Etika Camusian
Dalam seluruh kekacauan dunia modern—yang dipenuhi perang, pengkhianatan ideologi, ketidakpedulian massal, dan kerusakan moral yang sistemik—Camus tidak memilih jalan pesimisme atau sinisme. Ia tidak bergabung dengan mereka yang membungkam kesadaran atas nama kemajuan, dan tidak pula menggadaikan integritasnya kepada harapan palsu. Di tengah reruntuhan dan kekecewaan terhadap manusia dan dunia, ia tidak berkata: manusia adalah sampah. Ia justru menulis: aku memberontak, maka kita ada. Sebuah kalimat yang tidak sekadar menjadi pernyataan eksistensial, melainkan juga kredo etika. Sebuah baris yang bukan hanya menegaskan individualitas, tetapi juga keterikatan. Pemberontakan bagi Camus bukan pembakaran dunia, bukan pula revolusi berdarah, melainkan bentuk paling murni dari kesetiaan terhadap martabat manusia.
Camus mengerti bahwa dunia ini tidak menjanjikan keadilan. Ia tahu bahwa penderitaan sering kali menimpa mereka yang paling tidak bersalah, bahwa sejarah ditulis oleh tangan-tangan penuh darah, dan bahwa ideologi yang menjanjikan kebebasan sering kali berakhir dengan penjara yang lebih gelap. Namun ia menolak untuk diam. Ia menolak untuk menyerahkan penilaian moral kepada statistik atau dogma. Dalam penolakannya terhadap absurditas, ia menemukan bukan keputusasaan, tetapi etika. Etika yang bukan dibangun dari hukum ilahi atau rumus metafisika, tetapi dari daging dan darah, dari penderitaan manusia yang konkret dan tidak dapat ditawar.
Etika Camusian berakar pada pengalaman manusia yang paling mendasar: bahwa kita semua rentan, dan karena itu, kita tidak bisa membenarkan kekerasan atas nama apa pun. Pemberontakan yang ia maksud bukan tindakan merusak, tetapi pengakuan. Ketika seseorang memberontak, ia berkata: ini tidak dapat diterima. Tapi ia juga berkata: ada sesuatu yang lebih pantas, sesuatu yang harus dijaga. Pemberontakan adalah batas. Ia mengatakan tidak kepada penghinaan, tetapi juga mengatakan ya kepada martabat. Camus menyebutnya pemberontakan yang setia. Sebuah bentuk keberanian yang tidak menginginkan kekuasaan, tetapi kesetiaan pada sesama.
Di buku L’Homme Révolté, Camus menyelidiki akar pemberontakan manusia sepanjang sejarah. Dari Prometheus yang menentang para dewa, sampai para revolusioner yang memenggal raja dan kemudian menggantikan tahtanya. Ia mengamati bagaimana pemberontakan yang lahir dari penderitaan bisa berubah menjadi kekuasaan yang lebih menindas. Ia tidak menolak revolusi karena ia nyaman dengan status quo, tetapi karena ia melihat bahwa dalam banyak revolusi, manusia dilupakan. Yang dipuja bukan lagi keadilan, tetapi ideologi. Dan demi ideologi itu, orang-orang dibunuh, dipenjarakan, dan dihapus dari sejarah. Camus tidak menginginkan dunia seperti itu. Ia menginginkan dunia di mana manusia tetap bisa menatap wajah sesamanya, dan berkata: aku tidak akan melukaimu, meskipun aku punya alasan.
Ia menyadari bahwa batas antara korban dan algojo bisa sangat tipis. Sejarah manusia penuh dengan mereka yang memulai sebagai korban, dan berakhir sebagai algojo. Camus menolak semua bentuk pembenaran pembunuhan, bahkan ketika pembunuhan itu dilakukan atas nama keadilan atau pembebasan. Ia percaya bahwa satu nyawa manusia lebih penting daripada semua ide yang pernah diciptakan. Karena itu ia menolak Stalinisme, menolak logika pengorbanan demi utopia, menolak seluruh sistem yang menganggap kematian sebagai harga yang wajar untuk masa depan yang lebih baik. Dalam sikap ini, Camus berdiri sendirian. Ia kehilangan banyak kawan. Tapi ia tidak menarik kata-katanya. Ia tidak menyesal berdiri di tepi, selama itu berarti berdiri bersama mereka yang terinjak.
Etika pemberontakan Camus bukan etika kelembutan pasif. Ia menuntut keberanian yang radikal. Keberanian untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Keberanian untuk tidak menjadikan sejarah sebagai pengampunan. Keberanian untuk hidup tanpa kepastian, tanpa surga, tanpa jaminan bahwa kebaikan akan menang. Dan justru karena itulah, ia menjadi etika yang paling manusiawi. Ia tidak menawarkan surga, tapi menawarkan pertemanan. Ia tidak menjanjikan keabadian, tapi menjanjikan solidaritas. Ia tidak menyuruh kita mengorbankan hidup demi dunia yang lebih baik, tapi mengajak kita memperbaiki dunia demi kehidupan itu sendiri.
