingin, statistik yang membunuh rasa, suara-suara mayoritas yang menghakimi tanpa berpikir. Camus telah melihat ini jauh sebelum kita menyadarinya. Dalam La Peste, ia menulis tentang bagaimana wabah bukan hanya soal penyakit, tapi soal bagaimana manusia saling menjaga martabat. Di tengah masa pandemi global yang kita alami, suara Camus kembali menggelegar, bukan karena ia menubuatkan sesuatu, tapi karena ia sudah lebih dulu memahami hakikat manusia yang selalu dihadapkan pada absurditas dan pilihan-pilihan etis dalam diam.
Ia tidak menawarkan keselamatan, tapi keberanian untuk tetap berdiri ketika keselamatan tidak tersedia. Ia tidak menjanjikan kemenangan, tapi mengajarkan bahwa kekalahan pun bisa dijalani dengan anggun. Dalam dunia yang dipenuhi logika kompetisi, logika pertumbuhan, logika penguasaan, Camus berdiri di sudut dengan kepala sedikit menunduk dan berkata: mungkin kita tidak harus menang. Mungkin kita hanya harus tetap manusia.
Dan menjadi manusia, menurut Camus, berarti mengakui keterbatasan, mencintai dengan sadar, hidup dengan sadar, dan menolak sistem yang mencabut kita dari kesadaran itu. Dalam dunia yang penuh dengan surveilans dan ilusi kebebasan, kita dituntut untuk menyesuaikan, patuh, bergerak cepat. Tapi Camus mengajak kita berhenti sejenak. Untuk menatap langit, untuk mendengarkan kesunyian, untuk merasa sedih tanpa rasa bersalah, untuk bahagia tanpa alasan.
Relevansi Camus hari ini bukan karena ia memberi jawaban yang kita cari, tapi karena ia tetap menjadi suara yang menolak dilupakan di tengah kebisingan. Ia adalah penulis dari era yang penuh luka, tapi ia tidak pernah menyeret kita ke dalam luka itu. Ia menunjukkan bahwa luka bisa dihadapi, bisa disapa, bahkan bisa dijadikan sahabat dalam perjalanan hidup. Dalam dunia yang terlalu cepat untuk menangis dan terlalu bising untuk merenung, Camus adalah sisa kemanusiaan yang masih bisa kita genggam.
Apakah kita bisa membayangkan Camus hidup hari ini? Mungkin ia akan tetap berjalan kaki di pinggir pantai, menulis catatan kecil di bawah cahaya lampu kota, menolak ikut dalam pesta besar para penyelamat dunia. Ia akan tetap menulis tentang penderitaan kecil yang tidak masuk dalam statistik. Ia akan tetap marah terhadap ketidakadilan, tapi tidak kehilangan kasih. Ia akan menolak menjadi pahlawan, tapi juga tidak membiarkan dirinya menjadi penonton. Ia akan berdiri bersama mereka yang paling diam, paling terpinggirkan, paling lelah, dan tetap percaya bahwa hidup ini, meskipun absurd, tetap layak dijalani.
Dan bukankah itulah yang kita butuhkan sekarang? Bukan lebih banyak nasihat, bukan lebih banyak teori. Tapi seseorang yang berkata: aku tahu hidup ini tidak adil, tidak jelas, tidak sempurna. Tapi aku memilih untuk hidup di dalamnya, dengan tubuhku, dengan kesadaranku, dengan ketidakpastianku. Dan aku memilih untuk tidak menyerah. Aku memilih untuk tetap menjadi manusia.
Camus tidak akan menyuruh kita berhenti bermimpi. Tapi ia akan mengingatkan bahwa mimpi pun harus dibayar dengan kesadaran. Dan jika kita tetap ingin berjalan, mari berjalan bersama. Bukan untuk sampai ke tempat yang lebih tinggi, tapi agar kita tidak sendirian di jalan ini. Karena absurditas bisa ditanggung, asal tidak sendiri. Karena batu itu bisa terus didorong, asal ada jeda untuk duduk dan berbagi roti. Karena bahkan dalam penderitaan, ada ruang untuk tawa. Karena bahkan dalam kekalahan, ada cara untuk menjaga martabat.
Jika kita hari ini merasa terputus, kehilangan arah, kehilangan suara, mungkin sudah saatnya membuka kembali halaman-halaman Camus. Bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk belajar bertanya lagi. Bukan untuk menghindari kesedihan, tapi untuk menemukan keberanian di dalamnya. Karena mungkin, pada akhirnya, dunia ini tidak membutuhkan lebih banyak pahlawan, tapi lebih banyak manusia yang memilih untuk tidak mengkhianati nuraninya. Dan Camus telah menunjukkan kepada kita bagaimana cara menjadi manusia seperti itu.(part 7 of 8)
Eksistensialisme Albert Camus
➮ part 2: Absurditas Tanpa Ilusi
➮ part 3: Musim Panas di Dalam Dingin
➮ part 4: Aku Memberontak Maka Kita Ada
➮ part 5: Persahabatan Sebagai Penolakan Sistem
➮ part 6: Kebahagiaan Tanpa Harapan
➮ part 7: Relevansi Camus dan Zaman Kini
➮ part 8: Camus Dalam Gema Sunyi Zaman kita
Posting Komentar
...