Di dalam dunia Camus, tidak ada nabi, tidak ada kitab suci, tidak ada janji penebusan. Yang ada hanyalah manusia yang berdiri bersama manusia lain, menghadapi nasib yang sama-sama tak terelakkan. Dalam kebersamaan itulah pemberontakan menemukan maknanya. Aku memberontak, maka kita ada—bukan sebagai kelompok ideologis, tetapi sebagai persekutuan manusia yang saling mengakui keberadaan satu sama lain. Pemberontakan bukan soal menjatuhkan kekuasaan, tetapi soal menolak ketidakadilan, bahkan ketika kita tidak tahu bagaimana mengubahnya. Bahkan ketika kita tahu bahwa mungkin ia tidak akan pernah berubah.
Di zaman sekarang, pemberontakan Camusian terasa semakin asing. Dunia politik didominasi oleh slogan-slogan kosong, media sosial dibanjiri oleh kemarahan dangkal, dan kapitalisme global mereduksi setiap nilai menjadi angka. Dalam kondisi seperti itu, etika Camusian hadir bukan sebagai solusi cepat, melainkan sebagai peringatan keras: jangan kehilangan kemanusiaanmu. Jangan biarkan dirimu larut dalam sistem yang hanya menghitung laba dan rugi. Jangan menjadi algojo dengan wajah korban. Jangan mencari pembenaran untuk kekerasanmu, bahkan jika kekerasan itu kau sebut perjuangan.
Pemberontakan yang setia bukan sikap nyaman. Ia mengharuskan kita untuk terus-menerus mengevaluasi diri, menolak dogma, mempertanyakan motif, dan mendengarkan suara mereka yang tertindas. Ia mengharuskan kita berdiri bersama mereka yang tidak memiliki suara, meski kita sendiri gemetar. Ia bukan tindakan sekali jadi, tapi komitmen seumur hidup. Dan karena itu, ia jauh lebih sulit daripada menyerah kepada ideologi atau sistem.
Camus mengingatkan bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja, tetapi kebebasan untuk tidak melukai. Dalam dunia di mana semua orang merasa punya hak untuk berbicara, berteriak, menyerang, Camus menanyakan satu hal: apakah engkau cukup bebas untuk menolak menyakiti? Apakah engkau cukup berani untuk tidak membalas? Apakah engkau cukup kuat untuk mengatakan: ini tidak adil, dan aku tidak akan menjadi bagian darinya?
Dalam pemberontakan yang setia, manusia menemukan martabatnya. Bukan karena ia menang, bukan karena ia benar, tetapi karena ia tidak berhenti memperjuangkan apa yang ia tahu sebagai hal yang benar. Ia berdiri di antara reruntuhan sejarah, tidak untuk membangun tugu kemenangan, tapi untuk merawat luka-luka. Ia tidak datang dengan bendera, tapi dengan tangan terbuka. Ia tidak membentak dunia, tapi menatapnya, dan berkata: aku tidak akan menjadi monster, bahkan ketika kau memperlakukanku seperti binatang.
Pemberontakan ini, dalam bentuknya yang paling murni, adalah cinta yang keras kepala. Cinta yang tidak menyerah pada kebencian. Cinta yang tidak memerlukan balasan. Cinta yang mengatakan: karena kamu adalah manusia, maka aku tidak akan membiarkanmu dihancurkan. Cinta yang memilih untuk hadir, bahkan ketika semua orang memilih pergi. Cinta yang tidak membungkus dirinya dengan ide besar, tetapi menempel pada tubuh, pada luka, pada tangisan, pada peluh. Cinta yang bukan ilusi, tapi keputusan.
Dan pada akhirnya, Camus tahu bahwa dunia tidak akan berubah sepenuhnya. Ia tahu bahwa kejahatan akan terus ada, bahwa kekuasaan akan terus menyalahgunakan, bahwa manusia akan terus tergoda untuk menjadi tuhan. Tapi ia juga percaya bahwa dalam setiap pilihan kecil, dalam setiap penolakan terhadap penghinaan, dalam setiap tindakan yang menolak menyakiti, terdapat sebuah cahaya. Bukan cahaya penebusan, tetapi cahaya kesetiaan. Bukan cahaya kemenangan, tapi cahaya keberanian untuk tetap manusia, bahkan dalam dunia yang tak manusiawi.
Itulah sebabnya Camus tidak menulis sistem moral, tidak menawarkan program politik, tidak mengklaim kebenaran absolut. Ia hanya menawarkan satu hal: kesaksian. Bahwa manusia bisa tetap setia kepada manusia. Bahwa pemberontakan tidak perlu menjadi kekerasan. Bahwa di tengah absurditas, kita masih bisa memilih untuk tidak mengkhianati sesama. Dan bahwa mungkin, di antara semua kehancuran, itu satu-satunya hal yang masih layak dipertahankan.(part 4 of 8)
Eksistensialisme Albert Camus
➮ part 2: Absurditas Tanpa Ilusi
➮ part 3: Musim Panas di Dalam Dingin
➮ part 4: Aku Memberontak Maka Kita Ada
➮ part 5: Persahabatan Sebagai Penolakan Sistem
➮ part 6: Kebahagiaan Tanpa Harapan
➮ part 7: Relevansi Camus dan Zaman Kini
➮ part 8: Camus Dalam Gema Sunyi Zaman kita
Posting Komentar
...